Kampus, Komik, dan Ruang di Antaranya

Dalam sebuah obrolan ringan, seorang teman mengajukan serentetan keluh kesah yang–sejauh saya ingat–berbunyi demikian: “Kenapa ya, komik-komik Indonesia selalu miskin narasi, nggak punya perspektif sejarah, dan miskin isu-isu sosiologis?” Keruan saja keluh kesah dari seorang teman yang mengisyaratkan bahwa dia tahu segala-galanya tentang komik Indonesia itu memerlukan energi yang cukup banyak untuk menjawabnya, dan ketika itu saya pun tidak berani menjawabnya, apalagi di sini. Tetapi, bila diungkapkan dengan cara lain, isu-isu yang dilontarkan tersebut memang terlihat cukup masuk akal.

Beberapa komikus terkenal seperti Benny dan Mice pernah berkata, kira-kira begini bunyinya: “Bahwa dari segi penyajian teknik visual, ada banyak komikus-komikus muda yang kemampuannya sudah melebihi mereka. Tetapi jika segi naratif yang disorot, komikus-komikus itu selalu kekurangan imajinasi dalam artian bahwa sisi penceritaan dalam sebuah komik kurang diperhatikan.”

Pendapat tersebut seakan memperlihatkan bahwa permasalahan kurangnya imajinasi naratif yang dialami sebagian komikus-komikus Indonesia memang “benar”, meskipun demikian hal ini perlu diperiksa lebih lanjut melalui kajian yang kurang lebih serius dan komprehensif daripada sekadar melontarkannya dalam kalimat-kalimat pendek.

Tetapi di sini kita bisa memfokuskan pikiran pada hal lain terlebih dahulu. Setidaknya jika mau mengalihkan pandangan sejenak untuk membahas komik, orang mungkin telanjur mengernyitkan dahi. Maksudnya, bisakah bentuk karya seperti komik dianggap serius, atau setidaknya dianggap bukan sebagai medium untuk menyuguhkan hiburan semata? Atau jika pertanyaannya diganti: bisakah komik bisa dianggap sebagai seni? Masalah bisa kian diperumit: mampukah kita keluar dari anggapan bahwa komik adalah medium komunikasi yang, seperti kata Clement Greenberg dan Harold Rosenberg: sebagian besar tidak perlu dianggap serius. Demikianlah, sebagai bagian dari artefak budaya populer (beberapa orang bahkan menganggapnya sebagai seni populer, seni massa), komik belum dianggap serius. Walaupun kenyataannya ada banyak orang yang memakainya sebagai sarana edukasi–sebuah hal yang tentu saja bisa dimaknai sebagai usaha untuk menaikkan derajat komik–namun masih banyak yang menganggap komik hanya sekadar hiburan atau main-main. Sehingga walaupun ada beberapa karya yang dianggap “wah”, komik masih saja dimarjinalkan.

Apa yang sudah terjadi tidak perlu diratapi berlebihan. Begitu pula di sini, komik yang diwacanakan sebagai medium “seni” yang tidak serius tidak usah terus diratapi. Dalam poin semacam ini, pembahasan bisa difokuskan kepada usaha-usaha untuk membuat medium komik menjadi punya “nilai lebih”. Misalnya dalam kasus ini, proyek seni kisah-kisah warga satu kilometer sekitaran kampus ISI Yogyakarta; sebuah proyek yang yang memakai medium komik sebagai ruang yang dianggap sebagai tempat untuk bercakap-cakap. Bila proyek ini ditempatkan dalam bingkai apa yang telah saya tulis di atas, maka orang bisa bertanya tentang satu hal: apakah proyek tersebut telah menghasilkan karya seni (dalam bentuk komik) yang kaya akan perspektif, atau dengan kata lain, menyodorkan sisi penceritaan yang “berkualitas”?

 

KAMPUS DAN MASYARAKAT SEKITAR

Isu yang kerap muncul ketika sebuah bangunan kampus berdiri di manapun adalah: bagaimana interaksi antara penghuni dengan warga di sekitarnya? Berdasarkan wilayah pertanyaan semacam ini, praduga yang muncul kemudian berada dalam nada yang demikian bunyinya: bahwa proyek seni dengan menggunakan medium komik ingin mengangkat isu-isu yang bersifat sosiologis terutama seputar hubungan kampus yang merupakan lembaga pendidikan dengan masyarakat sekitar. Semua tahu bahwa di daerah seputar kampus mana saja, interaksi sosial selalu ramai.

Interaksi antara mahasiswa/mahasiswi dengan masyarakat sekitar kampus merupakan satu contoh jenis hubungan yang bisa muncul berkat motivasi yang dipicu pertama-tama oleh motif ekonomi. Berkat berdirinya sebuah kampus, jasa fotokopi, sewa kos-kosan, rumah makan, sampai rumah kontrakan, muncul di sekitarnya. Ikatan antara kampus dan warga pertama-tama dibangun berdasarkan peluang ekonomi yang dilihat oleh masyarakat yang memiliki rumah di sekitar kampus. Dan pada gilirannya, hubungan yang pertama-tama dibangun berdasarkan motif ekonomi ini kemudian berkembang sedemikian rupa hingga memicu kemunculan ikatan sosial yang punya banyak cerita dan bisa diungkapkan lewat medium apa saja–entah itu lewat obrolan a la angkringan, lewat catatan harian, dan lain sebagainya.

Ada satu kesadaran yang ingin dibangun di sini, bahwa warga sekitar kampus bukanlah anonim, atau mereka yang tidak dikenal; melainkan the other yang mesti disapa sebagai tetangga. Jika membutuhkan contoh lain, maka pihak kampus (ISI) bermaksud menjadikan kisah-kisah warga sebagai entitas yang patut untuk dicari, didengar, ditulis, dan digambar; atas alasan karena mereka juga yang menopang kehidupan mahasiswa. Dalam kerangka semacam itu, orang sudah tentu akan menemukan banyak alasan yang menjustifikasi proyek itu. Yang dalam banyak hal ingin menunjukkan secara gamblang: bahwa relasi dengan tetangga tetap harus dipelihara. Lebih jauh lagi, mungkin kita bisa menarik satu hal di sini tentang the other itu sendiri, yang secara umum didefinisikan sebagai konsep di mana ada siapa saja yang terpisah dari kedirian (self) seseorang.

Konsep kampus sebagai living society tentu melibatkan banyak orang, terutama mahasiswa yang karena alasan sebagai bagian dari kelas terdidik, bisa dianggap punya derajat sosial yang tinggi. Mahasiswa dipilih di sini sebagai sebuah kategori kelas karena mereka pihak pertama yang paling mungkin berinteraksi langsung dengan warga sekitar ISI, dan atas alasan mereka jugalah yang punya akses ke pendidikan (seni) dan modal (ekonomi) yang lebih baik. Dalam kerangka hubungan antara warga dengan kampus, sebagaimana yang telah saya sebutkan di atas, sangat mudah diduga bahwa hubungan antara subjek-subjek (mahasiswa) dengan the other (warga) akan muncul di permukaan.

Persoalannya: mahasiswa ingin menganggap warga sebagai apa, dan sebaliknya bagaimana warga memandang mahasiswa ISI? Persoalan lebih lanjut yang perlu dikemukakan di sini adalah, bagaimana the other itu direpresentasikan lewat karya-karya komik yang ada? Bagaimana mahasiswa kampus seni menghidupi hidup warga sekitar, lengkap dengan segala problematika sosial yang mungkin muncul? Dua pertanyaan tersebut tidak mudah untuk dijawab, tetapi paling tidak, semua karya yang ditampung dalam proyek seni ini bermaksud mewadahi representasi, atau katakanlah, pandangan hidup warga terhadap ISI. Justru yang menarik ada pada titik tersebut: karya-karya yang ada tidak melulu dimaksudkan sebagai hasil dari subjektifitas personal yang bermaksud menatap kehidupan warga, atau sekadar representasi terhadap kehidupan warga, melainkan bagaimana tatapan warga terhadap sebuah kampus diceritakan dalam lembaran-lembaran kertas yang penuh visualisasi objek. Tatapan yang mengisyaratkan sebuah nilai ketika berhadapan dengan kelas sosial yang (barangkali) jauh lebih terdidik. Nilai-nilai ini kemudian secara konkrit dituangkan lewat balon kata, panel, gestur, atau stereotype tertentu.

Situasi di mana dialektika antara warga seputar kampus dengan mahasiswa kampus yang bersangkutan dibangun melalui komik dan/atau cergam, mungkin sejajar dengan apa yang saya sebut: bentuk-bentuk karya yang disebut comics journalism. Tetapi bila mempertimbangkan kata “jurnalistik”, perkaranya di sini bukan sekedar bagaimana membuat reportase jurnalistik yang dituangkan lewat medium komik, namun bagaimana kewaspadaan diri dibentuk melalui hubungan dengan warga. Dan secara lebih lanjut hal terakhir itu juga akan merembet ke nilai yang lebih umum, yakni bagaimana identitas ISI mau dibangun (yang terwakili oleh mahasiswanya) melalui hubungan dengan masyarakat sekitarnya.

 

COMICS JOURNALISM: HIDUP DALAM PANEL DAN DOKUMENTASI

Comics Journalism merupakan sebuah istilah yang mesti dipahami dalam ranah ketika ada satu bentuk yang merupakan campuran dari dua bentuk berbeda, jurnalistik dan komik. Pada percampuran dua bentuk tersebut, seniman menggunakan medium visual untuk bercerita atau menggunakannya untuk menyebarkan informasi. Cara-cara kerja seniman komik yang menggunakan medium campuran tersebut biasanya memakai cara kerja yang sangat identik dengan kerja wartawan: datang ke sebuah tempat, mengumpulkan informasi, dokumen, dan insiden. Ia mensketsakan fenomena hidup, mengumpulkan informasi visual sebanyak-banyaknya, menggambar info grafis, dan terakhir menyatukan semuanya dalam satu format cerita. Cerita tentu saja, disajikan dalam format komik dan kebanyakan mengambil sudut pandang seniman, meskipun tidak selalu disajikan dengan cara seperti itu.

Bentuk campuran semacam ini, menurut saya, sangat masuk akal untuk dilekatkan kepada komik-komik dan cerita-cerita bergambar yang disajikan dalam proyek kali ini. Alasannya cukup sederhana, yakni karena penciptaan itu sendiri, yang didasarkan pada kisah-kisah warga yang dicari, didengar, ditulis, dan digambar. Dan semuanya itu bermula dari pengamatan dan wawancara warga. Cara-cara kerja semacam itu, pada hemat saya, mungkin akan mengingatkan pada cara kerja wartawan. Meskipun demikian, tentu mahasiswa yang terlibat dalam proyek ini bukanlah wartawan yang kerja sehari-harinya hanya mengkoleksi data dan kemudian menuangkannya lewat tulisan berbentuk hard news. Akan sangat kering imajinasi bila istilah comics journalism dipahami dengan cara semacam ini. Tetapi setidaknya ditinjau melalui wacana penciptaan komik, istilah tersebut setidaknya bisa dipinjam secara longgar.

Maksud saya adalah, metode penciptaan yang dilakukan oleh para mahasiswa yang terlibat di proyek seni kali ini memang cukup banyak melibatkan elemen-elemen kerja jurnalistik, meskipun pada akhirnya bentuk yang hadir bukanlah bentuk yang murni hasil kerja jurnalistik karena melibatkan beberapa elemen seperti: biografi personal, bentuk khas sequential art, garis, panel, balon kata, narasi, dialog, dan tokoh. Namun sebagaimana bisa kita lihat, semua narasi yang dihadirkan lewat komik-komik pada proyek kali ini bukanlah fiksi. Maus garapan Art Spiegelman dan Palestine karya Joe Sacco adalah dua contoh paling baik dari apa yang disebut Comics Journalism.

Ada beberapa judul dalam proyek ini yang saya anggap representatif untuk mewakili istilah Comics Journalism, namun saya perlu buru-buru untuk sedikit membela diri di sini: bukan berarti judul lain tidak cukup representatif, namun karena keterbatasan tempat saya terpaksa hanya memilih beberapa. Mewakili suguhan biografi personal, mata kita bisa diarahkan untuk menikmati suguhan Titik Balik, yang menarasikan pengalaman hidup Aan Yulianto lengkap dengan pandangan personal tentang kampus seni yang dianggap mampu menopang idealisme serta cita-citanya. Karya ini sepenuhnya bukan sequential art. Teks yang menarasikan pengalaman hidup jauh lebih dominan dibandingkan gambar-gambar yang disajikan. Karenanya bisa disimpulkan dari sana, bahwa Titik Balik menjadikan gambar semata sebagai sebuah entitas yang mengilustrasikan teks. Dalam kata lain, semacam parasit yang menumpang hidup pada teks, yang mana teks pada karya tersebut terlalu dominan dan bukan perpaduan sempurna yang tidak terpisahkan, antara gambar dan kata-kata. Dan lebih jauh lagi, Titik Balik pada intinya merupakan pengalaman Yulianto sebagai mahasiswa dan juga bagian dari warga kampung, sehingga apa yang saya sebut sebagai observasi partisipatoris sangat kental dalam karyanya tersebut.

Jika Titik Balik merupakan refleksi pengalaman personal, maka tidak demikian halnya dengan Ada Yang Hilang di ISI. Yang disebut terakhir itu berbentuk komik yang bercerita dari sudut pandang seorang bapak yang gamang menghadapi perubahan-perubahan: kampus yang sebelumnya ramah, kini menjadi terlihat tinggi dan angkuh. Bagaimana pun, pengungkapan narasi jelas menonjolkan sebentuk otokritik terhadap kampus itu sendiri. Sehingga yang kita dapatkan di sana adalah sebuah komik pendek dengan penggambaran anatomi tubuh manusia yang disederhanakan; susunan antar panel yang meskipun polos- dengan dominasi warna putih yang kental, namun menampilkan adegan-adegan yang di sana-sini menampakkan ekspresi muram dari seorang bapak yang merindukan masa lalu; dan dalam kaitannya dengan hal terakir itu, perlu ditambahkan juga di sini mengenai keseluruhan bangunan narasi yang melulu menampakkan sebuah formula, yakni bahwa masa lalu jauh lebih baik dibandingkan masa sekarang. Sampai pada titik itu, bolehlah kita menyebut si bapak sebagai individu yang berpandangan anti-kuarian, yakni situasi di mana sang bapak merindukan masa lalu, dihadirkan dan menjadi palu hakim untuk menilai masa kini. Namun ada hal menarik terutama bila mencermati lima panel terakhir, di mana secara gamblang ditunjukkan kepada kita bahwa ISI tidak seburuk yang diduga oleh si bapak: masih ada pesta seni 2012 yang diselenggarakan dan bisa dinikmati oleh warga sekitar. Situasi muram dan rasa gamang yang susah payah dibangun, dibantah dan diruntuhkan oleh sehelai kertas yang menunjukkan hal tersebut.

Yang menarik adalah perspektif tema yang diajukan Tato dan ISI-nya, di mana karya komik ini tidak jatuh menjadi semacam reportase atas perspektif warga terhadap ISI semata, melainkan juga ditarik lebih jauh ke ranah lain yang juga menarik, yakni tato: sebuah seni rajah tubuh yang juga menjadi bagian dari budaya Indonesia, contohnya pada tradisi tato bangsa Mentawai dan Dayak. Tokoh sentral, pak Maryono, dalam komik ini menampakkan keakraban yang intim dengan beberapa mahasiswa kampus ISI. Elemen-elemen panel dalam judul komik ini bergerak dinamis dan cepat, menampilkan serentetan ingatan masa lalu pak Maryono dan keakrabannya dengan dunia tato (meskipun ia sendiri tidak mentato tubuhnya), yang ditutup dengan serangkaian panel yang menunjukkan keakraban ISI (yang diwakili mahasiswa) dengan warga sekitar. Tato dan ISI-nya menyenangkan, dan memang demikian yang bisa kita temukan. Ekspresi dan gestur tubuh para tokoh di dalamnya bermaksud menampakkan kelucuan, meskipun pada akhirnya kisah tentang keakraban pak Maryono lah yang dijadikan fokus penceritaan, dan bukan cerita mengenai tradisi seni tato itu sendiri. Bila disediakan lebih banyak ruang untuk bergerak, saya cenderung yakin bahwa seni tato sebagai sebuah tradisi bangsa bisa lebih dipertajam ketimbang mengangkatnya hanya melalui visualisasi seorang tua bertato dari bangsa Dayak yang diletakkan pada satu halaman penuh.

 

DIALOG DI RUANG ANTARA

Proyek seni dengan menggunakan medium komik dan cerita bergambar kali ini sebetulnya ingin membuka ruang dialog antara kampus dengan warga sekitarnya, dialog yang sekiranya tidak boleh dibatasi hanya pada motif ekonomi semata. Hemat saya, gugatan terhadap miskinnya narasi komik Indonesia bisa mulai dikikis dengan cara membangun perspektif sosiologis pada setiap komik, atau perspektif hubungan antar manusia yang dalam proyek seni ini ditunjukkan dengan jelas: antara kampus sebagai lembaga pendidikan, dengan warga sekitar yang pada gilirannya turut membangun identitas kelas yang dididik oleh kampus (baca: mahasiswa). Semua karya yang termaktub dalam proyek kali ini berusaha membangun identitas kampus seni seperti ISI, satu hal yang tentu saja akan melibatkan banyak orang dan tidak bisa dibangun sendirian oleh satu pihak saja.

Berbicara tentang sisi sosiologis dari komik, dalam banyak hal ini akan menuntut kemampuan komikus untuk melakukan interogasi terhadap realitas sekaligus memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang tidak lahir dari kekosongan. Maksudnya, secara konseptual komik pun bisa muncul sebagai tanggapan-tanggapan yang sifatnya kompleks, atas nama sekelompok orang yang hidup dalam situasi sosial tertentu, dan juga dalam situasi sosial dan politik yang mendominasi zaman mereka. Dengan demikian, dialektika sangat mungkin terjadi di sini. Lengkap dengan rumusan yang kurang lebih berbunyi begini: antara ekspresi kreatif dan nilai-nilai sosial yang mengarah kepada konteks tertentu dalam sebuah masyarakat. Saya rasa tidak salah untuk menganggap proyek seni yang ditampilkan di sini akan dan harus terus berususan dengan rumusan semacam itu.***

Quoted

Designers need to think about others for the sake of improving the human existence. What we have received is a gracious blessing. Without it, we are nothing. Which is why we need to give it back.

Yongky Safanayong