Desain Grafis Sebagai Mindset

Waktu melaju berlalu begitu cepatnya, sudah lebih dari 20 tahun sejak saya pertama mengenal desain grafis sebagai hobi lalu profesi lalu mindset (pola pikir). Kok mindset? Sebentar, saya akan jelasin nanti tentang mindset ini. Saat saya tengok sekumpulan folder di server kantor, sudah lebih dari 8500 creative artwork yang telah dihasilkan selama kurun waktu 10 tahun (1999-2010). Sebuah perjalanan panjang yang tak terasa lelahnya karena saya dan teman-teman di Petakumpet memulainya dari sebuah hobi.

 

Desain Grafis Sebagai Hobi

Sejak kelas 4 SD (Sekolah Dasar) saya telah membantu membuatkan ayah saya klise film sablon yang bergambar desain lambang SD untuk kebutuhan badge murid-murid se-kecamatan. Menggunakan pena yang dicelup tinta cina dan digambar dengan ekstra hati-hati di atas kertas kalkir bertumpuk-tumpuk (tergantung berapa jenis warnanya). Sebuah kebanggaan tak terkira saat saya melihat teman satu sekolah memakai badge yang saya bikin klise filmnya. “Kuwi aku lho sing gambar” (itu saya lho yang gambar), sering kali tanpa sadar saya menggumam sambil tersenyum senang. Saat itu saya tak berfikir berapa keuntungan ayah saya atas sablon yang ribuan itu, hadiah satu piring nasi goreng pun tak habis saya makan. Saya senang, itu sudah melampaui bayaran apapun yang saya bisa terima dari pekerjaan itu. Kesenangan menggambar dan merancang sesuatu, jadilah itu hobi sejak kanak-kanak saya.

 

Desain Grafis Sebagai Profesi

Sebagai profesi, desain grafis telah menjadi bagian dari hidup saya sejak awal bersama teman-teman membuat sebuah komunitas bernama Petakumpet, 1995. Jadi Petakumpet itu awalnya memang menggeluti desain grafis, sementara dunia advertising dengan segala kompleksitasnya barulah diakrabi beberapa tahun belakangan. Dari sekedar hobi yang gak pake mikir ruwet-ruwet alias fun belaka, desain grafis sebagai profesi menghadirkan tantangan tersendiri: tak sekedar bagaimana mendesain, membuat lay out, memilih tipografi yang tepat, tapi juga bagaimana memahami klien, mengorganisir tim, menggauli mesin cetak, memelototi teknik finishing atau memilih kertas yang paling pas.

Uang pun mulai ambil perannya, ketika desain grafis secara sadar telah dipilih menjadi profesi. Sebutan desainer grafis alias graphic designer di kartu nama adalah kebanggaan saat itu, meskipun buat orang awam seringkali menimbulkan pertanyaan susulan: masnya ini kerjaannya bikin apa to? Eh, desainer grafis itu emang pekerjaan to?

 

Desain Grafis Sebagai Mindset

Lalu terbukalah gerbang internet di penghujung abad 20 dan mulailah terjadi pergeseran-pergeseran hampir dalam setiap segi kehidupan kita. Apa yang kemarin hanya berupa khayalan dan impian kini menjelma kenyataan. Kita tak harus tersandera pesawat telepon dan kabelnya, kita tak harus menunggui PC dan CPU berkabel di atas meja, kita tak perlu duduk tertib di depan televisi untuk menikmati siaran langsung sepak bola dunia, itu semua kadaluarsa!

Lihatlah betapa ajaibnya hidup kita hari ini: semua yang diam di satu tempat di masa itu sekarang bisa berjalan-jalan mengikuti kemana kaki kita melangkah. Kita memasuki jaman mobile (bisnis, teknologi, komunikasi, kreativitas), dengan sikap mental yang tergagap-gagap.

Dulu saat kuliah masih semester 1, jelas betul dosen saya cerita mengenai perbedaan desain grafis dan desain komunikasi visual (deskomvis): bahwa desain grafis selalu berhubungan dengan graphic alias grafika alias cetak. Untuk melengkapinya bahkan saya pun belajar kuliah Metode Reproduksi Grafika. Saat itu profesi desainer grafis identik dengan bikin desain di depan komputer lalu bergelut dengan proses produksi di percetakan. Harus paham di luar kepala yang namanya CMYK, DPI, LPI, pass cross, hot print, emboss dan semacamnya.

 

Saatnya Melampaui Medium Konvensional

Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya, gelombang pasang internet telah menyapu banyak hal dalam kehidupan kita, melipat waktu dan ruang, dunia pun menjadi datar (flat). Bidang desain grafis pun tak luput dari akibat serbuan itu.

Pertanyaannya: masih relevankah jika hari ini (pukul 20.04, 9 Maret 2010) kata desain disandingkan dengan grafis dan dimaknai sebagai satu pengertian? Ini pertanyaan reflektif yang berbahaya karena jawaban atasnya bisa mengguncang masa depan desain grafis Indonesia, juga sejarah hidup saya sendiri yang bergelut dengan desain grafis sejak kanak-kanak.

Tapi sebagai bahan diskusi kita semua, baiklah saya sampaikan makna pergeseran itu (sekali lagi menurut saya): para stake holder industri desain grafis (desainer grafis, pengusaha, akademisi, mahasiswa, asosiasi terkait) harus mulai berfikir serius tentang kemungkinan desain grafis untuk melampaui medium-nya (beyond graphic), jenis bidang keilmuannya atau profesi awalnya. Desain grafis harus me-metamorfosa-kan dirinya menjadi sebuah mindset alias pola pikir.

Nah, sudah waktunya kita kembali ke mindset lagi!

Mindset-lah yang menentukan bagaimana kita memandang sebuah potensi, tantangan dan peluang yang dihadirkan setiap jaman sebagai sebuah proses yang harus diupayakan dengan komitmen penuh untuk mewujudkan tujuan tertentu yang kita tetapkan.

Apa yang kita pikirkan menentukan apa yang akan kita lakukan. Mindset ini tak sekedar hobi atau profesi yang bisa jadi selingan atau aksesoris semata. Mindset ini manunggal (integral) dalam diri kita dan mempengaruhi karakter, kebiasaan dan kreativitas kita. Sebuah transformasi pola pikir harus terjadi, jika kita ingin melihat sesuatu dengan sudut pandang yang benar-benar beda untuk menangkap peluang-peluang baru yang sebelumnya tak ada.

Lihatlah contoh-contoh kasusnya: wedding invitation kini makin jarang dicetak di atas kertas eksklusif karena telah menjelma online dengan website khusus atau bahkan jadi content wall di facebook dan email (grafisnya dimana?), kop surat dan stasionery set telah menjelma template email dan tak membutuhkan kertas lagi (grafisnya di mana?), surat kabar dan majalah dimana desain grafis mewarnai tiap halamannya makin berkurang oplaag-nya digeser oleh media online, iklan-iklan televisi bisa menggunakan animasi yang based on typography, hadirnya ebook reader macam Kindle atau Ipad pun tak bisa dicegah lagi akan menggantikan buku konvensional, kertas-kertas akan berkurang penggunaannya dan mesin-mesin cetak kelelahan mengejar duplikasi tak terbatas (copy, cut, paste, share) dunia online.

Mungkin saya terlalu terburu-terburu menyampaikan kemungkinan pergeseran yang revolusioner ini, hal-hal dramatis di atas bisa jadi belum akan terwujud 5-10 tahun lagi. Tapi siapapun tahu bahwa pola percepatan penyebaran informasi ini bertambah kecepatannya mengikuti deret hitung bukan deret ukur. Bahkan kolom status di Facebook yang diketik 45 detik yang lalu bisa disebut kiriman lawas alias lama. 45 detik itu sudah masuk terminology lama di abad internet sekarang, bandingkan makna kata ‘lama’ saat 5 tahun lalu. Waktu dan ruang sudah dilipat.

Jadi yang paling logis untuk mereka yang telah belajar desain grafis sejak kecil, sejak kuliah atau saat mulai jadi profesional: pemahaman terhadap knowledge-nya, portfolio karya-karyanya, jam terbang sebagai profesional harus segera dikonversikan ke dalam sebuah mindset yang baru. Tak sekedar jenis medium-nya semata.

 

Mindset Membuka Kemungkinan Baru

Dengan menjadikannya mindset, berarti kita akan menggunakan ilmu desain grafis itu secara lebih membebaskan, bukan terkungkung definisi yang kaku dan sempit.

Desain grafis akan mendapatkan peluang terbesarnya justru di abad di mana barrier atas medium benda (hard copy, offline) telah menjadi sangat minimal karena menjelma virtual dan online. Sehingga yang tertinggal adalah core competency kita: kreativitas tanpa embel-embel dan topeng, baik yang berupa medium, teknologi ataupun biaya.

Ide yang merupakan hasil olah kreativitas itulah yang akan tumbuh menjadi fondasi mindset baru bagi orang-orang yang – dulunya – bergelut di dunia desain grafis konvensional. Pemahaman atas mindset itu membuat kita bisa berprofesi apa saja untuk memaksimalkan fungsi desain grafis, tak harus desainer grafis. Kita pun bebas menjelajah medium apa saja untuk menghasilkan creative output, tak harus print on paper, offset printing, sablon, air brush dan semacamnya. Kita pun berpeluang membongkar sekat-sekat pergaulan desain grafis dengan ilmu-ilmu lainnya (kedokteran, sastra, teknik, tari, teater, pedalangan, animasi, game developer, pertanian, dll.). Proses interaksi itu akan menimbulkan gesekan, kebaruan yang memperkaya dan sinergi satu sama lain.

Saat kita bisa mulai meng-inject mindset baru ini sebagai landasan pola pikir pengembangan ide kreatif, desain grafis akan dilahirkan kembali oleh ibunya yang lama (dunia offline) menuju dunia baru yang bukan saja medium-nya online. Pola pikir kita pun seharusnya online. Selalu berada di atas (on) garis (line) pencapaian kita dalam wujud dunia kemarin, selalu mengeksplorasi wilayah baru, meninggalkan pola pikir lama yang terjajah oleh medium, leaving the comfort zone as far as we can.

Itulah mindset yang saya maksudkan: reposisi atas pengertian desain grafis menjadi sesuatu yang menginspirasi kemajuan, bukan yang terseret-seret oleh kereta jaman yang ngebut ke masa depan. Sebuah landasan berfikir kreatif yang membebaskan desain grafis dari kungkungan pemahaman lamanya, untuk membuka ruang-ruang kemungkinan yang belum pernah kita fikirkan sebelumnya.

Saya takkan keberatan untuk kembali jadi kanak-kanak dan memulai segala sesuatunya dari nol lagi, saya hanya perlu yakin dan menikmati prosesnya tanpa harus tahu akhir ceritanya.

Mata saya berbinar-binar mengakhiri tulisan ini. Betapa luar biasa jika ini yang akan terjadi pada masa depan desain grafis Indonesia!

 

Yogyakarta, 9 Maret 2010

Quoted

Some nature is better polluted by design and art

Henricus Linggawidjaja