Perkembangan dahsyat industri desain komunikasi visual (DKV) dewasa ini, tak lepas dari peran dunia akademis. Kurikulum, sarana prasarana, kompetensi dan kapasitas dosen sebagai garda depan pembaruan DKV ikut menentukan keberadaannya.
Berdasar kenyataan tersebut, ada baiknya kita mulai memikirkan bagaimana mendekonstruksi mitos bahwa kurikulum pendidikan itu selalu ketinggalan jaman. Hal ini hanya bisa dilakukan manakala ada hubungan sinergis antara jagad industri, paraalumnus, paradosen, dan institusi pendidikan desain komunikasi visual.
Dalam catatan saya, pihak industri menginginkan lulusan desain komunikasi visual siap pakai dengan segala amunisi yang dimiliki. Baik skill drawing, pencarian dan pengungkapan ide gagasan, pengetahuan dan konsep desain, kepiawaian berkomunikasi, maupun penguasaan software dan hardware komputer. Di sisi lain, pihak industri tidak sanggup memikul tanggung jawab sebagai ‘’sekolah lanjutan’’ bagi lulusan perguruan tinggi yang akan memasuki dunia industri komunikasi visual.
Tuntutan dan keinginan semacam itu hampir pasti tidak pernah bisa dipenuhi. Hal itu terjadi, karena pengadaan sarana dan prasarana di perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi desain komunikasi visual, baik swasta apalagi negeri, tidak bisa dengan serta merta mengikuti perkembangan information technology yang melesat dahsyat. Selain itu, menurut amatan saya adalah keberadaan dosen pengampu yang pecah menjadi tiga kubu.
Pertama, dosen full akademik. Keberadaannya kurang mengetahui perkembangan industri desain komunikasi visual yang sebenarnya. Aktivitas kesehariannya adalah: mengajar, mengajar, dan mengajar.
Kedua, dosen yang berorientasi ’’mengoleksi’’ jabatan struktural. Dosen tipe kedua ini hari-harinya lebih disibukkan untuk mengejar kenaikan pangkat fungsional agar bisa menjadi pejabat struktural di lingkungan pekerjaannya. Dosen semacam ini sangat ambisius untuk penjadi priyayi akademik dengan mengupayakan aktivitas kesehariannya sebagai pejabat struktural. Selesai menjabat sebagai Ketua Program Studi atau Ketua Jurusan, maka ia akan mencalonkan diri menjadi Wakil Dekan. Pasca Wakil Dekan, menapaki tangga jabatan struktural yang lebih tinggi lagi: Dekan, Wakil Rektor, Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, atau bahkan Rektor.
Ketiga, dosen dengan seragam praktisi murni yang waktunya lebih banyak difokuskan untuk mencari billing, mengejar klien, dan mencari ide desain baru untuk eksekusi verbal visual demi mempertahankan eksistensi pekerjaan kreatifnya yang sudah menjadi darah dagingnya. ?
Karena itulah, sudah saatnya dunia industri jasa komunikasi visual maupun ’’industri pendidikan desain komunikasi visual’’ saling membagi pengalaman dan membantu satu sama lain. Karena setiap penyelenggara pendidikan desain komunikasi visual memiliki keunikan dan kelebihan tersendiri. Jadi ada kebutuhan simbiosis mutualisma ala sekolah desain komunikasi visual. Yang bisa menjadi pertimbangan adalah memahami karakter dan visi dari pendidikan desain komunikasi visual itu sendiri.
Sebagai studi komparatif seperti diungkapkan Henricus Kusbiantoro, sekolah desain di New York dan San Francisco cenderung lebih “komersial” dan sangat memenuhi kebutuhan industri, para praktisi pun senang terlibat di sana. Berbeda bila kita bertemu dengan sekolah desain di luar New York seperti Cranbrook Academy of Art yang memiliki spesialisasi di bidang eksperimentasi desain dan tipografi. Sementara itu, Yale School of Art dan RISD kuat dalam proses kreatif dan metode Swiss Design. Terkadang mereka “kurang siap” saat memulai karir di kota besar, ini satu dilema yang tak dapat dihindari. Kedua kubu ini, yaitu sekolah “akademis” dan “praktis/komersial” saling melengkapi dan tidak dapat berdiri sendiri, melainkan saling membutuhkan.
Kenyataan semacam itu perlu kita catat dengan lapang dada mengingat kita semua mengharapkan munculnya – meminjam terminologinya Enin – ’’renaisans desain komunikasi visual’’ Indonesia secara menyeluruh. Untuk itu kita perlu melakukan gerakan renaisans dan evaluasi berbagai bidang terkait dengan desain komunikasi visual.
Selama ini kita banyak berkiblat pada pendidikan desain versi Bauhaus. Sayang dalam perkembangannya kita hanya menyontoh sistem pendidikan dasar secara harafiah dan kaku. Tetapi kita melupakan peran Bauhaus sebagai laboratorium desain yang dinamis. Di kampus Bauhaus mahasiswa didorong untuk melakukan eksplorasi, menemukan sesuatu (discover and invent) dan kemudian menuliskan temuan-temuannya.
Mahasiswa juga didorong untuk melakukan evaluasi, mencari dasar pembenaran, memberikan kritik positif dan negatif terhadap karya-karya sejarah. Sebaliknya, dosen jangan hanya mengatakan bahwa kita harus mengikuti panduan pendapat salah satu buku. Dalam konteks ini, tugas dosen adalah sebagai katalisator, memberikan studi banding atas materi-materi atau memberikan inspirasi dan apresiasi dari sudut pandang lain.?
Terkait dengan semangat pendidikan desain ala Bauhaus, sudah saatnya kita mengedepankan konsep ‘’have the end in mind’’. Artinya, kita membayangkan pengetahuan dan kemampuan apa yang harus dimiliki oleh mahasiswa lulusan desain komunikasi visual. Teori-teori dan pelatihan apa saja yang nanti dapat diaplikasikan agar ia bisa bekerja dan berkarya nyata.
Semuanya itu tentu harus dikonfirmasikan, disinergikan dan dikomunikasikan kepada parapihak yang berkompeten di lingkungan industri desain komunikasi visual dan diupayakan agar setiap tahun di-update, karena perkembangan industri desain komunikasi visual sangat dinamis.
Setelah semuanya siap, kristalisasi dari konsep ‘’have the end in mind’’ itu direncanakan dan diejawantahkan dalam berbagai teori yang signifikan untuk diajarkan kepada parapeserta didik. Konsep semacam itu dalam perkembangannya lebih mengutamakan kurikulum dengan mengedepankan local color, karena masing-masing perguruan tinggi itu mempunyai keunggulan dan kompetensi yang berbeda antara yang satu dengan lain. Hal ini harus tetap dipertahankan untuk menumbuhkan keberagaman sudut pandang dan outcome dari masing-masing perguruan tinggi desain komunikasi visual. Setelah itu direncanakan teori dan pelajaran setiap semester. Kemudian bahan dan substansi setiap pelajaran, cara pengajaran, kuantitas, kualitas, dan kompetensi, pengajarnya.
Selanjutnya kita harus memastikan tujuan pendidikan. Dalam konteks ini, pendidikan akademis adalah pelajaran teori dan praktik yang nantinya dapat diaplikasikan dalam pekerjaan. Kalau ini tak dijalankan maka bisa seperti rel kereta api, sejajar tetapi tak ada titik temunya.
Perlu pula dilakukan persamaan pandangan dan pendapat antara dunia akademis dan dunia industri. Kemudian terus menerus diselaraskan dengan perkembangan jaman. Selain itu, mulai semester 4 atau 5, mahasiswa sudah diarahkan menjadi seorang spesialis karena di perusahaan senantiasa mengedepankan spesialisasi.
Para pengajar seyogianya mengetahui dan dilatih dengan metode-metode pengajaran yang betul-betul dapat membimbing anak asuhnya. Mahasiswa (dan juga dosennya) perlu secara periodik memperoleh pengetahuan nyata melalui “dosen tamu” dari pihak industri.
Pihak industri secara legawa bersedia melibatkan paraakademisi dalam berbagai kegiatan industri. Dengan demikian, informasi terkini tentang kebutuhan industri pun bisa ditangkap dengan mulus oleh institusi pendidikan desain komunikasi visual.
Dosen pengampu mata kuliah teori dan praktik yang terkait dengan desain komunikasi visual diberi kesempatan untuk mendalami berbagai macam teori dan praktik di industri melalui proses magang. Dosen tidak cukup magang sekali seumur hidupnya. Seyogianya secara periodik harus keliling bersinergi di antaranya dengan berbagai advertising agency, media spesialis, event organizer, production house, percetakan, penerbitan, dan studio desain komunikasi visual. Setelah itu setiap 2-3 tahun mengikuti refreshing course. Bukankah mendapatkan pengalaman secara komprehensif juga merupakan bagian dari suatu proses pendidikan?
Jika hal tersebut bisa dilakukan secara sistematis maka niscaya kita bisa mengurangi kesenjangan antara dunia industri dengan lembaga pendidikan desain komunikasi visual.
Sumbo Tinarbuko Konsultan Desain, Dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa, dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta.
Make your interactions with people transformational, not just transactional.