Rent Society (Masyarakat Rental)

Rent Society, selanjutnya ditulis masyarakat rental (masyarakat sewa), digunakan untuk menggambarkan sebagian praktik desain komunikasi visual. Paling tidak, istilah tersebut dapat menggambarkan konteks maraknya suatu praktik desain saat ini. Istilah masyarakat rental dipahami secara sederhana, yaitu masyarakat yang diperantarai oleh sewa-menyewa (hampir bisa dipastikan sewa menyewa sebagai tujuan). Dalam konteks desain lantas dapat dimengerti yaitu suatu (praktik) desain yang lahir atas sewa-menyewa tersebut. Tulisan ini berusaha taktis dan tidak panjang lebar, dan sangat mungkin terdapat bolong-bolong pengetahuan di sana sini. Meski demikian, tulisan ini bertujuan memberi/menawarkan konteks baru budaya masyarakat sebagai tempat lahirnya suatu praktik desain.

Di samping itu tulisan ini berangkat dari praktik desain, bukan dari teori yang telah ada. Harapannya, dari praktik desain tersebut dapat memberi gambaran masyarakat desain saat ini. Perkara ia mau jadi teori atau bukan, tulisan ini tak berpretensi membahas hal tersebut. Paling banter, tulisan ini merupakan pengidentifikasian budaya (men)desain saat ini. Data-data diambil dari pengalaman saya sendiri, baik selama di kampus maupun dalam pertemanan. Dari situ, gagasan tentang masyarakat rental dirasa kian marak.

 

Budiman dan Penyelidikannya berjudul “Kisah dari Sebuah Republik Bernama Twitter

Budiman, seorang sastrawan dan dosen UNY (Universitas Negeri Yogyakarta), melakukan penyelidikan praktik pengguna(an) twitter lewat sebuah pertanyaan:

“Sebagai salah satu pengguna twitter (@lelakibudiman), saya cukup lama dihinggapi rasa penasaran, apa alasan seseorang memiliki alter akun. Rasa penasaran tersebut saya tweetkan pada tanggal 18 Maret sebagai berikut:

01

01

Lalu dijawab oleh sebuah akun sebagai berikut:

02

02

Di akhir tulisan Budiman tersebut, yang diunggah di media.kompasiana.com, dia menyampaikan bahwa:

“Ketika ada klien yang ingin membuat akun twitter tapi tidak mau dari nol (langsung dengan jumlah follower sekian), Aryan akan merekomendasikan klien tersebut untuk mencari dan membelinya dari agency lain. Penjelasan Aryan tersebut mengingatkan saya pada film #republiktwitter. Dalam film tersebut diceritakan ada sebuah biro jasa berkedok warung internet yang menyediakan layanan membuat akun-akun twitter. Harga tiap akun yang ditawarkan bervariasi, tergantung jumlah followernya… Dengan apa yang dijalaninya sekarang, Aryan mengaku bahwa ia bisa mendapatkan penghasilan yang cukup. Apa yang dilakoni Aryan setidaknya menjadi bukti bahwa hal yang berawal dari main-main bisa menjadi sesuatu yang bukan main… Masih berpikir untuk membuat alter akun?”

Inti tulisan tersebut yaitu bahwa memiliki akun twitter lebih dari satu bisa digunakan untuk mencari keuntungan ekonomi, salah satunya untuk dijual kepada klien. Tentu, dijual di sini artinya sebuah akun memiliki sejumlah folloower yang dalam penilain saya merupakan konsumen (modal). Tentang hal ini, yaitu sewa menyewa ruang maya kepada klien, bukan hal baru. Sebuah blog yang ramai dikunjungi pun dapat dijadikan ruang beriklan. Namun gagasannya sama, yaitu untuk berkomunikasi kepada khalayak. Di sini mendesain informasi jadi mesin penggerak agar orang-orang mengunjungi sebuah blog atau ngetwit. Pengertian mendesain informasi yaitu mengupload teks-teks yang menarik untuk diklik atau ditwit.

 

Mural Iklan di Kota-kota dan di Desa-desa Gak Ada Bedanya (Desa Kota Sama Saja)

Tahun 2003, sewaktu lebaran, saya berkunjung ke Kota Tulungagung, tepatnya di Jalan Jayeng Kusuma, sebuah Jalan Propinsi yang menghungkan Kota Kediri ke arah Surabaya. Beberapa toko/kios di sepanjang Jalan Jayeng Kusuma tersebut “dicat” logo salah satu merek rokok, nuansa coklat. Tak lam setelah itu, baik kota maupun desa, kian marak “dicat” berbagai brand rokok dan terutama provider telepon seluler. Tentu ada nalar berbeda untuk tiap daerah (untuk tidak mengatakan sebagai awal gejala yang sama). Di Tulungagung, si rokok coklat tersebut mau menyaingi pesaing terdekatnya. Yaitu si rokok merah asal Kediri. Sedangkan, “mural iklan” di Kota, katakanlah Yogyakarta, ia lahir dengan ada pengaruh mural sebelumnya yang sempat menjadi wacana seni kota.

Penelitian (skripsi) Imam “Mambo” di DKV ISI Yogyakarta tentang mural iklan coklat di sepanjang Jalan Propinsi di atas menyampaikan bahwa (hampir) semua elemen masyarakat di situ mendukung pengecatan warung/kios secara demikian. Elemen masyarakat di sini yaitu kepala desa, pemilik warung/kios, tetua desa, dan pemerintah daerah. Pada umumnya mereka mengajukan alasan bahwa pengecatan bermerek tersebut secara tidak langsung menjadikan daerah merena jadi nampak maju. Nah, di sini peran merek membawa kemajuan-kemajuan karena sebelumnya pemerekan tersebut marak ada di kota-kota besar, bukan di kota seperti Tulungagung atau Nganjuk. Bisa jadi ini nalar pembangunan ala Orde Baru bahwa representasi pembangunan diwakili oleh merek-merek pemain besar alias kapital(isme).

Baik di Tulungagung, Nganjuk, Yogyakarta, atau Kulon Progo dan derah lain, pengecatan beriklan tersebut kian marak mengisi tatapan masyarakat di ruang-ruang kota hingga pelosok. Semua ditatapkan pada presentasi-presentasi yang mirip. Penelitian lapangan mahasiswa Mata Kuliah Seminar DKV ISI Yogyakarta atas “mural iklan” di Yogyakarta mendapati praktik tidak adil antara pemilik tembok dengan penyewa.

Belum ada kesepakatan tarif harga di antara pemilik tembok maupun penyewa. Namun, ada juga yang memberi alasan kebaruan dan keawetan seperti tembok jadi bersih lagi, baru lagi. Sayangnya, pemerintah ataupun PPPI sebagai lembaga yang diwenangi mengelola hal-hal seperti ini masih gagap, ambigu, bahkan ambivalen. Beberapa pemilik tembok menyampaikan pernyataan yang, mungkin warisan Orde Baru, manakala ditanya surat kontrak sewa tembok. Ada yang mengatakan “lupa di mana”, atau “hilang”, namun ada pula yang alasan kesungkanan “jangan, tidak enak nanti harga jadi tahu dan membuat iri yang lain”. Sayangnya, masyarakat pemilih ruang sewa tersebut belum dilindungi oleh undang-undang seperti ketentuan mengembalikan kepada kondisi semula. “Lha dicat wae wis seneng, dadi gak usah dibalekne maneh, rak yo metu ragat.” (Dicat saja sudah senang, maka tak perlu dikembalikan lagi, nanti keluar biaya.) Ringkasnya, baik desa maupun kota, pemilik tembok rumah kian diuntungkan karena bisa menyewakan ruang tersebut kepada merek tertentu. Hampir sama dengan halaman blog bukan? Baik keduanya, tembok rumah ataupun halaman blog, disertai syarat dan ketentuan yang (di)berlaku(kan), yaitu strategis dan marak dikunjungi.

Tentang hal ini pun diapresiasi berbagai pihak salah satunya, antara lain sebuah artikel di internet, berjudul “Pemanfaatan Dinding Rumah untuk Media Iklan”:

“Tembok dari bangunan atau rumah tersebut dimanfaatkan sebagai media dengan komposisi visual yang cukup menarik. Hal ini sangat didukung jika bentuk rumah minimalis atau bahkan kalau perlu hanya berupa tembok/dinding kosong pada sisi yang menghadap jalan. Dinding tersebut akan dicat dan digambar sesuai dengan isi iklan. Beberapa produk yang sudah memanfaatkan media ini antara lain adalah produk providerpenyedia jasa komunikasi telepon, rokok dan beberapa produk lainnya. Di Yogyakarta, saya sudah menjumpai di beberapa lokasi seperti di Ringroad Utara, jalan Kaliurang, jalan Wates dan di beberapa lokasi lain.”

Salah satu yang menarik dari pernyataan di atas yaitu “hal ini sangat didukung jika bentuk rumah minimalis atau bahkan hanya berupa tembok/dinding kosong pada sisi yang menghadap jalan”. Pernyataan tersebut sebenarnya merupakan saran desain, katakanlah variabel dalam mendisain rumah untuk keperluan media beriklan.

Sebuah tulisan berjudul “Tembok – tembok Rumah Komersial” (http://irsannewwaver.blogspot.com) menyampaikan demikian:

“Yang mungkin menjadi pertanyaan terbesar dalam benak saya adalah berapa orang-orang si empunya rumah tersebut dibayar?? Tapi mungkin mengiklankan dengan model seperti ini lebih murah daripada dengan reklame-reklame raksasa, toh di rumah penduduk ini tidak dipungut pajak. Dan si pemilik rumah pun merasa tertolong karena bebas biaya pengecatan guna “mempercantik” tampilan rumahnya. Dan yang saya lihat tidak hanya operator seluler yang getol, produk rokok pun terlihat menyusup diantaranya. Semakin menambah ramai pemandangan jalan akses Bandara Juanda baru tersebut.”

Pernyataan tersebut juga menjelaskan bahwa pengecatan komersial tersebut terkait dengan visi estetik, yaitu “mempercantik” dan “pemandangan”. Konsep ini dapat menjelaskan perubahan visualitas kota atau desa dari waktu ke waktu di mana estetika selalu terkait dengan usaha pandang-memandang, dan kali ini yang mempercantik pandangan yaitu tembok iklan.

Bagaimana dengan pemerintah daerah/pemerintah kota? Di Yogyakarta, seturut www.delikberita.com, menyampaikan bahwa “Reklame di Tembok Rumah Warga Ditertibkan Pemkot Yogyakarta” ((http://www.delikberita.com). Di situ dituliskan bahwa:

“Reklame yang ditertibkan adalah reklame yang melanggar peraturan daerah izin dan pajak reklame, khususnya reklame dari salah satu provider telepon selular,” kata Kepala Seksi Pendataan dan Pendaftaran Dinas Pajak Daerah dan Pengelolaan Keuangan (DPDPK) Kota Yogyakarta Tugiyarto di Yogyakarta, Rabu (20/7)… Kepala Bidang Pajak Daerah DPDPK Kota Yogyakarta Wisnu Budi Irianta mengatakan, pemasangan reklame di tembok rumah warga tersebut mulai banyak dilakukan seiring dengan meningkatnya tren pembuatan mural, atau sejak dua tahun terakhir. “Penertiban seperti ini, memang baru pertama kali dilakukan karena biaya yang dikeluarkan tidak sedikit,” ujarnya yang memperkirakan ada sekitar 50 persen reklame yang tidak membayar pajak. Wisnu mengatakan, kerugian pajak yang dialami pemerintah dengan adanya pemasang reklame nakal tersebut diperkirakan mencapai Rp120 juta per tahun dari 20 titik, dengan asumsi penerimaan pajak daerah sebesar Rp6 juta untuk ukuran 32 meter persegi.”

Sayangnya, alasan-alasan yang diberikan oleh pemerintah dilatari hal-hal yang ekonomik yaitu “tidak membayar pajak” yang dibandingkan dengan fakta “kerugian pajak yang dialami pemerintah dengan adanya pemasang reklame nakal tersebut diperkirakan mencapai Rp120 juta per tahun dari 20 titik, dengan asumsi penerimaan pajak daerah sebesar Rp6 juta untuk ukuran 32 meter persegi.” Hal ini mengingatkan saya pada penelitian Imam “Mambo” bahwa ada elemen masyarakat yang tidak diajak bercakap soal ini, setidaknya ada persoalan penting yang tidak dilibatkan sebagai percakapan, yaitu budaya(wan).

Posisi budaya(wan) di sini diharapkan mampu memberi pertimbangan bagaimana menyikapi kian maraknya komersialisasi ruang. Ini penting manakala sikap sebagai budayawan kian masih diharapkan menjadi sikap yang mendasari (menilai) praktik keseharian, misalkan keberatan seseorang yang ditujukan kepada salah satu neox box merek rokok yang, sayangnya, dibolehkan dipasang di lembaga yang bertugas mengayomi dan melindungi masyarakat (polisi) (www.blontankpoer.blogsome.com).

“Kepada pimpinan Kepolisian Negara Republik Indonesia , saya sarankan pula untuk menambah wawasannya dalam berbahasa Indonesia. Cermati baik-baik makna copywriting: Obsesi: Siap Melayani Masyarakat! Dengan demikian, aparat Anda juga bisa memahami tugas dan fungsi kepolisian, yang menurut saya melayani dan melindungi merupakan sebuah tindakan aktif yang menyiratkan makna tanggung jawab, sebuah kewajiban dan amanat konstitusional. Bukan sekadar o-b-s-e-s-i…Jujur, saya kuatir, pemasangan neon box pada pos-pos polisi semacam itu merupakan hasil ‘kerja sama’ oknum polisi dan orang-orang periklanan. Sebab di lapangan masih bisa kita jumpai, iklan akan terbebas dari pajak reklame bila bekerja sama dengan ‘pihak-pihak tertentu’ meski lokasinya pada ‘tempat-tempat tertentu’ pula.”

 

Sumber: www. irsannewwaver.blogspot.com

Sumber: www. irsannewwaver.blogspot.com

 

Sumber: www.blontankpoer.blogsome.com

Sumber: www.blontankpoer.blogsome.com

 

Sumber: internet

Sumber: internet

 

Sumber: internet

Sumber: internet

 

Iklan rokok di Jembatan Kewek, 2005. Sumber: Indonesian Visual Art Archive via kunci.or.id

Iklan rokok di Jembatan Kewek, 2005. Sumber: Indonesian Visual Art Archive via kunci.or.id

 

Sumber: www.delikberita.com

Sumber: www.delikberita.com

Jadi, Polisi juga bisa disewa ya bung, baik ruangnya maupun memelesetkan motto agar ngeklik dengan slogan sebuah merek kebal kebul.

 


Rent hingga (ber)Akhir

Data-data di atas sengaja digunakan untuk menggambarkan budaya sewa yang kian marak. Umumnya si penyewa merupakan merek-merek besar salah satunya ditandai beriklan di media-media konvensional (majalah, surat kabar, televisi, radio, dlsb). Twitter ataupun blog bisa menggambarkan sewa ruang dalam artian memberi kepastian jumlah follower atau pengunjung sebuah situs. Desain dalam pengertian ini yaitu pada soal mengunggah teks-teks yang memikat untuk dikunjungi.

“Mural iklan” memberi lanskap lain dalam memandang desain dan keruangan. Memandang di sini terkait dengan aktivitas estetik, alias sedap dipandang(-pandang)i. Maka itu, gerakan mural dalam lanskap seni setidaknya memberi status tembok/dinding di ruang kota, Yogyakarta misalnya. Sedangkan, di sepanjang Jalan Propinsi Tulunggagung, ruang-ruang di situ jadi lahan memenangi kompetisi dengan merek rokok besar terdekat: si rokok dari Kediri.

Lain lagi dengan pos polisi di atas yang mana sebuah desain (slogan) yang tadinya mau meng-keren-kan polisi malah jadi sasaran oleh pihak tertentu.

Bung, saya kira, posisi saya mau sama dengan beliau yang marah-marah terhadap neon box di pos polisi. Meski demikian, lewat tulisan ini, saya cuma mau menawarkan bahwa kita semua sedang bergerak menuju masyarakat sewa, rent society. Di sini, segala hal dinilai dari keuntungan sewa-menyewa, baik ekonomi maupun simbolik. Lantas, semua dinilai sebatas modal, modal, dan modal. Ah bung, kita juga penyewa, urip mung mampir ngombe. Atau seperti ujaran seorang kawan, seniman muda, bahwa hubungan antara nseiman dan galeri yaitu: “Seniman lebih tepatnya bukan disewa, tapi dikawin kontrak, nha posisi seniman lebih pas sebagai sosok yang perempuan.” Ah bung, urip mung mampir ngombe (hidup cuma mampir minum), maka minumlah sebanyaknya sebelum sumur mengering.

Bung, selamat Nyepi, kadang kita kerap memandang Gusti menyewa kita lalu kita marah-marah karena semua tak jalan sesuai rencana. Atau, kita menyewa Gusti sebatas untuk hal-hal tertentu saja. Alamak, salam. (Koskow, Maret 2012)

***

Quoted

The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life

Surianto Rustan