Belum lama ini seorang mahasiswa yang sedang tugas akhir mewawancara saya untuk keperluan tugas akhirnya. Proyek yang akan dikerjakannya adalah sebuah buku tentang dasar-dasar desain grafis (basic design). Salah satu pertanyaan yang diajukan adalah: bagaimana cara yang efektif untuk menyampaikan materinya. Saya menjawab: dengan menggunakan contoh-contoh kongkrit yang akrab dengan target audiensnya, kasus yang dijumpai sehari-hari, misalnya sampul album musik yang lagi nge-top, distro yang lagi trend, atau produk media sosial yang digandrungi. Jadi, bukan contoh yang berasal jauh dari benua lain dan dari jaman yang berbeda.
Cerita kedua terjadi di masa lampau. Sampai lulus kuliah, saya tidak mengerti sama sekali mata kuliah nirmana datar (2 dimensi) dan nirmana ruang (3 dimensi), mengapa saya diberi nilai sekian, apa kekurangan saya, apa kelebihan saya, dan lain-lain. Ini karena tidak adanya review atau evaluasi setelah diberi nilai, tidak ada seorangpun yang menerangkan pada saya kaitan dan manfaat nirmana di dunia nyata. Seakan-akan matakuliah-matakuliah itu eksklusif, mempunyai dunianya masing-masing, sampai saya tidak tahu “the big picture“-nya.
(Jaman dulu murid sangat tergantung pada pengajarnya, karena sumber lain di luar itu sangat terbatas (web baru marak di Indonesia setelah tahun 1995)).
Kembali ke cerita di awal, mengenai mahasiswa tugas akhir yang mewawancara saya. Dalam bukunya, ia mau mengupas tentang elemen desain dan prinsip desain. Saya bilang padanya, jangan-jangan perlu dicari metode lain yang lebih efektif. Bukan menggantinya sama sekali, namun mengubah cara pandangnya.
Orang marketing sudah menyadarinya jauh lebih dulu.
Saat barang-barang di pasar belum sebanyak sekarang, orang memusatkan perhatiannya pada kualitas dan manfaat produk. Kini ada begitu banyak produk di pasaran dan semuanya hampir serupa, maka sekarang orang tidak hanya memperhatikan produk, tapi lebih memusatkan perhatiannya pada konsumen pemakai > branding.
Saking paham akan pentingnya konsumen, di area retail bahkan orang sampai memanfaatkan neuroscience (studi berkaitan dengan syaraf manusia), menggunakan eye-tracking (sistem pendeteksi retina mata untuk mengetahui apa yang dilihat seseorang), dan berbagai usaha untuk mengetahui faktor apa saja yang membuat orang memilih produk tertentu. Seluruhnya bertujuan untuk efektivitas penjualan produk.
Dalam dasar-dasar desain grafis, elemen desain adalah A, B, C, D, elemen-elemen ini disusun menggunakan prinsip-prinsip 1, 2, 3, 4, contohnya karya desain tokoh-tokoh terkenal dunia di era keemasannya dulu. Di nirmana banyak gambar-gambar bulatan dan kotak-kotak dalam sebuah bidang, desainer bisa memberikan kesan berbeda kalau susunan bulatan dan kotak itu diubah. Apa tidak berkesan designer-centric?
Designer-centric (desainer sebagai pusat) dapat dimaklumi karena desain grafis memang berasal dari seni rupa dan melekat dengannya, (termasuk kesan artist-centric-nya). Dulu bisnis desain serta para pemainnya tidak seramai sekarang, tapi kini – di mana pembeli tidak hanya sebagai raja, melainkan: SEGALANYA – maka mungkin lebih aktual apabila saya mengubah cara pandang menjadi user-centric (user/audience sebagai pusat). Bukan dimulai dari elemen dan prinsip desain serta susunan komposisi nirmana, tapi dimulai dari perception. Persepsi apa yang mau dibentuk, brand image apa yang mau tercipta di benak audience, baru kemudian menilik elemen, prinsip, dan desain bagaimana yang cocok untuk tujuan tersebut.
Mata kuliah dan aktualitas yang dibahas di sini hanyalah setitik debu dari besarnya jagat raya persoalan pendidikan desain grafis / DKV yang perlu dibenahi di negeri ini. Lembaga pendidikan, pihak sekolah dan yayasan, pengajar dan pelajarnya, pihak pemerintah, pihak industri, dan masyarakat luas – seluruhnya merupakan jaringan yang tak dapat dipisahkan dan terkait erat dengan masalah-masalah ini. Mengurai sebuah persoalan di pihak yang satu, akan memerlukan dukungan dari pihak-pihak lainnya.
When you do what you like, you won’t get sick of it too long, if ever.