Desain(Er) dan Ke(Ce)masan

Bung, akhir-akhir ini, di kampus yang kian disesaki percepatan-percepatan, berlangsung suatu percakapan tentang (disain) kemasan. Kadang, saya saja yang bercakap dengan saya sendiri. Menyedihkan. Jadi begini bung, saya hampir percaya bahwa yang dinamakan kemasan tidak menunjuk pada praktik seperti mewadahi, mengamankan, hingga peromosi. Saya memandang kemasan itu sendiri sebagai suatu kiasan budaya. Budaya apa, Bung? Budaya pergeseran.

 

Melinting, Merokok, hingga Memasak

Seingat saya, istilah melinting menunjuk pada suatu praktik sebelum aktivitas ngudut dikerjakan. Selembar papier, dibubuhi setakar tembakau, digulung-gulung, dipilin, disulut, dikebal-kebul. Orang-orang menamainya merokok. Namun, istilah merokok di sini tak bisa lepas dari melinting. Kini, istilah merokok mengabsenkan praktik melinting, alias langsung menyulut sebatang rokok itu sendiri. Rokok tersebut sudah siap karena ia telah dikerjakan sedemikian rupa oleh industri. Namun, melinting itu sendiri, sebagai sebuah praktik, tetap ada, terutama bagi rokok kretek maupun rokok tingwe alias ngelinting dhewe.

Lain cerita, dulu memasak identik dengan beragam kegiatan, sejak ke pasar belanja bumbu dan sayuran, mencuci sayuran, memotong sayuran, mengiris berambang bawang dlsb, menguleg, hingga memasak. Kini, seperangkat bahan bumbu tersebut sudah tersedia dalam sesachet penyedap rasa. Gara-gara itu, saya bisa mengklaim diri bahwa: “Aku bisa memasak”. Puduhul, eh, padahal, pernyataan “Aku bisa memasak” di sini berbeda dengan arti kata “memasak” pada masa sebelumnya, masa di mana belum ada sesachet penyedap rasa, lagi-lagi bikinan pabrik (industri). (Tapi, Bung, benar, saya jadi bisa memasak gara-gara budaya kemasan yang demikian. Aduh, Bung.)

Dua gambaran tadi hanya mau menyampaikan bahwa kemasan tidak sekedar kemasan. Ia tak lain kiasan suatu budaya, katakanlah budaya industri. Di sini terjadi mekanisme pelipatan dan peringkasan. Pada memasak pelipatan atau peringkasan itu menunjuk pada absennya belanja ke pasar, absennya menguleg, absennya mengiris bahan bumbu. Pada merokok yang absen yaitu aktivitas melinting. Pelipatan atau peringkasan ini juga memberi perentangan atau perluasan, misalkan usia bumbu yang lebih lama dibanding jika masih berupa bahan-bahan riil (biasanya karena disertai bahan pengawet), bahkan ia dapat diperluas hingga ke berbagai ruang/wilayah, diekspor misalkan. Goib-nya lagi, di televisi tayangan-tayangan memasak dikonstruksi sedemikian rupa sehingga hakekat memasak yang kian ringkas tetap dimaknai sebagai memasak itu sendiri, misalkan penyertaan peroperti dapur, celemek,  hingga mengendus-endus aroma matang sebuah masakan. Agar nampak goib, yang memasak dan mengendus-endus mesti memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku, misalkan pakar memasak, pesohor. Bahkan jam tayangnya pun disesuaikan dengan logika waktu masyarakat industri misalkan kalau tidak pagi hari di hari biasa (selepas anak-anak berangkat ke sekolah, atau suwami berangkat bekerja), ya hari minggu (hari untuk keluarga).

Bung, kemasan itu sendiri merupakan gambaran pergeseran masyarakat, katakanlah dari masyarakat tradisional ke masyarakat industri. Tapi, Bung, berbeda dengan mendisain menggunakan perangkat teknologi tercanggih. Di sini tak bisa dikatakan desain(er) instan jika hanya karena menggunakan teknologi tercanggih. Teknologi mesti dipahami bahwa ia dalam dirinya mengandung nilai-nilai percepatan. Penamaan desain(er) instan mesti dicari pada hal lain, misalkan seperti pada memasak tadi yaitu hilangnya proses sejak dari belanja hingga menyiapkan bumbu, atau pada rokok yaitu hilangnya proses menakar tembakau yang digantikan oleh sebatang rokok siap hisap.

 

Tentara dan Pendekar

Jadi, begitu, Bung. Saya meyakini saja bahwa kemasan tak sebatas menunjuk pada definisi mewadahi, mengamankan, atau peromosi. Kemasan tak lain suatu kiasan pergeseran masyarakat tradisional ke masyarakat industri. Dalam pergeseran tersebut ada hal-hal yang hilang. Dalam pergeseran tersebut terjadi pelipatan sekaligus perluasan dan perentangan. Tapi, ngomong-ngomong apa hubungan kemasan dengan tentara dan pendekar ya, Bung?

Begini, Bung, salah satu hal yang nyaris mengubah tatanan masyarakat yaitu perang. Perang Dunia II misalkan, di sana terjadi pergantian (mungkin pemaksaan) ideologi masyarakat, katakanlah dari sosialis dan juga komunis ke demokrasi. Ah, terlalu jauh penjelasannya. Begini, si tentara tadi pergi ke medan laga membawa seperangkat ransum yang sudah disiapkan. Penyiapan ini digunakan untuk bertahan hidup. Penyiapan ini dikerjakan oleh industri. Maka tak aneh jika makanan kemasan kaleng ada karena kebutuhan perang. Nah, si tentara tadi tak perlu bantuan orang lain. Ia dapat mengatasi persoalannya sendiri, minimal sesama tentara yang beransum sama (berbagi kode yang sama).

Beda halnya dengan si pendekar. Saya jadi teringat komik-komik lawas. Di situ si pendekar digambarkan keluar masuk kampung dan meminta nasi ke rumah-rumah warga. Nah, jika si tentara tadi gambaran struktur masyarakat individu, si pendekar tadi gambaran masyarakat, katakanlah, sosialis. Sayangnya, kapitalisme sebagai salah satu mesin penggerak industrialisasi mendukung mutlak paham-paham individualis(me) (menghargai hak pribadi, terutama pengetahuan dan hak cipta, misalkan, atau liberalisme). Nah, si pendekar justru membutuhkan orang lain agar ia dapat bertahan hidup, saling memberi.

Nah, Bung, jika demikian kemasan tak sebatas menunjuk pada pergeseran budaya tradisional ke industri, namun pergeseran atau justru pertentangan paham individualisme dan sosialisme. (Siyal, hal ini pun sudah usang bukan?) Namun, dapat dipelajari bahwa demokrasi pun mengandung persoalan manakala ia merupakan baju luar neoliberalisme (sebagai pakaian dalamnya).

Bung, mari berbagi makanan, saya isinya, situ bungkusnya. Konon, si bungkus masih bisa didaur ulang. Persis di sini pengetahuan jadi wacana praktik kemasan. Jadi, dapat bungkusnya juga tak apa kan, Bung? Sama-sama berguna alias pergeseran tak selalu menunjuk pada si buruk rupa. Orang-orang menamainya sebagai: industri kreatif dan budaya. Halah, halah, salam.

(Koskow, April 2012)

Quoted

Ketika dari mata tak turun ke hati, desain pun gagal total

Bambang Widodo