Belum ada rumus pasti kalau udah kuliah di jurusan Desain Komunikasi Visual bakal lulus harus jadi desainer grafis. Padahal, untuk menjadi desainer grafis yang mumpuni itu mesti memiliki sederet kompetensi yang nggak main-main; kompetensi yang menuntut A-Z, dari konseptual, teori, praktik, dan teknis! Institusi apabila mampu melahirkan 5 orang desainer grafis yang mumpuni dari satu angkatan, itu sudah merupakan prestasi tersendiri.
Sekolah desain itu “nggak mesti” jadi desainer grafis. Sekolah/kuliah itu lebih ke arah mengembangkan pola pikir, bagaimana kita bertindak dalam mengambil keputusan, namun karena mayornya desain, segala tindakan dan keputusan yang diambil lebih berat dengan pendekatan desain. Yang menjadi lebih menarik, pola pikir dengan pendekatan desain [kreatif] kini sedang menjadi primadona, sekolah-sekolah bisnis pun merasa perlu memasukkan komponen pola pikir kreatif ke kurikulum mereka, padahal komponen tersebut adalah makanan sehari-harinya mahasiswa desain.
Menjadi guru, dosen, account executive, penulis, peneliti, R&D, akuntan, dan segudang profesi lain tetap merupakan wilayah yang dapat dimasuki oleh lulusan desain—tinggal bagaimana kita mengemas diri kita untuk menawarkan yang kita miliki guna masuk ke wilayah itu. Seperti halnya seseorang yang nyaman dengan kemampuan “nembus sana-sini”, menghubungi orang semi sesuatu yang dituju. Relevansi dengan desainnya ya jualan desain [entah itu jualan desain sendiri ataupun jualan desain orang lain, siapapun] dengan kemampuan ‘marketing’ tadi. Pasti jauh lebih mudah seseorang dengan product knowledge yang baik dalam menjual produknya. Seseorang itu akan dapat menjelaskan dengan baik karena memang memiliki latar di bidang desain. Lalu apa itu bukan bekerja di industri desain juga?
Lalu nggak cuma berenti di situ, kita tinggal mencari hal apa yang paling nyaman buat kita lakukan atau kita kerjakan, dan jadikan keilmuan desain yang telah dimiliki itu sebagai nilai lebih yang kita miliki.
Seperti halnya dalam musik, bermusik itu kan nggak mesti menjadi player yang manggung tiap hari. Ada segudang profesi lain yang tetap dapat disebut “bermusik, menjadi pengajar, session player, pengisi track dalam rekaman, menjual alat musik, kolumnis musik, pembuat alat musik, reparasi alat musik, atau menjadi pengajar alat musik untuk anaknya sendiri kelak!
Dulu seorang teman ada yang “terbebani” dengan keinginan dia untuk menjadi pemusik. Hidupnya bener-bener dia dedikasikan untuk bermusik. Lalu saya pernah [sok tau] bilang ke dia, “Menjadi musisi itu nggak mesti manggung, lalu ditonton ratusan orang, diberi tepukan yang membahana, album yang laku beratus ribu kopi. Bermain sendiri alat musik yang kita kuasai dengan sepenuh hati pun sudah melakukan aktivitas bermusik. Atau bila kita menjadi orang yang berhasil di luar musik, kita bangun studio kelas satu dengan alat-alat kelas satu juga, lalu kita puaskan diri kita dengan bermain di studio itu, mengundang orang-orang untuk bermain bersama kita, itu pun sebuah aktivitas menjadi musisi.” — Tapi ya itu. Ya nggak bakal ngetop seperti yang ada terus di atas panggung. Hehehe.
Tulis terbit perdana di situs pribadi widhyatmoko.wordpress.com
Limitations and distractions are hidden blessings