Desain Grafis di Indonesia: Relasi–Visi–Misi–Organisasi–Profesi dan Apresiasi

Obrolan dua orang berlatarbelakang DKV (desain komunikasi visual),
yang satu praktisi dan yang satu pengajar:

Praktisi: Bro, gw lagi bete nih!
Pengajar: Kenapa, Bro?
Praktisi: Lo bayangin. Gue kuliah desain, terus buka usaha kecil-kecilan. Berapa tahun coba? Eh, sekarang siapa aja bisa jadi desainer. Tinggal liat tutorial di YouTube, posting karya di Instagram, dapet orderan deh..
Pengajar: Ya, bedalah, Bro. Di kuliah ‘kan diajarin teorinya juga. Di internet ‘kan teknis aja. Gue aja kalo di kelas bilang ke student gw: teori sama praktek kudu seimbang. Biar kita bisa jelasin desain kita sendiri.
Praktisi: Oh, gitu. Teori desain ada apa aja, Bro?
Pengajar: Mmm.. Gue juga dari pengalaman sih..

#kemudianhening

 


 

Desain Grafis di Indonesia:
Relasi-Visi-Misi-Organisasi-Profesi dan Apresiasi

Zaman penuh hingar-bingar teknologi informasi adalah realita terkini. Selain yang offline, di dalam yang online juga turut berseliweran beragam visual buah tangan kita. Ya, kita. Baik yang terkait secara langsung (seperti praktisi) dan tidak langsung (seperti pengajar) dengan ‘dunia’ yang akan kita bahas ini, yaitu desain grafis.

Isi obrolan dua orang di atas tadi di hari-hari ini mungkin terjadi. Memaknainya tergantung dari ‘kacamata’ apa yang dipakai: yang senior merasa ‘lahan’nya diusik oleh yang junior, makna relasi lebih terasa di online sehingga menentukan bagaimana keseharian dijalani, atau perihal tahu sedikit-sedikit atau luarnya saja tapi sudah berani membuat klaim.

Sebelum lebih jauh, coba pertanyakan hal berikut: apakah yang ada dan terjadi sekarang—khususnya terkait desain grafis yang kita geluti—muncul begitu saja dari kekosongan? Beneran nih desain grafis itu ada tanpa penyebab dan asal-muasal?

Merujuk pada buku Meggs’ History of Graphic Design (2012), di bagian ‘Preface to the First Edition’ dijabarkan bahwa pekerjaan terkait olah visual telah dilakukan sejak masa prasejarah. Di masa-masa selanjutnya, para perupa dari Sumeria, Mesir, Cina, dan Eropa turut berperan menghasilkan karya-karya yang berdampak pada bergeraknya nilai desain (grafis) secara sosial maupun estetis. Namun, para pendahulu—para perupa yang berkemampuan luar biasa tersebut—sangat kurang dikenali. Tujuan mereka berkarya memang bukan untuk dikenal (atau terkenal. Apa yang mereka lakukan, yakni mendesain/mengolah visual adalah respon terhadap apa yang mereka hidupi di zamannya. Mengagumkan bukan? Jadi, kalau di hari-hari ini kita mempermasalahkan tentang apresiasi bagi pekerjaan di bidang DKV tanpa tahu kerja keras para pendahulu kita tadi, mengherankan tidak ya?

Yang ditulis di atas bukan untuk menganjurkan mendesain tanpa dibayar. Memangnya mau?

Sementara itu, coba lihat contoh berikut: Jacek Utko, seorang desainer berkebangsaan Polandia, berinisiatif medesain surat kabar. Latar belakang keilmuan arsitekturnya mempengaruhi proses kreatif yang dijalani, termasuk saat Utko terinspirasi dari menonton pertunjukan sirkus Cirque du Soleil.

Sebentar. Sirkus? Tentunya bukan lantas elemen-elemen sirkus dimasukkan ke surat kabar, melainkan determinasi perusahaan hiburan asal Kanada tersebutlah yang menginspirasi Utko. Olehnya, keteguhan Cirque du Soleil dalam mentransformasi pertunjukan sirkus menjadi performance art ditafsirkan sebagai arahan untuk mengubah wajah surat kabar saat kepungan perangkat kekinian melanda. Utko dengan yakin (bahkan menyebut dirinya egois) mengaplikasikan struktur-skema-navigasi dari keilmuan arsitektur yang disebutnya ‘The Architecture of The Page‘ saat meredesain surat kabar.

Hasil penafsiran dan aplikasi lintas makna dan keilmuan tersebut, sebagaimana yang disampaikan Utko dalam TED Talks (sesi 2009), practically adalah peningkatan penjualan surat kabar di Rusia dan Polandia sampai dengan 35% dalam rentang waktu 3 tahun. Ternyata, bukan sekadar mengejar hasil yang kalkulatif, Utko melalui upayanya pun bicara soal alur kerja yang bertanggung jawab.

Sampai di sini, dengan berkaca pada inisiatif dan upaya pencapaian seorang Jacek Utko, maka pertanyaan berikut pun muncul: kita yang membesarkan desain grafis atau desain grafis yang membesarkan kita?

Kasus Utko adalah contoh bagaimana desain grafis diperkaya dengan pengalaman yang kemudian dimaknai dengan lintas keilmuan. Bayangkan bila Utko hanya mengandalkan pengalamannya yang emosional itu saja: mengagumi Cirque du Soleil hanyalah baper yang miskin tafsiran dan manifestasi. Sementara, bila Utko ketat pada sekat-sekat keilmuan—yakni belajar arsitek yang identik dengan bikin gedung—nyambung gak ya dengan mendesain halaman-halaman surat kabar?

Sepertinya kasus Utko di atas mirip-mirip perdebatan antara praktisi dan akademisi ya?

Nah, kalau bicara perdebatan, selain kubu-kubu praktisi akademisi tadi, ada nih kubu-kubu ‘klasik’ di desain grafis yang lebih santer, yaitu dan siapa lagi kalau bukan kubu klien dan desainer. Perseteruan keduanya sering jadi bahan di media sosial. Bagi yang berdedikasi dengan profesi desain sepertinya pernah like status atau meme berikut: “Desain grafis, bukan desain gratis!”

Lebih jauh lagi, ketidakpuasan atas bagaimana profesi desain diperlakukan pun menumbuhkan perasaan senasib sepenanggungan yang ditindaklanjuti dengan gerakan membentuk organisasi. Dengan visi-misi demi sertifikasi, pengakuan atas profesi dan standarisasi adalah tujuan perjuangan organisasi, dengan sarananya ya ‘dunia’ desain grafis tadi. Hmm.. Terbalik gak ya? Bukankah seharusnya organisasi untuk sertifikasi itu yang jadi sarana untuk membesarkan desain grafis, bukan sebaliknya?

Mungkin, kalau sempat baca-baca buku Universal Principles of Design, salah satu prinsip Gestalt, yaitu figure-ground bisa dipakai untuk menjawab pertanyaan soal sarana-tujuan di atas. Mungkin bagi yang cukup umur sehingga cukup pengalaman, baca-baca soal figure-ground jadi bisa dimaknai sebagai berikut: namanya kerja, ya kerjain aja. Itu figure-nya (baca: yang dikedepankan), misal kerjaannya di desain grafis, isunya adalah klien minta revisi melulu. Nah, tapi giliran disuruh bayar malah lama, tenggat yang gak kira-kira, dan lain sebagainya. Itu ground-nya (baca: latar).

Well, apa pun pekerjaannya, pasti ada risikonya bukan? Kalau harus tahu dan paham keilmuan terkait bidang yang kita kerjakan, itu risiko atau kewajiban, ya? Sementara, buat yang desain grafis, kalau terus-terusan saling nyalahin antar kubu, memang gak capek ya? Terus, kapan dong kita ada waktu untuk mempelajari keilmuan desain grafis itu sendiri?

Jadi, balik ke soal apresiasi profesi desain grafis, sebelum minta diapresiasi, apa kita sudah apresiatif pada sejarah desain grafis yang aspek praktisnya kita pakai untuk menghidupi kita sekarang ini? Saat mendesain, apakah kita sudah tahu prinsip desain ada apa saja sehingga ngedesain gak sebatas pakai naluri? Ya gak bermaksud untuk bilang yang pakai naluri itu salah loh. Cuma info kalau selain yang naluriah, ada juga yang ‘ilmiah’. Lantas, dari mana bisa tahunya? Yup. Dari baca. Jadi, yuk cari tahu bersama. Biar tambah mantep jalanin profesi di desain grafis ini—dan sempetin juga balas budi sama keilmuan desain grafis 🙂

(***)

Quoted

“Seorang desainer harus memiliki keberpihakan pada konteks membangun manusia Indonesia. Peka, tanggap, berwawasan, komunikatif adalah modal menjadikan desainnya sebagai alat perubahan”

Arif 'Ayib' Budiman