Rokok merupakan produk konsumsi yang menjadi salah satu bagian gaya hidup masyarakat. Bisa dipastikan parapecandu lebih mementingkan isinya daripada kemasannya. Jadi, tiap kali membeli rokok merek tertentu, setelah semua isi habis terisap, bungkusnya pun segera dibuang. Tak sempat terpikirkan, sebenarnya kemasan rokok merupakan salah satu karya desain komunikasi visual. Di dalamnya merepresentasikan nilai kreativitas dan terkandung berbagai unsur estetika, seperti: komposisi, warna, tipografi, ilustrasi, dan lainnya.
Hal itulah yang menarik perhatian Drs. Sumbo Tinarbuko, MSn. Di tengah kesibukannya menjadi seorang konsultan desain dan akademisi, dosen Desain Komunikasi Visual Fakultas Seni Rupa dan Program Pascasarjana ISI Yogyakarta ini masih menyempatkan diri mengoleksi berbagai macam bungkus rokok beserta isinya. Padahal kandidat doktor FIB UGM ini justru bukan merupakan perokok aktif.
Hobi mengoleksi rokok indie, demikian Sumbo menyebut koleksi rokoknya, ketika ia menjadi dosen Pembimbing Lapangan Kuliah Kerja Nyata (DPL-KKN) ISI Yogyakarta, di daerah Kalibagor, Purwokerto, Jawa Tengah, tahun 1993. ‘’Di sana saya menemukan rokok indie berbentuk sigaret kretek dengan merek ‘’Praoe Lajar’’, ‘’Lajar Tantjep’’, ‘’Kantil Putih’’, ‘’Kampret’’, dan ‘’Beras Tuton’’. Saya tertarik lalu membelinya’’, kata Sumbo kepada SKH Kedaulatan Rakyat baru-baru ini.
Kelima sigaret kretek tersebut menarik perhatiannya karena gaya desain kemasan rokok tersebut unik, berbeda dengan desain rokok kretek mayor label. Selain menggunakan tipografi yang bersifat tradisional dalam balutan warna-warna cerah, keberadaan desain kemasan rokok indie tersebut justru memiliki focus of interest saat terpajang di warung. ‘’Dalam konteks gaya desain, kemasan kelima rokok indie tersebut bergaya moster. Hal ini dicirikan dari eksekusi desain kemasan yang menggunakan pendekatan lukisan diberi tulisan dan akrab dikenal dengan sebutan poster’’, papar Sumbo.
‘’Kecanduan’’ mengoleksi rokok indie berikut kemasannya terus berlanjut. Hingga sekarang, lebih dari 600-an bungkus rokok indie berbagai merek dan desain berhasil dia kumpulkan dan disimpan dengan rapi di rumahnya yang asri di kawasan ndalem Tinarbukan Jl. Sonopakis Lor No. 15 Yogyakarta. Tak hanya itu, ia juga mengoleksi kertas rokok linting berbagai merek dan desain, 397 poster rokok mayor label, alat linting manual rokok kretek, gobang untuk merajang daun tembakau, bermacam korek api, serta berbagai kemasan tembakau, klembak, menyan, dan cengkeh.
Beragam rokok indie berikut pernak perniknya didapat dari berbagai daerah di DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra dan Kalimantan. Hal itu dilakukan saat menjadi konsultan desain dan ceramah ihwal desain komunikasi visual di berbagai perguruan tinggi Jateng, Jatim, DIY, dan kota lain di luar Jawa.
Ada hal menarik dan bernilai dari sebungkus rokok, lebih dari sekadar untuk dibakar dan dihisap asapnya. ‘’Semakin sering saya memburu rokok indie diberbagai tempat, semakin saya menemukan kenikmatan terkait dengan pola pemikiran dan kreativitas desain komunikasi visual dari parapengelola industri rokok rumahan yang masih bertahan. Hal lain yang bisa saya temukan adalah aspek antropologi, sosiologi, ekonomi, dan sosial budaya masyarakat perokok serta pedagang rokok indie di daerah pinggiran.’’ (Joko Santoso)
“Cheating the system is very gratifying”