Pengantar
Tulisan pendek ini berbicara tentang ilustrasi visual. Untuk mencegah pengharapan yang berlebih, perlu diberitahukan bahwa yang bertugas menyajikan tulisan di forum diskusi Pameran Kata dan Gambar yang terhormat ini bukanlah kritikus seni ataupun pakar ilmu seni. Maka pretensi ilmiah bagi paparannya agaknya cenderung kurang tepat, meskipun di sana-sini di sepanjang uraiannya kadar ke-ilmiah-an bukan mustahil ada pula. Pada tulisan ini ada upaya mengamati, melanjut mengemukakan amatan tentang kehadiran konkret ilustrasi dalam wujud visual di dalam buku puisi Percakapan Diam-diam. Jadi, apa yang terlanjur secara tradisi(onal) dilabeli paparan ilmiah sekiranya dapat dikatakan begitu paling jauh hanya berkadar ke-ilmiah-ilmiahan, karena penyaji pun memang sedang membelajar, kebetulan mengenyam proses pendidikan formal akademik pula. Hanya kebetulan saja. Adapun manakala hadirin menginginkan sungguh-sungguh paparan tentang ilustrasi visual yang benar-benar bersifat ilmiah, dipersilakan hadirin mengkaji ratusan diskusi dan tulisan yang menampilkan berpuluh-puluh sarjana dan magister seni dan desain yang hasil kinerjanya telah terekam baik lewat katalog-katalog pameran, jurnal-jurnal penelitian seni dan ilmu budaya, media cetak dan buku-buku di berbagai perpustakaan institusi pendidikan. Menyebut secara acak, di antara yang sekian jumlahnya itu, antara lain yang tersaji tahun 2006 puisi rupa Made Wianta oleh Refly di dalam bukunya Bahasa Estetika Postmodernisme. Dituliskan di dalam pengantar ringkasnya oleh Darma Putra salah seorang pengajar di Universitas Udayana, bahwa puisi rupa atau mungkin puisi konkret seperti pernah dipopulerkan Danarto dan Sutardji di era 1980-an, tidak lebih dan tidak kurang merupakan proses personal penyair sekaligus perupa sebagai pribadi untuk mencari kenikmatan. Dalam proses mencari kenikmatan itu, tulisnya, Wianta melakukan crossing boundary, yakni melintasi batas seni rupa ke seni bahasa atau seni bahasa ke seni rupa dengan atau untuk pleasure.
Simak pula pertanggungjawaban tertulis penciptaan seni R. Yulli Adam Panji Purnama yang berjudul Puisi Tubuh pada tahun 2010. Pemegang Magister Seni dari ISI Yogyakarta ini menyajikan bahasa rupa dalam bentuk fotografi dari kumpulan puisi sastrawan Chairil Anwar. Dengan tuturannya yang runtut, Yulli Adam tengah menyumbangkan cara berpikir lateral dalam menginterpretasi semantik kemudian berlanjut mengilustrasikan puisi Chairil Anwar ke dalam karya fotografi.
Mempertimbangkan betapa lengkapnya kajian tentang ilustrasi puisi–ada yang mengkaji dan ada yang mencipta–perkenankanlah saya berbicara dari dalam perspektif yang berbeda. Perspektif berbeda yang saya maksudkan adalah perspektif sebagai desainer grafis yang dewasa ini dengan semakin luasnya lahan garapan yang harus diolah, istilah desainer grafis diperumum menjadi desainer komunikasi visual. Pertimbangannya, kecuali perspektif itu jarang sekali dipilih dalam pembicaraan serius tentang ilustrasi puisi kalau itu pun ada, penulis sendiri sehari-hari mengakrabi bidang desain komunikasi visual sebagai profesi yang menghidupi, dan berkembang luas melintas batas, mengemas keindahan di segala bidang.
Ilustrasi Puisi, Visualisasi Puisi, dan Puisi Rupa
Mendefinisikan suatu istilah à la desainer komunikasi visual pastilah senantiasa dikaitkan dengan persoalan bahasa yang terdiri atas jenis satuan lingual (linguistic unit(s)). Menyebut: dengan kata; menentukan: dengan frasa; mengurai(kan): dengan kalimat; menjelaskan: dengan alinea; menceritakan: dengan wacana. Menentukan frasa ilustrasi puisi, berdasarkan kaidah bahasa Indonesia yang disebut diterangkan dan menerangkan, maka kata puisi menerangkan kata ilustrasi. Kata puisi merupakan atribut sifat dari kata utama ilustrasi, hingga pengertian istilah ilustrasi puisi adalah ilustrasi yang puitis. Jadi sekiranya yang dibicarakan disini adalah puisinya, maka istilah di atas haruslah diubah terlebih dahulu menjadi puisi ilustrasi, dan istilah ini lebih cocok disebut puisi rupa bisa juga memakai padanan puisi visual, jika menghendakinya. Istilah visualisasi puisi adalah contoh istilah di mana puisi merupakan subjek dari perbuatan, yaitu memvisualkan puisi, atau membuat puisi jadi visual. Sementara puitisasi visual memiliki pengertian membuat unsur visual menjadi puitis. Tentu saja visual (rupa) bertalian erat dengan adanya fungsi dan peran unsur-unsur indera penglihatan manusia, dengan media, raut, bentuk, ukuran, arah, warna, value, tekstur, dan ruang yang sangat luas dan beragam. Bisa jadi keragaman itu ada dalam karya fotografi, videografi, instalasi seni visual yang bertrimatra, materi logam, seonggok daging, sebilah kayu, percikan api, hingga tetesan embun yang bisa dibuat menjadi puitis. Maka sangat tepat bila di dalam sampul kulit Percakapan Diam-diam dituliskan; Percakapan Diam-diam – puisi Lelaki Budiman – ilustrasi oleh Koskow. Meletakkan pada perannya, bahwa drawing yang terkemas di dalam buku ini mengilustrasikan – paling tidak menunjang dan mengarahkan interpretasi – puisi. Akan tetapi, karya Koskow ini cenderung bisa menjadi puisi rupa ketika dilepaskan dari teks puisinya dan difungsikan ke dalam peran dan keadaan yang puitis.
Kolaborasi antara puisi dan unsur rupa dalam peta perpuisian di Indonesia pernah diinventarisasi oleh Afrizal Malna dalam bukunya Sesuatu Indonesia (2000). Pameran Puisi Konkret-seperti yang telah disebut dimuka, oleh Sutardji Calzoum Bachri dihadirkan sebongkah daging mentah yang membentuk jantung yang digantung pada kanvas putih dengan cairan darah yang menetes. Bagi seni konkret, seni bukanlah dongeng, nostalgia, derita, filsafat hidup atau apa pun, kecuali elemen seni itu sendiri, tulis Malna (2000: 295). Menurut sang penyair–yang mengadakan pameran–disebutnya dengan puisi konkret, sebab keadaan puitisnya mampu dihadirkan oleh materi maujud yang benar-benar konkret, bukan sekadar kata benda. Namun bagi saya, dengan subjektivitas kacamata seorang desainer, fenomena seperti ini cenderung dapat dikategorikan ke dalam puisi rupa atau puisi visual dengan sifat khasnya yang mempuitiskan unsur visual. Tidaklah perlu dirisaukan pengkategorian versi saya ini, bukankah objektivitas yang setinggi-tingginya adalah menyadari subjektivitas sesadar-sadarnya?
Lalu, yang manakah yang terlebih dahulu hadir? Puisi hadir tercipta sebelum ilustrasi atau mengada sesudah ilustrasi? Kalau menurut penyair, tentu dalam ilustrasi puisi harus tercipta lebih dahulu puisinya, baru kemudian menyusul ilustrasinya. Puisi tanpa ilustrasi tetap bisa berfungsi menjadi satu keutuhan puisi, tanpa kehadiran bahasa rupa yang mendampinginya. Tapi menurut ilustrator, syarat itu tidak harus, bisa saja perupaan tercipta dahulu, baru kemudian disandingkan dengan puisi yang masih dalam proses penciptaan. Tapi hal yang demikian menurut penyair bukanlah puisi, tetapi lukisan/gambar saja. Gambar yang mempunyai fungsi tersendiri tanpa menjelaskan kesan puisi, sebab puisinya belum juga hadir. Namun menurut pelukis lagi, ada pula penyair yang mencipta puisi, karena terinspirasi oleh lukisan yang menurutnya begitu puitis. Nah! Lain lagi kata desainer yang mengemas: puisi dalam ukuran idealnya tidaklah saling mengalahkan unsur pokok estetika yang mengilustrasikannya. Sayang, bila diantara puisi dan ilustrasinya tidak bersesuaian, susah untuk mengemas layout-nya. Bukankah ketika disandingkan keduanya, pembacalah yang berhak menentukan, manakah yang terlebih dahulu dilihat? Gambarnya terlebih dahulu atau membaca teksnya yang linear? Belum lagi kata pengamat puisi dan pemerhati-pemerhati yang lain. Tidaklah perlu dicemaskan kehadiran sudut pandang masing-masing, bukankah objektivitas yang setinggi-tingginya adalah tatkala menyadari subjektivitas sesadar-sadarnya?
Penyair Sebagai Ilustrator Puisi
Ilustrasi puisi, sebagai bahasa visual nonverbal, cenderung senantiasa hadir setelah bahasa verbal. Kehadirannya mempunyai peran mengiringi dan menunjang interpretasi tertentu sekaligus mengonkretkan secara visual-imajiner isi dan pesan sekaligus kesan terhadap puisi. Pengertian ini mengandung penjelasan bahwa ilustrasi puisi atau apapun penyebutannya: sebagai puisi rupa, pelengkap puisi, pengiring puisi, teman pendamping puisi, dan lain sebagainya–hanyalah pengemas keindahan dari puisi bila diletakkan pada peran dan fungsinya di dalam media cetak. Namun ada kalanya ilustrasi itu dibentuk sebagai daya ungkap estetik-ikonik penyairnya. Daya ungkap estetik penyairnya ini dapat kita lihat pada layout penulisan puisi yang pernah dipopulerkan oleh sastrawan Sutardji di era 1980-an. Berikut diberikan dua contoh; satu, puisi yang dicipta oleh Sutardji Calzoum Bachri berjudul “Tragedi Winka dan Sihka”.
Contoh (1)
Nama WINKA dan SIHKA dalam judul puisi di atas adalah kebalikan dari kata KAWIN dan KASIH. Dengan teknik penulisan grafis seperti di atas, penyair tampaknya menyarankan bahwa dalam aliran waktu, KAWIN dan KASIH bisa mengalami tragedi menjadi WINKA dan SIHKA. Cara penulisan dengan memecah dan menyatukan aspek tipografi antara lain diperkenalkan oleh seniman Jerman Kurt Schwitters (1887-1948), yang salah satu judul puisinya diterjemahkan Sutardji Calzoum Bachri. Karya syair dan rupa Kurt Schwitters cenderung diidentifikasi sebagai aliran futurisme, sebuah mashab seni yang mendukung perkembangan tipografi (tata huruf) sebagai unsur ekspresi dalam desain. Dengan penjelasan yang lain, dalam futurisme, huruf tidak hanya diperlakukan sebagai tanda bunyi tetapi juga sebagai lambang rupa untuk menyampaikan suatu makna.
Status ikon puisi berjudul “Tragedi Winka dan Sihka” ini terletak pada teknik penulisan grafisnya, yaitu dengan cara memecah dan menyatukan unsur lingual puisi itu untuk mencerminkan perpecahan dan kesatuan yang terjadi pada apa yang diacunya yaitu kawin dan kasih. Pengurutan yang berbentuk zig-zag mencerminkan perjalanan kasih dalam ikatan perkawinan yang tidak mulus, penuh benturan, ketegangan dan tentu saja tidak lurus.
Contoh kedua, puisi Jawa Kuna yang dicipta oleh Mpu Prapanca.
Contoh (2) ini merupakan pupuh yang termuat dalam karya agung Nagarakartagama. Pupuh itu pupuh 97 yang terdiri atas tiga pada atau bait. Dikutipkan sesuai dengan transliterasi Slamet Muljono sekaligus dengan terjemahannya pula (cf. Sudaryanto, 1994:140). Ada dua hal yang menarik. Pertama, setiap pada yang terdiri atas empat larik (baris) itu setiap lariknya terdiri atas delapan suku kata atau warna aksara. Larik pertama dan kedua saling berbalikan suku katanya; demikian juga larik ketiga dan keempat. Jadi polanya sebagai berikut.
Padahal setiap larik memiliki artinya sendiri pula. Hal yang menarik kedua, isi cerita dari puisi Jawa Kuna itu mengisahkan perjalanan hidup seorang pertapa: yang semula meskipun sebagai rohaniwan akan tetapi masih sangat memikirkan keduniawian maka akhirnya hidupnya sengsara. Beruntunglah akhirnya sadar sehingga kesengsaraan yang dialami akibat godaan keduniawian itu berubah menjadi kebahagiaan yang berujud ketentraman, lalu dimana letak keikonan puisi itu?
Keikonannya terletak pada kemiripan antara perubahan jalan hidup si pertapa dengan pembalikan unsur larik puisi. Ciri umum dari ikon verbal ini keberadaannya sepenuhnya diciptakan oleh si sastrawannya, dengan bahan satuan lingual yang semula cenderung tidak merupakan ikon atau cenderung dianggap sebagai simbol.
Membaca Isyarat Visual Percakapan Diam-diam
Pengalaman membaca pertama kali Percakapan Diam-diam mengingatkan saya pada tampilan visual yang menjadi isyarat manis untuk meliriknya, memegangnya, dan membuka lembar demi lembar halamannya kemudian mencermati setiap layout teks dan gambar yang begitu mempesona. Dari perwajahan bukunya dapat terlihat tata ruang yang begitu mengesankan, yang begitu rupa mengeksplorasi prinsip ruang kosong. Dengan nuansa warna yang lembut, namun berkarakter sederhana, tampilan keseluruhan dan dimensi ukuran buku mampu meracik kesan kemasan yang menawan. Warna peach dipadu dengan warna merah marun, terkadang diselingi dengan warna drawing hitam putih, disela-selanya terdapat halaman hitam legam yang menziarahi sunyi. Demikianlah hitam menggambarkan judul puisinya yang berjudul Setelah Sunyi. Kenyamanan membacanya pun terasakan dengan pilihan font yang digunakan, yaitu opera lyrics smooth pada tulisan judulnya dan Bodoni Condensed pada body copynya. Dengan ukuran sama sisi 15cm x 15 cm, berjumlah 86 halaman, membentuk buku yang ergonomis dan nyaman dipegang. Terlebih lagi dengan disandingkannya drawing dengan teks puisi, sebuah paduan layout khas karya penata artistik yang andal. Drawingnya mempunyai kekhasan gaya ungkap yang unik, gurat garisnya khas, pilihan langgamnya yang bercorak ekspresif-surealis mampu menghadirkan raut yang ikonik. Khusus mencermati ilustrasi puisinya, 16 karya drawing yang kesemuanya berukuran 215 x 140 mm, dengan teknik cat air dan tinta cina di atas kertas, menampilkan berbagai ikon. Buku, cangkir, kursi, bangku, awan, kayu, tangga, langit, pensil, meja, tembok, bola, lingkaran, ruang kosong, wajah perempuan, rambut, lantai, kelopak bunga, tangan, bulan, terompet, daun, bayangan, pintu, pigura, sulur berdaun hitam, tabung berpintu, batang kayu, kotak bertekstur kayu, adalah benda khas kesukaan Koskow, sang seniman komunikasi visual. Puisinya singkat, visualisasinya bernas menggiring suasana yang puitis. Paling tidak, begitulah gambaran umum yang sepintas saya lihat pada versi cetaknya yang dibuat limited edition.
Secara acak, mencermati gambar ilustrasi yang membangun kesan khas seorang Koskow adalah guratan garisnya yang menyerupai serat kayu, begitu dominan hingga menjadi ciri yang personal. Ikon cangkir, buku, kertas, bola menjadi senada dengan tarikan garis ikon kayu yang bergaris sejajar, tebal seragam, rapi, namun spontan. Simak misalnya pada karya drawing yang berjudul Hasrat Dalam Diam. Digambarkan sebuah bangku kayu panjang di dalam ruang kosong dengan nuansa hitam dan alas setengah lingkaran, di atasnya terbentuk bidang kosong menyerupai balon kata yang biasa digunakan pada tuturan komik. Di sisi kiri dan kanan bangku tiga dimensi ini tertancap dua buah kursi yang saling berkebalikan punggungnya. Sebuah penggambaran panggung teaterikal yang kedua aktornya berupa sepasang kursi yang sedang berakting. Memainkan lakon, seakan ingin mendekat namun tertancap kedua kakinya pada bangku yang diduduki. Secara sepintas, kesan yang demikian dapat terbaca. Ketika saya membaca puisinya dengan seksama, Ketika Sepi/ Adalah sepasang kursi/ percakapan menguap/ bersama udara,/ :sebuah panggung/ tanpa cahaya. Ketika sepi adalah aku berlari,/ menangkap bayanganku/ sendiri. / 2011. Kesan puitis menjadi lebih terasa dalamnya, ketika ilustrasi bersanding di sisi teks puisi. Kata-kata percakapan menguap/ bersama udara dapat dicerminkan dengan gambar balon kata pada komik, sebagai tuturan yang kosong karena menguap. Kisah kursi ini betapa ikonik mengilustrasikan puisi. Sepasang kursi tanpa kata-kata dikiaskan pada ikon kursi yang saling berkebalikan, kursi yang satu sama lain tidak saling berpandangan dan tidak saling berbicara, padahal sebenarnya tertancap pada satu bangku yang sama, terasa jauh ketika tanpa kata-kata, tanpa percakapan, padahal kesamaan keduanya adalah sepi dan sendiri. Di sini terlihat betapa teks puisi ini adalah berupa kiasan, namun ternyata kelihaian ilustrasinya dapat juga mengkiaskannya.
Saya berpindah halaman menemui judul puisi “Suatu Pagi di Alun-alun Kecil“. Lariknya demikian; Kegelisahan mengental/ dalam gelas kopi/ Pagi ini: sendiri. Saya mencermati halaman di sebelahnya, tergambar sebentuk sosok kepala yang menyerupai gelas berbentuk tabung dengan pintu yang terbuka, kemudian sembilan pensil tersusun diatasnya dan terhubung tali temali hitam dengan tujuh daun yang menempel pada tali itu, tiga daun diantaranya berguguran. Sosok itu secara material dapat digambarkan seperti seorang manusia, sebab ia mempunyai pundak dan leher yang menyangga kepalanya yang berbentuk tabung gelas dan bertelinga. Menarik untuk memaknai kata kegelisahan menjadi kunci penghubung antara teks dan gambar, kegelisahan membawa kepada suasana gambar yang absurd, bukankah gelisah itu juga absurd? Tidak jelas, sendirian, pagi-pagi, di alun-alun. Bisa jadi yang ditangkap ilustrator adalah ketidakjelasan ketidakmudhengan–itu yang diekspresikan menjadi gambar yang memang tidak menjelaskan- tidak memudhengkan- oleh karena ke(gelisah)an. Maka benda-benda yang akrab dengannya secara gelisah bisa saja tergambar begitu rupa. Pengalaman, latar belakang, imajinasi, persoalan—sesuai dengan judul drawingnya–interpretasi, suasana hati dapat tersimbolkan dengan representasi ikon yang dimunculkan. Saya memahaminya bahwa pensil adalah benda yang demikian akrab dengan ilustratornya, begitu juga kopi dalam gelas adalah kesukaannya, namun hal yang paling menggelisahkan adalah ketika sendirian, tanpa keluarga, tanpa sahabat, tanpa teman, seperti sehelai daun kecil yang terjebak di dalam ruangan. Biarpun pintunya terbuka, jikalau sendirian dan gelisah, pintu kebebasan di pagi hari pun hanya berfungsi sebagai pintu biasa yang fungsinya menutup dan membuka pikiran di dalam kepala. Kira-kira demikian saya menangkap artinya.
Saya membolak-balik lagi halaman yang saya mau. Diam-diam saya tertarik dengan bentuk font yang disusun menjadi kotak pada judul puisi Adalah Kau. Layout seperti ini terasa serasi bila disandingkan dengan ilustrasi puisi yang bergambar meja kayu kotak, dengan kursi yang tertidur dan buku yang terletak di atas meja itu. Di bawah meja itu tergambar seperti ruangan bawah tanah, dengan tangga kayu yang diletakkan di sisi tembok. Lantainya hitam, temboknya terdiri dari bauran warna hitam dan abu-abu. Saya senang membaca teks puisinya; Adalah Kau/ Kata-kata tak terungkap/ Rahasia tak Tersingkap/ Dalam doa-doa tak lengkap. Ilustrasinya, saya tangkap berkaitan dengan rahasia yang tak tersingkap, tangga di dalam ruang bawah tanah di bawah meja kayu kotak adalah rahasia yang tak tersingkap itu, dengan warna lantai hitam kelam, seolah mengkiaskan dasar yang tak terungkap. Hitam sering dikaitkan dengan misteri dan kesenyapan, karena tidak adanya cahaya yang terpancarkan dari materi berwarna hitam. Kaki meja yang secara logika semestinya panjang–karena alasnya adalah di ruangan bawah–mencerminkan pada kata-kata tak terungkap dan juga tak tersingkap. Kaki meja itu tak terungkap panjangnya, begitu pula tak tersingkap alasnya. Kata-kata sederhana ini begitu memukau saya, karena mampu memancing proses penciptaan ilustrasi puisi yang luar biasa. Entahlah, saya terpukau, mungkin terlalu nikmat menafsirkannya. Salam, selamat berpameran.
Yogyakarta, Sabtu Pahing, 28 April 2012
Referensi
Malna, Afrizal
2000 Sesuatu Indonesia. Yogyakarta: Bentang.
Refly,
2006 Bahasa Estetika Postmodernisme, Puisi-puisi Puisi Rupa, Rupa-rupa Puisi Rupa Made Wianta. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Sudaryanto,
1994 Pemanfaatan Potensi Bahasa, Kumpulan Karangan Sekitar dan Tentang Satuan Lingual Bahasa Jawa yang Berdaya Sentuh Inderawi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Biografi
Kristides Yudoko, S.Sn adalah mahasiswa Program Pascasarjana di ISI Yogyakarta, lahir di Yogyakarta,
24 Desember 1983. Mempunyai hobi membaca, suka menggambar, gemar menabung dan berkebun. Bekerja sebagai koki di dapur kreatif pada sebuah Exhibition Organizer milik Kompas Gramedia. Selain itu juga menjadi dosen tidak tetap, tetapi tetap dosen, untuk mata kuliah desain elementer dan digital painting di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Senang bergumul pada bidang desain komunikasi visual dan seni rupa.
Sejak tahun 2005 aktif mengikuti berbagai kompetisi desain dan berturut-turut memenangkan penghargaan nasional dan internasional, diantaranya lomba desain iklan layanan masyarakat Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, kompetisi desain poster Komisi Pemberantasan Korupsi, lomba desain perangko seri lingkungan hidup dan lomba desain poster geothermal. Tahun 2010, karya drawingnya–yang mengilustrasikan puisinya Acep Iwan Saidi–masuk menjadi nominator World Gallery of Art On Paper Drawing 2010 di Skopje, Macedonia.
Pernah menulis penelitian tentang etika iklan kecantikan, gaya desain gambar info grafis, tentang virtualisasi digital imaging dan digital painting, penelitian ikonologi dan ikonografi poster sepatu Nike, Â kini sedang meneliti tentang ilustrasi puisi.
Perum Jombor Baru Blok VI/15
Mlati, Sleman, Yogyakarta 55285
Telp 085 868 679 447
Artikel terkait
Buku Puisi Rupa “Percakapan Diam-Diamâ
Menelusuri “Percakapan Diam-Diam” oleh Silvia Honsa
Resensi Buku “Percakapan Diam-Diam” oleh Doni Agung Setiawan
Menyimak: “Percakapan Diam-Diam” oleh Natalia Afnita
Catatan: Ilustrasi buku puisi rupa “Percakapan Diam-Diam” ini bisa dinikmati pada Gallery DGI » Illustrations (2010-2019)
Ketika dari mata tak turun ke hati, desain pun gagal total