Dalang pun bersiap. Saat kecil dahulu, saya sangat penasaran dengan bentuk cempolo dan keprak/kecrek. Cempolo adalah kayu kecil yang digenggam oleh tangan kiri dalang yang dipukulkan ke kotak wayang. Bunyi yang dihasilkan disebut dodogan. Kombinasi suara yang dihasilkan fungsinya tak jauh beda dengan arahan dirigen di satu orkestra. Dia dapat memulai iringan musik, memelankan tempo hingga menghentikan. Fungsi lainnya adalah sebagai jeda dialog antar tokoh wayang. Sedang keprak/kecrek adalah lempengan logam yang tergantung pada kotak wayang, bunyi yang dihasilkan berasal dari tendangan kaki kanan dalang. Fungsinya untuk menguatkan karakter serta suasana lakon yang sedang dimainkan.
Bayangkan multiaksi yang harus dilakukan oleh seorang dalang. Duduk bersila selama kurang lebih delapan jam, suara melantukan suluk dan tembang, berdialog sendiri menyuarakan para wayangnya, tangan memainkan wayang juga memainkan cempolo, kaki menendang keprak. Belum lagi skenario cerita yang harus disusun, terbagi dalam durasi waktu yang panjang. Sungguh, dalang adalah profesi luar biasa.
Sujiwo Tejo lewat tweet-nya pernah berkisah, zaman dahulu, seorang dalang akan hilang wibawanya bila malam saat ia pentas lalu terjadi kemalingan lantas sang dalang tidak dapat mengetahui siapa malingnya. Dalam tweet-nya juga diceritakan, pentas di satu daerah itu harus ada misi-misi-nya, permisi ke dalang setempat. Bila tidak, semalaman sepanjang pentas ada saja kejadian yang bakal terjadi, dari wayang yang tiba-tiba menjadi sangat berat hingga kantuk yang hadir luar biasa.
Seperti halnya para groupies yang kini dimiliki oleh para musisi, dalang pun memiliki penggemar garis keras. Kemanapun sang dalang pentas, para penggemar tersebut akan hadir menemani. Apalagi untuk dalang-dalang kelas satu, kadang sang dalang malah mengabsen terlebih dahulu para penggemarnya. Salah satu dalang kelas satu Indonesia itu ada yang memiliki penggemar yang tuna netra dan hidup ‘mbambung, namun entah bagaimana caranya tiap sang dalang pentas bahkan beda pulau sekali pun, si penggemar tersebut siap ‘menyaksikan’ lakon yang dibawakan sang dalang.
Pertunjukkan pun dimulai. Saya selalu memilih menonton dari arah depan, sedang simbah kakung saya selalu memilih menonton dari belakang. Saya kurang suka menonton dari arah belakang, dari balik kelir layar, lebih karena saya tidak hapal banyak tokoh-tokoh wayang yang ada. Padahal menonton wayang dari arah belakang itu menciptakan sensasi visual yang hebat. Apalagi saat dahulu itu, sebelum lampu listrik digunakan, pagelaran wayang menggunakan lampu yang disebut blencong. Lampu bersumbu yang mengarah ke kelir menggunakan bahan bakar minyak kelapa. Nyala api blencong yang bergoyang tertiup angin menimbulkan bayangan ritmis dan mistis di balik layar. Sesunguhnya seluruh komponen pertunjukkan berbalut audio visual ruah hadir dalam satu pertunjukkan wayang.
Nonton Wayang 01 | Nonton Wayang 03
Terbit perdana di situs widhyatmoko.wordpress.com pada 8 Januari 2013.
Foto: Wajang koelit te Blora – Woodbury & Page / Batavia – 1862 – KITLV
Limitations and distractions are hidden blessings