Semiotika Desain Oblong Dagadu Djokdja

Sumbo Tinarbuko

PENDAHULUAN

Apa yang akan Anda katakan ketika melihat goresan garis elips dengan lingkaran bulat di tengahnya, kemudian bagian atas dari objek tersebut dihias enam goresan garis ekspresif yang menengadah ke atas, sedangkan bagian bawah ditutup dengan garis lengkung sejajar torehan garis elips.

Bagi Anda masyarakat Yogyakarta, warga di luar pagar nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, atau setidaknya pernah bertandang ke kota pelajar dengan serta merta akan mengatakan, ‘’Dagadu Djokdja’’.

Jawaban seperti itu memang benar-benar betul dan betul-betul benar. Mengapa? Karena gambar lingkaran elips yang membentuk ikon mata semacam itu dikenal khalayak luas sebagai logo sekaligus merek dagang perusahaan kaos oblong milik PT. Aseli Dagadu Djokdja.

Menurut risalah ‘’Dagadu Djokdja: Perjalanan Empat Tahun’’ disebutkan bahwa nama Dagadu Djokdja digunakan sebagai merek dagang sekaligus nama produsennya. Dagadu dalam bahasa walikan (slank) anak muda Yogyakarta berarti ‘’matamu’’. Filosofi idealnya, dalam wacana rancang grafis, ikon mata adalah idiom yang berkait erat dengan citra kreativitas. Dagadu Djokdja yang dipresentasikan melalui logo berbentuk dasar mata diharapkan dapat mewakili pandangan kelompok yang selalu berusaha menempatkan kreativitas sebagai aspek utama dalam setiap kegiatannya. (Dagadu Djokdja, l997: 1-2)

DAGADU DJOKDJA DAN FENOMENA PERDAGANGAN KAOS OBLONG

Membicarakan perihal Dagadu Djokdja, berarti kita harus memperbincangkan sebuah fenomena. Mengapa? Karena Dagadu Djokdja adalah fenomena dagang kaos oblong dengan pendekatan budaya yang berhasil mengangkat ikon-ikon visual yang ada di seantero kota Yogyakarta sebagai label bisnisnya.

Dengan semangat bermain-main, iseng-iseng menghasilkan, dan dikerjakan tanpa beban, maka keberadaan produk Dagadu Djokdja melejit lepas, bebas mengawang namun tetap terkontrol dan membumi.

Keunikan sekaligus kekuatan dari produk ini, pertama, ia selalu memberi bingkai estetika pada hal-hal yang bersifat keseharian, selalu menekankan kesederhanaan, bahkan remeh temeh (sangat biasa, fenomena keseharian) yang terkadang sudah dilupakan orang. Untuk tetap mengedepankan hal tersebut maka departemen desain mengambil kendali dengan mengandalkan aspek desain grafis sebagai senjata pamungkas guna mengangkat dan mengungkap tema yang telah disepakati bersama.

Kedua, karena desain grafis maupun desain produk merupakan aspek yang sangat diutamakan, maka pengadaan desain secara konsisten dan berkesinambungan amatlah penting. Uniknya, penciptaan desain untuk produk-produk Dagadu tidak dipandang sebagai ekspresi individual melainkan justru diupayakan muncul dan berkembang sebagai hasil karya kolektif berdasarkan semangat kerja kolektif pula. Kolektivitas ini menyangkut pemunculan gagasan hingga pengembangan rancangan awal atau preliminary design. Sementara pengembangan rancangan lebih lanjut hingga penyelesaian akhir merupakan tugas para desainer.

Ketiga, secara teknis visual senantiasa menekankan aspek desain grafis yang spesifik dengan menggabungkan unsur lokal, kedaerahan, humor, plesetan yang diramu semangat eksperimen dalam konteks seni dan budaya populer. Strategi semacam itu dilakukan agar
tercipta unsur attractiveness sebagai titik jual produk.

Keempat, dengan kesadaran tinggi memilih citra fabrikan ketimbang craft, baik melalui material yang selama ini digunakan atau lewat unsur-unsur desain grafis lainnya.

Kelima, karakteristik desain yang sekaligus menjadi ciri khas semua karya Dagadu Djokdja adalah menggunakan pendekatan poster alias bergaya ‘’moster’’. Memilih tipografi dari keluarga sans serif (tidak berkaki) dan biasanya menggunakan jenis huruf Futura. Karakter huruf Bold. Banyak mengunakan warna populer yang disusun dengan teknik blok, kontras namun manis. Ilustrasi menggunakan pendekatan idiom estetik dekoratif. Setiap objek visual dari elemen desain grafis selalu didampingi dengan garis kontur bahkan sangat tergantung pada outline. Posisi desain kebanyakan disusun secara vertikal dengan komposisi simetris.

DAGADU DJOKDJA DAN FENOMENA PARODI BERGAYA POSTER

Jika diamati secara komprehensif, maka desain kaos oblong Dagadu Djokdja dapat dipilah dalam dua kelompok besar. Kategori pertama, desain dengan dominasi huruf dan tipografi sebagai kekuatan teks. Dalam hal ini susunan teks bisa dibaca sebagai sebuah ilustrasi. Kategori kedua, desain yang mengedepankan unsur tipografi dan ilustrasi sebagai kekuatan daya ungkap kaos oblong anggitan Dagadu Djokdja.

Kedua kelompok desain tersebut selalu mengedepankan unsur humor, parodi, plesetan sebagai unique selling preposition dari produk kaos oblong Dagadu Djokdja. Sementara itu, parodi menurut The Oxford English Dictionary seperti dikutip Yasraf A. Piliang (l999: 154), didefinisikan sebagai sebuah komposisi dalam prosa atau puisi yang di dalamnya kecenderungan-kecenderungan pemikiran dan ungkapan karakteristik dalam diri seorang pengarang atau kelompok pengarang diimitasi sedemikian rupa untuk membuatnya absurd, khususnya dengan melibatkan subjek-subjek lucu dan janggal, imitasi dari sebuah karya yang dibuat modelnya kurang lebih mendekati aslinya, akan tetapi disimpangkan arahnya, sehingga menghasilkan efek-efek kelucuan.

Terkait dengan itu Linda Hutcheon dalam tulisannya berjuluk A Theory of Parody, seperti disitir Yasraf A. Piliang (l999: 155), mengungkapkan parodi sebagai sebuah relasi formal atau struktur antara dua teks. Dijelaskannya, sebuah teks baru diciptakan sebagai hasil dari sebuah sindiran, plesetan atau unsur lelucon dari bentuk, format atau struktur dari teks rujukan. Artinya, sebuah teks atau karya parodi biasanya lebih menekankan aspek penyimpangan atau plesetan dari teks atau karya rujukan yang biasanya bersifat serius.

Dengan demikian, parodi adalah salah satu bentuk representasi. Uniknya, representasi tersebut selalu ditandai dengan sifat pelencengan, penyimpangan, dan plesetan makna, atau jamak disebut dengan representasi palsu.

Sedangkan sifat dan metode yang digunakan untuk menghasilkan pelencengan makna dan lelucon tersebut, menurut konsep Mikhail Bakhtin (l981:52) dalam risalahnya berjudul The Dialogic Imagination, sangat kaya dan beragam. Ditegaskan Bakhtin bahwa parodi adalah suatu bentuk dialogisme tekstual. Artinya, dua teks atau lebih bertemu dan berinteraksi antara yang satu dengan lainnya dalam bentuk dialog.

Dalam perspektif Hutcheon (l985: 6), dialog bisa berwujud kritik serius, polemik, sindiran, lelucon atau hanya sekadar permainan dari bentuk yang sudah ada.

Selain menggunakan pendekatan humor, parodi, dan plesetan, sebagai verbalisasi ungkapan teks, kaos oblong Dagadu Djokdja secara visual dirancang, dikemas, dan dihadirkan dengan tampilan desain poster atau lebih merakyat dengan sebutan gaya ‘’moster’’.

Hornby (l974:799) mengartikan poster sebagai plakat atau tempelan pengumuman yang di pasang di tempat umum. Bisa juga dikatakan sebagai sebuah pemberitahuan untuk khalayak ramai yang berbentuk gambar. Sedangkan unsur yang ditekankan dalam pengertian poster di sini adalah pesan atau pemberitahuan.

Karena poster mengemban tugas untuk menyampaikan pesan verbal maupun visual, maka keberadaannya harus dikemas sedemikian rupa agar menarik dan mampu membangkitkan rasa tertarik pribadi, sehingga dapat menimbulkan stimulus dan reaksi untuk memberikan keputusan. Untuk itu, pesan verbal maupun visual yang ditampilkan dalam desain poster harus dinyatakan dalam bahasa yang sederhana dan benar. Hal ini menjadi penting agar pesan-pesan tersebut mudah dimengerti oleh pembaca tanpa ada kesalahan interpretasi makna dari pesan tersebut.

Pendeknya, poster adalah salah satu media komunikasi visual berbentuk dua dimensi. Kehadirannya bertujuan menyampaikan suatu keinginan, mengumumkan sesuatu agar diketahui masyarakat dan mengingatkan mereka tentang hal-hal yang dianggap penting.

Sebagai media komunikasi visual, maka keberadaan poster menjadi media yang sangat efektif. Artinya, poster bisa membawa masyarakat untuk berkomunikasi dengan cara timbal balik, selanjutnya mengadakan suatu tindakan atas pengaruh komunikasi tersebut. Hal itu terjadi karena ditunjang oleh unsur-unsur poster yang menjadi faktor terpenting dalam mencapai keberhasilan dari poster tersebut sebagai media komunikasi visual.

Dalam perencanaan sebuah poster yang baik, peran desainer sangatlah penting dan menentukan dalam merencanakan penempatan kombinasi warna dan komposisi bidang.
Selain itu, desainer harus memperhatikan masalah titik pusat, garis perspektif, penempatan horison, dan white space atau ruang kosong.

Jadi dengan demikian, secara umum poster merupakan salah satu media publikasi mengandung tujuan: (1) Memberitahukan suatu keinginan. Seperti: ingin menjual, ingin membeli, dan ingin mendapatkan sesuatu baik barang ataupun jasa. (2) Mengumumkan sesuatu hal yng dianggap penting agar diketahui oleh masyarakat luas. (3) Mengingatkan masyarakat tentang hal-hal yang penting bagi masyarakat itu sendiri. (4) Memberikan informasi yang positif kepada seluruh lapisan masyarakat dalam waktu yang relatif singkat dan tepat pada sasarannya.

Dalam perkembangannya, keberadaan poster bermetamorfosa menjadi sebuah bentuk komunikasi visual yang dirancang sangat simpel. Sederhana dalam konteks desain komunikasi visual menurut Mawardi dan Nizar berarti tidak ruwet, jelas atau mungkin yang disederhanakan dalam garis-garis, bentuk-bentuk dan warna-warna yang sedikit mungkin. Agar unsur tersebut dapat menggambarkan suatu arti kepada yang melihat dalam sekilas pandang, unsur-unsur tersebut jangan sampai hilang dalam suatu liku-liku penggambaran yang tidak mengena dan tidak perlu, sehingga terciptanya saling hubungan yang satu dengan yang lainnya (Mawardi dan Nizar, l972:3).

Hal itu terjadi karena apresiasi masyarakat semakin meningkat dan poster sendiri mengemban fungsi sebagai medium komunikasi yang dilengkapi unsur ilustrasi, teks, dan warna mencolok sebagai visualisasi dan daya tarik dari pesan yang akan disosialisasikan.

Dengan meminjam idiom parodi, humor dan plesetan yang dikemas lewat pendekatan desain poster bergaya idiom estetik dekoratif ini, karya kaos oblong Dagadu Djokdja mampu menempati posisi orbit yang cukup terhormat di antara pesaing sejenis yang bermain pada pasar yang sama.

DAGADU DJOKDJA DAN FENOMENA DESAIN DENGAN DOMINASI TIPOGRAFI

Melirik rancangan oblong Dagadu Djokdja pada kategori pertama, yakni desain dengan dominasi huruf dan tipografi sebagai kekuatan teks, terlihat di antaranya pada tema ‘’Malio-Boro Malio-Boros’’. Desain kaos oblong yang layout dan kemasan visualnya menggunakan pendekatan poster ini ditata dalam posisi vertikal.

Kata Malioboro dan Malioboros dipenggal menjadi dua bagian. Masing-masing berbunyi ‘’Malio-Boro’’ (secara visual menggunakan warna coklat, memakai huruf kapital, masing-masing huruf diberi bayangan hitam dan outline kuning) dan ‘’Malio-Boros’’ (huruf kapital, warna biru tua, bayangan hitam dan kontur kuning). Di sela-sela kata ‘’Malio-Boro’’ dan ‘’Malio-Boros’’ terselip teks ‘’berangkat naik andong, belanja pernak-pernik, jajan lesehan, mBORONG OBLONG!!, pulang kecopetan’’. Masing-masing teks tersebut dimasukkan dalam sebuah lingkaran berbentuk elips warna biru muda dengan bayangan hitam dan garis kuning sebagai outlinenya. Warna teks, putih. Background desain secara keseluruhan berwarna putih dengan clossing ASELI BIKINAN DAGADU DJOKDJA yang dihiasi titik-titik kuning membentuk garis vertikal, berujung pada anak panah untuk menunjukkan nama produsen kaos oblong tersebut.

Pada karya desain dengan tema ‘’Malio-Boro Malio-Boros’’ terlihat jelas upaya bermain-main dengan keisengan kreatif sambil mencoba memberikan aksentuasi dan penambahan huruf ‘’s’’ pada kata ‘’Malioboro’’ yang bermuara perbedaan makna sangat signifikan.

Konotasi kata ‘’Malioboro’’ plus huruf ‘’s’’ menjadi bermakna negatif dan kenegatifan ‘’Malioboro’’ ini sengaja dieksploitasi dan dijual oleh PT. Aseli Dagadu Djokdja demi menangguk rupiah.

Dalam pandangan ide pihak Dagadu Djokdja, tema ‘’Malio-Boro Malio-Boros’’ dimaksudkan bahwa belanja di kawasan Malioboro itu marai (menyebabkan) boros.

Lewat pendekatan poster, para desainer Dagadu mencoba menyampaikan uneg-uneg kolektifnya untuk menyampaikan suatu keinginan sekaligus mengingatkan kepada kita
betapa borosnya belanja di kaki lima sepanjang kawasan Malioboro. Pedagang lesehan yang menjual dagangannya tanpa memasang harga tarif secara wajar, ditambah pula dengan perilaku penjaja cinderamata yang menawarkan harga sangat tinggi. Belum lagi copet yang siap menggerayangi dompet kita.

Teks di antara kata ‘’Malio-Boro Malio-Boros’’ mengacu pada konsep parodinya Bakhtin bertujuan untuk mengekspresikan perasaan tidak puas, kurang nyaman dengan kondisi sosial budaya di sekitar Malioboro. Dalam konteks ini, desain kaos oblong Dagadu Djokdja mencoba membentuk semacam oposisi binner atau memunculkan kekontrasan di antara berbagai teks yang ada. Hal itu terlihat dari keberadaan teks ‘’Malio-Boro’’ dibenturkan dengan kata ‘’Malio-Boros’’. Makna yang ingin dimunculkan adalah makna dengan semangat menyindir sekaligus membuat lelucon tentang fenomena ‘’Malioboro’’ yang semakin sumpek, kotor, macet, bikin pusing dan bising. Di balik semuanya itu, yang pasti kawasan Malioboro adalah aset dan sampai sekarang masih menjadi primadona para wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta. Bahkan sampai muncul mitos, serasa belum sampai Yogyakarta kalau belum menginjakkan kaki dan menghirup udara Malioboro. Dengan demikian, meski pun Malioboro dibenci dan dicaci maki, tetapi keberadaannya tetap dirindukan.

Karya lain dengan tema ‘’As You Wish! As Yo Wis! TerSeRah!’’. Desain yang disusun vertikal, berlatar warna kuning gading, dan dibungkus dengan komposisi simetris ini juga menggunakan pendekatan desain poster.

Pada kata ‘’As You Wish!’’ dikemas dalam ramuan warna kuning. Background teks berbentuk elips yang dirancang seperti balon dialog dari sebuah adegan komik dan dibalut goresan ekspresif warna coklat. Hal yang sama dilakukan pada kata ‘’As Yo Wis!’’, namun warna balon berbeda, yakni warna hijau muda ngadun ngora. Sedangkan kata ‘’Ter-SeRah!’’ berwarna coklat. Clossing bagian bawah tertulis aseli bikinan Dagadu Djokdja dalam kemasan huruf kapital.

Menyimak desain ini, ternyata sarat dengan plesetan makna akibat dari kesamaan pelafalan bunyi dari sebuah teks. Hal itu terjadi karena faktor kecenderungan dari sebuah idiom parodi. Dalam konteks ini, bahasa yang pertama, ‘’As You Wish!’’ mengontrol bahasa kedua, ‘’As Yo Wis!’’.

Menurut Yasraf A Piliang, mengutip pendapat Bakhtin, adalah sifat dari setiap parodi untuk menukartempatkan nilai-nilai gaya yang menjadi sasaran parodi, menyorot elemen-elemen tertentu, sementara membiarkan elemen-elemen lain di dalam bayang-bayang. Parodi selalu diplesetkan ke berbagai arah dan plesetan itu didiktekan oleh sifat bahasa parodi, sistem logatnya dan strukturnya pun jauh berbeda.

Dalam konteks ini, kata ‘’As You Wish!’’ karena sistem logat dan bunyi pelafalannya ditukartempatkan pada kata ‘’As Yo Wis!’’ mempunyai makna konotasi: ketimbang terus repot berdebat mending tidak terlibat atau melibatkan diri sama sekali. Prinsip semacam itu menjadi sikap hidup orang Yogyakarta dalam bermasyarakat dengan tetap mengutamakan asas keharmonisan.

Mengamati desain kategori pertama yang mengutamakan huruf dan tipografi sebagai kekuatan utama verbalisasi teks mengingatkan kita pada desain bergaya populer.

Desain bergaya populer itu ditandai dengan warna populer yang cenderung bersandar pada kecerahan atau sifat cerah daripada kelembutan atau hal-hal yang bersifat lembut. Bentuk desainnya dirancang secara sederhana dengan warna menyala dan datar serta dipisahkan oleh outline warna hitam tebal.

Kesan populer biasanya berkonotasi dengan citra anak muda dan berkesan hiburan alias santai riang gembira. Kombinasi warna populer berciri kurang ajar, slengekan, nakal, dan humor tercermin pada warna merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu yang dipisahkan, ditegaskan, dan dikunci garis kontur warna hitam.

Tipografi gaya populer umumnya lebar dan gemuk, umumnya berjenis Futura dan Gothic yang ditebalkan (bold) dengan warna kuat beroutline hitam, keberadaannya akan tampak terpisah dari latar berwarna kuat.

DAGADU DJOKDJA DAN FENOMENA KODE BAHASA ESTETIK POST-MODERNISME

Kategori kedua, bisa kita saksikan berbagai karya desain yang lebih mengedepankan unsur tipografi dan ilustrasi sebagai kekuatan daya ungkap rancangan kaos oblong Dagadu Djokdja.

Gambar pertama dengan tema ‘’DJOK DJA, DJOK SADJA more tea, please’’ menggambarkan ikon sebuah cangkir dengan gantungan kemasan teh celup dalam keadaan panas mengepul. Di bawahnya tertera teks ‘’DJOK DJA’’ (warna coklat bata dengan kontur garis hitam tebal dan dikontur lagi dalam bauran warna abu-abu), pada huruf ‘’o’’ dalam kata ‘’DJOK DJA’’ dihias dengan pendekatan dramatisasi huruf bergambar ikon poci tempat menyedu teh, diberi label ‘’Tjap JAHE’’ dan diisi warna hitam. Bagian bawah dari kata ‘’DJOK DJA’’ dituliskan kata ‘’DJOK SADJA’’ dan bagian paling bawah digoreskan kata ‘’more tea, please’’ warna hijau.

djok-sadja3

Desain oblong ini dikemas dengan gaya poster. Visualisasi desain oblong ini sangat sederhana. Ilustrasi desain ini menggunakan idiom estetik dekoratif. Tanda visualnya, hanya menampilkan ikon cangkir, poci, gantungan teh celup dan lingkaran asap yang digambarkan dengan gaya dekoratif. Kekuatan desain ini terletak dari pemanfaatan ruang lebar (white space) sisa dari ilustrasi dan tipografi yang secara global berbentuk segitiga sama sisi. Tipografi diambil dari keluarga huruf sans serif yang ditebalkan (bold). Ciri huruf ini, garis tubuhnya sama-sama tebal, tidak berkaki dan memiliki karakter lugas, kokoh, dan kuat.

Secara visual, desain kaos oblong ini meminjam berbagai kode. Menurut Umberto Eco dalam bukunya berjudul Theory of Semiotics, kode adalah seperangkat aturan yang menjadikan tanda sebagai tampilan yang konkret dalam sistem komunikasi (Eco, l976: 2). Dengan demikian, kode merupakan cara pengkombinasian tanda yang disepakati secara sosial untuk memungkinkan satu pesan disampaikan dari seseorang kepada orang lain.

Dalam konteks ini, kode yang digunakan antara lain kode narasi (proairetik) yang oleh Roland Barthes dalam bukunya S/Z dikatakan sebagai sebuah kode yang mengandung cerita atau narasi (Barthes, l974: 17-26).

Desain dengan tema ‘’DJOK DJA’’ ini membeberkan cerita perihal seduhan teh kental dalam sebuah poci, yang dioplos dalam aroma teh nasgithel (panas, legi tur kenthel) yang disruput hangat kicot-kicot memberikan nuansa kehangatan, kedamaian, dan kenikmatan sambil ditingkahi obrolan santai dalam komunitas wedangan warung angkring atau warung koboi.

Selain kode narasi, visualisasi kaos oblong bertemakan ‘’DJOK DJA’’ juga menggunakan kode kultural atau kode kebudayaan, khususnya aspek sejarah dan mitos. Kode kebudayaan yang dimaksudkan oleh Roland Barthes di sini adalah pada pemaknaan kata ‘’Djokdja’’ yang berarti sebutan singkat dari sebuah kota yang bernama Yogyakarta. Kota pelajar milik Sri Sultan Hamengkubuwono IX, raja dari Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini mempunyai peran sejarah yang amat penting terkait dengan keberadaan negara Republik Indonesia melawan penjajah.

Sementara itu ‘’DJOK DJA’’ di mata desainer Dagadu Djokdja mempunyai makna konotasi yang sangat sederhana. Dalam imajinasi mereka, kata ‘’DJOK DJA’’ – meminjam konsep kirata basa atau mengacu pada ilmu gothak-gathuk mathuk – maka kata ‘’DJOK DJA’’ diartikan dengan dijok saja (‘’DJOK’’=dijok, ‘’DJA’’=saja) atau dalam frame bahasa Indonesia dimaknakan sebagai ‘’ditambah lagi’’. Tambah lagi wedang teh nasgithelnya, wedang teh panas legi (gula batu) tur kenthel.

Fenomena wedangan teh nasgithel lengkap dengan gula batu dan kepulan rokok kretek ini sudah menjadi rahasia umum bagi kalangan kaum pria yang suka nongkrong, begadang, ngobrol, melepas lelah dalam suasana santai di warung angkring atau warung koboi sambil menunggu lingsir wengi.

Secara umum desain kaos oblong Dagadu Djokdja dengan tema ‘’DJOK DJA’’ ini menarik perhatian secara visual. Terjemahan kata-kata di dalam susunan teks membuat orang mengulum senyum. Sayangnya, dalam konteks wedang teh nasgithel, desainer Dagadu Djokdja kurang jeli dalam memvisualkan seduhan (com-coman) teh kenthel, yang digambarkan justru com-coman teh celup. Atau ‘kekeliruan’ itu sengaja dihadirkan dengan pertimbangan mengejar aspek artistik agar terlihat bahwa cangkir itu berisi teh hangat kicot-kicot.

Gambar kedua bisa kita pelototi pada karya lucu dengan tema ‘’RID: Rest in DJOKDJA’’. Ilustrasi dari desain oblong ini menggunakan idiom estetik dekoratif. Tanda visualnya berupa ikon laki-laki berkumis yang sudah purna tugas alias pensiunan, menggenakan busana kejawen lengkap dengan blangkon, jarik dan surjan, duduk terkantuk-kantuk di kursi goyang sambil menikmati hidup. Saking nikmatnya bergoyang-goyang di kursi goyang, sampai-sampai sandal selopnya njepat meloncat dari ujung kaki sang ikon laki-laki tersebut.

rid-dagadu3

Tampilan desain ‘’RID: Rest in DJOKDJA’’ ini menggunakan kode seperti yang diungkapkan Roland Barthes dalam bukunya S/Z di antaranya kode hermeneutik, kode simbolik, kode narasi atau proairetik dan kode kultural.

Pada kode hermeneutik ini mengandung makna provokatif. Hal ini terlihat pada argumentasi konsep desain yang menyebutkan, kembali ke Djodja siapa takut? Sekian tahun menjadi mahasiswa di Djokdja, mencari pekerjaan di belantara ibukota. Saat Lebaran mudiknya di Djokdja. Menjelang usia senja, lagi-lagi ke Djokdja mukimnya. Kenapa begitu? Katanya sih, tingkat harapan hidup di Djokdja lebih lama dari kota lain.

Kode simbolik terlihat pada ikon kursi goyang yang mempunyai konotasi santai, sembari mengedepankan kenikmatan badani dan jiwani. Sedangkan kode narasi atau proairetik berisi cerita sebuah obsesi sementara orang yang pernah mencicipi nikmatnya hidup di kota Yogyakarta. Bahwa kembali ke Yogyakarta dan menikmati hari tua di kota budaya ini selalu menjadi buah impian dan cita-cita mereka yang pernah singgah di kalbu kota Yogyakarta.

Dalam kode narasi dan kode kultural disinggung pula informasi gaya masa lampau dengan mengedepankan makna nostalgia dan aspek sejarah kota Yogyakarta. Sedangkan teks ‘’RID: Rest in DJOKDJA’’ adalah sebuah ekspresi bentuk parodi dan plesetan makna dari kata ‘’RIP: Rest in Peace’’, beristirahatlah dalam damai. Di mata tim kreatif Dagadu Djokdja, kata ‘’damai’’ itu identik dan selaras dengan keberadaan kota Yogyakarta yang berhati nyaman. Sebuah kota yang tenang, damai, inspiratif, inovatif, dan kreatif.

Menilik karya desain kaos oblong Dagadu Djokdja yang dikategorikan dalam kelompok kedua, yakni lebih mengedepankan unsur tipografi dan ilustrasi sebagai kekuatan daya ungkap, lebih banyak mengacu pada pendekatan desain modern.

Bentuk desain modern ini senantiasa mengedepankan unsur kesederhanaan dengan white space yang luas, sehingga memberikan kesan keseimbangan yang terkontrol. Penekanannya pada bentuk horisontal, vertikal, dan diagonal. Pola modern bercirikan keteraturan, sederhana, dan kerapian geometri. Desain ini menunjukkan perpaduan yang seimbang antara elemen latar belakang dan latar depan, dengan warna, bentuk ilustrasi dan tipografi.

Ilustrasi yang diposisikan sebagai aspek penjelas ungkapan pesan dari desain kaos oblong Dagadu Djokdja ini menggunakan bentuk idiom estetik dekoratif. Idiom estetik yang dimaksudkan di sini adalah suatu cara tertentu dalam mengkomposisikan elemen-elemen bentuk (ilustrasi, tipografi, layout dan bidang) dengan menghasilkan bentuk-bentuk tertentu. Sedangkan idiom estetik dalam konteks ini adalah gaya pengungkapan ilustrasi sebagai visualisasi tanda visual.

Maka dengan demikian, idiom estetik dekoratif adalah sebuah istilah yang ditujukan pada perwujudan karya seni rupa dan desain yang menonjolkan segi hiasannya.

Pada ilustrasi yang bercorak dekoratif, seperti terlihat pada karya kaos oblong Dagadu Djokdja bertema ‘’DJOK DJA’’ dan ‘’RID: Rest in DJOKDJA’’, bentuk objek yang digambarkan sering dideformasikan dalam bentuk-bentuk yang bersifat hias, disesuaikan dengan segi fungsinya sehingga akan dapat dijumpai beberapa tingkatan deformasi bentuk, mulai dari mendekati realistis dengan kesan-kesan plastisitas dan volume, sampai bentuk yang jauh dari sifat realis, yakni bentuk yang mempunyai kesan datar. Agaknya, desainer Dagadu Djokdja memilih pilihan terakhir, yakni mengangkat idiom estetik dekoratif yang jauh dari sifat realis dengan merekayasa bentuk ikon sehingga mempunyai kesan yang datar-datar saja.

Dengan memilih idiom estetik dekoratif dalam visualisasi berbagai ilustrasi desain, maka posisi karya desain tersebut menjadi sangat aman dan tenteram. Hal semacam itu disadari sepenuhnya oleh tim kreatif Dagadu Djokdja, karena sejak awal melempar karya desain di pasar oblong bebas, niat luhurnya menggunakan semangat parodi, semangat nyindir dan semangat ngenyek. Pemilihan idiom estetik dekoratif menjadi sangat semanak manakala Dagadu melontarkan guyonan pari keno. Artinya, berupaya melakukan sindiran tetapi tidak melukai perasaan sang sasaran tembak. Dan apalah jadinya jika tim kreatif memilih idiom estetik realis. Bisa dipastikan akan bermunculan berbagai somasi atau tuntutan akibat side effect dari karya desain tersebut.

PENUTUP

Mengamati sekian banyak desain kaos oblong Dagadu Djokdja yang dalam perkembangan terakhir juga diaplikasikan pada media kartu pos, kalender, gantungan kunci, gelas mug, ternyata sarat dengan tanda-tanda visual.
Tanda yang dimaksud di sini adalah unsur dasar dalam semiotika dan komunikasi, yaitu segala sesuatu yang mengandung makna, yang mempunyai dua unsur penanda (bentuk) dan petanda (makna). Pierce membedakan jenis tanda menjadi tiga kategori, yakni: ikon, indeks, dan simbol.

Pada desain kaos oblong Dagadu Djokdja ini ketiga jenis tanda tersebut digunakan secara maksimal. Tetapi jenis tanda tertentu – dalam hal ini ikon dan simbol – hampir secara keseluruhan dimanfaatkan, karena ikon adalah tanda yang menyerupai objek (benda) yang diwakilinya atau suatu tanda yang menggunakan kesamaan atau ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkan. Hal itu terlihat pada ikon cangkir, gantungan the celup, asap mengepul yang divisualkan pada desain bertema ‘’DJOK DJA’’. Hal yang sama terlihat pula pada ikon laki-laki tua, duduk dikursi goyang, mengenakan busana kejawen lengkap dengan surjan, blangkon, jarik, dan sandal selop. Penggambaran ikon tersebut bisa kita saksikan pada desain kaos oblong dengan tema ‘’RID: Rest in DJOKDJA’’

Semua ikon yang dimanfaatkan oleh desainer dan tim kreatif Dagadu Djokdja ini mengandung idiom estetik dekoratif sebagai gaya ilustrasinya dan idiom estetik naratif sebagai gaya ungkap pesan verbal.

Kerabat kerja PT. Aseli Dagadu Djokdja ternyata juga cukup konsisten dalam melakukan eksperimen kreatif dengan mengolah tanda dan simbol melalui medium desain grafis. Lewat tangan ‘jahil’ desainer dan tim kreatif kaos oblong Dagadu Djokdja berhasil memunculkan trend penggunaan huruf sans serif yang ditebalkan (bold). Mereka sukses mengemas desain poster yang diejawantahkan dalam sebidang kaos oblong dengan meminjam idiom estetik dekoratif sebagai gaya ungkap bentuk ilustrasinya. Garis outline tebal menjadi ciri utama desain ini yang diposisikan untuk membungkus objek ilustrasi maupun tipografi.

Lewat wacana parodi pada setiap teks verbal maupun visual yang digelembungkan oleh tim kreatif Dagadu Djokdja, diyakini mampu menambah perbendaharaan dan memperkaya kosa kata plesetan di tengah carut marut perkembangan bahasa Indonesia yang ‘’tidak baik dan tidak benar’’ dalam konteks bahasa gaul. Hal ini terjadi karena kelenturan relasi pertandaan dan berbagai kode yang dipinjam oleh pemikir-pemikir Dagadu dalam menggambarkan seni postmodernisme sebagai suatu karya terbuka yang membuka pintu lebar-lebar bagi kombinasi dialog dan permainan tanda, kode, dan idiom-idiom yang tidak terbatas namun mampu menembus batas.

Selain itu, karya desain kaos oblong Dagadu Djokdja berikut pernak-pernik aplikasinya berhasil memberikan sentuhan dan aksentuasi baru bagi pengembangan disiplin ilmu desain komunikasi visual atau desain grafis. Artinya, desain Dagadu Djokdja sudah memasuki sebuah wacana yang siap untuk dikaji, diperdebatkan, dibongkar, diuji dan kemudian didokumentasikan sebagai sebuah teori. Sebab sebuah karya desain komunikasi visual dan kajian teori desain grafis sulit berkembang jika tidak ditemukan karya-karya eksperimen yang dibidani oleh praktisi-praktisi yang kreatif, inovatif, dan ‘agak gila’ dalam konteks menggali hal-hal baru dari yang paling baru.

DAFTAR PUSTAKA

Bakhtin, Mikhail. l981. The Dialogic Imagination. Massachussets: Harvard University Press.

———- ‘’Dagadu Djokdja: Perjalanan Empat Tahun Pertama’’. l997. Yogyakarta: PT Aseli Dagadu Djokdja.

Eco, Umberto. l976. Theory of Semiotics. Bloomington: Indiana University Press. Barthes, Roland. l974. S/Z. New York: Hill & Wang.

Hornby, A.E. (ed). l974. Oxford Advanced Learner Dictionary. London: Oxford University Press.

Hutcheon, Linda. l985. A Theory of Parody, The Teaching of Twentieth Century Art Form. Methuen.

Piliang, Yasraf Amir. l999. Hiper-Realitas Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS.

Nizar, M dan Mawardi. l972. Saduran Basic Design. Yogyakarta: STSRI ‘’ASRI’’.


Sumbo Tinarbuko, Konsultan Desain, Dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta. Sekarang Kandidat Doktor FIB UGM.

Quoted

Desain (grafis) adalah kata kerja–bukan kata benda–karena mengutamakan proses; berupa pengolahan nilai keunikan dan keotentikan dari suatu problem

Eka Sofyan Rizal