Deja vu adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan dan ingatan saya saat melihat buku Kunst: “Anleitung zum Ausbrechen” karya Thomas Lupo. Sungguh, saya tidak langsung mampu mengingat kapan dan bagaimana pengalaman dalam buku itu terjadi secara rinci. Namun jelas ada sensasi misterius yang membuat kita tidak merasa asing. Langsung merasa akrab. Ada teori mengatakan bahwa deja vu berasal dari kejadian serupa yang pernah dialami oleh jiwa kita dalam salah satu kehidupan reinkarnasi sebelumnya di masa lampau. Jelas toeri itu saya tolak karena kolase peristiwanya pernah bahkan sedang saya alami. Apa yang dikerjakan Thomas Lupo, tak jauh berbeda dengan yang sudah, sedang, dan akan dikerjakan oleh teman-teman di Indonesia. Coba saja kita simak kisahnya saat musim panas tahun 2009 yang setelah menikah sengaja memboyong istrinya ke daerah kumuh Bukit Burung Beo Morro do Papagaio di Belo Horizonte – Minas Gerais, Brasil. Selama 6 bulan mereka melanjutkan bulan madunya di sebuah kamar sederhana dengan kamar mandi di sebelah kamar, ada mesin cuci, tapi tidak ada kulkas.
Ide petualangannya ini pastilah berawal dari cita-cita agung para pendekar desain grafis yaitu melakukan sesuatu yang bermakna bagi dunia. Mirip yang dinyatakan mantan ketua Asosiasi Desain Grafis Indonesia (ADGI) Ayip Budiman, bahwa seorang desainer harus memiliki keberpihakan pada konteks membangun manusia Indonesia. Peka, tanggap, berwawasan, komunikatif adalah modal menjadikan desainnya sebagai alat perubahan. Mengapa saya mengutip pernyataan “orang” Desain Komunikasi Visual (DKV) yang akrab dipanggil kang Ayip? Karena Thomas Lupo juga se”orang” seniman grafis plus desainer yang bekerja sebagai art director di sebuah biro iklan besar Jung Von Matt AG di Jerman. Sepantasnyalah jika rumus yang diterapkan juga rumus desain grafis.
Terkisahlah Thomas Lupo yang mencoba mewujudkan cita-cita agung tersebut berbekal ransel berisi pakaian, kardus, kertas tisu, busa, kain, pin, tinta, kapur, lem, kamera, DVD dan bahan kimia untuk mencuci foto. Awalnya Lupo meragukan keberhasilan proyeknya. Bayangkan, seorang desainer grafis “dunia pertama” tinggal disebuah perkampungan kumuh “dunia ke-tiga” dengan tingkat kriminal yang tinggi. Di mana saat malam tiba terdengar suara-suara aneh. Suara musik yang keras, anjing menyalak, anak-anak berlompatan, juga sesekali terdengar suara tembakan. Masuk akal jika Lupo dan istrinya hanya berani keluar siang hari saja. Tapi tekad sudah bulat. Maka untuk mempelajari situasi, Lupo bekerja sebagai petugas kebersihan di sebuah pembibitan di Favela hingga terbiasa dengan suasana tersebut malah bisa bergaul dengan anak-anak sekitar hingga punya teman penerjemah berumur 14 tahun bernama Rebecca.
Rebecca berasal dari keluarga kurang harmonis. Sang ayah meninggalkan ibu, adik dan kakeknya di sebuah gubuk dengan dua tempat tidur. Nyatanya di daerah Bukit Burung Beo banyak anak yang tumbuh dengan hanya memiliki orang tua tunggal, biasanya ibu. Kenyataan ini membuatnya agak risih. Ia sadar harus membuat jarak namun pada beberapa kasus ia mesti berperan sebagai pengganti ayah. Namun persoalan yang dibahas bukan detail tentang kehidupan mereka tapi bagaimana cara bermain yang kreatif menggunakan bahan yang ada. Dari limbah karton mereka bisa membangun rumah, radio dan mobil. Dari dus rokok mereka bisa membuat kamera lubang jarum (pinhole camera). Dengan gelatin dan air mereka menempel stiker di tiang listrik dan dinding kosong di lorong-lorong Bukit Burung Beo. Begitu menariknya proyek kreatif tersebut hinga Thomas Lupo semakin dekat dengan anak-anak dan punya panggilan akrab Tom. 80 anak berpartisipasi. Bahkan saking bersemangatnya, sejak pagi sebelum acara dimulai banyak anak sudah menunggu di depan pondokan Tom.
Proyek kreatifnya jadi semacam sekolah khusus di mana anak-anak belajar dasar-dasar kreativitas sekaligus jadi ‘penglipur lara’ di dunia kerasnya Favela: “Saya percaya pada kekuatan kreativitas dan seni yang ada dalam diri manusia” jelas Tom. Maka dengan keyakinan tersebut anak-anak muda Favela bisa menemukan potensi mereka, bisa menumbuhkan rasa toleransi dan percaya diri yang kuat. Sesungguhnyalah proyek yang diusulkan Tom sangat tepat karena pada dasarnya manusia butuh merefleksikan kegundahan hatinya, keyakinanya, bahkan secara tidak langsung hasil karyanya tersebut akan merupakan catatan sejarah. Seperti gambar-gambar purba di dalam goa purba yang mengandung unsur ritual yang pada akhirnya menjadi sebuah ‘upaya dokumentasi sebagai salah satu cara menyampaikan kisah yang pernah terjadi pada suatu waktu’. Inilah yang merupakan dasar ter”tulis”nya sejarah. Begitu juga proyek kreativitas Tom akhirnya menjadi catatan sejarah tentang mimpi anak-anak Favela yang dimulai dari kegundahan.
Pelatihan yang diikuti anak laki-laki dan perempuan berumur 8 hingga 16 tahun ini awalnya hanya melukis, bereksperimen dengan warna dan bentuk. Selanjutnya Tom mengarahkan keingintahuan mereka melalui sebuah tema yang cerdik, Monster. Monster adalah makhluk imajiner yang biasanya memiliki bagian tubuh manusia dan berbagai jenis hewan. Untuk mewujudkannya tentu dibutuhkan Imajinasi. Imajinasi adalah sebuah kerja akal dalam mengembangkan suatu pemikiran yang lebih luas dari apa yang pernah dilihat, didengar, dan dirasakan. Dengan imajinasi, manusia mengembangkan sesuatu dari kesederhanaan menjadi lebih bernilai dalam pikiran. Maka anak-anak dari Papagaio pun benar-benar menjadi monster. Salah satu contohnya adalah monster kainnya Pauliana, seorang gadis yang telah mahir menjahit karena belajar dari ibunya, maka mudah baginya untuk membuat boneka monster. Bagi Pauliana monster kecil tersebut lebih dari sekedar boneka tak bernyawa.
Contoh lainnya adalah Pedro salah satu “seniman muda” yang sangat suka bermain kamera LUPOS (sebutan kamera lubang jarum buatan Lupo). Kebetulan selama 12 tahun ini penulis bergelut di dunia lubang jarum. Jadi penulis kira kamera lubang jarum (KLJ) memang sangat cocok dijadikan alat pengundang kreativitas. KLJ adalah kamera analog paling awal sebelum ditemukannya kamera berlensa. Alatnya bisa terbuat dari bahan apa saja. Mulai dari kotak korek api, kaleng, hingga kamar tidur. Penerima bayangan gambar pun sangat beragam. Mulai dari Kertas film, negatif dan positif film, film ortho, hingga data digital. Namun sebelum bisa memotret kita harus membuat dulu kameranya, setelah memotret harus mencuci filmnya, dan untuk menghasilkan sebuah cetakan foto kita harus memrosesnya di kamar gelap. Hanya rasa penasaran dan keingintahuan yang besar yang mampu mendorong pengguna KLJ untuk mencoba dan mencoba kembali karena setiap jepretan sering menghasilkan karya ‘unpredictable‘ yang selalu menyisakan pertanyaan.
Cocok sekali jika Tom menyodorkan KLJ untuk pelatihan kreatifnya karena yang ditawarkan KLJ adalah seni proses. Memahami KLJ, terlebih lagi mendalaminya, berarti juga mengenali dasar-dasar ilmu fisika, ilmu kimia, ilmu cahaya, proses terciptanya gambar dan bahkan KLJ pun melatih diri untuk taat kaidah. Namun semua itu berjalan dengan tanpa disadari dan menyenangkan karena dilakukan dengan cara bermain. Lalu munculah teori bahwa esensi fotografi tidak terletak pada alat apa yang digunakan untuk melakukan kegiatan pendokumentasian, melainkan inovasi apa bisa dilakukan untuk menghasilkan “karya terbaik”. Apalagi proyek foto ini jadi lebih menarik karena dikolaborasikan dengan street art. Lorong-lorong gang di Favela merupakan kanvas terbuka yang siap ditempeli gelatin untuk menempel stiker yang dikombinasikan dengan coretan kuas para seniman muda. Limbah dus atau kain pun jadi sangat berguna bahkan jadi sangat bernilai. Proyek desainer grafis Thomas Lupo akhirnya mampu merefleksikan kondisi sosial ke lingkungan asalnya.
Tidak heran jika proyek kreatif daerah kumuh dipinggiran Belo Horizonte didokumentasikan dan dibukukan dengan kesadaran fotografi dan grafis yang tinggi serta dibarengi pernyataan “Ingin membantu anak-anak dengan mendatangkan guru sukarela untuk menemukan kreativitas mereka dan juga membantu secara finansial”, jadi sangat menarik dan mendapat perhatian luas. Pantas jika buku setebal 248 halaman dengan lebih dari 1000 ilustrasi berwarna ini jadi Best Seller dan mendapatkan Award Photo Book Jerman 2012. Proyek “kreativitas dapat mengubah dunia” telah secara otomatis mengubah pula pandangan Lupo tentang dunia bahkan mampu memperluas cakrawala orang-orang kreatif di “dunia pertama”. Berdasarkan pengalaman ini pula Lupo akhirnya mendirikan Arthelps yang melibatkan orang-orang kreatif yang ingin membantu orang yang membutuhkan dengan seni – maupun finansial.
Kisah perjuangan Thomas Lupo inilah yang menimbulkan sensasi misterius yang membuat kita tidak merasa asing. Langsung merasa akrab karena proyek yang dikerjakan Lupo mirip dengan yang telah dilakukan teman-teman di Indonesia. Sebagai misal pameran dan pembuatan buku “Bangun dan Gembira” di pendapa kacamatan imogiri tanggal 21 hingga 25 januari 2007 merupakan hasil dari pendampingan rekan-rekan kelompok mes 56 Jogjakarta di kawasan kurban gempa sekitar imogiri, plered dan piyungan bantul. Pameran Foto 5 tahun Lumpur Lapindo “Memori dari Bawah Tanah” di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Jakarta tanggal 4 hingga 7 Januari 2011 yang merupakan hasil dari pendampingan rekan-rekan Lafadl Initiatives Jogjakarta terhadap korban kasus semburan lumpur Lapindo di Porong Sidoarjo. Proyek Komunitas Lubang Jarum Indonesia (KLJI) Semut Ireng Bali yang berhasil melahirkan Komunitas Lubang Jarum Anak Tangguh yang pada bulan Juli 2010 bersama seniman Cok Sawitri meluncurkan buku Meretas Karya Anak Bangsa.
Banyak juga proyek yang sedang berlangsung seperti beberapa fotografer Kediri bekerjasama dengan teman-teman ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) dan OHIDA (Orang yang Hidup dengan Orang HIV/AIDS) membuat program pelatihan fotografi bagi ODHA sebagai media ekspresi dan aktualisasi diri. Ada juga Komunitas yang berhasil melukisi lorong-lorong lingkungannya bahkan diakui di lingkungan sendiri seperti Komunitas Atap Alis di Ciracas Jakarta. Komunitas Bautanah di Stasiun Cikini Jakarta. Bahkan ada beberapa proyek yang gagal ditengah jalan saat melakukan pelatihan fotografi bagi PSK (Pekerja Seks Komersial) di tempat rehabilitasi yang diberhentikan oleh petugas rehabilitasi karena dianggap provokatif. Ada pula yang gagal karena PSK nya banyak yang pindah. Dan banyak lagi persoalan lainnya.
Yang menjadi pertanyaan penulis adalah mengapa proyek-proyek di Indonesia jarang yang bisa go internasional?
Menurut Konsultan dan Dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa ISI Jogja, Sumbo Tinarbuko, “Kalau kita jangankan go internasional, go indonesia saja belum” Maka secara bertahap kini Sumbo sedang memasyarakatkan dekave dan mendekavekan masyarakat lewat jalan masuk dari desa ke desa, dari komunitas ke komunitas untuk mengindonesiakan usaha mereka lewat ekonomi kerakyatan berbasis industri kreatif. Lain halnya usaha pak Hanny Kardinata dari Desain Grafis Indonesia (DGI): “Saya sedang mempersiapkan buku mengenai desain grafis Indonesia, materinya di DGI sudah banyak sekali. Mungkin kalau sudah saya rangkai akan kelihatan bagaimana sesungguhnya peran kita, nasional dan internasional.”
Semoga…
Ray Bachtiar Dradjat
Komunitas Lubang Jarum Indonesia
Sekolah membuat desainer menjadi pintar, bekerja membuat desainer menjadi paham, pengalaman panjang membuat desainer menjadi arif