ABSTRAK
Melalui kajian historis, karya desain iklan dan kulit buku dapat dijadikan variabel penting untuk menditeksi hubungan sinergis antara nilai-nilai estetis pada karya desain dengan aspek yang menjadi unsur-unsur kunci proses modernisasi berlangsung; seperti perubahan pola pikir, gaya hidup, dinamika sosial, kebijakan ekonomi dan perkembangan teknologi yang terjadi di Indonesia di abad ke-20. Proses terjadinya sintesis budaya yang menjadi bagian dari fragmentasi transformasi budaya hakikatnya terjadi secara keseluruhan, baik dalam bentuk karya estetis yang menjadi tanda penting dalam wacana desain modern, maupun pemikiran konseptual yang melandasi pelbagai kegiatan desain secara terbatas. Berdasar pengamatan terhadap pergeseran gaya desain iklan dan kulit muka buku di abad ke-20, pergeseran nilai estetis dapat dijadikan model diterminatif bagi strategi pengembangan nilai-nilai estetis pada karya desain di Indonesia untuk masa yang akan datang.
Kata kunci: nilai estetis, desain karya cetak, Indonesia abad ke-20.
ABSTRACT
Through historical study, design works of advertising and book covers can be viewed as important variables in detecting synergic relationship between aesthetic values. This study is of design works with aspects that become keyelements in modernization process, such as thought pattern change, lifestyle, social dynamics, economic policy, and technological development in 20th century Indonesia. The cultural synthesis process, as part of cultural transformation fragmentation, essentially happens as a whole. It happens in the form ofaesthetic works that become important signs in modern design discourse, as well as conceptual thoughts that base various limited design activities. Based on observation of design style shift in advertising and book covers in the 20th century, aesthetic value shifts can be viewed as a determinative model for a strategy in developing aesthetic values in Indonesia’s future design works.
Keywords: aesthetic values, advertising and book cover design, 20th century Indonesia.\
PENDAHULUAN
Dalam kehidupan modern, peran komunikasi tercetak merupakan kebutuhan yang penting, terutama sebagai wahana informasi, hiburan dan propaganda. Industri percetakan di wilayah nusantara berkembang sejalan dengan penerbitan suratkabar dan perbukuan yang diperkirakan berkembang sejak abad ke-17, ketika mesin cetak pertama kali di datangkan ke pulau Jawa pada tahun 1659. Surat kabar yang pertama kali dicetak adalah De Bataviase Nouvelles terbit di Batavia pada tahun 1744, kemudian De Locomotief terbit pada tahun 1852 di Semarang dan Bataviassch Niewsblaad terbit di Batavia pada tahun 1885. Dunia persuratkabaran milik warga pribumi adalah Bromartani yang terbit di Surakarta pada tahun 1920-an. (Kartodirjo,1992:112-113)
Pada tahun 1776, setelah pelarangan penerbitan surat kabar De Bataviase Nouvelles pada tanggal 20 November 1745, pemerintah kolonial memberi izin kepada L Dominicus seorang pakar dalam percetakan untuk menerbitkan mingguan yang diberi nama Het Vendu-Nieuws (Berita Lelang). Mingguan ini berisi berita lelang perusahaan-perusahaan perdagangan di bawah VOC. Sedangkan pemasangan iklan diluar perusahaan VOC dikenakan biaya. Mingguan ini bertahan terbit antara tahun 1776 hingga 1809. (Riyanto,2000:52-53)
Di abad ke-19, terbit beberapa surat kabar berbahasa Indonesia (Melayu) di antaranya “Soerat Kabar Bahasa Melajoe” yang diterbitkan di Surabaya pada tahun 1861. Kemudian “Bintang Timoer” surat kabar dua mingguan yang memuat pelbagai berita sosial-ekonomi. Kemudian di Semarang pada tahun 1860 terbit Selompret Melajoe of Semarang. Pada tahun 1883 para pengusaha Cina mulai terlibat usaha percetakan dan buku, terutama penerbitan buku terjemahan sastra Cina klasik yang kemudian berkembang menjadi komoditas percetakan yang semakin meluas.
Berkembangnya industri percetakan merupakan tahap penting dalam keterbukaan budaya, karena di dalamnya terdapat perluasan dan pelintasan komunikasi verbal maupun gambar. Rekaman melalui gambar dan penataan huruf di masa tersebut telah tampak sebagai bagian penting dari industri percetakan. Pada tahun 1919 telah tercatat 120 perusahaan yang mempekerjakan 3.080 orang di industri percetakan, sebagian di antara kegiatan industri tersebut adalah pekerjaan desain grafis. Tidak tercatat angka secara pasti berapa jumlah tenaga penata rupa surat kabar, buku, poster, dan produk cetak lainnya. Demikian pula jumlah ilustrator, perancang grafis dan fotografer. Selama pemerintahan kolonial, tercatat lebih 3000 seniman bangsa asing (Belanda, Jerman) yang dicatat dalam Lexicon of Foreign Artists Who Visualized Indonesia (1600-1950) dengan pelbagai bidang pekerjaan seni; di antaranya pelukis, peneliti seni, ilustrator cat air, juru gambar, pematung, ilustrator, pendesain grafis dan perupa produk industri. Sedangkan seniman bangsa Indonesia tidak dimasukkan ke dalam leksikon tersebut. Terlepas dari hal tersebut, fenomena itu menunjukkan bahwa kegiatan komunikasi cetak memiliki peran dan makna yang cukup penting dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian, dalam percaturan sejarah kebudayaan, perkembangan karya cetak sebagai bagian dari peradaban bangsa belum mendapat posisi yang penting.
PERKEMBANGAN IKLAN CETAK DAN MAJALAH
Teknologi percetakan, di paruh pertama abad ke-19 meskipun telah ada mesin cetak berkapasitas besar, secara umum masih menggunakan alat cetak hand press. Hal itu terlihat dari pelbagai kulit buku, poster dan surat kabar, masih terlihat dominan menggunakan huruf deret . Dalam periklanan penggunaan huruf semacam itu dikenal sebagai iklan baris yang mengkomposisikan pelbagai jenis huruf. Baru pada tahun 1870 gambar atau ilustrasi mulai diterakan dalam media cetak, meskipun dalam bentuk piktograf atau simbol. Gambar-gambar atau piktograf tersebut disertakan sesuai dengan tema iklan ataupun informasi yang ingin disampaikan. Sedang ilustrasi atau kulit muka buku, telah berkembang dalam bentuk tata muka yang lebih lengkap, seperti penggunaan huruf, gambar dan warna. Bentuk iklan surat kabar ataupun majalah yang mengandung unsur grafis seperti teks, ilustrasi, identitas usaha dan tata letak yang lebih modern, baru terlihat sekitar tahun 1880, antara lain iklan produk parfum dan perlengkapan rias merk Ed Pinaud buatan Perancis yang dimuat pada surat kabar Pemberita Betawi tanggal 9 Januari 1886, tanggal 5 November 1907 dan tanggal 5 Maret 1908.(Riyanto, 2000:132)
Sejalan dengan hal di atas, teknologi percetakan juga mengalami perkembangan. Hal tersebut ditandai oleh penggunaan klise dari bahan logam, seperti timah, kuningan, tembaga, karet, serta bahan nylon print kemudian banyak dipergunakan oleh percetakan besar, di antaranya percetakan Albrecht & Co di Batavia. Kemajuan teknologi percetakan dan usaha penerbitan, meningkatkan pula kreativitas para perancang grafis iklan surat kabar, majalah dan ilustrasi perbukuan. Secara khusus perusahaan periklanan besar Aneta dan Excelsior mendatangkan perancang grafis dari negeri Belanda, yaitu Frist Adolph Oscar van Bemmel. Ia dikenal sebagai seorang juru gambar, desainer poster, desainer produk, ilustrator dan kartunis, selama di Indonesia yang berdomisili di Bogor dan Jakarta. Bemmel bekerja di biro iklan Aneta. Beberapa karyanya dimuat di majalah “De Reflector” (1918), “De Zweep” (1922,1923) dan “De Java Bode” (1926), dan Cornelis Van Deutekom. Ia dikenal sebagai seorang pelukis, juru gambar, desainer poster, dan seniman iklan. Ia datang ke Indonesia pada tahun 1920-an dan bekerja di beberapa surat kabar Jakarta, Surabaya dan Malang. Karya-karyanya dapat dijumpai pula di majalah De “Zweep”, “D’Orient” (1922 dan 1923), serta karya kartunnya dimuat majalah “De Java-Bode” dan mingguan “De Nar”(1929,1931,1932).
Perkembangan desain grafis memperlihatkan kemajuan teknik maupun gaya visual yang lebih modern pada awal abad ke-20. Hal tersebut dapat dicermati pada pelbagai perkembangan poster film, pengumuman, iklan, kemasan maupun karya cetak lainnya, seperti terlihat pada iklan “Tembaco van Nelle” (M van Meeteren Brouwer), “Fly to Java by KNILM” (J. Lavies), “Sumatra Java Rotterdamsche Llyod” (JAW von Stein), “See Bali” (J.Korver), “Faroka de Indische Sigaret” (J. van der Vliet), “Obat Korrengzal Woods”(JJ van der Heijden).
Gaya visual yang dikerjakan oleh para perancang Belanda di atas, umumnya mengadopsi gaya yang sedang populer di daratan Eropa, terutama gaya Art-Deco, baik dalam karakter tipografi, illustrasi, warna maupun komposisi di dalam menyajian iklan cetak. Beberapa kelompok iklan, menerapkan gaya Realis sebagai upaya memudahkan komunikasi pesan yang disampaikan.
Pada tahun-tahun pertama setelah kemerdekaan, industri percetakan kurang berkembang karena sulitnya bahan baku kertas. Kemudian mulai tumbuh kembali di awal tahun 50-an. Pada periode ini terdapat sejumlah majalah seperti “Star Weekly”, “Pantjawarna”, “Varia”, Selecta”, “Djaja”, “Caraka”, “Mangle”, “Ragi Buana”, “Intisari” dan pelbagai majalah yang umumnya dicetak hitam putih, terkecuali halaman sampul. Sejalan dengan tumbuhnya industri penerbitan pada masa pemerintahan Soekarno, tumbuh pula iklan-iklan yang disajikan pada majalah hiburan tersebut, umumnya berupa iklan dengan permainan huruf dan piktogram.
Kurang lebih dua dekade setelah kemerdekaan, teknologi percetakan di Indonesia baru meningkat dengan hadirnya mesin cetak web offset, yang dipergunakan untuk pertama kalinya pada tahun 1969 untuk mencetak koran Harian Merdeka. Tetapi rintisan sebelumnya dengan menggunakan teknologi cetak tinggi (Rotasi Duplex) sejak tahun 1950-an dan merupakan bukti bahwa terapan proses produksi grafis modern telah dimulai. Beberapa karya cetak perangko, uang, poster, majalah bahkan buku, merupakan bukti-bukti nyata bahwa teknologi modern telah dicoba, baik karya grafis yang dikerjakan di dalam negeri maupun karya grafis yang dikembangkan dengan berkerja sama dengan pihak lain di luar negeri. Pada awal tahun 1970-an sejalan dengan pertumbuhan kebudayaan Pop, berkembang pula majalah bagi kaum muda, seperti “Aktuil”, “Ditektif Romantika”, “Stop”, “Zaman”, “Gadis”, dan sebagainya yang memiliki pangsa pasar luas di kalangan remaja. Majalah musik “Aktuil” di samping menyajikan perkembangan musik pop, juga menyajikan ilustrasi-ilustrasi alternatif yang diadopsi dari gaya Pop Art dan Pschydelic Art. Majalah “Aktuil” merupakan perintis permainan ungkapan rupa melalui teknik susun tipografi, dan juga perintis poster cetak berwarna dalam ukuran besar.
Pada tahun 1980-an, sejalan dengan pertumbuhan profesi desain grafis, dibentuk IPGI (Ikatan Perancang Grafis Indonesia) adalah satu wadah profesional beranggotakan para pendidik desain maupun profesional. Dalam dekade tersebut tumbuh biro pengiklan (advertising) besar seperti Matari, Fortune, Pro-Ad, Cabe Rawit, Artek, Indo-Ad, Citra Lintas, Cipta Citra, PelitaAlembana, B &B, Ad-Force, Citra Link, Adwork, dan sejumlah biro iklan besar lainnya.
Dunia periklanan sebagai bagian dari ajang bisnis besar, merupakan wilayah yang paling subur dan potensial bagi pengembangan profesi desain grafis. Mengingat kebutuhan yang tinggi di masyarakat akan profesi ini, maka profesi desain grafis mengalami pelbagai percepatan kemajuan dan perluasan usaha. Terutama ketika penggunaan komputer grafis semakin populer di masyarakat pada awal tahun 1990-an. Alternatif pembuatan desain iklan maupun karya grafis semakin menunjukkan kualitas cetak yang meningkat. Gaya visual yang diadopsi oleh iklan dan karya grafispun semakin beragam dan lebih bersifat multi-kultural dan lintas gaya yang berkembang di pelbagai belahan dunia.
Hingga awal tahun 1990-an, ketika siaran televisi swasta belum hadir, iklan cetak masih merupakan usaha besar dunia biro iklan. Demikian pula desain iklan cetak cenderung untuk menginformasikan pelbagai produk, pesan persuasi maupun tampilan yang mudah diingat. Fenomena tersebut dapat diamati pada pelbagai jenis iklan cetak yang memenangkan Citra Pariwara sejak tahun 1988 hingga tahun 1996. (Cakram,1997 :29-37)
Kemudian ketika siaran televisi swasta mulai memantapkan diri sebagai siaran alternatif setelah radio dan TVRI, dunia iklan Indonesia mulai bergeser ke arah iklan media elektronik, disusul oleh tumbuhnya rumah-rumah produksi (produsen iklan multimedia). Pada tahun 1998, ketika Indonesia berhadapan dengan krisis ekonomi, dunia iklan mengalami penurunan mendekati 60 persen dari tahun sebelumnya. Jika pada tahun 1997, belanja iklan nasional telah mendekati Rp.2,1 triliun maka pada tahun 1998 belanja iklan nasional hanya berkisar Rp 860 milyar. Namun demikian jumlah media cetak justru menunjukkan kenaikan yang besar dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Keterlibatan perusahaan iklan multi nasional dengan modal asing yang kuat, memicu pertumbuhan gaya visual dalam iklan cetak semakin beragam, beberapa di antaranya mengadopsi gaya Pop-Modern dan Posmodern yang sedang populer di pelbagai media cetak dunia.
PERKEMBANGAN KULIT MUKA BUKU DAN CERGAM
Kulit buku dan sampul depan majalah merupakan bagian dari karya desain grafis yang penting dalam industri percetakan. Awalnya, ketika mesin cetak belum diimpor, buku ataupun poster merupakan karya tangan yang dibuat secara terbatas. Dengan masuknya mesin cetak, perkembangan industri cetak buku, di zaman kolonial meningkat pesat sejalan dengan kebutuhan masyarakat kolonial, akan informasi, bacaan, dan buku pendidikan. Meskipun sebagian besar buku masih dicetak hitam putih, tetapi pada awal abad ke-20 telah terdapat kulit buku dan majalah yang dicetak dengan beberapa warna dengan sistem “blok” warna. Seperti terlihat pada buku “Langs verre Kunst” (AJ de Neef), “Nederlands Indie” (C Lebeau), “Si Taloe, de Dessajongen” (P.Donn), “Indische Bloemen” (G.van Duinen & P de Zeeuw), “Loeteoeng Kasaroeng” (FA.Schoppel), ‘De andere wereld’ (B.Mohr), “Reise in die Inswelt dess Banda-Meeres, etc” (A.Heyer), “Adat” (CT Nix), “Nederl: Indische Vereeniging tot Natuurbescherming” (M Fleischer). Sedangkan kulit depan majalah dan buku-buku sekolah umumnya dirancang dengan permainan tipografi dan sesedikit mungkin gambar.
Demikian pula kulit muka buku dan majalah yang terbit di era pemerintahan Soekarno, umumnya masih dirancang dengan komposisi huruf dan gambar blok. Pada pertengahan dekade 1960-an, telah mulai dipergunakan teknik klise dengan upaya menampilkan warna yang natural. Namun karena keterbatasan teknologi ruster di dalam negeri, gambar yang ditampilkan masih terlihat kasar. Beberapa majalah yang terbit menggunakan kertas koran, terkecuali halaman depan dan tengah yang berisi foto, menggunakan kertas kunsdruk yang halus, seperti terlihat pada majalah “Star Weekly” edisi awal. Demikian pula beberapa buku pelajaran, sebagian telah menggunakan teknik cetak halus terutama buku-buku yang dicetak di negeri Belanda.
Pada dekade tahun 1960-an tersebut, gaya yang menyertai iklan cetak dan kulit muka buku/majalah didominasi oleh gaya Realisme yang sedang populer dalam dunia seni lukis pada waktu itu. Bentuk ilustrasi pada sejumlah buku menunjukkan ekspresi karakter manusia, binatang atau objek-objek yang ada di sekitar kehidupan masyarakat. Sebagian lagi menerapkan gaya Jengki (Yan Kee) yang diadopsi dari gaya Art Deco dan Streamlining yang sedang populer di masyarakat Barat yang ditunjukkan dengan pelbagai ragam ilustrasi dan tipe huruf yang ramping, melancip dengan komposisi abstraksi figur manusia, benda atau binatang.
Kulit buku cergam dan novel di era tahun 1970-an umumnya dirancang dan ditata dengan ilustrasi berwarna, penggunaan tipografi secara umum menggunakan letraset, mecanorma atau rugos (huruf gosok) serta beberapa menggunakan teknik kaligrafi bebas. Beberapa di antaranya dapat diamati pada novel-novel populer Motinggo Busye, Eddy D Iskandar dan sejumlah karya novel terjemahan.
Dengan semakin populernya penggunaan mesin cetak offset kapasitas besar, pada tahun 1980-an, pencetakan kulit buku dan majalah menunjukkan peningkatan kualitas dengan separasi warna yang lebih sempurna. Namun untuk kulit buku pelajaran atau non-fiksi di Indonesia, hingga tahun 1990-an, masih didominasi oleh gambar-gambar cetak blok dengan pelbagai permainan komposisi tipografi. Hal itu dapat diamati pada buku-buku terbitan PT Gramedia dari tahun 1970-an hingga awal tahun 90-an. Demikian pula buku-buku yang diterbitkan oleh Sinar Harapan, CV Haji Mas Agung, LP3ES, CSIS, Balai Pustaka, Al Maarif, Pustaka maupun bukubuku sekolah yang diterbitkan oleh pelbagai penerbit kecil. Hal itu dilakukan karena mahalnya biaya cetak dan jumlah cetak yang terbatas. Sedangkan majalah, terutama majalah wanita, seperti “Femina”, “Kartini”, “Sarinah”, “Gadis”, dan sejenisnya, telah lebih maju dengan menampilkan kulit muka berwarna dengan tiras penerbitan yang tinggi. Beberapa majalah khusus ataupun majalah berita, seperti “Motor”, “Asri”, “Eksekutif”, “Laras”, “Tempo”, “Editor”, “Jakarta-Jakarta”, “Swa Swembada”, “DR”, dan sejenisnya telah pula menampilkan kulit muka berwarna dengan cetak ofset dan separasi yang halus.
Dunia penerbitan buku yang semakin berkembang pada paruh kedua tahun 1990an seperti novel, buku bacaan, buku masakan, buku agama, buku obat-obatan dan pelbagai buku laris, ditampilkan dengan kulit muka berwarna penuh. Bahkan dengan semakin berkembangnya komputer grafik yang mempermudah penataan kulit muka buku, buku-buku kepustakaan ilmiah mulai dicetak dengan kulit muka berwarna penuh, meskipun gambar dasar kerap diambil dari aneka sumber berbeda, seperti gambar dari ensiklopedi, katalog ataupun sumber lainnya melalui teknik seranta (scan) dan kompilasi neka gambar. Fenomena baru tersebut terlihat pada buku-buku terbitan Pustaka Pelajar, LKiS, Bentang, Mizan, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, Perpustakaan Populer Gramedia, Elex Media Komputindo telah menggunakan kulit buku dengan cetak warna penuh.
Perintisan cergam (ceritera bergambar) awalnya telah dirintis oleh harian berbahasa Belanda “De Java Bode” (1938) yang memuat komik seri karya Clinge Doorenbos yang berjudul “Flippie Flink”, kemudian mingguan “De Orient” membuat komik petualangan “Flash Gordon”. Jauh sebelumnya, terdapat komik karya orang Indonesia, Kho Wang Gie berjudul “Put On”, komik strip ini dimuat secara rutin dalam harian berbahasa Melayu “Sin Po” (1931-1960-an), kemudian komik strip “Si Tolol” dalam mingguan “Star Magazine” (1939-1942), dalam mingguan Star Weekly memuat komik strip dengan tokoh Oh Koen, juga Si Api Auw. Di Solo mingguan “Ratu Timur” memuat legenda kuno “Mencari Puteri Hijau” yang digambar oleh Nasrun AS. Di Yogyakarta tahun 1942, harian Sinar Matahari memuat komik strip “Pak Leloer” dan “Roro Mendut”. digambar oleh B.Margono.(Bonnef,1998:19-20)
Pada tahun 1950, harian Kedaulatan Rakyat yang terbit di Yogyakarta menampilkan komik strip bertema kepahlawanan “Kisah Pendudukan Jogya” dan “Pangeran Diponegoro” yang digambar oleh Abdul Salam. Sejalan dengan itu, masuknya film dan cergam Amerika seperti “Tarzan”, “Flash Gordon”, “Rip Kirby”, “John Hazard”, “Superman”, “Donald Duck” banyak pula mempengaruhi tema dan gaya cergam Indonesia pada tahun 1950-60-an. Beberapa di antaranya “Wiro”, “Si Dago”, “Siti Gahara”, “Sri Asih” (RA Kosasih), “Cempaka”(RA Kosasih), “Jakawana” (Ardisoma), dan sejumlah cergam yang terbit pada masa itu. Kehadiran tokoh “fantasi super hero” dari barat juga terlihat di era cergam tahun 70-an, seperti “Godam” (Wid), “Kapten Mar” (Hasmi), “Gundala Putra Petir”, “Laba-Laba Merah”, serta juga cergam yang dibuat pada tahun 90-an, seperti “Batman” dan “Kapten Bandung”. Gaya Pop yang berkembang di Amerika tahun 1960-an diadsopsi sebagai bagian menampilkan karakter para tokoh heroik yang menjadi tokoh utama dalam cergam-cergam itu.
Cerita silat Cina yang dibuat berseri, terutama karangan Kho Ping Ho, banyak mempengaruhi tema-tema cergam pada tahun 1960-1970-an, meskipun terdapat upaya untuk menampilkan tokoh dan suasana “keindonesiaan”,. seperti terlihat pada cergam “Si Buta Dari Gua Hantu” (Ganes Th), “Panji Tengkorak” (Hans Djaladara), “Golok Maut” (Fasen), “Pendekar Bambu Kuning” (U.Syah), “Pendekar Gunung Sembung” (Djair). Secara umum gaya yang ditampilkan merupakan pengembangan dari Realisme yang menjadi trend para pelukis pada waktu itu, sedangkan gaya ilustrasi kulit muka buku cergam tersebut.
Di samping ceritera-ceritera yang diadopsi dari sumber Barat dan persilatan Cina, juga terdapat upaya-upaya untuk menghadirkan cergam dengan tema yang menggambarkan kehidupan sosial atau eksplorasi budaya tradisi, baik dalam bentuk ceritera pewayangan, kepahlawanan, roman atupun kehidupan sosial sehari-hari. Beberapa komik pewayangan yang populer antara lain “Mahabarata” (RA Kosasih), “Ramayana” (RA Kosasih), “Lahirnya Rahwana” (RA Kosasih) yang dapat hadir dalam tiga periode dengan penyempurnaan teknik penggambaran dan cetak, yaitu pada tahun 50-60-an yang diterbitkan oleh PT Melodi, kemudian dicetak ulang dengan penyempurnaan gambar oleh penerbit Marantha pada tahun 80-an. Setelah itu dicetak ulang sesuai naskah pertama oleh Elex Media Komputindo dengan format lebih kecil pada tahun 1999. Komik peawayangan lainnya yang sempat populer di masyarakat adalah “Wayang Purwa” (RA Kosasih), “Prabu Udayana” (RA Kosasih), “Arjuna Sasrabahu” (RA Kosasih, Oerip), “Jabang Tutuka” (Oerip), “Ulam Sari”(Ardisoma) dan “Panji Semirang” (RA Kosasih).
Sedangkan cergam kepahlawanan di antaranya adalah “Kopral Pandi”, “Udin Pelor”, “Melati di Sarang Pemberontak” yang terbit sekitar tahun 60-an. Kemudian di era tahun 1970-an, beberapa cergam yang menampilkan unsur kepahlawanan di antaranya adalah “Si Jampang Jago Betawi”, “Tuan Tanah Kedawung”, “Pendekar Gunung Sembung”, dan di tahun 90-an di antaranya “Legenda Saung Kampret” (Dwi Koen), “Imperium Majapahit” (Yan Mintaraga), “Panji Tengkorak” versi baru (Hans Djaladara).
Di samping cergam di atas, tema-tema humor, percintaan, ceritera klasik dan legenda juga banyak diterbitkan, di antaranya “Dagelan Petruk Gareng” (Indri), “Satu Tepuk Tujuh Nyawa” (Taguan Hardjo), Pendekar Ganol-Ganol (Leo), “Nona Agogo” (Sopoiku), “Sebuah Noda Hitam” (Yan Mintaraga), “Rapsodi Dalam Sendu” (Yan Mintaraga), “Sangkuriang” (RA Kosasih), “Shandora” (Teguh Santosa).
Pada tahun 1980-an, penerbitan cergam di Indonesia mengalami peningkatan, karena tumbuhnya industri cergam di beberapa kota, namun dari segi kualitas gambar yang dihasilkan nampak kurang dikerjakan secara cermat. Bahkan dalam beberapa judul, dikerjakan seperti pola industri kecil, yaitu satu judul cergam dikerjakan secara bersama-sama oleh beberapa pelukis cergam. Cergam Indonesia mengalami masa suram sejak paruh kedua tahun 1980-an hingga 90-an, sebelum akhirnya masuknya cergam Amerika yang diterjemahkan masuk ke Indonesia secara besar-besaran, seperti “Donald Bebek”, “Superman”, “Batman”, “Wonder Woman” dan sejenisnya. Sejalan dengan itu, cergam “Jepang” juga mulai memasuki Indonesia dengan ratusan judul buku, seperti “Dora Emon”, “Dragon Ball”, “Kariage Kun”, “Legenda Naga”, “Kobo Chan”, “Sinichan”, “Kungfu Boy” dan sejenisnya. Mengamati kondisi cergam nasional mengalami “kebekuan”, Direktorat Jenderal Kebudayaan-Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pada tahun 1997 memprakarsai Pameran Besar Komik Indonesia yang pernah mengalami jaya pada tahun 1960-70-an di Balai Kesenian Jakarta.
Setelah mengalami “kebekuan” itu, di samping kalah bersaing dengan komik Barat dan komik Jepang, kreatifitas pembuat komik sendiri mengalami masa suram karena tanpa pembinaan dari lembaga kebudayaan. Pada paruh kedua tahun 1990-an, pembuatan cergam kembali tumbuh. Beberapa di antaranya adalah “Panji Tengkorak”, “Majapahit”, “Wiro Sableng”, “Kapten Bandung”, “Carok”, “ALi Baba”, “Abunawas”, meskipun dicetak terbatas.
SIMPULAN
Wacana historiografi desain modern di Indonesia telah tampak ketika terjadinya pergeseran pola pikir masyarakat yang masih tradisional ke arah pola pikir modern, melalui peningkatan pendidikan formal bagi masyarakat dan juga masuknya mesin cetak modern. Pertumbuhan desain modern juga tidak hanya merupakan ikutan dari para perancang Belanda, tetapi juga karena pengaruh gaya hidup dan masuknya teknologi percetakan yang lebih maju.
Di lingkungan masyarakat luas, aspek keterbukaan budaya telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari lingkup proses transformasi budaya secara keseluruhan. Kenyataan itu dapat diamati melalui berkembangnya gaya hidup masyarakat Indonesia secara modern, secara umum ditandai oleh adanya perubahan kebiasaan membaca karya cetakan, baik berupa buku pelajaran, buku sastra, buku ceritera bergambar, maupun koran dan majalah.
Iklan, buku dan majalah merupakan konsumsi utama masyarakat modern yang secarabertahap mulai terbentuk karena terjadinya arus informasi dari pelbagai negara. Dalam kurun satu abad, gaya visual periklanan, maupun gaya visual ilustrasi buku dan majalah senantiasa menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam proses transformasi budaya yang tengah berlangsung. Gaya-gaya desain yang tumbuh dan berkembang di Eropa, secara cepat mewarnai pelbagai macam tampilan penerbitan di tanah air.
Wujud desain karya cetak dalam kurun satu abad di Indonesia, telah cukup menunjukkanhadirnya desain modern di wilayah Indonesia. Demikian pula dengan gaya visual yang menyertainya menunjukkan telah terjadi proses dinamika nilai estetis yang bermakna bagi sejarah kebudayaan Indonesia.
KEPUSTAKAAN
Adorno, Theodor, Aesthetic Theory, Routledge & Kegan Paul, New York, 1986,.
Albrow M., Globalization Knowledge and Society, Sage Publication, London, 1990.
Aldersey, Hugh., World Design, Nationalism and Globalism in Design, Rizzoli, New York, 1992.
Bonnef, Marcel, Les Bandes Dessinees Indonesiennes, diindonesiakan oleh Rahayu S Hidayat, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta, 1998.
Gh.von faber, A Short History of Journalism in the Dutch Indies, G.Kolf & Co.
Kartodirdjo, Sartono, Ungkapan-Ungkapan Filsafat Sejarah Barat dan Timur, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990.
————–, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid 2, Gramedia, Jakarta, 1990.
—————, Sejarah Nasional, Jilid III, Jakarta, Depdikbud, 1976.
Majalah ‘CAKRAM’ . Tahun 1997.
Riyanto, Bedjo, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870- 1915), Tarawang,Yogyakarta, 1976.
Sachari, Agus, Proses Transformasi Budaya dan Pengaruhnya Terhadap Pergeseran Nilai-Nilai Estetik Desain di Indonesia Periode 1900-1990, Tesis, Program Pasca Sarjana ITB, 1994.
————-, Peran Nilai Estetis Modern Dalam Perkembangan Desain Indonesia Abad ke-20 di Indonesia, Disertasi, Program Pasca Sarjana ITB, 2004.
Sejarah Periklanan Indonesia 1744-1984, PPPI-Website, www.pppi.or.id
Sumber: Desa Informasi > Pusat Penelitian (Research Centre) Petra Christian University
“Desa Informasi” or “Information Village” is the name adopted for the Local eContent (digital information resources with local flavor) development project being carried out in Petra Christian University Library.
“Desa Informasi” can also play an important role in preserving (at least) digitally local historical and cultural heritage, thus preserving the collective memory of a local society.
All Local eContent collections are available for everyone through the Internet for free. Some Local eContent collections are currently available in “Desa Informasi,” such as Surabaya Memory, Digital Theses, eDIMENSI, Petra@rt Gallery, Petra iPoster, and Petra Chronicle.
Agus Sachari
Dosen Program Pendidikan Magister dan Doktor Desain
Institut Teknologi Bandung
The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life