Telah sering Pameran Karya Seni Grafis diadakan di Indonesia, baik karya grafikus Indonesia maupun luarnegeri. Tokoh-tokoh grafikus seperti Mochtar Apin, Kaboel Suadi, AD Pirous, Haryadi S. dll. telah banyak dikenal. Pelukis Zaini almarhum pun pernah memamerkan satu seri karya seni grafis yang bagus dalam tehnik monoprint.
Tapi amat langka kita jumpai Pameran Rancangan Grafis disini. Memang, Rancangan Grafis pada dasarnya diciptakan bukan untuk dipajang di ruang pameran. Rancangan Grafis dipamerkan langsung pada hidup kita sehari-hari: bungkus pasta gigi, korek api, koran, kalender, agenda, bungkus rokok, iklan, papan reklame, perangko, majalah, poster film, bahkan sampai pada uang yang terselip didompet anda.
Berbeda dengan penciptaan karya seni grafis dimana seniman bebas mengungkapkan apa yang dikehendakinya untuk kemudian diberi pigura dan dipasang di dinding; sebuah rancangan grafis dilahirkan dengan beban: peranan apa, pesan apa, dari siapa, untuk siapa, tentang apa dan sekian tugas lagi demi mengukuhkan arti kehadirannya. Dia harus dapat berkomunikasi secara nyata dengan lingkungannya, siapapun: entah seorang tuan yang senang pada buku bagus, atau seorang pembaca yang senang gosip, seorang ibu di supermarket ataupun sopir bemo yang cari jamu pegel linu.
Disini tak boleh ada salah omong, label DDT seperti sirop, poster perdamaian yang tampak agresif, atau reklame film “Lelaki Cabul” kesannya seperti film kanak-kanak. Pendek kata kehadirannya dinilai atas suatu kebutuhan nyata. Sebuah rancangan grafis tak mungkin diciptakan “out of nothingness”.
Bila pada saat ini sejumlah rancangan grafis dipajang diruang pamer Mitra Budaya, tak lain maksudnya agar kita dapat melihatnya dengan tenang, seperti kita memperhatikan bungkus rokok kita sambil duduk menganggur. Dalam pameran ini kita lihat bagaimana sehelai kertas putih diolah oleh seorang perancang grafis menjadi sesuatu yang berkomunikasi sesuai dengan tugasnya.
Sumber: Brosur Pameran Pertama Ikatan Perancang Grafis Indonesia “Grafis ‘80”, 24 September-10 Oktober 1980 di Wisma Seni Lingkar Mitra Budaya.
Ketika dari mata tak turun ke hati, desain pun gagal total