Institut Seni Indonesia Melahirkan…

… tiga komponis yang rasanya akan menjadi kebanggaan Asia Tenggara. Mereka pribadi-pribadi muda yang cemerlang dan yakin tapi juga sekaligus canggung dalam menempatkan dirinya di dunia yang menuntut berbagai kompromi.

Dwi Sutrianto yang lahir di Banyumas 36 tahun lalu, menyampaikan dua gagasan bahwa (1) musik itu harus lebih dulu menyenangkan, komunikatif, dan baru kemudian logikanya, (2) ada hubungan antara frekuensi bunyi dan panjang gelombang cahaya/warna. Dengan sangat ilmiah, Sutrianto berupaya mensenyawakan keduanya dalam karyanya BIOLIN VS CELLO yang memang komunikatif, memukau dan kocak. Kedua pemain, setelah bermain sebagaimana lazimnya, kemudian bertukar instrumen yang tentu saja merombak kebiasaan teknik maupun mental masing-masing, masih ditambah aktor yang asyik baca koran sambil mendengarkan musik melalui headphone dan acuh terhadap pacarnya.

Faisal, sepuluh tahun lebih muda, lahir di Impa-Impa (Sulawesi) menggelar MANUSIA SEGI-EMPAT untuk orkes yang dipimpinnya sendiri dengan cara yang aneh sekali, seperti robot yang kaku dan setiap halaman partiturnya kalau sudah selesai langsung dibuang ke lantai maka semakin banyak kertas berserakan. Anehnya lagi hasil bunyinya sangat detil, baik keseimbangan dinamik maupun perubahan-perubahan temponya yang sangat halus. Kacau tapi jenius!

Asril Gunawan, 29 tahun, dari Ujung Panjang, satu-satunya yang ‘sopan’. Sopan tidak berarti tidak nakal, musiknya yang menggunakan sebagian besar instrumen tradisi –suling, bui, digeridoo dll– didahului musik digital yang tidak pada tempatnya dan sangat mengganggu. Tapi hal ini memang disengaja justru untuk menunjukkan betapa mengerikan cara kita melahap mentah-mentah unsur apa saja dari luar yang tidak sesuai dengan kebutuhan kita. THE SPIRITUAL CONTEMPLATION sebuah kritik sosial yang tajam dalam bentuk musik yang sangat lembut dan cermat. Sikap batin yang sudah mendekati makrifat.

Mereka adalah di antara enam orang yang menempuh ujian akhir S-2 di Institut Seni Indonesia di Yogayakarta, tanggal 2-4 Juli minggu lalu.

Di samping berkarya dan menggelarnya, mereka wajib membuat proposal tertulis. Suatu formalitas untuk membuktikan bahwa kualitas intelektualnya bisa diterima secara akademis. Dan yang namanya penalaran ilmiah itu harus verbal. Perguruan Tinggi Kesenian menuntut seorang seniman berwawasan luas.

Rupanya ada kekhawatiran kalau seorang seniman itu tidak lebih dari tandak (penari jalanan) jika dibandingkan dengan budayawan. Orang lupa bahwa dalang yang serba tahu itu juga seorang seniman, seperti halnya pembuat gong atau pembuat keris itu para empu lokal yang jauh mendahului kriteria akademis yang kita impor dari barat. Komponis-komponis seperti Bach, Cerha, Debussy, Wyschnegradsky, dan lain lainnya tidak pernah merasa perlunya menjelas-jelaskan musiknya untuk diakui sebagai seorang intelektual! Begitu pula seorang Einstein untuk membuktikan penemuannya, cukup dengan menuliskan sederetan rumus-rumus fisika yang hanya bisa dimengerti oleh para ahli fisika saja. Tidak ada tempat bagi pseudo-intelektual.

Lembaga Pendidikan Tinggi seperti ISI tidak perlu mengulangi kebodohan yang pernah dilakukan lembaga Prancis Prix de Rome yang berkedudukan di Roma, Seorang komponis sehebat Ravel dua kali ditolak karena tidak memenuhi kriteria lembaga tersebut. Sebaliknya seorang Debussy menyebarkan pernyataannya bahwa dia lulus Prix de Rome karena dia mengarang musik dengan gaya yang sengaja untuk menyenangkan para juri yang picik.

ISI sudah sepantasnya punya wewenang untuk bertindak lebih jauh dari sekadar asyik dengan berbagai peraturan yang melupakan kepentingan kita sebagai bangsa yang harus bersaing. Kita perlu lebih banyak terobosan-terobosan seperti yang dilakukan Prof. Yohanes Surya, Ph.D. dengan Tim Olimpiade Fisika Indonesia.

Di Jerman bahkan ada sebuah Festival Donaueschingen yang berani mengambil risiko tinggi yaitu hanya menggelar karya-karya bermutu oleh para komponis yang belum punya nama. Karena itu, Bartok tidak diterima, dia sudah terlanjur punya nama. Tapi, bagaimana bisa meramal kualitas karya yang baru nantinya ternyata betul ? Hindemith dan Schoenberg, misalnya, ternyata memang lahirnya di Donaueschinger Musiktage. Festival ini usianya sudah hampir seratus tahun dan tetap di depan gagasan-gagasan yang paling moderen.

Sementara kita umumnya masih menganut aliran me-LAYU yang sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan jaman. Kita lebih suka memilih kemapanan yang aman dan melupakan kodrat kehidupan organik yang senantiasa dihadapkan pada masalah homeostasi, proses penyesuaian diri dalam mencari keseimbangan terhadap situasi di luar maupun di dalam tubuh kita.

Quoted

Some nature is better polluted by design and art

Henricus Linggawidjaja