Jalan Samurai Senja

Ilustrasi: Duel Samurai Seibei (diperankan Hiroyuki Sanada) dalam film The Twilight Samurai (Yoji Yamada, 2002). Sumber: http://www.filmblerg.com/.

Tasogare Seibei* atau lebih dikenal dengan Samurai Senja lahir di periode Edo dan bekerja sebagai samurai level bawah—enggan maju di kancah perang maupun membela kaisar. Periode Edo adalah Zaman Edan, seperti ketika Bapak Pembangunan Soeharto membangun irigasi dan pencakar langit, sekaligus perlahan tapi pasti melumpuhkan jiwa dan rasa untuk berani mengacungkan jari, memilih berkata tidak, ataupun menulis ungkapan hati merdeka dengan ancaman penembak misterius. Samurai Seibei di periode Edo sehari-hari mengumpulkan ranting-ranting kayu untuk dijual ketika samurai lainnya membelai geisha dengan kucuran tuak di saat sang istri setia menunggu pulang hingga larut malam.

Samurai Seibei seorang duda. Setiap pagi ia mempersiapkan sendiri bekal nasi hangat, ikan asap, dan acar Jepang sembari berdiskusi ajaran bijak Konfusius dengan anak gadisnya. Suatu hal yang tabu di masa itu, ketika perempuan masa itu diharuskan fokus mengabdi setia pada suami dan mematikan rasa berpikir, berpendapat, apalagi berkreasinya.

Alkisah, Samurai Seibei bertemu dengan sahabat masa kecil, Tomoe, yang baru bercerai dari Kapten Koda, kapten ahli katana alias jago pedang yang telah melegenda. Mabuk di tengah malam, Kapten Koda gusar mencari Tomoe untuk sasaran tamparan. Tomoe pun histeris mencari pertolongan. Duel di tengah malam antara Seibei dan Kapten Koda nyaris menjadi kenyataan. Samurai Seibei menolak duel di saat perut Sang Kapten masih penuh tuak.

Pagi hari ditentukan, Kapten Koda sudah menunggu Seibei di tepi sungai dekat benteng istana. Semalaman Sang Kapten sudah mengasah katana hingga cemerlang, hingga dapat dipakai bercermin. Duel! Amarah Kapten Koda pun makin memuncak, ketika menyadari katananya yang terhormat hanya beradu dengan pedang bambu. Samurai Seibei ternyata sekadar kelas bambu.

 
***
 

Gambar opini di majalah TEMPO oleh Priyanto Sunarto (1986)

Gambar opini di majalah TEMPO oleh Priyanto Sunarto (1986)

Guru Priyanto Sunarto adalah metafor: sekadar guru kelas bambu. Samurai Senja kelahiran Magelang ini pun terlahir di periode Edo, periode Orde Baru. Guru Priyanto memilih jalan Seibei, mengumpulkan ranting-ranting baru—mengumpulkan berita-berita baru; tidak menciptakan tetapi cerdik mengolah, mencerna, dan memanfaatkan komunikasi sosial media sebagai pendekatan visual untuk menyampaikan gagasan dan pesan. Guru Priyanto enggan terjun dalam komersialisasi; tanpa beban, mengalir saja. Guru Priyanto sampai lupa dan absen mengasah katana hingga berkarat. Lupa akan kosakata “duel” dan memilih pedang bambu. “Tak ada katana, bambu pun jadi.”

Pelajaran yang diperkenalkan Guru Priyanto bukanlah berdiskusi: berapa kolom grid yang terbaik untuk sebuah sistem tata letak kolateral perusahaan global atau manakah yang lebih berhasil: presentasi klien dengan dua ide alternatif desain atau banyak alternatif? Atau jangan lupa sertakan audit sebelum presentasi ide visual. Mas Pri tidak fokus berbicara taktikal dan solusi akhir. Mas Pri lebih suka melempar pertanyaan untuk kita terdiam, berproses sejenak, dan mengunyah sebelum terburu menelan.

Jalan Mas Pri bukanlah jalan samurai “menjual diri”, jalan pintas mengumpulkan pundi sebagai pengawal pribadi tuan tanah alias preman bahkan pelindung Kaisar. Jalan Mas Pri adalah jalan di tengah kegelapan di pegunungan. Memilih ranting-ranting yang masih bisa terpakai. Jalan Samurai Senja. Jalan yang diperkenalkan untuk anak-anak didiknya. Jalan untuk menemukan jawaban sendiri. Pengarah kreatif yang awet dan handal tidak fokus menyibukkan dirinya dengan ide brilian dan eksekusi hingga profit. Ketiga hal tersebut klasik dan wajib di dunia kreatif, semua telah melakukan standar yang sama. Yang membedakan adalah fokus hidupnya yang lebih memilih dan memastikan cukup persediaan minyak spiritual, semangat persisten untuk menghidupkan dan menggerakkan “storytelling, poem, and content” sebagai roda kreativitas sampai tujuan.

 

Pri S - Untuk Stopper 1986

Pri S Dilarang Mogok 1991

 

Mas Pri telah membuka jalan bagi anak-anak didiknya untuk memilih kesederhanaan lebih dari sekedar dari eksekutor dan kontributor, tetapi generator. Seperti senja, kebahagiaan dan kesedihan ada di saat detik-detik akhir melihat sinar lembayung perlahan menghilang. Kebahagiaan akan puncak ekspresi cahaya dengan warna yang paling kontras dan emosional, penuh inspirasi. Kesedihan bahwa segala keindahan yang baru saja dinikmati perlahan tenggelam. Janganlah bersedih. Samurai Senja memang harus pergi meninggalkan cakrawala, membuka jalan satu-satunya untuk kehadiran ufuk pagi. Jalan gurumu adalah jalan Samurai Senja berkelas bambu.

 
***
 

Duel legendaris antara Seibei dan Koda pun tak terelakkan. Dalam dua kali hentakan, Kapten Koda terjerembab, tersungkur oleh pedang bambu! Berita duel menyebar tersiar ke seluruh penjuru. Terdengar riuh dan menggelitik, ahli pedang legendaris dikalahkan samurai senja berkelas bambu. Rahasia pun terbuka, kabar dari mulut ke mulut mengungkap: Samurai Seibei di masa lalu pernah berguru dari “yang telah lama hilang, raib diburu pasukan Kaisar”.

Akhir cerita, Samurai Seibei hidup bersama Tomoe selama beberapa tahun, hingga terdengar kabar menghilang di medan perang saudara, tak kembali. Banyak sahabat Seibei mengatakan betapa sial, tidak beruntung nasib Seibei. Hidup bahagia sesaat saja. Berbeda dengan kesaksian anak gadisnya, “Walaupun singkat, Seibei begitu bahagia dapat berkumpul bersama keluarga, membesarkan putrinya, dan bertemu Tomoe yang ditolong dan dicintainya.”

 
***
 

Mas Pri tidak (mau) memiliki ataupun menggunakan katana. Ia cukup memakai dan menancapkan pedang bambu di tanah. Kelak hutan bambu tumbuh, menjulang, rindang, dan sangat kuat. Berguna bagi sesama. Membahagiakan dan membanggakan keluarga.

“Aku telah mengakhiri pertandingan dengan baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman.” (2 Timotius 4:7)

 

New York, NY
21 Juni 2016

Muridmu,
Henricus Kusbiantoro
Pengarah Kreatif
FutureBrand North America, New York

 

Terakhir kali bersama Pak Pri. Sekeloa, Bandung. 2012. (ki-ka: Priyanto Sunarto, Henricus Kusbiantoro). Dok.: Henricus Kusbiantoro.

Terakhir kali bersama Pak Pri. Sekeloa, Bandung. 2012. (ki-ka: Priyanto Sunarto, Henricus Kusbiantoro). Dok.: Henricus Kusbiantoro.

 


 

*diceritakan kembali dari Pustaka “Pedang Bambu” oleh Shuhei Fujisawa

Quoted

Limitations and distractions are hidden blessings

Nigel Sielegar