Hanya butuh beberapa menit sejak diluncurkan pada 12 Mei 2016, tampilan baru Instagram langsung seru dibicarakan. Ada yang suka karena sudah bosan dengan yang lama, ada yang biasa saja, daan tidak sedikit yang kecewa. Wajar. Namanya juga perubahan, pasti selalu makan “korban”.
Dalam I am Marketeers (Gramedia, 2015) disebutkan bahwa ada tiga elemen utama dalam The Anatomy of New Wave Culture yang akan mendorong pemasaran era ini: perempuan, generasi muda, dan internet. Jika ketiganya dioptimalkan dalam perancangan strategi pemasaran, maka bisa dipastikan dalam jangka pendek akan mendatangkan keuntungan finansial. Sementara dalam jangka panjang, dapat menjalin loyalitas pelanggan.
Potensi strategis semacam itu tentu tidak ingin diabaikan oleh banyak brand, termasuk Instagram. Aplikasi berbasis fotografi itu meresponnya secara kasat mata (tangible) lewat perancangan ulang logo serta tampilan antarmukanya. Sementara, secara intangible (tak kasat mata), Instagram meresponnya lewat nilai-nilai baru yang mereka yakini telah bergeser dibanding saat pertama kali mereka muncul dengan identitas kamera “yang apa adanya”.
https://www.facebook.com/InstagramBahasaIndonesia/videos/1362355050446402/
Digital Native
Penulis mencatat ada dua generasi pasar digital yang biasa dijadikan target branding. Pertama adalah generasi Digital Immigrant, yakni generasi yang mengalami transisi antara masa belum ada internet dengan era ketika internet lahir lalu berkembang seperti sekarang. Tipe generasi ini lebih riwil. Namun, jika sudah ‘klik’, akan lebih loyal. Umumnya, generasi ini tidak mudah melepas uang jika produk belum di tangan. Transaksi belanja online-nya biasanya maunya COD-an (cash on delivery) atau transfer belakangan.
Generasi kedua adalah Digital Native, yakni warga pribumi dunia digital. Saat generasi ini lahir, internet sudah mudah dan murah. Generasi pribumi digital tidak mengalami masa-masa untuk bisa terhubung internet, harus nunggu koneksi via saluran telepon sambil ngopi, bikin mi instan, bahkan ditinggal mandi. Biasanya, dengan segala kemudahan internet era sekarang, generasi pribumi lebih enteng melepas uangnya. Mereka terbiasa transaksi coba sini, coba sana. Generasi ini lebih ‘cool‘, tapi diam-diam langsung ‘ngacir’ kalau tidak klik. Tidak banyak omong, langsung nyelonong.
Tentu saja, Instagram lebih mengincar pasar generasi kedua. Kalaupun dapat limpahan dari para imigran digital, itu bonus. Karena itu, wajar jika Instagram lebih memilih segera berubah “kekinian” sebelum ditinggal warga pribumi yang jauh lebih menjanjikan untuk pasar bisnisnya di masa depan.
Flat Design
Facebook merupakan salah satu brand yang menghadirkan disiplin desain datar (flat design) dalam produknya. Sejak awal dikenalkan, tampilan Facebook sederhana, datar-datar saja. Tidak tampak mencolok dengan polesan filter yang ‘sok digital’. Biasa saja.
Tahun 2012, Instagram dibeli Facebook. Kisah selanjutnya, tentu saja beragam kebijakan Facebook harus diadaptasi oleh Instagram. Rancang ulang Instagram yang lebih datar—yang baru saja dikenalkan ini—mungkin saja merupakan salah satu konsekuensi menjadi “anak perusahaan”.
Tentu flat design dalam konteks ini bukan sekadar perkara suka-tidak sukanya Mark Zuckerberg selaku pemilik Facebook. Pilihan ini bisa jadi merupakan kebijakan strategis. Ketika dunia pemasaran semakin datar (flat), maka semakin sengit juga persaingan antar brand di genggaman tangan kita. Coba cek, berapa aplikasi media sosial yang terpasang di ponsel pintar kita. Ada tiga, lima, atau malah puluhan?
Juara dalam Genggaman
Mark pasti ingin memenangkan pertandingan bisnis di tangan kita. Untuk itu, segala strategi harus dipikirkan dan diuji ke warga digitalnya. Cara paling mudah adalah menciptakan ikon aplikasi baru yang ketika bersanding dengan ikon aplikasi media sosial lainnya, dia tampak menonjol. Mencuri perhatian.
Sekarang silakan lihat. Pelangi Instagram tiba-tiba menyeruak di antara kerumunan warna biru Facebook, Twitter, LinkedIn, bahkan Traveloka, atau di antara belantara merah Path, Pinterest, Google+, dan Youtube. Bila mata kita lebih dulu mengindentifikasi warna pelangi, maka strategi Mark juara!
Memang tampaknya sederhana, cuma mengganti ikon aplikasi Instagram. Tapi, ingat. Begitu ratusan juta pasang mata lebih mudah tergoda untuk melihatnya, akan lahir potensi bisnis dari sana. Awalnya cuma mudah dilihat, lalu menambah jumlah pengguna, lama-lama meningkatkan jumlah pengiklan, dan ujungnya semua yang berkaitan dengan Instagram bisa diuangkan. Online shop rumahan saja bisa jualan dengan Instagram dan memutar omset jutaan. Masa’ iya Instagram kalah cerdik dengan penggunanya? (***)
Edy SR
Brandpreneur di EDYSR.COM
Facebook/Instagram/Linkedin/Twitter: #brandpreneur
If your creativity is not your passion, there won’t be passion in your creativity.
Be passionate… and never sell yourself cheap