Figurnya adalah inspirasi. Ia juga teladan bagi beratus murid dan sejawat. Pemikiran, karya, dan pendapatnya tak hanya berpengaruh besar bagi perkembangan desain, tapi juga bagi para persona yang beruntung pernah berbincang dengannya. ‘Pri S’, demikian ia dikenal. Priyanto Sunarto nama lengkapnya.
Saya amat menyadari rezeki dari kesempatan langka untuk berbincang dengan Pak Pri. Sebenarnya, saya sendiri tidak pernah berjumpa secara rutin. Secara resmi, saya tidak pernah terdaftar menjadi mahasiswi di kelas Pak Pri. Interaksi dengan Pak Pri yang saya ingat terjadi pada 1997. Waktu itu, ia memang pernah berkunjung ke kelas studio saya di Curtin University. Pada pertemuan kami di 2006, saya dibuat takjub oleh ingatannya yang tajam. Ia masih ingat kaus yang saya gunakan saat kami pertama kali bertemu: kaus “Institut Terkenal Banget” dari TOOG (Toko Oleh-oleh Ganesha)!
Usai presentasi di Curtin itu, saya menawarkannya makan dan berbelanja oleh-oleh. Kami ngobrol tentang desain, perbedaan sistem sekolah di Indonesia dan Australia, serta musik jazz. Katanya, selera musik saya kuno karena memasang CD Gershwin dan Jerome Kern.
Saat kuliah di IKJ, saya pun jarang berjumpa dengannya karena tidak masuk studio DKV. Kesempatan untuk berbincang dengan beliau justru lebih sering terjadi ketika saya terlibat dalam kegiatan FDGI, majalah VERSUS, dan saat bersekolah di ITB (saya suka bertandang ke meja beliau karena pasti diberi cemilan sehat). Obrolan kami selalu menarik; bisa melingkupi beragam topik dari kesehatan, musik, desain, hingga politik.
Kesempatan terakhir saya untuk berbincang dengan beliau adalah di RS Boromeus, saat ia dirawat untuk terakhir kalinya. Saat itu Pak Pri masih bersemangat untuk membicarakan makanan dan musik. Ia mengingatkan saya untuk terus menulis, berkarya, dan jangan pernah berhenti bermain (sampai sekarang saya hanya bisa menerka-nerka bagaimana beliau bisa membaca tulisan-tulisan saya sebelumnya sampai dapat memberi referensi agar saya bekerja di majalah VERSUS).
“Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya. Saya sudah capek sekarang,” tutup beliau.
Sebagai orang yang dituakan, Pak Pri sering memberi petuah kepada saya. Petuah-petuah itu begitu mengena dan terekam hingga saat ini. Ingatan saya mengenai petuah-petuah Pak Pri mungkin berbeda dari murid-murid resmi beliau. Bagi saya, beliau memberi teladan dengan sikap dan respek. Kedua hal ini selalu memotivasi dan mengingatkan setiap pikiran dan perasaan yang dijamah agar tetap rendah hati dan selalu bersemangat untuk bermain paydayloanstock.com.
“Belajar bisa dari siapa saja.”
Saat bersekolah di ITB, saya dibuat takjub karena Pak Pri ternyata adalah sosok yang amat dihormati. Saya sampai bingung karena para dosen dan mahasiswa langsung sungkem dan mencium tangannya ketika berjumpa. Sedangkan saat di IKJ, mahasiswa cukup memanggil dengan “Mas Pri”. Kebiasaan ini terus berlanjut sampai kami lulus dari IKJ.
Terus terang, arogansi bukan bagian dari Pak Pri sama sekali, karena ia selalu bersemangat untuk belajar dari siapa saja. Beliau juga sering memuji jika ada karya mahasiswa yang bagus dan menceritakannya. Saya memperhatikan Pak Pri selalu menghormati dan mendengar pendapat para siswanya, meskipun terbentang jarak dua hingga tiga dekade antara Pak Pri dengan generasi mahasiswanya. Pernah saya menanyakan apakah mengenal Si Anu, mantan mahasiswanya. Beliau menjawab, “Tidak ada mantan mahasiswa, adanya teman.”
“Coba dulu, baru bilang nggak bisa.”
Cara Pak Pri berkomunikasi cukup ceplas-ceplos, sehingga jika ada kekurangan beliau tidak sungkan mengungkapkan. Meski demikian, ia juga amat paham insekuritas dan rasa kurang percaya diri manusia. Cara beliau untuk memberi semangat adalah menantang kita untuk mencoba.
“Ah, kurang nakal.”
Saya yakin sebagian besar mahasiswa/i yang pernah asistensi atau konsultasi dengan Pak Pri pasti pernah mendengar kalimat ini. “Nakal” di sini berarti mencoba pemikiran yang berbeda dari kalangan awam dan eksplorasi yang melampaui kebiasaan yang sudah ada. Pak Pri amat menghargai karya desain yang nakal, terlihat dari bungkus rokok dan label yang beliau koleksi dari seluruh Indonesia sejak era ‘70-an. Ia menyenangi sisi humor dan keunikan setiap daerah yang terlihat dari pemilihan kata dan gambar desain bungkus rokok dan label itu.
“Coba lebih kritis!”
Melirik kartun-kartun Pak Pri yang dimuat di majalah TEMPO, tentu kita dapat melihat sensitivitas politiknya. Hasil karya pak Pri selalu jujur dan tampak tengil, sesuai dengan karakternya. Menurut Pak Pri, sebagai desainer grafis, kita harus tetap memiliki sikap dalam kelangsungan negara. Kita sebagai desainer dan perupa dapat membantu membuat masyarakat melek akan kejanggalan dan ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita. Pak Pri melakukannya melalui media kartun. Kita juga dapat melanjutkannya sesuai dengan kemampuan masing- masing.
“Jangan takut norak!”
Perkembangan media sosial mempermudah arus komunikasi untuk memajang dan menghakimi karya. Fenomena ini membangun kekakuan dan gengsi di kalangan desainer. Menurut Pak Pri, banyak mahasiswa dan desainer handal yang masih takut karya mereka dianggap norak, terutama oleh sesama desainer. Sehingga, mereka banyak desainer yang terjebak tren dan formula lama yang dianggap pasti langsung tokcer.
“Terus bermain!”
Bermain membuat kita senang dan lebih ingin tahu untuk mencoba hal baru tanpa beban. Saat bermain, hati kita senang dan pikiran kita tersegarkan. Pola pikir ini yang sering disarankan Pak Pri untuk calon dan para desainer saat berkarya. Selain itu, kata ‘bermain’ membuat desainer merasa senang saat menggarap dan bereksplorasi.
Begitulah 6 petuah dari Pak Pri S almarhum yang saya ingat, dan coba jalankan. Sejujurnya nasihat-nasihat beliau cukup menantang dan mudah diingat. Saya merasa beruntung mendapat banyak kesempatan untuk berbincang dengannya, diselingi dengan celetukan tengil beliau yang sebenarnya mengandung petuah dan penyemangat bijak.
Selamat lanjut bermain di surga, Pak.
Make your interactions with people transformational, not just transactional.