Home > Read > News >
TDC 62 Travelling Exhibition, Jakarta: Resmi Dibuka

Jakarta, 12 Agustus 2017

Pameran tipografi keliling Type Directors Club 62 Travelling Exhibition telah resmi dibuka. Bertempat di Indonesia Design Development Center (IDDC), Jakarta Barat, pameran yang memuat lebih dari 400 karya terpilih dari seluruh dunia merupakan pemenang dari ajang kompetisi bergengsi Type Directors Club Annual Typography dibuka oleh sejumlah sambutan. Diaz Hensuk, selaku ketua panitia, membuka pameran dengan kata sambutan, yang diikuti dengan sambutan dari Rege Indrastudianto selaku Ketua ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia), John Kudos dari Studio KUDOS selaku rekan pelaksana, dan diakhiri dengan sambutan dari Ganef Judawati selaku Direktur IDDC.



Karena tidak semua negara dapat mengadakan pameran keliling TDC ini, dalam sambutannya, pelaksana yakni ADGI dan Studio KUDOS menyampaikan harapan agar pameran yang langka ini dapat dimanfaatkan dengan baik oleh pelaku desain grafis terutama para mahasiswa untuk menjadi inspirasi dalam berkarya, dan memotivasi untuk dapat turut serta dalam kompetisi skala internasional ini yang tiap tahunnya diikuti lebih dari 40 negara.

Hadirin yang merupakan tamu undangan serta RSVP yang berasal dari para desainer, mahasiswa, serta pengajar Desain Komunikasi Visual ini diajak untuk mengelilingi display pameran, baik di area semi-outdoor (display spiral) maupun indoor (poster, buku, dan interaktif) dengan dipandu oleh John Kudos.






_______

Talk 1
JOHN KUDOS

John Kudos mengawali presentasinya dengan sebuah video sambutan dari Executive Director Type Directors Club International, Carol Wahler. Menurutnya, walau di New York ada banyak perhimpunan seperti, AIGA (American Institute of Graphic Art yang berfokus pada Desain Grafis) atau Art Directors Club (yang juga mencakup industri periklanan), John melihat bahwa hasil kompetisi TDC memiliki tingkat estetik yang tinggi karena fokusnya yang mendalam terhadap tipografi, yang merupakan tulang punggung dari desain grafis.

Desainer asal Bandung yang sekarang berbasis di New York ini menempuh studi desain grafisnya di Maryland Institute College of Art (MICA). Usai bersekolah, John bergabung di Pentagram, studio desain legendaris di New York, dan bekerja langsung untuk Abbott Miller selama 7 tahun. Kini, John menjalankan Studio KUDOS bersama partnernya, Kiki Katahira, di New York.

Dalam presentasi yang bertajuk Shifting Patterns: How Indonesian designers can compete in international business setting, John Kudos memaparkan sejumlah alasan pentingnya menghadirkan pameran TDC ke Jakarta. Salah satunya, menurut John, adalah edukasi. Ketika berangkat ke MICA, John menyadari bahwa edukasi berperan penting bagi seorang desainer. Sebagai pendatang yang terpapar dengan budaya masyarakat di Amerika Serikat, John melihat banyak hal baru yang dipelajari, termasuk pameran yang bisa mendukung edukasi dengan melihat dan menyentuh karya secara langsung dan lengkap, seperti pameran TDC. Tak hanya itu, membawa pameran ini ke Jakarta adalah upaya pemberdayaan serta ajakan untuk berkolaborasi ke skala internasional bagi para pelaku desain grafis di tanah air.

Sebelum memasuki pembahasan tentang shifting the patterns, John menyebutkan sejumlah jenis-jenis desainer:

1. Living in the bubble
Desainer yang masih hidup dalam gelembungnya sendiri.

2. Brave new world
Desainer dengan attitude pemberontak, seperti misalnya Paula Scher dengan pernyataannya yang terkenal, “Make it bigger.”

3. Man in the mirror
Desainer yang terlalu banyak memikirkan refleksi diri hingga akhirnya tidak berani untuk mencoba sesuatu yang baru

4. Wizard of Oz
Layaknya tokoh penyihir dalam cerita Wizard of Oz, desainer jenis ini menggunakan magic untuk meyakinkan klien—yang merupakan kemampuan yang John yakini harus dimiliki oleh semua desainer.

Setelahnya, John menyampaikan bahwa dalam kehidupan seorang desainer, setidaknya mengalami fase-fase berikut: learning (yang ia hadapi selama di bangku kuliah), helping (ketika ia membantu Abbott Miller di Pentagram), working (begitu ia menjalankan Studio KUDOS), networking (memilih dengan siapa berjejaring), pivoting (menemukan titik belok atau moment of realization), having grit (peka terhadap keadaan dan tahu harus meresponnya seperti apa), dan being persistent.

Berbicara mengenai Shifting Patterns, John memberikan penekanan pada fase pivoting. Ia pun memberikan sejumlah cerita pivoting yang dialami oleh sejumlah tokoh yang John anggap telah sukses di kancah internasional. Ada empat (4) orang yang dibahas oleh John, yakni: Irvandy Syafruddin, Nigel Sielegar, Wahyu Ichwandardi/Pinot, serta Gumpita Rahayu.

Pada keempat orang tersebut, John mengajukan satu pertanyaan yang sama, “Momen seperti apa yang membuat kamu memutuskan untuk hidup di jalur yang “sukses” ini?”

Irvan, yang kini bermukim di Berlin dan hampir selalu menang award di tiap project-nya, menjawab bahwa momen pivot-nya muncul ketika ia magang di Ruska-Martin Associates di Berlin. Proyek yang ia kerjakan di sana, yakni sebuah buku, tak ia sangka peroleh penghargaan dari German Designer Club di Jerman. Sejak saat itu, ia pun memutuskan untuk berkomitmen untuk terus fokus pada karya desain dan tipografinya.

Sementara, Wahyu Ichwandardi atau di media sosial lebih dikenal sebagai @pinot, justru menjawab momennya hadir ketika menyadari bahwa arena pertarungan yang ada di Amerika Serikat justru terletak pada keinginan-keinginan handcraft dan terlepas dari sentuhan mesin, walau teknologi berkembang lebih cepat di sana. Dari sanalah ia menyadari bahwa identitasnya sebagai seorang Indonesia dan kemampuan craftmanship-nya justru menjadi keunggulan yang bisa ia aplikasikan dalam format animasi tangan tradisional–selain lebih praktis, juga memiliki potensi untuk diaplikasikan ke kebutuhan industri seperti iklan dan media sosial.

Hampir mirip dengan Pinot, Nigel Sielegar juga menekankan craftmanship. Nigel yang awalnya begitu terobsesi untuk memenangkan penghargaan dan menjadi bagian dari “trendy folks,” justru menyadari bahwa keinginan untuk mengikuti tren hanya akan menjadikannya orang nomor dua. Sehingga, akhirnya Nigel pun mencoba bereksperimen dengan memelajari berbagai hal baru, seperti biola dan memanah. Justru kegiatan baru ini memberikannya insight segar untuk bereksperimen dalam karya desainnya. Kliennya pun menjadi lebih peduli pada desain karena kepekaan eksperimennya itu. Nigel bilang, justru momen pivot untuk menjadi desainer “sukses” justru terjadi ketika “When I stop caring about design and start looking at the big picture.”

Lain halnya dengan Gumpita Rahayu yang menemukan momen pivot-nya dari memosting hasil rancangan fontnya di Behance. Awalnya tidak mendapat sambutan menarik, namun akhirnya banyak orang yang tertarik dan bahkan terfitur di “Popular Freebies” Behance. Bagi Gumpita, “Process and potential are more important than instant gratification.”

Di akhir presentasi, John menyampaikan pesan: the grass isn’t always greener. Menurutnya, bagi orang lain, dengan ia bekerja di New York adalah sesuatu yang “super wah,” padahal menurutnya, problem hadir di mana saja. Poinnya, justru di mana ada masalah, di sana ada kesempatan. Menurutnya, “The grass is as green as you want it to be.” John mengakhiri presentasinya dengan poin penutup:

1. See the world with a child’s view
2. Teaching is mastering
3. Plant the seeds
4. Be street smart and persistent
5. You can’t do it alone

Di sela presentasi, satu hadirin menanyakan pengalaman John ketika bekerja di Pentagram. Bagi John, tiap desainer dan studio memiliki karakter yang berbeda. Pentagram memiliki 17 orang partner. Ia bekerja dengan salah satunya, yakni Abbott Miller yang satu timnya hanya terdiri dari 5 orang. Walau dalam skala terhitung kecil, tim mereka mengerjakan projek yang begitu besar. Karenanya, menurut John, “It’s not about the scale, but the dedication and effectivity of communication.”

_______

Talk 2
GUMPITA RAHAYU

Dalam presentasinya yang bertajuk “Once Upon A Type & Industry in Indonesia,” desainer yang berdomisili di Bandung ini menceritakan praktik yang ia tekuni sebagai desainer font. Gumpita menekankan bahwa, profesi font designer bukanlah mitos. Kecintaannya pada tipografi, tutur Gumpita, justru berawal dari pertanyaan yang ia ajukan ke dirinya sendiri: apa yang mau menjadi fokusnya ketika menjadi desainer. Ia pun menyambut ketertarikan pribadinya terhadap tipografi, yang justru ia perdalam secara otodidak lewat bantuan internet dan buku, selain dari bekal teori yang ia terima di bangku kuliah DKV dulu.

Gumpita sendiri mengatakan bahwa Tokotype ia bangun dengan harapan dapat menjadi rumah bagi para type designers di Indonesia, dengan mimpi untuk bisa membangun industri font di Indonesia, agar dapat bersaing dengan type foundry (dulu pabrik font, kini studio perancangan font–redaksi) kelas dunia semacam Monotype atau Linotype. Karenanya, ia berharap dapat mengajak lebih banyak teman-teman desainer untuk meramaikan industri tipografi ini.

Dalam presentasinya, Gumpita menjelaskan bagaimana type foundry menjadi sebuah model bisnis dan menjadi sumber mata pencaharian. “Ini bukan mitos,” tegasnya, “Walau kalau orang tua bertanya saya kerja apa, saya jawab dengan, “Bikin huruf,” yang kadang jadi harus panjang menjelaskannya.”

Proses kerjanya ia alokasikan selama 40 jam seminggu untuk merancang type, engineering type agar dapat dimuat dalam berbagai platform, perancangan pengaplikasian desain, pembuatan spesimen, serta juga publikasi dari type tersebut. Potensi pendapatannya berasal dari penjualan langsung, royalty, jasa font custom, mengajar, lokakarya, dan merchandising; dengan jalur penjualan skala internasional, melalui situs dan marketplace.

Menurut Gumpita, dalam industri tipografi global ada dua pendekatan: pertama, yang menekankan eksklusivitas dan ke-dua, yang menekankan daya tarik massa. Ketika yang berdaya tarik massa memiliki harga yang ‘menarik’ karena murah dan audiensnya lebih luas, maka yang berdaya eksklusif relatif lebih mahal, bersifat profesional, dan memilik audiens yang lebih spesifik. Gumpita sendiri memilih untuk berfokus pada ekslusivitas, untuk menjaga kualitas, sehingga secara teknis dan estetik font rancangannya bisa diandalkan.

Jika bicara mengenai segmen pasar di Indonesia, Gumpita melihat bahwa pasar di Indonesia memiliki potensi besar, asalkan para pelakunya dapat: educate, engage, dan compete di dalam industri ini. Secara umum, tulisan modern Indonesia banyak menggunakan huruf latin yang tidak memiliki karakter khusus seperti dalam bahasa Mandarin, Rusia, atau Yunani. Gumpita justru melihat adanya potensi untuk mengeksplorasi aksara dalam bahasa daerah, seperti Sunda dan Jawa. Misalnya saja seperti yang kini dikerjakan oleh Google lewat projek Google Noto Sans, yakni spesimen bahasa lokal semacam Noto Sans Sundanese dan Noto Sans Javanese. Melihat potensi ini, Gumpita ingin membuat lebih banyak font dengan konten lokal.

Melihat potensi yang semakin besar ini—baik dengan berkembangnya bisnis daring berbasis marketplace di kancah internasional maupun nasional—Gumpita ingin mendorong industri font agar dapat bertransisi ke industri desain grafis lokal; dengan berkontribusi terhadap pemberdayaan desainer grafis Indonesia melalui type design.

Selanjutnya, Gumpita menjelaskan faktor teknis dalam perancangan typeface. Ia menunjukkan sejumlah worksheet dari font yang ia rancang. Dalam satu font, Gumpita biasanya dapat membuat lebih dari 400 karakter, belum termasuk turunan family-nya seperti italic atau bold. Selain itu, ia juga harus membuat sistem numerik dan tanda baca, beserta variannya. Untuk satu font saja dapat memakan waktu pengerjaan selama satu hingga dua bulan.

Di akhir sesi presentasinya, Gumpita membahas mengenai lisensi font yang masih menjadi masalah secara global. Menurutnya, EULA (End User License Agreement) menjadi hal penting yang harus dipahami, namun masih minim pengetahuan mengenai hal ini. Akibat dapat berakibat fatal: penggunaan font yang tak berlisensi, transfer font yang tidak sesuai, hingga menggunakan font tak berlisensi dalam proyek desain. Salah satu contoh kejadian fatal adalah pada 2009, suatu type foundry di Belanda menemukan bahwa salah satu kandidat presiden Amerika Serikat menggunakan font tak berlisensi, sehingga akhirnya dituntut secara hukum dan harus membayar denda dan ganti rugi sebesar 2 juta dolar AS.

Acara ini diakhiri dengan para audiens berkeliling ke seluruh area pamer, menikmati lebih dari 400 karya tipografi terbaik hasil kurasi dari organisasi terkemuka, Type Directors Club.


Pameran ini masih berlangsung hingga 6 September 2017 di IDDC. Oleh karenanya, menyambut harapan para penyelenggara, kami sangat menganjurkan pembaca agar berkunjung dan mengalami langsung pameran ini.

Quoted

Ketika dari mata tak turun ke hati, desain pun gagal total

Bambang Widodo