Peran Poster dalam Mengemban Tanggung Jawab Sosial

Poster-poster (Perjuangan Indonesia) tersebut bukanlah sekedar benda mati yang dipaksa hadir di tengah-tengah masyarakat. (Sedang) pada masa-masa berikutnya, ketika masa-masa perjuangan revolusi telah selesai dan digantikan dengan masa-masa pembangunan, poster propaganda lebih mirip sebagai benda yang terasing dalam perhatian masyarakat.
(AD Pirous, 2006)

 

 

Era 1945-1948 merupakan masa kemasan poster di Indonesia. Pada saat itu, poster dapat berperan secara luar biasa sebagai alat propaganda di masa perjuangan revolusi Indonesia. Poster-poster yang dihasilkan oleh seniman-seniman besar Indonesia seperti Affandi, Sudjojono, dan Srihadi berhasil memerankan dirinya bukan sebagai media ekspresi semata apalagi kepentingan komersil, namun menyatu sebagai media penyulut semangat, penyampai pesan, dan turut menjadi media perjuangan. Tidak berhenti sampai di situ, poster-poster tersebut juga turut memerankan dirinya sebagai penyampai realitas perjuangan masyarakat Indonesia ke dunia internasional, peran poster pada sat itu begitu mendalam karena dapat memfungsikan dirinya secara jelas dan tepat bagi tanggung jawab sosial.

Waktu berlalu. Poster pun semakin memperluas perannya. Di dalam perkembangannya, poster kerap digunakan sebagai media efektif propaganda bagi kepentingan penguasa. Pada era Soekarno, poster digunakan sebagai alat menyebarkan ideologi politik. Sedang di era Soeharto, poster dikemas sebagai media penyebar progam pembangunan. Salah satu yang fenomenal adalah seri poster Keluarga Berencana (KB).

Poster tak lagi menjadi media berdikari sebagai penyampai pesan, namun beralih fungsi sebagai sarana kepentingan. Tak hanya penguasa, poster turut dikuasai secara penuh oleh pemilik modal. Lalu apakah seluruh poster pada era tersebut tidak memiliki peran di dalam tanggung jawab sosial?

Tidak juga. Dengan sifatnya yang persuasif, tegas, langsung, impresif dan menarik, membuat poster menjadi pilihan tepat dalam menyebarkan informasi (misalnya) seputar kesehatan baik tubuh dan lingkungan. Poster-poster tersebut dibuat dengan menampilkan informasi positif, misalnya poster penanggulangan demam berdarah, lalu dicetak dan didistribusikan hingga pelosok agar pesan positif yang diemban tersebut dapat tersampaikan.

Bila kembali kepada arti kata, “poster” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah plakat yang dipasang di tempat umum (berupa pengumuman atau iklan). Sedang menurut Kamus Oxford adalah lembaran gambar tercetak dalam ukuran besar, pemberitahuan, atau iklan yang ditampilkan di tempat umum. Melihat dua pemahaman di atas, dan lepas dari tanggung jawab sosial yang dapat diemban oleh poster, maka sebuah poster yang baik mestilah berada di tempat umum, menyebar secara luas di area yang tepat pada sasarannya. Tidaklah mungkin sebuah poster yang baik itu hanya menjadi karya yang dipuji oleh kurator, lebih dari itu sebuah poster semestinya dapat memfungsikan dirinya sebagai media yang bersifat komunikatif, informatif dan tentunya persuasif.

Teknologi informasi yang berkembang sedemikian pesatnya, tentunya turut memberikan dampak bagi poster. Walaupun poster sendiri tidak akan kehilangan perannya dalam berkontribusi, namun kontribusi tersebut secara perlahan akan terus berkurang seiring dengan begitu cepatnya perkembangan media-media baru yang memanfaatkan internet. Teknologi informasi tersebutlah yang seyogyanya segera dikuasai untuk dimanfaatkan guna memberikan dampak yang lebih luas bagi penyebaran nilai-nilai yang dikandung oleh sebuah poster.

Seperti yang dilakukan oleh Good50x70 dengan memanfaatkan teknologi informasi, kontes tahunan tersebut mengangkat tujuh isu penting yang berkembang di dunia. Lalu dipersilakan siapapun untuk turut serta menyumbangkan ide dalam menjawab tujuh isu global tersebut, dalam bentuk poster. Oleh dewan juri dipilihlah 30 terbaik untuk masing-masing isu, kemudian dikumpulkan dalam sebuah katalog dan dipamerkan di seluruh dunia baik lewat situs maupun roadshow offline ke sekolah-sekolah dan institusi berupa sharing mengenai kegiatan serta komunikasi sosial. Selain itu Good50x70 juga mengadakan workshop bagi anak-anak sekolah sebagai satu bentuk mengawali perubahan yang nyata. Poster-poster pemenang akan diberikan kepada badan sosial yang sesuai untuk digunakan sebagai alat komunikasi yang potensial. Pada pelaksanaan kontes yang pertama, Good50x70 berhasil menjaring 1.600 poster, kedua sebanyak 2.700 poster dan ketiga sebanyak 4.210 poster yang berasal dari 163 negara di dunia. Lewat teknologi informasi, dimungkinkan sebuah pesan tersebar dengan sedemikian cepat dan luasnya.

Di dalam perkembangan media komunikasi Desain Grafis, maka terdapat perubahan pada cara dan media berkomunikasi dalam memandang dunia, yaitu dengan mengadopsi media baru. Maka mau tak mau poster pun harus bergerak memanfaatkan media baru tersebut.

Tanggung jawab sosial yang tersematkan pada sebuah poster menjadi semakin berdaya guna pada saat berhasil mengetuk langsung para targetnya dalam lingkup yang sangat luas, sanggup memberikan inspirasi yang mengena pada sasaran hingga menjadi tindakan nyata yang diimplementasikan. Karena, seperti yang dituliskan di awal, janganlah poster menjadi benda mati yang dipaksakan hadir di tengah-tengah masyarakat, menjadi terasing dengan kehadirannya.

Janganlah poster menjadi tidak sanggup menjawab persoalan yang menjadi tema utama, terlebih hanya menjadi pemuas kreativitas dari si pembuatnya saja, hanya menjadi sebuah kegiatan yang berdampuk pada kata “lomba” lalu berakhir pada ruang steril pameran ataupun galeri yang tentunya berjarak dengan sasarannya — bila hal itu yang akan terjadi, janganlah berharap lebih kepada poster untuk dapat memberikan manfaat, nilai dan perubahan bagi masyarakat.***

 


Edisi perdana tulisan ini dipublikasikan di widhyatmoko.wordpress.com. Diterbitkan ulang dengan izin penulis.

Quoted

Sekolah membuat desainer menjadi pintar, bekerja membuat desainer menjadi paham, pengalaman panjang membuat desainer menjadi arif

Danton Sihombing