Apa yang (tak) kita bicarakan ketika kita membicarakan arsitektur?
Hari masih separuh sore ketika derai Origa Path Budi Pradono yang layaknya air terjun hampir rampung menyambuti pengunjung. Serangkaian kertas putih yang menjadi kisi dari ‘rumah air mancur’ Iswanto Hartono mengawali pengalaman akan kelenturan arsitektur pada pameran akhir pekan itu. The Fountain House, ia bertajuk. Sebait sajak terpampang pada langkah berikutnya.
“Tanpa pintu, tanpa bata, tanpa kayu. Hanya bumi dan rerumputan”, ejanya, “Hanya empat zat yang menaunginya: air, angin, waktu, dan cinta… Tapi rumah itu tak di sini.” Di hadapannya, sebuah tembok berbicara juga tentang kenisbian dirinya sendiri, “Tembok ini pun tak di sini.”
Menjejaki Dia.Lo.Gue Artspace sore itu diawali sebuah ritus untuk mempuisikan ruang, sekaligus meruangkan puisi. Sekiranya demikian Pameran Titik Silang terangkum: sebuah pameran para arsitek yang bukan lagi pameran arsitektur.
APRESIASI PROFESI DAN KESENANGAN-KESENANGAN NAN BERSENI
Pameran Titik Silang yang dibuka pada 30 Mei 2015 itu merupakan bagian dari kegiatan yang rutin diselenggarakan dua kali setahun oleh Dia.Lo.Gue Artspace, sMart Dialogue (#9). Dimaksudkan untuk menjadi ‘akhir pekan para arsitek’, Titik Silang mengajak kita untuk menikmati penelaahan kembali akan kemungkinan-kemungkinan bidang yang digeluti oleh para lulusan Arsitektur. Dikuratori oleh arsitek senior, Andra Martin, bersama salah satu penggagas JongArsitek!, Danny Wicaksono, Titik Silang menempatkan para arsitek sebagai seniman yang menyodorkan berbagai eksplorasi gagasan dan eksekusi karya.
Diikuti oleh 16 orang peserta pameran dari beragam rentang usia, asal perguruan tinggi, dan profesi yang ditekuni saat ini, kita dipertemukan dengan kemungkinan-kemungkinan yang mungkin luput kita bicarakan tatkala membicarakan arsitektur pada umumnya.
“Sebagai sebuah program studi,” papar Danny Wicaksono dalam pengantar kuratorialnya, “Arsitektur dikembangkan sebagai bidang yang mempelajari kebutuhan sehari-hari manusia, hingga para lulusannya membawa cakupan pengetahuan yang luas dalam diri mereka.”
Bekal potensi inilah yang kemudian terimplementasikan dalam para peserta pameran, baik bagi mereka yang kini tetap berprofesi sebagai arsitek, maupun yang telah memutuskan untuk menjadi profesional di bidang lainnya.
Inisiatif pameran ini sendiri berawal dari Dia.Lo.Gue yang menggagas sMart Dialogue khusus bagi para arsitek sebagai pesertanya. Para kurator pun ditantang untuk menghelat pameran arsitek dengan karya yang dipamerkan bukanlah karya arsitektur.
Dengan terselenggaranya pameran ini, Danny Wicaksono mengungkapkan bahwa dirinya jadi dituntun untuk mulai melihat lebih dalam bagaimana para lulusan Arsitektur selalu didorong keseriusan penuh hingga menghasilkan kualitas terbaik—bahkan dalam menjalankan kesenangan mereka sendiri-sendiri.
Sebutlah Aditya Novali dan Iswanto Hartono, misalnya, yang karya seninya rajin kita temui dari pameran seni satu ke pameran seni yang lain. Pun, demikian halnya dengan Jay Subiakto dan Tulus dengan karir hiburan dan pertunjukan, maupun Arianti Darmawan yang kini lebih menekuni bisnis kuliner. Tak ketinggalan, seluruh peserta Pasar Seni sMart Dialogue #9 juga lulusan Arsitektur.
“Sebagai arsitek, kita seperti harus ada dalam dua bidang yang berbeda: rasional dan emosional. Kita dituntut untuk memberi ukuran pada keindahan. Itu butuh rational thinking. Itulah yang membuka mereka pada banyak hal,” papar Danny.
Meski demikian, terpilihnya 16 lulusan Arsitektur dalam pameran ini dinilainya begitu sedikit jika dibandingkan dengan jumlah yang telah diluluskan di Indonesia. Sebagai negara dengan jurusan Arsitektur terbanyak ke-3 di dunia, setiap tahunnya perguruan tinggi meluluskan 5.000-an Sarjana Arsitektur. Oleh karenanya, pameran ini dipandang Danny menjadi penting untuk melihat kembali hubungan antara jumlah dengan potensi yang dikandungnya.
Bagi Andra Martin, pameran ini dapat menawarkan potensi-potensi berbagai bidang yang dapat ditekuni oleh para mahasiswa Arsitektur selulusnya nanti. Pun, bagi para arsitek profesional, Titik Silang dapat mempertemukan mereka dengan rekan-rekan lulusan Arsitektur yang bisa menjadi kolaborator untuk berbagai proyek mereka.
“Mereka ini adalah orang-orang yang exceptional,” tutur Danny, “Keenam belas orang ini memiliki kecintaan yang besar terhadap apa yang mereka lakukan: sketsa, akar budaya, fesyen… Mereka tahu standar terbaik itu ada di mana dan berusaha dengan keras untuk mencapai standar tersebut.”
“Teman-teman arsitek ini sudah memiliki talenta yang luar biasa yang sudah tak perlu disuruh-suruh lagi. Menurut mereka, ini hal biasa yang sudah tak perlu dipamerkan lagi. Menurut mereka, itu kesenangan mereka sendiri. Begitu pameran, asal saja, tapi asalnya mereka amat berkualitas,” imbuh Andra Martin.
RUANG, RELASI, DAN BEBERAPA PERTIMBANGAN
Kita dapat menyepakati bahwa ketika Arsitektur bicara tentang ruang, ia tak dapat melepaskan diri dari relasi-relasi organis di dalamnya. Karenanya, meski pameran ini diikuti juga oleh mereka yang sekarang sudah tak lagi menekuni arsitektur sebagai profesi, kesadaran spasial dan sosial itu tetap mengiringi praktik bidang yang masing-masing mereka tekuni kini.
“Ilmu arsitektur itu ilmu yang meyakinkan bahwa seorang pemimpi bisa mewujudkan karyanya. Arsitek itu tahu teknis dan tahu seni; ibu dari semua ilmu. Apa yang dikhayalkan bisa diwujudkan,” tutur Jay Subiakto.
Ilmu arsitekturlah yang diakuinya berpengaruh besar hingga menjadi fondasinya dalam hobi maupun profesi yang ia geluti hingga saat ini. Dalam fotografi, film, maupun dunia pertunjukan, Jay mengaku banyak mengaplikasikan cara berpikir layaknya seorang arsitek dalam merancang, termasuk dalam perhelatan Ariah yang dipentaskan secara megah di Monas pada Juni 2013.
Bertanggung jawab dalam pelaksanaan berbagai konser sejak 1994, Ariah diakuinya sebagai proyek yang di luar kebiasaan.
“Saya mencoba mendesain cawan baru untuk Monas yang merupakan titik nol Jakarta. Sebelumnya, titik nol itu ada di Syah Bandar. Dari sana, saya menarik garis-garis imajiner yang membentuk kemiringan-kemiringan tata panggung ini. Tiga lapisnya serupa dengan struktur candi-candi di Indonesia yang umumnya terdiri dari 3 bagian,” tutur pekerja seni yang akan memamerkan instalasi proyeksi video di ART|JOG|8 per 6 Juni 2015 ini.
Sama halnya dengan Arianti Darmawan yang kini berfokus pada bisnis kuliner. Landasan berpikir yang diperolehnya dari pendidikan Arsitektur sebelum melanjutkan studi di Magister Bisnis turut mempengaruhi keputusannya dalam menjalani restoran.
Pengalaman menikmati hidangan khas Indonesia dirancangnya sedemikian rupa dalam ruang gerik dan interaksi. Lewat Tesate, Arianti Darmawan menerapkan ketertarikannya pada budaya Nusantara, terutama relasi pasar yang telah menjadi relasi turun menurun yang menurutnya patut dilestarikan.
Amatannya terhadap pasar tradisional itu ia pertemukan dengan relasi pasar saat ini—yang diwakili dengan restorannya—dalam suatu montase digital. Arianti Darmawan mempertemukan relasi sosial dulu dan kini yang mengalir dalam wujud ruang yang dinamis. Inilah yang kemudian diterapkan pada proyek terdekatnya, di mana pengalaman menyantap hidangan dipertemukan dengan performance art.
Pola-pola pendekatan yang melenturkan pertimbangan akan ruang dan relasi-relasinya inilah yang lekat kita temui dalam Titik Silang. Sebut saja busana rancangan Auguste Soesatro yang membagi pakaian dalam bidang-bidang geometris atau Aditya Novali yang mengejawantahkan pengalamannya akan Korea Utara dalam permainan perspektif dan bayangan. Tak ketinggalan, Tulus pun mempertemukan kita dengan pengalamannya akan kamar mandi yang erat berelasi dengan proses kreatifnya dalam menulis lagu.
Sekiranya, tepat apa yang ditaksir para kurator dalam pengantar mereka, bahwa selain menampilkan potensi-potensi yang dimiliki oleh para seniman lulusan Arsitektur ini, Pameran Titik Silang juga “memberikan gambaran akan kemungkinan-kemungkinan bagaimana [landasan ilmu] Arsitektur dapat turut berkontribusi dalam membentuk budaya modern di Indonesia.”
Lewat titik-titik persilangan ini, kelenturan arsitektur hadir dan menawarkan opsi-opsi pendekatan akan beragam aspek kebudayaan; sebagaimana Frank Lloyd Wright pernah berujar, “Para arsitek yang hebat adalah penyair yang hebat pula. Mereka adalah penerjemah akan zaman dan masanya.”***
sMart Dialogue #9
30-31 Mei 2015
Pameran Titik Silang
30 Mei–17 Juni 2015
Seniman/arsitek:
Aditya Novali • Ary Indra Aboday • Arianti Darmawan • Auguste Soesastro • Budi Pradono • Didiet Maulana • Eko Prawoto • Iswanto Hartono • Jay Subijakto • Paskalis Khrisno • Mohammad Thamrin • Monstore • Sub • Sukendro Sukendar • Tulus • Yori Antar
Dia.Lo.Gue Artspace
Jalan Kemang Selatan No. 99A,
Jakarta Selatan
Gambar utama: “Kolase Arsitektur” oleh Ary Indra.
The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life