Bagaimana Desainer Menyikapi Posisinya yang Tidak Spesial dalam Dunia NFT?

Teks : Rouzell Waworuntu | Editor : Ibrahim Soetomo

Esai ini mengupas dunia berlapis NFT yang berdampak pada dunia desainer grafis. Esai ini terlebih dahulu menengahkan NFT dalam lingkup blockchain, potensi-potensinya, hingga kemunculan tokoh creator ketimbang seniman terlebih desainer. Dengan kemampuan NFT dalam mendemokratisasi, desentralisasi, serta menopang ekonomi, bagaimana desain–dengan cita-cita, prinsip dan kaidahnya–menanggapi fenomena ini? 

NFT merebak di saat yang bersamaan dengan masa-masa awal pandemi. Hingar-bingar ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga dunia. Lonjakannya dimeriahkan pula oleh selebriti internasional dari Paris Hilton, Kylie Jenner, hingga Justin Bieber, yang ikut menyemplung dan mencari suaka NFT sebagai investasi baru. Sedangkan jenama besar seperti Pizza Hut dan Nike menjadi korporat yang memproduksi NFTnya sendiri yang entah memang sebagai investasi atau sekadar gimik pemasaran. 

Lawrence J. Trautman, akademisi dari Prairie View A&M University, pada jurnalnya ‘Virtual Art and Non-Fungible Tokens’ menjabarkan bahwa secara anatomi NFT adalah persilangan antara kriptografi, game theory, minat terhadap koleksi seni dan objek digital unik atau custom, dan sedikit dosis spekulasi atas tren tertentu. 

Yang juga perlu diperhatikan adalah konsep nilai tukar NFT. Nilai sebuah bitcoin pastilah sama dengan bitcoin lainnya, sedangkan NFT yang nilainya sama dengan lukisan Mona Lisa akan berbeda dengan yang nilainya sama dengan–katakanlah–komik. Teknologi NFT memaksimalkan keunikan platform digital yang kemudian dapat menimbulkan fenomena sosial. Begitu juga kepemilikan atas copyright. Contohnya: hanya ada satu Mona Lisa di Louvre, andai memiliki replikanya, sensasinya tidak sama. Maka, keunikan NFT meliputi dua hal, yaitu permintaan aset digital yang unik dan sistem kolektibilitas terbatas.

NFT sendiri hadir dalam lingkup teknologi blockchain. Untuk menjabarkan apa itu blockchain secara sederhana, saya meminjam penjabaran Bettina Warburg dalam video ‘Blockchain Expert Explains One Concept in 5 Levels of Difficulty’ produksi WIRED pada kanal YouTubenya. Menurut Warburg, teknologi blockchain adalah sebuah usaha berdagang tanpa adanya perantara maupun tanpa harus mengenal calon pembeli dan penjual. Kita dapat berdagang tanpa adanya perantara atau perusahaan yang memfasilitasi maupun mengawasi. Keamanan transaksi terjaga oleh apa yang disebut sebagai kriptografi di mana seluruh pencatatan diacak agar laju transaksi tidak mudah dibaca orang yang tidak berkepentingan. 

Dunia Berlapis NFT

NFT dapat dipandang sebagai investasi. Cara untuk mendapatkan NFT juga cukup sederhana. Kita harus menukarkan mata uang riil (pantaskah kita menyebutnya riil?) menjadi mata uang kripto, kemudian kita juga bisa langsung membeli NFT di-sebut-saja marketplace aset-aset NFT, selayaknya check out barang di ecommerce

Yang kemudian menjadi pertanyaan: apakah NFT hanyalah fenomena sesaat? Trautman menjabarkan dalam tesisnya bahwa NFT berlandaskan keyakinan bahwa manusia menghargai kelangkaan dan keunikan, khususnya dalam konteks sosial. Ketika berbicara tentang seni, nilai yang dikaitkan dengan luasnya komunitas yang mengagumi, menghargai, dan memberikan nilai sosial kepada mereka yang mengumpulkan, mendukung, dan menikmati seni. Mengoleksi barang seni adalah upaya bersosialisasi dan dunia virtual membantu mewujudkannya.

Seni digital juga telah berhubungan dengan teknologi blockchain yang sekarang menjadi bagian dari kehidupan kontemporer. Trautman menjabarkan bahwa kegiatan mengoleksi barang seni adalah bentuk bersosialisasi. Kini kegiatan sosial tak lepas dari dunia digital. Lebih spesifik lagi, komunitas di dunia maya jangkauannya beragam, dari komunitas pencari karya-karya Banksy yang bertebaran di ruang fisik, atau para pemain Role Playing Game yang menawarkan para user untuk mengkostumisasi avatarnya. Dari situ kesadaran terhadap konsep NFT sudah lebih dahulu dikonkritkan dalam kesadaran kita. 

Tokoh Baru Bernama Creator dan Holder

Dalam dunia seni rupa, kehadiran NFT sebagai barang seni semakin dikukuhkan oleh galeri raksasa dengan jejaring antarbenua macam Christie’s dan Sotheby’s yang telah menjual NFT pada kategori Unique Digital Works of Art’. The Wall Street Journal meliput penjualan koleksi pertama NFT berupa seri karya kolase Beeple senilai $69 Miliar oleh Christie’s (13 Maret 2021). Fenomena ini meroketkan nilai tukar kripto terhadap sebuah barang seni yang hanya hadir di ranah digital. Galeri raksasa lantas melegitimasi NFT sebagai karya seni yang setidaknya dimainkan pada tataran pasar.

Beranjak konsep tersebut, dalam dunia NFT muncul sosok baru, yaitu ‘Creator’. Jika menilik pemanfaatannya, NFT menjadi lahan cukup basah untuk pemasukan creator. Fokus kerjanya pun sudah cukup untuk menggantikan aktivitas sehari-hari para desainer grafis, yaitu ketelitian membaca momentum, berjejaring, maupun men-generate NFT. Pada bentang alam NFT sendiri sebetulnya ada dua peranan yang cukup esensial untuk dipahami, selain NFT Creator (pembuat/seller NFT), ada juga NFT Holders (pemilik/buyer aset NFT).

Saya telah merangkum pendapat dari sudut pandang creator juga holder NFT. Dari sisi holder, ada Conny, seorang mantan art director yang kini mendedikasikan dirinya pada NFT. “Dengan NFT gue bisa mendapatkan banyak pengalaman yang beyond,” katanya, “bukan hanya dari segi pendapatan tapi juga jejaring yang lebih masif dan nyata.” Ketertarikannya itu tak melulu berbuah manis. Banyak pula yang harus tergadai. Masalah paling besar selalu berkaitan dengan kesehatan mental dalam menangani transaksi berjumlah yang besar, perubahan nilai aset yang sukar diterka, serta loss dengan jumlah besar. Baginya fleksibilitas dalam bekerja dan cuan yang didapatkan sebanding dengan apa yang harus ditukarkan; sebuah pendapat yang sah karena adanya keseimbangan di antaranya. 

Ada pula Agoy, seorang konsultan kreatif, edukator sekaligus creator, yang mempunyai misi mengedukasi keilmuan NFT dan memasukkan crypto art dalam koridor kesenirupaan. Baginya NFT adalah titik terbukanya ekosistem digital yang lebih solid dan ramah bagi seniman menjelma creator, yaitu melalui konsep Web 3.0: sebuah ekosistem internet yang lebih baru dan terbuka di mana prinsipnya mengedepankan pengoperasian otonom dan dapat dikelola secara terdesentralisasi.

Agoy ingin merespons terbentuknya Web 3.0 dengan memakai NFT sebagai kendaraannya. Ia pun tergabung aktif dalam komunitas The Monday Art Club. Di sana ia berjejaring dan saling menjaga nilai-nilai baik NFT. Baginya sudah seharusnya NFT bukan persoalan material semata, melainkan mengembalikan posisi creator dengan kebebasan berkarya dan mendapatkan penghasilan yang adil atas usahanya. 

Bagi Agoy, ada dua sisi kontras dalam NFT. Yang pertama masih banyak proyek NFT prematur dari para creator awam perkara FOMO. Akibatnya, seperti industri lainnya, lahir darinya para oportunis bergejala scam, bad flipper, cash grabber maupun fraud, yang kemudian merugikan creator serta komunitasnya. Baginya yang cukup fatal adalah kapitalisasi galeri konvensional yang menjual karya NFT di luar blockchain, sehingga ia tidak menghadirkan utility royalty yang menyebabkan creator tidak mendapatkan royalti setelah penjualan pertama. Hal ini malah mengaburkan esensi NFT. 

Lain halnya dengan Yogi, seorang creative director dan entrepreneur asal Bandung, yang malah sudah jenuh dan melihat NFT bak angin lalu. Baginya para creator yang bisa bertahan pada dasarnya merupakan ‘orang lama’ yang bereputasi di kalangan komunitasnya, seperti Jukiverse dalam komunitas komik atau Resatio pada komunitas kolase dan seni kontemporer. Akan tetapi bagi Yogi dampak baik NFT adalah ia dapat menjadi jalan pintas bagi creator untuk menyejajarkan diri dengan seniman dan desainer bereputasi. Para creator baru dapat membinarkan nama mereka sebagai ‘new emerging artist/designer’ dalam waktu singkat.           

Fransis, seorang perupa dan pekerja seni, menganggap NFT sebagai medium baru. “Saya melihat kondisi art market yang ramai ini sebagai suatu hal yang positif karena memunculkan banyak nama seniman yang sebelumnya tidak terekspos di art market konvensional, juga menyejahterakan seniman-seniman yang dua tahun ini terdampak pandemi.”

Terlepas dari pro dan kontra yang ada, alam NFT akan kian merentang. Walau masih rapuh, hubungan creator dan holder terus terpenuhi. Memang, umurnya baru dua tahun, apalagi NFT bergantung pada nilai cryptocurrency. Jika kita mengharapkan proses transisi menuju Web 3.0 masih terjadi, di mana privacy dan anonymity yang bersifat open source dan tersistem menjadi tujuan utama, ada beberapa upaya terkini dalam NFT dan menghadirkannya ke ruang fisik. Salah satu strateginya adalah memasukkan karya NFT sebagai IP yang kemudian dapat diperpanjang menjadi cenderamata maupun event dan experiential activation.

Desainer Grafis dalam Tatanan NFT

Tanpa embel-embel creator, NFT dapat mewujudkan cita-cita posisi desainer grafis sebagai penopang ekonomi dan salah satu profesi garis depan dalam lingkup komunitas yang lebih besar. NFT digadang-gadang dapat menjadi game changer bagi desainer grafis tidak hanya simbolis tapi juga materialistis. Namun yang kemudian memantik, apakah ini langkah yang tepat untuk mewujudkan cita-cita revolusioner yang mengandung prinsip dan kaidah kita, desainer grafis? 

Rachel Way pada esainya di AIGA, ‘Sorry, but NFTs Are Not Design’s Democratizing Savior’, mengkritisi kehampaan NFT yang tidak perlu direspons secara berlebihan oleh desainer. Baginya ini merupakan sebuah struktur yang rapuh dan sangat termanufaktur bagi kepentingan industri. Menurutnya NFT hanyalah “cerminan dan pemburukan sifat industri yang tidak adil dan berubah-ubah, yang dipoles dengan kemilau revolusioner tekno-optimisme.”

Baginya kerapuhan ini juga dapat dilihat dari nilai tukar yang subjektif dan spekulatif. Keberhasilan sebuah nilai NFT tampaknya didasarkan pada pencapaian selayaknya seni konvensional, baik itu mengikuti pameran di galeri maupun pameran daring, sehingga tidak berlaku untuk membangun industri desain yang lebih setara dan demokratis.

Jabatan desainer grafis dalam merespons kerja-kerja seni digital nampak akan semakin tergantikan. Terutama dengan kemunculan tokoh ‘creator’ ini. Dalam kasus ini NFT hanyalah medium. Betul, banyak desainer grafis meresponsnya, akan tetapi NFT tidak memberikan posisi yang lebih dari sekadar itu. Pada dasarnya NFT diperuntukkan untuk sesuatu yang lebih inklusif. Kelak sebutan ‘NFT artist’ ataupun ‘designer’ akan menjadi tidak relevan.

Saya beranggapan bahwa desainer tidak perlu merespons NFT jika memang tidak minat. Kita tidak memiliki wewenang lebih atas kedudukan kita di dunia NFT, selain bekal seperti mempunyai latar belakang pengetahuan desain grafis, lulusan terbaik sekolah desain, atau aktif dan mempunyai jejaring desainer. Reputasi yang baik tidak menjamin kita dapat mengarungi dunia NFT dengan lancar. Ketimbang disebut sebagai game changer, menurut saya NFT merupakan other different game.  

Maka dari itu desainer grafis, apalagi industri desain, tidak memiliki kedudukan spesial dalam dunia NFT. Ia tidak memberi posisi lebih bagi desainer karena siapapun beresiko dan dapat turut serta meramaikannya. 

Desainer perlu mengetahui bentang alam Web 3.0. Saya percaya desainer akan selalu sintas dalam segala golak zaman. Jika kita akan memasuki suatu ekosistem yang lebih baru dan inklusif, maka keterlibatan kita kelak seharusnya sudah tidak sebatas penguasaan Adobe Family maupun Canva, atau sekalipun pemikiran-pemikiran filsafat untuk diaplikasikan ke desain dengan tujuan estetika. Agaknya, kita harus lebih pragmatis dalam merespons zaman. Saya pernah mendengar keluhan seorang kerabat yang juga seorang desainer grafis. Baginya desain grafis tidak dapat menyelamatkan dunia secara pragmatis. Entahlah… namun dengan melihat fenomena dan pertumbuhan ini saya bahkan yakin kelak sebuah typeface dapat menyelamatkan nyawa seseorang. Dalam akhiran ini, izinkan saya mengutip ujaran Plato, “Kebutuhan manusia adalah ibu dari inovasi itu sendiri.”

Rujukan

https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3814087

https://digitalcommons.sia.edu/stu_theses/132/

https://arxiv.org/abs/2111.13486

https://academic.oup.com/jiplp/article/16/12/1367/6449489?login=true

https://eyeondesign.aiga.org/sorry-but-nfts-arent-designs-democratizing-savior/

Quoted

“Keberhasilan merancang logo banyak dikaitkan sebagai misteri, intuisi, bakat alami, “hoki” bahkan wangsit hingga fengshui. Tetapi saya pribadi percaya campur tangan Tuhan dalam pekerjaan tangan kita sebagai desainer adalah misteri yang layak menjadi renungan.”

Henricus Kusbiantoro