Maskulinitas Perempuan dalam Iklan dalam Hubungannya dengan Citra Sosial Perempuan Ditinjau dari Perspektif Gender

ABSTRAK

Di Indonesia, penampilan model perempuan dalam iklan tidak jauh dari konstruksi bias gender yang mirip dialami mereka pula di kehidupan bermasyarakat. Mereka ditampilkan sebagai the other, disubordinasikan, dan masih di wilayah domestik. Namun sejak akhir 90-an sampai saat ini, beberapa iklan mulai berani menampilkan model perempuan di luar konstruksi umum tersebut. Mereka ditampilkan tidak lagi sesuai dengan konstruksi umum tentang arti feminin: lemah lembut, lemah fisik, halus, pasif, rendahan hati, submisif, bersikap manis, dan sejenisnya; namun maskulin: rasional, kuat, cerdas, dan tegas. Globalisasi informasi dan komunikasi memberi pengaruh pada pola pikir manusia yang berpengaruh juga pada tema-tema iklan. Contohnya seperti iklan yang bertema kesetaraan gender sedikit banyak membantu pembelajaran masyarakat akan nilai-nilai maskulinitas yang tidak hanya boleh ‘dimiliki’ laki-laki saja.

Kata kunci: maskulin, perempuan, iklan, gender.

ABSTRACT

In Indonesia, women models appear in advertisements not far away from their ray construction which
with their experiences in society. They are appeared as the other, subordinate, and live in the domestic region. However, in the late of 90’s till now, some advertisements have been appearing women models outside of general construction about femininity concepts: weak, delicate, passive, modest, submissive, charming, etc.; but masculine: rational, strong, intelligent, and explicit. The globalization of information and communication which also have impact to people’s thinking pattern which influence to advertisemenst themes as well. Such as feminism concepts become themes of advertisements, at least educate community that masculinity is not just belong to men.

Keywords: masculine, woman, advertisement, gender.

 

PENDAHULUAN

Pada umumnya dalam iklan perempuan selalu ditampilkan sebagai sosok yang tidak jauh dari peran domestik seperti masalah dapur, sumur, mengurus anak, belanja untuk kebutuhan keluarga, dan sebagainya. Mereka terkadang pula diposisikan sebagai subordinat laki-laki, misalnya menjadi bawahan, sekretaris, dan peran-peran melayani atau menopang kebutuhan laki-laki. Sama halnya dengan posisi mereka dalam kehidupan bermasyarakat; banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kebudayaan dan kebiasaan atau adat masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe ini. Di India ada sebuah ungkapan membesarkan anak perempuan sama saja seperti mengairi pohon rindang di halaman orang lain.1 Demikian juga ahli filsafat sejak ribuan tahun yang lalu misalnya Aristoteles menyebarkan ajarannya yang mengatakan bahwa laki-laki menguasai perempuan karena jiwa perempuan memang tidak sempurna. Seperti pernyataan Kant yang dikutip oleh Budiman, sulit dipercaya bahwa perempuan punya kesanggupan untuk mengerti prinsip-prinsip. Schopenhauer dalam Budiman, mengungkapkan bahwa perempuan dalam segala hal terbelakang, tidak sanggup berpikir dan berefleksi. Posisinya di antara laki-laki dewasa yang merupakan manusia sesungguhnya dan anak-anak. Perempuan hanya tercipta untuk beranak. Pendapat Spock seperti dikutip oleh Budiman menyebutkan bahwa perempuan pada hakikatnya hanya dapat mengerjakan sesuatu yang diulang-ulang, pekerjaan tidak menarik, merasa bahagia kalau tidak agresif tidak hanya secara seksual namun juga dalam kehidupan sosial, pekerjaan, dan tugasnya sebagai ibu. Ide bahwa perempuan lebih ‘lemah’ dari laki-laki disebarkan juga melalui agama-agama besar dunia. Budiman memberi contoh tentang ajaran yang mengatakan perempuan terbuat dari tulang rusuk laki-laki, bahkan ada doa pagi dari penganut agama tertentu yang isinya pujian dan ucapan syukur pada pencipta karena tidak dilahirkan sebagai perempuan. Contoh lainnya ujarnya adalah agama tertentu mengajarkan pula bahwa laki-laki lebih berkuasa dari wanita karena sifat-sifat yang diberikan Tuhan pada mereka memang demikian adanya dan banyak lagi pendapat yang melemahkan posisi perempuan dalam berbagai ajaran agama.2

Kalau diamati lebih jauh hampir di sebagian besar iklan yang ditayangkan di media massa selain menempatkan perempuan dalam perannya sebagai ‘orang kedua’ atau disubordinasikan pada peran laki-laki, perempuan terkadang hanya dipakai sekedar sebagai pemanis saja karena perannya sama sekali tidak ada hubungannya dengan pesan pokok iklan. Mereka ditampilkan dengan pakaian seksi, menggoyang-goyangkan pantat, membuka sedikit dadanya atau menunjukkan betisnya yang indah, dan lain sebagainya untuk menimbulkan perhatian saja.

Dalam perkembangan selanjutnya berbagai stereotipe perempuan yang lemah dan selalu menjadi subordinat pria dalam penampilannya di berbagai iklan mulai menunjukkan perubahan dimana posisi perempuan terkadang ditampilkan lebih ‘berkuasa’ dan ‘perkasa’ dari laki-laki. Atau mereka tidak lagi ditampilkan sebagai makhluk yang lemah dan pasif namun kuat, gesit dan lincah. Salah satu contoh kasusnya adalah sosok gadis cantik Dian Sastro dalam iklan produk sabun mandi yang membuat pria-pria penggoda keteteran karena kemampuan beladirinya yang lihai. Atau Zhang Zi Yi dalam iklan produk kartu kredit yang juga membuat pria bertekuk lutut karena keahlian beladirinya.

Tulisan ini bertujuan untuk menyoroti sejauh mana citra sosial perempuan dalam iklan sebagai sosok yang ‘maskulin’ ditinjau dari perspektif gender dan sejauh mana kemungkinan penggunaan model perempuan maskulin tersebut berimplikasi pada wacana tentang gender dalam konteks budaya patriarki.

 

CITRA SOSIAL PEREMPUAN DALAM IKLAN

Karya-karya iklan pada kenyataannya banyak yang menggambarkan serangkaian citra dan stereotipe perempuan yang baku. Citra-citra yang diobjektifkan ini memiliki ciri yang mendasar, yakni mendefinisikan perempuan sejauh dia melayani, atau berkaitan dengan kepentingan laki- laki. Pada umumnya, secara konkret perempuan digambarkan dengan peran-peran yang bersifat marginal. Misalnya, peran-peran yang bersifat domestik: seperti sebagai ibu rumah tangga yang mengurus dan mengasuh anak, mencuci, memasak di dapur, menghidangkan masakan untuk suami dan anak-anak, mempercantik diri untuk menyenangkan suami atau laki-laki. Sulit menemukan iklan-iklan yang menampilkan pria dalam peran-peran seperti tersebut di atas. Tetapi mereka hampir selalu digambarkan dalam peran-peran yang bersifat publik dan sebagai pihak yang dilayani wanita. Menurut Tamagola seperti dikutip oleh Liestianingsih menyebutkan bahwa wanita dalam iklan terkadang ditempatkan dalam citra peraduan yakni sebagai objek seks, pemuas laki-laki. Dia juga mengungkapkan bahwa ideologi perempuan dalam iklan adalah ideologi yang bias gender. Perempuan dikonstruksi sebagai pemuas laki-laki belaka, dan disebut sebagai citra pigura, yakni perempuan kelas menengah dan atas perlu tampil memikat untuk mempertegas keperempuannya secara biologis seperti kulit halus, rambut panjang, badan ramping, kaki indah, wajah menarik dan seterusnya. Salah satu contohnya adalah iklan shampo ternama dimana digambarkan seorang remaja puteri menumpahkan sebotol air mineral agar pacarnya tidak melihat rambutnya yang kusam. Setelah memakai shampo itu rambutnya nampak indah, barulah ia menemui pacarnya.3

Gambaran yang lain, iklan cenderung menggambarkan perempuan dalam posisi yang subordinatif. Hal ini karena adanya suatu anggapan di masyarakat pada umumnya bahwa wanita itu pasif, kurang cerdas, emosional sehingga menyebabkan ia terkadang bertindak irasional, maka ia tidak bisa memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Misalnya dalam iklan perempuan digambarkan sebagai orang kedua, yang keberadaannya dalam struktur sosial kemasyarakatan di bawah laki-laki. Meski terkadang ia digambarkan dalam peran- peran yang bersifat publik seperti perkantoran dan bisnis namun jarang sekali yang diposisikan sebagai tokoh yang berperan sebagai pengambil keputusan (sebagai pemimpin). Pada umumnya ia digambarkan sebagai karyawan/bawahan, misalnya sekretaris, sementara laki-laki lebih sering ditampilkan sebagai tokoh yang berperan sebagai pengambil keputusan (sebagai pemimpin atau bos). Sering pula dalam karya iklan perempuan ditampilkan secara dominan dalam arti ia menjadi daya tarik dan perhatian pemirsa namun kalau diamati lebih jauh identitas dan peran  sosialnya tidak jelas. Sehingga kesan yang nampak secara sosial terhadap keberadaannya  hanyalah sebagai pelengkap dan pendukung keberadaan laki-laki. Misalnya, sebagai pendamping suami atau laki-laki, baik itu dalam gambaran kehidupan rumah tangga, dalam hubungan kerja,  maupun dalam hubungan kemasyarakatan. Ada sebuah iklan yang menggambarkan konstruksi sosial perempuan sebagaimana seharusnya isteri bertindak pada suami yaitu ‘nrimo ing pandhum‘ (menerima semuanya dengan sabar dan tawakal). Dalam iklan tersebut sang isteri dengan begitu sabarnya menerima polah tingkah sang suami yang seenaknya menaruh cangkir  kotor ataupun piring bekas makan di sembarang tempat bahkan di tumpukan baju. Dengan sabarnya sang isteri ini tersenyum sambil menggelengkan kepalanya melihat polah tingkah suaminya tersebut. Sebuah gambaran kepasrahan yang tulus perlambang kesetiaan dan penerimaan yang suci sang isteri akan karakter ‘negatif’ sang suami? Jelas disini ada domestifikasi peran perempuan yang kemudian secara vulgar masyarakat menginternalisasi bahwa begitulah seharusnya isteri.

Dalam konteks sebagai unsur visual, kehadiran perempuan terkesan hanyalah sebagai daya tarik dan terkadang tidak ada hubungannya dengan pesan iklan yang ingin disampaikan. Iklan yang demikian banyak sekali muncul terutama pada produk-produk yang berhubungan erat dengan dunia ‘laki-laki’. Misalnya pada iklan produk cat mobil yang menampilkan wanita yang terbuka bajunya sehingga nampak BH-nya (dan tentu saja buah dadanya menyembul terlihat  jelas) dan roknya yang tersingkap memperlihatkan betis dan pahanya. Demikian juga yang nampak pada iklan-iklan produk minuman berenergi yang selalu menempatkan perempuan sebagai ‘pemuas hasrat laki-laki’ atau pun perempuan seolah-olah menjadi inspirator bagi laki-laki agar dapat memuaskan mereka. Bentuk iklan semacam ini jelas-jelas menempatkan perempuan hanya sebagai objek pria.

 

 

Maskulinitas Perempuan dalam Iklan dalam Hubungannya dengan Citra Sosial Perempuan Ditinjau dari perspektif Gender
Dalam teori sosiologi gender, Connell seperti dikutip oleh Wajcman mengungkapkan bahwa maskulinitas ada dua bentuk dominan, maskulinitas secara budaya atau ‘maskulinitas hegemonik’ dan bentuk maskulinitas yang ‘tersubordinasi’. Yang dimaksud dengan hegemonik disini adalah pengaruh sosial yang dicapai bukan karena kekuatan melainkan karena pengaturan kehidupan pribadi dan proses-proses budaya. Hal ini berlawanan dengan tersubordinasi, dimana kekerasan adalah kunci yang sangat berpengaruh untuk memaksakan sebuah cita-cita/kekuasaan bagi maskulinitas tersebut. Maskulinitas hegemonik adalah bentuk maskulinitas ‘ideal’ karena tidak harus berhubungan erat dengan kepribadian aktual laki-laki. Namun Wajcman menilai bahwa ada inti maskulinitas dominan yang tercermin dalam varian-varian yang berbeda. Contohnya dalam masyarakat barat kontemporer, maskulinitas hegemonik ini sangat erat dengan paradigma agresivitas dan kekerasan seperti yang dipahami kaum feminis kontemporer sejauh ini.4 Tolok ukur bentuk maskulinitas semacam ini adalah debu, kebisingan, dan bahaya. Namun bisa juga dalam konsep maskulinitas masyarakat barat kontemporer, bentuk maskulinitas berhubungan erat dengan ‘kekuatan’ mereka akan penguasaan teknologi yang merupakan realisasi laki-laki yang secara sosial gagal mengkompensasikan kurangnya kekuatan ‘fisik’ mereka. Contoh kasus disini adalah kaum hackers yang secara fisik tidak menarik dan patologis namun secara teknik mereka adalah potret ‘perkasa’ dalam hubungannya dengan laki-laki lain dan perempuan yang kurang memiliki keahlian seperti mereka.5

Berbicara tentang kultur dan kehidupan sosial dewasa ini tidak dapat lepas dari teknologi. Kemajuan teknologi dewasa ini merupakan aspek dominan yang berpengaruh terhadap konstruksi sosial. Dalam wacana ini polaritas antara ilmu pengetahuan dan sensualitas, kekerasan dan kelembutan, barang dan manusia menggambarkan sistem simbol dan metafora dimana perempuan dipandang dekat dengan alam, laki-laki dengan kultur. Stereotipe laki-laki lebih dekat dengan logika dan rasio sedangkan perempuan cenderung ke arah emosional, daya analisisnya kurang dan tentu saja lebih lemah dari laki-laki. Sehingga Wajcman dapat menyimpulkan bahwa dalam dunia yang dipenuhi dengan teknologi dan industri dimana ilmu pengetahuan dan rasionalitas sangat dihargai menyebabkan perempuan semakin terperosok dalam konstruksi bahwa mereka adalah inferior sedangkan laki-laki adalah superior.6

Maskulinitas dalam hubungannya dengan konstruksi sosial laki-laki dan perempuan di atas secara tersirat erat berkaitan dengan permasalahan gender. Menurut Zimmerman yang dikutip oleh Ritzer dan Goodman menjelaskan bahwa gender (yaitu perilaku yang memenuhi harapan sosial untuk laki-laki dan perempuan) tidak melekat dalam diri seseorang, tetapi dicapai melalui interaksi dalam situasi tertentu. Dengan demikian konsepsi individu tentang perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat adalah diaktifkan secara situasional. Dalam arti seseorang melaksanakan peran jenis kelamin karena situasi memungkinkan seseorang berperilaku sebagai laki-laki dan perempuan dan sejauh orang mengakui perilakunya. Sehingga ada kemungkinan orang dengan kultur yang berbeda tidak bisa memahami perilaku orang lain dilihat dari sudut identitas jenis kelamin dimana perilaku tersebut tidak diakui sebagai perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat. Tak jarang, pembagian kerja dalam rumah tangga yang tampaknya tak seimbang dilihat dari luar situasi rumah tangga, mungkin dilihat adil dan seimbang baik oleh lakilaki maupun perempuan dalam situasi tersebut karena laki-laki dan perempuan menerima dan menyesuaikan diri terhadap harapan normatif untuk berperan menurut jenis kelamin di dalam rumah tangga.7 Senada dengan itu Mosse mengungkapkan secara mendasar gender berbeda dengan jenis kelamin biologis yang merupakan pemberian dimana kita dilahirkan sebagai lakilaki atau perempuan. Namun yang menjadikan kita kemudian disebut maskulin dan feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur yang ‘memaksa’ kita mempraktekkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Mosse mengumpamakannya sebagai kostum dan topeng teater, dimana kita berperan sebagai feminin dan maskulin.8

Melihat pernyataan Mosse serta Zimmerman seperti dikutip oleh Ritzer dan Goodman di atas bahwa konsepsi individu tentang perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat adalah bersifat situasional dan bahwa gender berbeda dengan seks dalam artian gender dapat dipertukarkan dan berubah berdasarkan kepentingan situasional. Dengan demikian sah-sah saja perempuan memposisikan dirinya berperan sebagaimana laki-laki, dia tidak lagi feminin seperti anggapan umumnya seperti lemah-lembut, lemah fisik, halus, rendah hati, submisif, bersikap manis, dan sejenisnya,9 namun maskulin: rasional, cerdas, pengambil keputusan yang baik/tegas, dan perkasa! Salah kaprahnya, kalau wanita itu kuat dan aktif secara fisik maka dia akan dicap tomboy. Dan hal ini selalu didengung-dengungkan dalam konsepsi patriarki. Sehingga konstruksi sosial gender yang salah kaprah tersebut tanpa sadar dipraktekkan dan merasuk dalam benak masyarakat. Misalnya dalam dunia pendidikan, kultur sekolah terlibat dalam konstruksi gender dan seksualitas yang menurut Wajcman sebagai ‘kurikulum tersembunyi’. Guru mengajar murid secara implisit mengenai arti dan perilaku femininitas dan maskulinitas. Murid laki-laki dan perempuan diberlakukan berbeda sehingga respon terhadap identitas gender yang salah kaprah tersebut menjadi hal yang penting dalam persepsi anak-anak mengenai diri mereka sendiri. Murid yang perempuan akhirnya menampilkan pola bertindak dan berpikir feminin, yaitu bahwa laki-laki memperoleh sesuatu yang tidak mereka peroleh; perbedaan ini hidup sebagai rasa inferior.10 Sehingga hasil studi di sekolah dasar menurut Clarricoates seperti dikutip oleh Wajcman, menunjukkan bahwa laki-laki secara natural ditakdirkan dengan sifat maskulin, seperti dapat menyetir mobil, traktor, atau helikopter. Setali tiga uang, demikian juga dengan pendidikan dalam keluarga, banyak permainan anak-anak yang mendukung anak laki-laki menjadi aseptif dan tidak bergantung, untuk memecahkan masalah, dan bereksperimen dengan konstruksi. Permainan ini akan membuat anak-anak belajar dasar-dasar matematik, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Berbeda dengan anak-anak perempuan dengan permainan bonekanya yang asosiatif dengan pemeliharaan dan interaksi sosial. Dan jelas yang diuntungkan adalah anak laki-laki.11 Permainan ini yang nantinya akan membentuk pola pembagian kerja secara seksual antara anak laki-laki dan perempuan, bukan secara gender.

Pada iklan dominasi superior terhadap inferior juga terjadi. Misalnya peran perempuan terkadang hanya menjadi pemanis saja dan/atau disubordinasikan. Dalam hal ini, dengan mengambil istilah Mulyana seperti dikutip oleh Wibowo, iklan diciptakan hanya untuk laki-laki. Mengapa? Karena iklan merupakan reproduksi peran tradisional kaum perempuan. Laki-laki dan perempuan digambarkan sebagai dua makhluk yang berbeda. Peran perempuan hanya di seputaran wilayah domestik (dapur, sumur, mengurus anak, menyiapkan makan dan meladeni suami) dan kecantikan atau perawatan diri. Khusus untuk kasus iklan kecantikan terkadang ada juga yang merendahkan martabat perempuan dimana setelah produk dipakai maka seolah-olah ia akan menjadi ‘santapan’ laki-laki.12 Iklan-iklan semacam ini menjadikan perempuan sebagai objek fantasi laki-laki. Kecantikan, sensualitas, dan tubuh ideal didefinisikan, dibentuk, diciptakan oleh hegemoni maskulin tidak melalui kekerasan fisik namun melalui reproduksi kreatif. Tidak hanya itu pula terkadang perempuan ditampilkan sebagai pihak yang boros/konsumtif. Sedangkan peran laki-laki dalam iklan cenderung pada sisi yang aktif, cerdas, rasional, kuat. Hal ini ditunjukkan dalam iklan-iklan rokok, bisnis, otomotif, minuman kesehatan, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Perubahan sosial yang diakibatkan oleh globalisasi ekonomi, teknologi dan informasi yang melenyapkan batas-batas teritorial misalnya negara, bangsa, kesukuan, kepercayaan, politik, dan budaya, berimbas secara signifikan pula pada pola berpikir dan stereotipe yang dibentuk oleh pola pemikiran modern tentang maskulinitas. Saat ini mengemuka pertanyaan tentang kebenaran bahwa laki-laki lebih superior dari perempuan. Wibowo meneropong peran ayah (suami) dan ibu (isteri) dalam keluarga. Ayah memang berperan sentral sebagai kepala keluarga. Namun dalam kehidupan sehari-hari perannya terbatas pada mencari nafkah saja serta sektor pekerjaan ‘berat’ seperti membetulkan genteng bocor, memotong rumput, mengupas kelapa dan berbagai aktivitas fisik lainnya. Sedangkan secara tradisi terlihat jelas posisi strategis ibu. Dia tidak hanya mengurusi dapur saja namun juga harus mencurahkan waktunya untuk perhatian, kasih sayang serta pendidikan anak-anak.13 Bahkan peran ibu dalam masyarakat urban dewasa ini jauh lebih kompleks lagi selain mengurusi hal tersebut dia juga harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dengan bekerja di sektor publik. Dengan kalimat lain, ibu berperan lebih daripada ayah. Dalam mengurus rumah tangga pun ibulah yang mengatur dan memanajemen keuangan dan kebutuhan apa saja yang harus dibeli untuk kepentingan keluarga. Maka, jelas tergambarkan disini kontruksi masyarakat bahwa perempuan itu lebih ‘lembek’ daripada laki-laki jelas salah. Dibutuhkan intelegensi emosi dan ketahanan fisik yang kuat untuk menjadi seperti itu. Semakin nampak pula bahwa konsepsi maskulin berwawasan gender ada disini. Maskulin bukan berarti jenis kelamin/seks namun kemampuan, kekuatan, dan daya tahan fisik dan mental yang kuat serta logika yang mantap. Dalam hal ini tidak hanya berlaku bagi laki-laki, perempuan pun memiliki hal tersebut.

Ideologi maskulin berwawasan gender semacam itu, dewasa ini juga muncul di iklan-iklan. Namun wacana gender tersebut terkadang cenderung vulgar, dimana maskulinitas tersebut masih dalam wilayah ‘fisik’. Namun hal ini lumrah saja karena memang konsepsi tentang maskulinitas seperti yang orang banyak rasakan adalah tentang kekuatan fisik saja dan/atau sosok yang tegas. Karena hal ini, ratu Elisabeth I sering mendapatkan julukan sebagai raja putri yang memiliki ciri-ciri maskulinitas yang menonjol karena ketegasannya tidak hanya dikenal di Inggris tapi juga dalam perang-perang dengan negara tetangga.14

Dalam iklan-iklan dewasa ini terkadang perempuan digambarkan dengan sifat-sifat maskulin di atas. Mereka gesit, kuat, dan terkadang mampu melumpuhkan laki-laki. Jenis iklan ini mulai muncul di dasawarsa 90-an. Dalam sebuah iklan shampo Clear, nampak seorang gadis cantik mampu mengalahkan dua laki-laki berotot. Pemeranan semacam ini berjalan terus sampai dewasa ini. Seperti ditunjukkan iklan pada gambar 1 yang masih menggarap wacana iklan berpendekatan gender dari sudut kekuatan fisik dan dominasi perempuan terhadap laki-laki.

Maskulinitas Perempuan dalam Iklan dalam Hubungannya dengan Citra Sosial Perempuan Ditinjau dari Perspektif Gender August 18, 2010 | Academic Writing, Fakultas Seni dan Desain UK Petra, Surabaya, National, School & College | 0 | Edit Oleh Cons. Tri Handoko ABSTRAK Di Indonesia, penampilan model perempuan dalam iklan tidak jauh dari konstruksi bias gender yang mirip dialami mereka pula di kehidupan bermasyarakat. Mereka ditampilkan sebagai the other, disubordinasikan, dan masih di wilayah domestik. Namun sejak akhir 90-an sampai saat ini, beberapa iklan mulai berani menampilkan model perempuan di luar konstruksi umum tersebut. Mereka ditampilkan tidak lagi sesuai dengan konstruksi umum tentang arti feminin: lemah lembut, lemah fisik, halus, pasif, rendahan hati, submisif, bersikap manis, dan sejenisnya; namun maskulin: rasional, kuat, cerdas, dan tegas. Globalisasi informasi dan komunikasi memberi pengaruh pada pola pikir manusia yang berpengaruh juga  pada tema-tema iklan. Contohnya seperti iklan yang bertema kesetaraan gender sedikit banyak membantu pembelajaran masyarakat akan nilai-nilai maskulinitas yang tidak hanya boleh ‘dimiliki’ laki-laki saja. Kata kunci: maskulin, perempuan, iklan, gender. ABSTRACT In Indonesia, women models appear in advertisements not far away from their ray construction which resemble with their experiences in society. They are appeared as the other, subordinate, and live in the domestic region. However, in the late of 90’s till now, some advertisements have been appearing women models outside of general construction about femininity concepts: weak, delicate, passive, modest, submissive, charming, etc.; but masculine: rational, strong, intelligent, and explicit. The globalization of information and communication which also have impact to people’s thinking pattern which influence to advertisemenst themes as well. Such as feminism concepts become themes of advertisements, at least educate community that masculinity is not just belong to men. Keywords: masculine, woman, advertisement, gender. PENDAHULUAN Pada umumnya dalam iklan perempuan selalu ditampilkan sebagai sosok yang tidak jauh dari peran domestik seperti masalah dapur, sumur, mengurus anak, belanja untuk kebutuhan keluarga, dan sebagainya. Mereka terkadang pula diposisikan sebagai subordinat laki-laki, misalnya menjadi bawahan, sekretaris, dan peran-peran melayani atau menopang kebutuhan laki-laki. Sama halnya dengan posisi mereka dalam kehidupan bermasyarakat; banyak peraturan pemerintah, aturan keagamaan, kebudayaan dan kebiasaan atau adat masyarakat yang dikembangkan karena stereotipe ini. Di India ada sebuah ungkapan membesarkan anak perempuan sama saja seperti mengairi pohon rindang di halaman orang lain.1 Demikian juga ahli filsafat sejak ribuan tahun yang lalu misalnya Aristoteles menyebarkan ajarannya yang mengatakan bahwa laki-laki menguasai perempuan karena jiwa perempuan memang tidak sempurna. Seperti pernyataan Kant yang dikutip oleh Budiman, sulit dipercaya bahwa perempuan punya kesanggupan untuk mengerti prinsip-prinsip. Schopenhauer dalam Budiman, mengungkapkan bahwa perempuan dalam segala hal terbelakang, tidak sanggup berpikir dan berefleksi. Posisinya di antara laki-laki dewasa yang merupakan manusia sesungguhnya dan anak-anak. Perempuan hanya tercipta untuk beranak. Pendapat Spock seperti dikutip oleh Budiman menyebutkan bahwa perempuan pada hakikatnya hanya dapat mengerjakan sesuatu yang diulang-ulang, pekerjaan tidak menarik, merasa bahagia kalau tidak agresif tidak hanya secara seksual namun juga dalam kehidupan sosial, pekerjaan, dan tugasnya sebagai ibu. Ide bahwa perempuan lebih ’lemah’ dari laki-laki disebarkan juga melalui agama-agama besar dunia. Budiman memberi contoh tentang ajaran yang mengatakan perempuan terbuat dari tulang rusuk laki-laki, bahkan ada doa pagi dari penganut agama tertentu yang isinya pujian dan ucapan syukur pada pencipta karena tidak dilahirkan sebagai perempuan. Contoh lainnya ujarnya adalah agama tertentu mengajarkan pula bahwa laki-laki lebih berkuasa dari wanita karena sifat-sifat yang diberikan Tuhan pada mereka memang demikian adanya dan banyak lagi pendapat yang melemahkan posisi perempuan dalam berbagai ajaran agama.2 Kalau diamati lebih jauh hampir di sebagian besar iklan yang ditayangkan di media massa selain menempatkan perempuan dalam perannya sebagai ‘orang kedua’ atau disubordinasikan pada peran laki-laki, perempuan terkadang hanya dipakai sekedar sebagai pemanis saja karena perannya sama sekali tidak ada hubungannya dengan pesan pokok iklan. Mereka ditampilkan dengan pakaian seksi, menggoyang-goyangkan pantat, membuka sedikit dadanya atau menunjukkan betisnya yang indah, dan lain sebagainya untuk menimbulkan perhatian saja. Dalam perkembangan selanjutnya berbagai stereotipe perempuan yang lemah dan selalu menjadi subordinat pria dalam penampilannya di berbagai iklan mulai menunjukkan perubahan dimana posisi perempuan terkadang ditampilkan lebih ‘berkuasa’ dan ‘perkasa’ dari laki-laki. Atau mereka tidak lagi ditampilkan sebagai makhluk yang lemah dan pasif namun kuat, gesit dan lincah. Salah satu contoh kasusnya adalah sosok gadis cantik Dian Sastro dalam iklan produk sabun mandi yang membuat pria-pria penggoda keteteran karena kemampuan beladirinya yang lihai. Atau Zhang Zi Yi dalam iklan produk kartu kredit yang juga membuat pria bertekuk lutut karena keahlian beladirinya. Tulisan ini bertujuan untuk menyoroti sejauh mana citra sosial perempuan dalam iklan sebagai sosok yang ‘maskulin’ ditinjau dari perspektif gender dan sejauh mana kemungkinan penggunaan model perempuan maskulin tersebut berimplikasi pada wacana tentang gender dalam konteks budaya patriarki. CITRA SOSIAL PEREMPUAN DALAM IKLAN Karya-karya iklan pada kenyataannya banyak yang menggambarkan serangkaian citra dan stereotipe perempuan yang baku. Citra-citra yang diobjektifkan ini memiliki ciri yang mendasar, yakni mendefinisikan perempuan sejauh dia melayani, atau berkaitan dengan kepentingan laki- laki. Pada umumnya, secara konkret perempuan digambarkan dengan peran-peran yang bersifat marginal. Misalnya, peran-peran yang bersifat domestik: seperti sebagai ibu rumah tangga yang mengurus dan mengasuh anak, mencuci, memasak di dapur, menghidangkan masakan untuk suami dan anak-anak, mempercantik diri untuk menyenangkan suami atau laki-laki. Sulit menemukan iklan-iklan yang menampilkan pria dalam peran-peran seperti tersebut di atas. Tetapi mereka hampir selalu digambarkan dalam peran-peran yang bersifat publik dan sebagai pihak yang dilayani wanita. Menurut Tamagola seperti dikutip oleh Liestianingsih menyebutkan bahwa wanita dalam iklan terkadang ditempatkan dalam citra peraduan yakni sebagai objek seks, pemuas laki-laki. Dia juga mengungkapkan bahwa ideologi perempuan dalam iklan adalah ideologi yang bias gender. Perempuan dikonstruksi sebagai pemuas laki-laki belaka, dan disebut sebagai citra pigura, yakni perempuan kelas menengah dan atas perlu tampil memikat untuk mempertegas keperempuannya secara biologis seperti kulit halus, rambut panjang, badan ramping, kaki indah, wajah menarik dan seterusnya. Salah satu contohnya adalah iklan shampo ternama dimana digambarkan seorang remaja puteri menumpahkan sebotol air mineral agar pacarnya tidak melihat rambutnya yang kusam. Setelah memakai shampo itu rambutnya nampak indah, barulah ia menemui pacarnya.3 Gambaran yang lain, iklan cenderung menggambarkan perempuan dalam posisi yang subordinatif. Hal ini karena adanya suatu anggapan di masyarakat pada umumnya bahwa wanita itu pasif, kurang cerdas, emosional sehingga menyebabkan ia terkadang bertindak irasional, maka ia tidak bisa memimpin dan oleh karena itu harus ditempatkan pada posisi yang tidak penting. Misalnya dalam iklan perempuan digambarkan sebagai orang kedua, yang keberadaannya dalam struktur sosial kemasyarakatan di bawah laki-laki. Meski terkadang ia digambarkan dalam peran- peran yang bersifat publik seperti perkantoran dan bisnis namun jarang sekali yang diposisikan sebagai tokoh yang berperan sebagai pengambil keputusan (sebagai pemimpin). Pada umumnya ia digambarkan sebagai karyawan/bawahan, misalnya sekretaris, sementara laki-laki lebih sering ditampilkan sebagai tokoh yang berperan sebagai pengambil keputusan (sebagai pemimpin atau bos). Sering pula dalam karya iklan perempuan ditampilkan secara dominan dalam arti ia menjadi daya tarik dan perhatian pemirsa namun kalau diamati lebih jauh identitas dan peran  sosialnya tidak jelas. Sehingga kesan yang nampak secara sosial terhadap keberadaannya  hanyalah sebagai pelengkap dan pendukung keberadaan laki-laki. Misalnya, sebagai pendamping suami atau laki-laki, baik itu dalam gambaran kehidupan rumah tangga, dalam hubungan kerja,  maupun dalam hubungan kemasyarakatan. Ada sebuah iklan yang menggambarkan konstruksi sosial perempuan sebagaimana seharusnya isteri bertindak pada suami yaitu ‘nrimo ing  pandhum’ (menerima semuanya dengan sabar dan tawakal). Dalam iklan tersebut sang isteri dengan begitu sabarnya menerima polah tingkah sang suami yang seenaknya menaruh cangkir  kotor ataupun piring bekas makan di sembarang tempat bahkan di tumpukan baju. Dengan sabarnya sang isteri ini tersenyum sambil menggelengkan kepalanya melihat polah tingkah  suaminya tersebut. Sebuah gambaran kepasrahan yang tulus perlambang kesetiaan dan penerimaan yang suci sang isteri akan karakter ‘negatif’ sang suami? Jelas disini ada  domestifikasi peran perempuan yang kemudian secara vulgar masyarakat menginternalisasi bahwa begitulah seharusnya isteri. Dalam konteks sebagai unsur visual, kehadiran perempuan terkesan hanyalah sebagai daya tarik dan terkadang tidak ada hubungannya dengan pesan iklan yang ingin disampaikan. Iklan yang demikian banyak sekali muncul terutama pada produk-produk yang berhubungan erat  dengan dunia ‘laki-laki’. Misalnya pada iklan produk cat mobil yang menampilkan wanita yang terbuka bajunya sehingga nampak BH-nya (dan tentu saja buah dadanya menyembul terlihat  jelas) dan roknya yang tersingkap memperlihatkan betis dan pahanya. Demikian juga yang nampak pada iklan-iklan produk minuman berenergi yang selalu menempatkan perempuan sebagai ‘pemuas hasrat laki-laki’ atau pun perempuan seolah-olah menjadi inspirator bagi laki-laki agar dapat memuaskan mereka. Bentuk iklan semacam ini jelas-jelas menempatkan perempuan hanya sebagai objek pria. Maskulinitas Perempuan dalam Iklan dalam Hubungannya dengan Citra Sosial Perempuan Ditinjau dari perspektif Gender Dalam teori sosiologi gender, Connell seperti dikutip oleh Wajcman mengungkapkan bahwa maskulinitas ada dua bentuk dominan, maskulinitas secara budaya atau ‘maskulinitas hegemonik’ dan bentuk maskulinitas yang ‘tersubordinasi’. Yang dimaksud dengan hegemonik disini adalah pengaruh sosial yang dicapai bukan karena kekuatan melainkan karena pengaturan kehidupan pribadi dan proses-proses budaya. Hal ini berlawanan dengan tersubordinasi, dimana kekerasan adalah kunci yang sangat berpengaruh untuk memaksakan sebuah cita-cita/kekuasaan bagi maskulinitas tersebut. Maskulinitas hegemonik adalah bentuk maskulinitas ‘ideal’ karena tidak harus berhubungan erat dengan kepribadian aktual laki-laki. Namun Wajcman menilai bahwa ada inti maskulinitas dominan yang tercermin dalam varian-varian yang berbeda. Contohnya dalam masyarakat barat kontemporer, maskulinitas hegemonik ini sangat erat dengan paradigma agresivitas dan kekerasan seperti yang dipahami kaum feminis kontemporer sejauh ini.4 Tolok ukur bentuk maskulinitas semacam ini adalah debu, kebisingan, dan bahaya. Namun bisa juga dalam konsep maskulinitas masyarakat barat kontemporer, bentuk maskulinitas berhubungan erat dengan ‘kekuatan’ mereka akan penguasaan teknologi yang merupakan realisasi laki-laki yang secara sosial gagal mengkompensasikan kurangnya kekuatan ‘fisik’ mereka. Contoh kasus disini adalah kaum hackers yang secara fisik tidak menarik dan patologis namun secara teknik mereka adalah potret ‘perkasa’ dalam hubungannya dengan laki-laki lain dan perempuan yang kurang memiliki keahlian seperti mereka.5 Berbicara tentang kultur dan kehidupan sosial dewasa ini tidak dapat lepas dari teknologi. Kemajuan teknologi dewasa ini merupakan aspek dominan yang berpengaruh terhadap konstruksi sosial. Dalam wacana ini polaritas antara ilmu pengetahuan dan sensualitas, kekerasan dan kelembutan, barang dan manusia menggambarkan sistem simbol dan metafora dimana perempuan dipandang dekat dengan alam, laki-laki dengan kultur. Stereotipe laki-laki lebih dekat dengan logika dan rasio sedangkan perempuan cenderung ke arah emosional, daya analisisnya kurang dan tentu saja lebih lemah dari laki-laki. Sehingga Wajcman dapat menyimpulkan bahwa dalam dunia yang dipenuhi dengan teknologi dan industri dimana ilmu pengetahuan dan rasionalitas sangat dihargai menyebabkan perempuan semakin terperosok dalam konstruksi bahwa mereka adalah inferior sedangkan laki-laki adalah superior.6 Maskulinitas dalam hubungannya dengan konstruksi sosial laki-laki dan perempuan di atas secara tersirat erat berkaitan dengan permasalahan gender. Menurut Zimmerman yang dikutip oleh Ritzer dan Goodman menjelaskan bahwa gender (yaitu perilaku yang memenuhi harapan sosial untuk laki-laki dan perempuan) tidak melekat dalam diri seseorang, tetapi dicapai melalui interaksi dalam situasi tertentu. Dengan demikian konsepsi individu tentang perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat adalah diaktifkan secara situasional. Dalam arti seseorang melaksanakan peran jenis kelamin karena situasi memungkinkan seseorang berperilaku sebagai laki-laki dan perempuan dan sejauh orang mengakui perilakunya. Sehingga ada kemungkinan orang dengan kultur yang berbeda tidak bisa memahami perilaku orang lain dilihat dari sudut identitas jenis kelamin dimana perilaku tersebut tidak diakui sebagai perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat. Tak jarang, pembagian kerja dalam rumah tangga yang tampaknya tak seimbang dilihat dari luar situasi rumah tangga, mungkin dilihat adil dan seimbang baik oleh lakilaki maupun perempuan dalam situasi tersebut karena laki-laki dan perempuan menerima dan menyesuaikan diri terhadap harapan normatif untuk berperan menurut jenis kelamin di dalam rumah tangga.7 Senada dengan itu Mosse mengungkapkan secara mendasar gender berbeda dengan jenis kelamin biologis yang merupakan pemberian dimana kita dilahirkan sebagai lakilaki atau perempuan. Namun yang menjadikan kita kemudian disebut maskulin dan feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur yang ‘memaksa’ kita mempraktekkan cara-cara khusus yang telah ditentukan oleh masyarakat bagi kita untuk menjadi laki-laki dan perempuan. Mosse mengumpamakannya sebagai kostum dan topeng teater, dimana kita berperan sebagai feminin dan maskulin.8 Melihat pernyataan Mosse serta Zimmerman seperti dikutip oleh Ritzer dan Goodman di atas bahwa konsepsi individu tentang perilaku laki-laki dan perempuan yang tepat adalah bersifat situasional dan bahwa gender berbeda dengan seks dalam artian gender dapat dipertukarkan dan berubah berdasarkan kepentingan situasional. Dengan demikian sah-sah saja perempuan memposisikan dirinya berperan sebagaimana laki-laki, dia tidak lagi feminin seperti anggapan umumnya seperti lemah-lembut, lemah fisik, halus, rendah hati, submisif, bersikap manis, dan sejenisnya,9 namun maskulin: rasional, cerdas, pengambil keputusan yang baik/tegas, dan perkasa! Salah kaprahnya, kalau wanita itu kuat dan aktif secara fisik maka dia akan dicap tomboy. Dan hal ini selalu didengung-dengungkan dalam konsepsi patriarki. Sehingga konstruksi sosial gender yang salah kaprah tersebut tanpa sadar dipraktekkan dan merasuk dalam benak masyarakat. Misalnya dalam dunia pendidikan, kultur sekolah terlibat dalam konstruksi gender dan seksualitas yang menurut Wajcman sebagai ‘kurikulum tersembunyi’. Guru mengajar murid secara implisit mengenai arti dan perilaku femininitas dan maskulinitas. Murid laki-laki dan perempuan diberlakukan berbeda sehingga respon terhadap identitas gender yang salah kaprah tersebut menjadi hal yang penting dalam persepsi anak-anak mengenai diri mereka sendiri. Murid yang perempuan akhirnya menampilkan pola bertindak dan berpikir feminin, yaitu bahwa laki-laki memperoleh sesuatu yang tidak mereka peroleh; perbedaan ini hidup sebagai rasa inferior.10 Sehingga hasil studi di sekolah dasar menurut Clarricoates seperti dikutip oleh Wajcman, menunjukkan bahwa laki-laki secara natural ditakdirkan dengan sifat maskulin, seperti dapat menyetir mobil, traktor, atau helikopter. Setali tiga uang, demikian juga dengan pendidikan dalam keluarga, banyak permainan anak-anak yang mendukung anak laki-laki menjadi aseptif dan tidak bergantung, untuk memecahkan masalah, dan bereksperimen dengan konstruksi. Permainan ini akan membuat anak-anak belajar dasar-dasar matematik, ilmu pengetahuan, dan teknologi. Berbeda dengan anak-anak perempuan dengan permainan bonekanya yang asosiatif dengan pemeliharaan dan interaksi sosial. Dan jelas yang diuntungkan adalah anak laki-laki.11 Permainan ini yang nantinya akan membentuk pola pembagian kerja secara seksual antara anak laki-laki dan perempuan, bukan secara gender. Pada iklan dominasi superior terhadap inferior juga terjadi. Misalnya peran perempuan terkadang hanya menjadi pemanis saja dan/atau disubordinasikan. Dalam hal ini, dengan mengambil istilah Mulyana seperti dikutip oleh Wibowo, iklan diciptakan hanya untuk laki-laki. Mengapa? Karena iklan merupakan reproduksi peran tradisional kaum perempuan. Laki-laki dan perempuan digambarkan sebagai dua makhluk yang berbeda. Peran perempuan hanya di seputaran wilayah domestik (dapur, sumur, mengurus anak, menyiapkan makan dan meladeni suami) dan kecantikan atau perawatan diri. Khusus untuk kasus iklan kecantikan terkadang ada juga yang merendahkan martabat perempuan dimana setelah produk dipakai maka seolah-olah ia akan menjadi ‘santapan’ laki-laki.12 Iklan-iklan semacam ini menjadikan perempuan sebagai objek fantasi laki-laki. Kecantikan, sensualitas, dan tubuh ideal didefinisikan, dibentuk, diciptakan oleh hegemoni maskulin tidak melalui kekerasan fisik namun melalui reproduksi kreatif. Tidak hanya itu pula terkadang perempuan ditampilkan sebagai pihak yang boros/konsumtif. Sedangkan peran laki-laki dalam iklan cenderung pada sisi yang aktif, cerdas, rasional, kuat. Hal ini ditunjukkan dalam iklan-iklan rokok, bisnis, otomotif, minuman kesehatan, dan masih banyak lagi yang lainnya. Perubahan sosial yang diakibatkan oleh globalisasi ekonomi, teknologi dan informasi yang melenyapkan batas-batas teritorial misalnya negara, bangsa, kesukuan, kepercayaan, politik, dan budaya, berimbas secara signifikan pula pada pola berpikir dan stereotipe yang dibentuk oleh pola pemikiran modern tentang maskulinitas. Saat ini mengemuka pertanyaan tentang kebenaran bahwa laki-laki lebih superior dari perempuan. Wibowo meneropong peran ayah (suami) dan ibu (isteri) dalam keluarga. Ayah memang berperan sentral sebagai kepala keluarga. Namun dalam kehidupan sehari-hari perannya terbatas pada mencari nafkah saja serta sektor pekerjaan ‘berat’ seperti membetulkan genteng bocor, memotong rumput, mengupas kelapa dan berbagai aktivitas fisik lainnya. Sedangkan secara tradisi terlihat jelas posisi strategis ibu. Dia tidak hanya mengurusi dapur saja namun juga harus mencurahkan waktunya untuk perhatian, kasih sayang serta pendidikan anak-anak.13 Bahkan peran ibu dalam masyarakat urban dewasa ini jauh lebih kompleks lagi selain mengurusi hal tersebut dia juga harus mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dengan bekerja di sektor publik. Dengan kalimat lain, ibu berperan lebih daripada ayah. Dalam mengurus rumah tangga pun ibulah yang mengatur dan memanajemen keuangan dan kebutuhan apa saja yang harus dibeli untuk kepentingan keluarga. Maka, jelas tergambarkan disini kontruksi masyarakat bahwa perempuan itu lebih ‘lembek’ daripada laki-laki jelas salah. Dibutuhkan intelegensi emosi dan ketahanan fisik yang kuat untuk menjadi seperti itu. Semakin nampak pula bahwa konsepsi maskulin berwawasan gender ada disini. Maskulin bukan berarti jenis kelamin/seks namun kemampuan, kekuatan, dan daya tahan fisik dan mental yang kuat serta logika yang mantap. Dalam hal ini tidak hanya berlaku bagi laki-laki, perempuan pun memiliki hal tersebut. Ideologi maskulin berwawasan gender semacam itu, dewasa ini juga muncul di iklan-iklan. Namun wacana gender tersebut terkadang cenderung vulgar, dimana maskulinitas tersebut masih dalam wilayah ‘fisik’. Namun hal ini lumrah saja karena memang konsepsi tentang maskulinitas seperti yang orang banyak rasakan adalah tentang kekuatan fisik saja dan/atau sosok yang tegas. Karena hal ini, ratu Elisabeth I sering mendapatkan julukan sebagai raja putri yang memiliki ciri-ciri maskulinitas yang menonjol karena ketegasannya tidak hanya dikenal di Inggris tapi juga dalam perang-perang dengan negara tetangga.14 Dalam iklan-iklan dewasa ini terkadang perempuan digambarkan dengan sifat-sifat maskulin di atas. Mereka gesit, kuat, dan terkadang mampu melumpuhkan laki-laki. Jenis iklan ini mulai muncul di dasawarsa 90-an. Dalam sebuah iklan shampo Clear, nampak seorang gadis cantik mampu mengalahkan dua laki-laki berotot. Pemeranan semacam ini berjalan terus sampai dewasa ini. Seperti ditunjukkan iklan pada gambar 1 yang masih menggarap wacana iklan berpendekatan gender dari sudut kekuatan fisik dan dominasi perempuan terhadap laki-laki. Gambar 1. Iklan televisi produk shampo Clear yang menggambarkan dominasi perempuan terhadap laki-laki dalam urusan kekuatan fisik. Sumber: www.cakram.co.id

Gambar 1. Iklan televisi produk shampo Clear yang menggambarkan dominasi perempuan terhadap laki-laki dalam urusan kekuatan fisik. Sumber: www.cakram.co.id

Dalam iklan pada Gambar 1 tergambarkan dengan jelas keberanian seorang gadis dalam menghadapi dominasi laki-laki dalam urusan fisik. Pada umumnya iklan shampo menonjolkan kelebihan produk, misalnya membuat rambut menjadi sehat sehingga nampak lebih lembut, halus, berkilau, atau bahkan lurus. Tema iklan shampo ini nampak berbeda benar dengan tema iklan-iklan yang erat hubungannya dengan dunia laki-laki seperti pada iklan otomotif, minuman suplemen, kondom, dan lain sebagainya yang secara vulgar selalu menonjolkan sensualitas perempuan. Sehingga yang nampak dominan adalah modelnya, bukan produknya. Ditinjau dari wacana gender, iklan yang menggambarkan kekuatan dan ketegasan perempuan semacam itu dalam proses pembelajaran publik dapat membongkar stereotip bahwa perempuan itu ‘lembek’ secara fisik maupun mental.

Ada juga versi yang hampir sama dengan apa yang ditampilkan iklan tersebut di atas. Misalnya pada iklan produk sabun mandi kecantikan yang menampilkan tokoh Dian Sastro yang mampu menjungkirbalikkan laki-laki penggoda. Pesan dari iklan tersebut secara tersirat ditinjau dari perspektif gender hendak mengatakan bahwa kecantikan bukan berarti untuk dilecehkan. Disana ada nilai-nilai kehormatan yang harus dijaga dan kalau perlu dipertahankan dengan keras. Sekali lagi ini pembelajaran secara tersirat bagi semua pihak untuk tidak melihat kecantikan dan perempuan sebagai objek laki-laki namun mereka perlu untuk dihormati dan dihargai sama seperti lainnya meskipun secara tampilan visual sisi kecantikan perempuan dalam iklan ini yang lebih terekspos. Ada juga iklan produk shampo yang menggambarkan kekuatan fisik perempuan tanpa mengekspos bahwa kesetaraan gender haruslah selalu digambarkan dengan dominasi perempuan atas laki-laki. Dalam iklan tersebut seorang gadis digambarkan kuat dan luwes dalam memainkan jurus-jurus pedang dalam wushu; sebuah aliran dalam seni beladiri bangsa China. Atau iklan harian nasional Kompas dalam kampanye iklan bertema “Buka Mata dengan Kompas” yang menggambarkan perjuangan seorang perempuan muda bernama Butet Manurung, 31 tahun, pemegang dua gelar kesarjanaan, menerobos pekatnya rimba Taman Nasional Bukit Tiga Puluh di Jambi. Di hutan ini dengan begitu gigih (dan tentu saja harus kuat, baik secara fisik maupun mental) dia mengajari baca tulis dan berhitung kepada anak-anak rimba. Sebuah gambaran perempuan dalam menaklukkan wacana stereotipe bahwa perempuan itu lemah fisik dan mentalnya.

Meski tidak banyak, ada juga iklan yang menggambarkan isteri yang mendominasi pria. Contoh ada iklan yang menggambarkan sang suami yang sedang mencuci dibentak-bentak isterinya. Sang suami nampak benar-benar takut pada isterinya. Gambaran ini menjerumuskan perempuan dalam peran yang tidak seharusnya. Meski mungkin maksudnya melucu namun hal ini merugikan perempuan. Mereka mengharapkan kesetaraan dalam peran hubungan suami-isteri dimana satu sama lain saling mengisi; ada peran dialogis bukan diktaktoris semacam itu. Sehingga akan merusak citra perempuan dan bisa jadi gambaran tersebut mempertegas konstruksi umum bahwa kalau laki-laki mendengarkan isteri suatu ketika akan diinjak-injak harkat martabatnya sebagai laki-laki.

Dalam hubungannya dengan daya tarik, pada umumnya iklan yang menggunakan pendekatan kebaruan (novelty) atau di luar adaptasi umum sering mendapatkan perhatian,15 sehingga kemungkinan untuk diingat khalayak menjadi lebih tinggi. Demikian juga iklan dengan jalan cerita yang berbeda dari kebiasaan umum juga akan menarik perhatian. Kalau pada umumnya perempuan ditampilkan sebagai sebuah objek kepentingan, hanya sejauh mereka melayani laki-laki, dan cenderung digambarkan dalam posisi yang subordinatif, sekarang mereka tampil berbeda. Ini sedikit banyak akan menarik perhatian khalayak. Demikian juga, semakin sering iklan-iklan dengan pendekatan gender ditayangkan akan membuat pesan iklan bertema gender semakin menancap dalam benak khalayak dan sedikit demi sedikit akan membuka saluran wacana (channel of discourse) masyarakat akan nilai-nilai kesetaraan tersebut.

Liliweri berpendapat, sebenarnya dalam setiap ulasan efek komunikasi (termasuk di dalamnya iklan) fungsi pendidikan selalu muncul. Hal ini sangat penting karena semua orang ingin menghindari terbentuknya suatu sikap yang negatif dan dengan demikian fungsi pendidikan dalam iklan sangat penting karena orang umumnya belajar sesuatu dari iklan yang ditonton, didengar, maupun dibaca.16 Namun hal ini bila dihubungkan dengan pendekatan tema perempuan maskulin dalam iklan, kemungkinan akan berefek ganda. Yang pertama, akan membawa pengaruh positif pada proses pembelajaran masyarakat tentang arti kesetaraan bahwa perempuan tidak boleh dilecehkan dan direndahkan. Mereka selain mempunyai harga diri juga kuat/tegas, mandiri, dan rasional. Kedua, akan berimplikasi buruk pada pandangan sosialnya, dia dicap ‘nyleneh’, tomboy, serta juga kemungkinan mempunyai orientasi seksual yang berbeda kalau sampai berperan ‘maskulin’. Contoh peristiwa yang mirip dengan hal ini adalah penjelasan

Liliweri tentang teori cutting edge. Dalam teori ini dikatakan bahwa iklan secara tidak disadari dapat mengubah bentuk perilaku yang menyimpang dari suatu budaya umum dan membentuk sub budaya kelompok tertentu. Dalam pengertian lain efek yang semula direncanakan untuk sasaran khalayak tertentu tidak tercapai namun malah mencapai sasaran yang tidak direncanakan. Contoh kasus adalah iklan tentang rokok pada tahun 1920 yang menggambarkan seorang perempuan sedang merokok di samping teman laki-lakinya. Beberapa tahun kemudian banyak perempuan mulai merokok. Akibatnya masyarakat menilai iklan tersebut telah mempengaruhi perubahan tata nilai masyarakat tentang feminisme yang dianut masa itu. Perempuan penghisap
rokok dikatakan telah berubah menjadi laki-laki.17

Ilustrasi tentang perempuan perokok di atas merupakan contoh kalau perempuan berpikir dan bertindak sedikit saja di luar kebiasaan masyarakat akan langsung dicap tidak normal. Sehingga tidak jarang ketika perempuan menuntut pendidikan yang ‘lebih’ muncul pendapat bahwa hal itu tidak perlu karena pada akhirnya nanti perempuan akan ke dapur juga. Pendapat ini masih terdengar pada abad digital ini. Dengan demikian kalau perempuan ingin lebih mandiri, tantangan dan tentangan pun telah menjadi bagian yang tidak terelakkan. Dengan demikian, perjuangan perempuan untuk setara dengan pria masih panjang. Namun perkembangan komunikasi, hubungan interpersonal dan antar budaya yang semakin mengglobal, pendidikan yang semakin merata, serta semakin banyaknya informasi tentang kesetaraan gender yang menerpa khalayak, lambat laun merubah pandangan masyarakat akan nilai-nilai gender. Dan iklan dengan tema kesetaraan gender telah bisa dikatakan menjadi salah satu pemicu tumbuhnya kesadaran akan gender tersebut.

 

SIMPULAN

Pada umumnya gambaran perempuan dalam iklan cenderung mencerminkan nilai-nilai yang berakar dari apa yang disebut oleh kaum feminis sebagai konsep perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan karena di dalamnya terkandung suatu gagasan yang cenderung memarjinalkan, mensubordinasikan, dan mendiskriminasikan hak dan peran kaum perempuan dengan pandangan yang bersifat stereotipe. Hal ini bersumber pada pandangan gender yang keliru sehingga merugikan dan menimbulkan ketidakadilan. Ini adalah gambaran umum konstruksi sosial yang menurut Mill seperti dikutip oleh Budiman merupakan hasil dari suatu sistem pendidikan. Dia percaya hal ini adalah sebuah skenario politik yang direncanakan oleh golongan yang lebih kuat yaitu laki-laki. Sejak dini, perempuan pada umumnya dijejali dan dibesarkan dengan kepercayaan bahwa sifat-sifat yang luhur bagi mereka adalah sifat yang bertentangan dengan laki-laki. Mereka tidak boleh memiliki keinginan sendiri. Dengan kalimat lain perempuan harus manut dan nurut ketika dikendalikan laki-laki. Menyangkal diri sendiri dan tidak boleh memiliki hidup sendiri. Mereka hanya boleh memiliki perasaan saja tanpa bisa mengekspresikannya. Ini adalah kodrat perempuan. Sebuah istilah yang dibuat dan dipertahankan secara terus menerus yang merupakan kombinasi tekanan dan paksaan di satu pihak dan rangsangan yang tidak wajar dan menyesatkan di pihak lain.18 Sehingga secara sosial ia merupakan objek dari kekuasaan atau superioritas laki-laki. Dalam iklan pun perlakuan demikian dialamatkan pada perempuan.

Namun wacana gender yang terus mengemuka dewasa ini rupanya menjadi titik tolak dari pola pemikiran akan adanya kesenjangan peran laki-laki dan perempuan. Hal ini berpengaruh juga dalam iklan sehingga tidak jarang saat ini iklan yang menggunakan sosok perempuan sebagai faktor yang dominan mulai bermunculan. Dalam iklan ini perempuan digambarkan cerdas, tegas, kuat secara fisik dan/atau mentalnya. Dengan kata lain, kekuatan fisik yang menjadi dasar dalam logika maskulinitas laki-laki menjadi tidak terbukti. Perempuan pun bisa maskulin dalam konteks gender. Dimana peran laki-laki atau perempuan itu bisa dipertukarkan dan berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan. Misalnya perempuan nampak tegas dan rasional, sebaliknya laki-laki bisa emosional, ramah dan lemah lembut. Perempuan bisa menjadi bos di kantor, pria pun tidak masalah bila harus mengasuh bayi, memandikan, dan mengganti popok. Memasak, mengepel lantai, dan aktivitas domestik lainnya.

 

1 Julia Cleves Mosse, Gender Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004, hal. 67.
2 Arief Budiman, Pembagian Kerja Secara Seksual, Jakarta: PT. Gramedia, 1982, hal. 6-8.
3 Liestianingsih, Ideologi Gender dalam Iklan Kosmetik di Televisi, Surabaya: Pusat Penelitian Studi Wanita Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, 2002, hal. 33-34.
4Judi Wajcman, Feminisme Versus Teknologi, terj. Ima Susilowati, Yogyakarta: SBPY-OXFAM UK-I, 2001, hal.160-161.
5 Ibid., hal.161-162
6 Ibid., hal. 163.
7 George Ritzer dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Alimandan, Jakarta: Kencana, 2003, hal. 413-414.
8 Mosse, Op. Cit., hal. 2-3
9 Dalam kamus Bahasa Inggris Webster’s dalam salah satu poinnya dijelaskan pengertian feminin sebagai: Having qualities regarded as characteristic of women and girls as gentleness, weakness, delicacy; modesty, etc.; womanly.
10 Wajcman, Op. Cit., hal. 170.
11 Ibid., hal.171.
12 Wahyu Wibowo, Sihir Iklan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003, hal.161.
13 Wibowo, Op. Cit., hal. 169-170.
14 R.M. Soedarsono, Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003, hal. 79.
15 Engel, J.F., R.D. Blackwell, dan P.W. Miniard, Perilaku Konsumen, Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1995, hal. 16.
16 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Periklanan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992, hal. 50-51.
17 Ibid., hal. 62.
18 Budiman, Op. Cit., hal. 4-5.

 


KEPUSTAKAAN

Budiman, Arief, Pembagian Kerja Secara Seksual, Jakarta: PT. Gramedia, 1982.
Engel, J.F., R.D. Blackwell, dan P.W. Miniard, Perilaku Konsumen, Jakarta: Bina Rupa Aksara, 1995.
Liestianingsih, Ideologi Gender dalam Iklan Kosmetik di Televisi, Surabaya: Pusat Penelitian Studi Wanita Lembaga Penelitian Universitas Airlangga, 2002.
Liliweri, Alo, Dasar-Dasar Komunikasi Periklanan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1992.
Mc Kechnie, Jean L., “Feminine,” Webster’s New Twentieth Century Dictionary of The English Language Unabridged, second ed., New York: Simon and Schuster, 1983.
Mosse, Cleves, Gender Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2004.
Ritzer, George dan Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, terj. Alimandan . Jakarta: Kencana, 2003.
Soedarsono, R.M., Seni Pertunjukan dari Perspektif Politik, Sosial, dan Ekonomi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2003.
Wajcman, Judi, Feminisme Versus Teknologi, terj. Ima Susilowati, Yogyakarta: SBPY-OXFAM UK-I, 2001.
Wibowo, Wahyu, Sihir Iklan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003.

 


Sumber: Desa Informasi > Pusat Penelitian (Research Centre) Petra Christian University

“Desa Informasi” or “Information Village” is the name adopted for the Local eContent (digital information resources with local flavor) development project being carried out in Petra Christian University Library.

“Desa Informasi” can also play an important role in preserving (at least) digitally local historical and cultural heritage, thus preserving the collective memory of a local society.

All Local eContent collections are available for everyone through the Internet for free. Some Local eContent collections are currently available in “Desa Informasi,” such as Surabaya Memory, Digital Theses, eDIMENSI, Petra@rt Gallery, Petra iPoster, and Petra Chronicle.

 


Cons. Tri Handoko
Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual
Fakultas Seni dan Desain – Universitas Kristen Petra

Quoted

Some nature is better polluted by design and art

Henricus Linggawidjaja