Etnisitas vs Modernitas dalam Desain Grafis

Bangsa Indonesia adalah unik karena merupakan percampuran berbagai suku bangsa yang tersebar diseluruh kepulauan Nusantara, ditambah masuknya bangsa-bangsa dari Asia—Cina, India, dan Arab, serta Eropa. Orde Baru dan Soeharto dengan latar belakang budaya Jawa dan latar belakang profesi militer menekan dinamika pluralisme sosial-budaya demi “persatuan dan kesatuan”. Ternyata, Orde Baru gagal menanamkan “persatuan dan kesatuan”. Ketika represi militer dicabut terjadilah berbagai peristiwa rasial seperti: Tragedi Mei 98 (13-14 Mei), kerusuhan etnis Madura-Dayak, Poso, Ambon, Papua. Kini masalah diperumit oleh beberapa pemerintahan daerah yang menerapkan peraturan-peraturan yang meminggirkan kelompok minoritas.

Desain Grafis memiliki fungsi identifikasi, informasi dan instruksi, serta presentasi dan promosi[1. Richard Hollis. Graphic Design, A Concise History. London: Thames and Hudson, 1994, hal. 10.]. Desain grafis yang baik harus mudah diterima dan dipahami oleh publik. Agar diterima dan dipahami, desain grafis perlu menggunakan dan mencerminkan budaya publik peserta komunikasi. Dari sudut pandang kebudayaan hal ini berarti desain grafis adalah ekspresi sosial-budaya dari masyarakat penggunanya dalam ruang-waktu tertentu. Namun, karena fungsinya adalah mempegaruhi persepsi, maka Desain Grafis juga mampu berperan membentuk persepsi publik. Hal ini terkait dengan peran desain grafis sebagai sebuah pemecahan masalah.

Permasalahannya adalah bagaimana desain grafis di Indonesia dapat mencerminkan identitas etnis dari penggunanya? Penelitian ini bertujuan untuk mengurai relasi yang ada antara Desain grafis dan identitas kultural etnis di Indonesia—khususnya etnis Tionghoa. Hasil kajian mahasiswa dan staf pengajar perkuliahan Tinjauan Desain II pada program studi DKV di FSRD Untar. Hasil kajian dipresentasikan dalam blog-blog kelompok penelitian dan dipamerkan secara internal dengan judul Hybridgrafik 2007.

 

Kehadiran Etnis Tionghoa di Nusantara

Penyebaran budaya Tionghoa ke Asia Tenggara telah berlangsung sejak abad kedua masehi ketika rute perdagangan melalui lautan berlangsung antara negeri Cina, India, dan Arab. Selama musim badai dan pergantian musim monsoon, para pedagang negeri Cina tinggal di kota-kota pelabuhan Asia Tenggara. Selama mereka menetap terjadilah proses interaksi antara budaya para pedagang dengan budaya penduduk lokal. Di kota-kota pantai ini pula para pedagang negeri Cina bertemu dengan pedagang dari India/ Gujarat dan Arab. Jaringan perdagangan internasional ini membentuk budaya kosmopolitan di kota kota pelabuhan di Nusantara[2. Dr. Johannes Widodo Phd. Chinese Diaspora’s Culture in Art and Design in Asia Pacific, Universitas Maranatha Bandung, 27 Maret 2007].

Gelombang imigrasi bangsa Tionghoa (terutama daerah selatan seperti Fujian, Guangdong, Hainan, Teochew) ke Indonesia sekitar abad 19 membawa banyak percampuran budaya, termasuk arsitektur.[3. Ibid.] Hal ini dikarenakan beberapa kelompok imigran Cina adalah para tukang ahli kayu dan ukir-ukiran serta bangunan yang dibawa oleh Belanda sebagai tenaga ahli yang diperbantukan membangun Batavia. Warga Tionghoa sebagai mediator (middle men) antara kepentingan kolonial dan penduduk pribumi. Sistem tanam paksa (Cultuurstelsel 1830–1860) memperkuat posisi warga Tionghoa sebagai pedagang perantara.

Namun, posisi warga Tionghoa yang semakin strategis menimbulkan konflik antara bangsa Tionghoa dengan VOC. Konflik ini memuncak sehingga terjadi tragedi pembantaian warga Tionghoa (Chinese Massacre) di daerah sekitar Kali Angke. Pembantaian ini terjadi pada tanggal 13-15 Oktober 1740 dan diperkirakan menelan korban 10.000 jiwa[4. Mona Lohanda, Sentimen Anti-Tionghoa 1740–1998: Sebuah Renungan – makalah, tanpa tahun.]. Tahun 1799 VOC bangkrut dan bubar, sehingga Hindia Belanda dipegang langsung oleh pemerintah Belanda. Awal abad ke-20 Belanda menerapkan Sistem surat pas (passtelsel): warga Tionghoa harus membuat surat ijin untuk melakukan perjalanan ke daerah. Bisnis dan milik warga Tionghoa terkonsentrasi di perkotaan. Usaha itu meliputi rokok kretek, batik, makanan, minuman, transportasi umum, bioskop, rumah makan, jamu dan obat-obatan, dan lain sebagainya[5. Ibid, Mona Lohanda.]. Termasuk usaha penyebaran informasi: media penerbitan dan percetakan. Kesemuanya menghasilkan percampuran budaya visual dalam desain grafis, antara budaya Tionghoa, Eropa, Hindu-Budha, dengan budaya lokal di Nusantara.

Setelah Indonesia merdeka, politik diskriminasi terhadap warga Tionghoa tidak berhenti. Pemeritahan Soekarno menerapkan politik diskriminasi dengan mencanangkan program Benteng (PP No. 10 tahun 1959). Ini adalah aturan yang membatasi ruang lingkup usaha orang-orang Tionghoa. Pemerintah Orde Baru Soeharto menerapkan pelarangan penggunaan aksara hingga nama Tionghoa[6. Demikian pedulinya Soeharto, sehingga “dalam rangka nation dan character building Indonesia….” perlu dilakukan proses penggantian nama dari nama keturunan asing dengan nama Indonesia asli berdasarkan Keputusan Presidium Kabinet No. 127/Kep/12/1966 – tidak lama setelah Soeharto ‘mengkudeta’ Soekarno.]. Pada tingkat akar rumput pun terjadi pemisahan sosial budaya – bahkan terjadi “politik kambing-hitam” terhadap orang-orang Tionghoa.

 

Desain Grafis sebagai Representasi Masyarakat

Penelitian ini dilakukan dalam konteks perkuliahan Tinjauan Desain. Mata kuliah ini mengajarkan metode kritik terhadap artefak desain grafis yang telah diproduksi. Melalui kritik desain ini diharapkan mahasiswa mampu memahami konteks sosial budaya dari sebuah desain grafis serta bagaimana sebuah desain dimaknai dan masyarakat penggunanya. Desain grafis khususnya dan budaya visual pada umumnya, tidak hanya cermin sosial budaya pengguna tapi juga mempengaruhinya.

-

Beberapa desain yang muncul sebagai perpaduan budaya antara Belanda atau Eropa, Tionghoa, dan Jawa. Perpaduan ini dilihat berdasarkan identitas etnis yang meliputi ciri-ciri sebagai berikut:
– ciri fisik figur
– ciri benda pakai (pakaian, arsitektur, dll)
– ciri nama, bahasa, dan aksara
– ciri simbol
– ciri ornamen dan warna

Perpaduan diantara berbagai ciri di atas merupakan sebuah representasi dari proses komunikasi yang bersifat multikultural. Proses percampuran atau akulturasi, tidak saja berlangsung dalam bidang desain grafis namun juga dalam berbagai bidang seperti: budaya pangan, khususnya masak-memasak, bentuk arsitektur, tampilan tekstil, khususnya Batik. Khusus pada batik, telah terjadi proses hibrida budaya. Dimana tradisi membatik yang kuat di pesisir pantai utara Jawa (Lasem, Pekalongan, Cirebon) berpadu dengan simbolisasi dan warna Tionghoa, menghasilkan batik jenis baru, sebuah batik hibrida.

Perpaduan antar unsur budaya Eropa, Tionghoa, dan budaya lokal dilakukan setidaknya dengan dua pertimbangan: pertama sebagai cerminan ekspresi atau identitas sosial kultural dari pemilik usaha. Kedua sebagai upaya pemasaran untuk meraih konsumen sasaran yang potensial dengan latar budaya yang mencakup Eropa dan Tionghoa. Ketiga adalah karena jenis produk yang bersifat khas dari negeri Cina.

Masalahnya adalah ketika gelombang besar modernisasi melanda Indonesia melalui ideologi pembangunan Orde Baru, terjadilah tarik-menarik antara etnisitas dan modernitas dalam berbagai bidang. Berbagai media desain grafis merepresentasikan modernitas yang berkembang. Pada kemasan produk produk usaha kecil dan menengah, dapat kita lihat kecintaannya pada budaya Nusantara yang seringkali disampaikan dengan cara yang populer, ringan, dan naif. Di satu sisi, kegamangan dalam menggunakan unsur unsur dan prinsip tradisional dalam desain grafis, merupakan representasi dari struktur masyarakat yang belum memiliki rasa percaya diri. Sebaliknya desain grafis yang dirancang dengan memanfaatkan identitas etnis secara seksama akan menjadi media edukasi bagi masyarakat agar mampu bersikap inklusif, toleran, dalam masyarakat yang plural[7. Menurut Barnard: “Works of art, examples of visual culture, then, do not simply ‘reflect’ ideologies…. [Work of art] may give ideology a new form and may even subvert that ideology…” Dalam: Malcolm Barnard. Art, Design and Visual Culture—An Introduction, New York: Saint Martin’s Press Inc. 1998, halaman 49.]. Hal yang perlu dilakukan adalah mengenal dan memahami filosofi dibalik bentuk bentuk etnis tersebut terlebih dulu, sebelum menerapkannya menjadi desain grafis yang bersifat multikultural. Dengan cara demikian diharapkan seorang desainer grafis dapat terhindar dari menciptakan desain grafis dengan “tempelan-tempelan” ornamen tradisional[8. Mendiola B. Wiryawan, Desain Etnik, Desain Grafis (Khas) Indonesia, majalah desain grafis Concept, vol.01 edisi 06, 2005]—sebaliknya akan menciptakan hibrida desain grafis Nusantara.

(***)

 


 

Quoted

Ketik, pilih font, dan presentasikan sebagai ‘desain’… nggak salah tuh!?

Bambang Widodo