Setelah musik saya dengan beberapa komponis lain (Slamet A. Sjukur, Michael Asmara, Doddy Satya and Paul Gutama) dirilis dalam album Asia Piano Avantgarde – Indonesia, beberapa guru musik sempat mengritik: “Soe Tjen kalau mengarang tidak pakai aturan!”. Rupanya, mental P4 masih melekat pada banyak orang sehingga kalau ada warga Negara yang baik dan benar seharusnya juga ada komponis yang baik dan benar – yaitu yang ikut aturan. Padahal, dalam seni itu sendiri telah terjadi pemberontakan-pemberontakan luar biasa. Mozart yang begitu dipuja oleh banyak pemusik atau pengamat musik, sebenarnya adalah seorang pemberontak formalitas musik sebelumnya. Musik Barok yang polifoni, dan yang membaurkan iringan dan melodi, ditinggalkan begitu saja oleh Mozart. Sebaliknya melodi dan iringan dapat dibedakan dengan lebih jelas dalam komposisi Mozart, dan ia juga menggunakan harmoni yang berbeda dari jaman sebelumnya. Bila Barok umumnya menggunakan harmoni kromatik, Mozart memakai diatonik.
Memang, salah satu hal terpenting dalam musik Mozart adalah peniadaan akan sesuatu yang dianggap “suci” oleh para musikus pada jamannya. Namun, yang terjadi sekarang adalah “penyucian” harmoni Mozart. Bahkan, waktu saya baru saja mulai aktif mengarang lagu, seorang musikus senior pernah menyarankan saya untuk berhenti mengarang dulu, sebelum menguasai harmoni Mozart.
Seorang seniman yang terus menerus mempertanyakan aturan yang telah ada, tidak akan diam pada suatu titik. Ia membawa perubahan, yang mungkin tidak dapat diterima pada zamannya. Dalam proses berkarya, ia akan mengejar sesuatu yang tak pernah selesai. Seorang komponis yang merasa nyaman untuk diam pada suatu titik, tidak akan lagi mencipta, namun meniru yang telah ada. Dan yang dihasilkan tidak jauh berbeda dengan produksi masal. Seperti pesta-pesta pernikahan di hotel berbintang yang digandrungi banyak orang, karena mereka tidak tahu bagaimana caranya merayakan tanpa meniru yang ada sebelumnya.
Proses pencarian inilah yang membedakan van Gogh dari pelukis potret yang mampu memuaskan kebutuhan narsistik para bangsawan dan orang-orang kaya. Karena ia mempertanyakan kaedah-kaedah yang ada. Bahkan bila perlu, ia bisa mempertanyakan diri sendiri. Inilah yang dilakukan Mozart. Dalam komposisinya “A Musical Joke”, dia seakan menertawakan harmoni yang telah dibuat dalam musiknya sendiri. Harmoni Mozart yang biasanya tonal, tiba-tiba menjadi hampir atonal dalam karya yang satu ini!
Sayangnya masih banyak guru-guru musik yang begitu patuh pada keharusan kompetisi, ujian, dan “go International”. Begitu juga, konser sebuah orkestra di Surabaya untuk menyambut Kemerdekaan Indonesia, yang mengundang Wiranto sebagai bintang tamu. Mengapa?
Karena yang dipikirkan beberapa pemusik adalah bagaimana mendapat restu pembesar dan masa (kalau perlu, keuntungan), bukan musik itu sendiri. Sehingga seorang politikus yang lagi naik daun dapat menjadi bintang tamu pada konser itu, bukan karena kemampuan dia bernyanyi tapi karena pamornya sebagai selebriti. Padahal memikirkan bunyi tanpa harus menghamba pada reputasi, adalah sebuah tuntutan yang sudah amat sukar. Komponis tidak perlu mencari-cari aturan lagi bila mereka telah dapat mendedikasikan diri pada bunyi. Dan musisi yang bertanggung jawab pada musik itu sendiri, pada bunyi itu sendiri, tidak akan mendatangkan Wiranto. Karena pemusik seperti ini memakai Wiranto sebagai alat untuk mengelabui media dan masyarakat yang terkadang tidak banyak tahu akan musik.
Salah seorang komponis, Makoto Nomura (yang bersama Shin Nakagawa baru saja mementaskan Momotaro di Jakarta, Yogya dan Surabaya) pernah berkata pada saya: “Bila kamu mau menjadi komponis kelas dua, patuhilah gurumu!” Artinya, seniman yang manut pada orang lain hanya akan menjadi seniman kelas kambing, bagaimanapun terkenalnya seniman tersebut. Justru keterkenalan itu dapat berbahaya, karena membuat mereka merasa telah menjadi “high class” dan bermutu.
Tetapi, terkadang belajar musik dimanipulasi sedemikian rupa sehingga patuh pada peraturan menjadi paling penting. Dalam musik klasik, para pemain seringkali hanyalah menjadi robot partitur – bagaimana mereka dapat menjadi sepatuh mungkin pada tulisan-tulisan yang telah tercetak. Bahkan sekarang robot-robot pembaca partitur sudah ada. Malah terkadang bermain lebih bagus daripada manusia.
Padahal, pemusik yang tangguh adalah juga seorang pemikir yang mampu mengubah hal-hal yang dianggap laten. Pemikir, yang terkadang harus berhadapan dengan kedunguan dan kekejaman penguasa. Dalam sains, Galileo adalah salah satunya. Ketika masyarakat, penguasa dan petinggi Gereja pada jamannya mempercayai bahwa mataharilah yang mengelilingi bumi, Galileo menyatakan sebaliknya dan sempat dihukum karenanya.
Albert Einstein sempat berkata bahwa imajinasi jauh lebih penting daripada pengetahuan. Dan imajinasi seseorang tak akan dapat meloncat jauh tanpa kreatifitas.
Seni seharusnya mampu menggelorakan kreatifitas, yang mendorong seseorang untuk berpikir dan mencari. Karena itulah kreatifitas dapat menjadi momok bagi penguasa. Karena dengan mencari, kreatifitas akhirnya mampu membawa manusia keluar dari pakem yang ada.
Karenanya, seniman yang tangguh justru mempunyai nilai lebih, karena ia biasanya juga pemikir yang hebat. Tapi, pemikir yang tangguh tidak selalu dapat menjadi seniman yang hebat.
Tulisan ini pernah dimuat di harian Kompas.
Ketika dari mata tak turun ke hati, desain pun gagal total