1659
Mesin cetak pertama kali didatangkan ke Indonesia (Batavia) pada tahun 1659
Industri percetakan di wilayah Nusantara berkembang sejalan dengan penerbitan surat kabar dan buku yang diperkirakan berkembang sejak abad ke-17, ketika mesin cetak pertama kali di datangkan ke pulau Jawa pada tahun 1659. Karena tidak ada operatornya, mesin itu menganggur sampai berpuluh-puluh tahun. Tujuan misionaris mendatangkan mesin cetak erat kaitannya dengan niat mereka untuk mencetak kitab suci dan buku-buku pendidikan Kristen. Selain mencetak kitab suci, mereka juga menerbitkan surat kabar berhaluan pendidikan Kristen.
Para pembaca koran berbahasa Belanda di Hindia Belanda di awal-awal keberadaannya adalah orang-orang Eropa, kalangan bumiputra yang menjadi priyayi, kaum Tionghoa (untuk keperluan dagang), dan orang-orang indo/olanda. Baru pemerintah jajahan di bawah Daendelslah yang berperan besar dalam urusan cetak-mencetak dengan membentuk percetakan negara yang berurusan dengan mencetak peraturan-peraturan Belanda. Maka mulailah dikenal surat kabar yang tidak hanya memuat informasi yang nilainya ekonomis, tetapi juga memuat peraturan-peraturan perundangan.
Sumber:
Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan
Pergeseran Nilai Estetis pada Desain Karya Cetak Indonesia di Abad ke 20 – Studi Historiografi pada Iklan Cetak dan Kulit Muka Buku oleh Agus Sachari
1744
Iklan pertama di Hindia Belanda: 17 Agustus 1744
Perintis tumbuhnya iklan di Hindia Belanda adalah Jan Pieterzoen Coen. Dia pendiri Batavia dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tahun 1619-1629. PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) mengakuinya sebagai tokoh periklanan pertama di Indonesia.
Dalam masa pemerintahannya, ia mengirim berita ke pemerintah setempat di Ambon dengan judul Memorie De Nouvelles, yang mana salinannya ditulis dengan tulisan tangan pada tahun 1621. Tulisan tangannya yang indah ternyata merupakan refleksi dari naluri bersaing antara pemerintah Hindia Belanda dengan Portugis. Kedua negara rupanya terlibat dalam perebutan hasil rempah-rempah dari kepulauan Ambon, dan Jan Pieterzoen Coen ‘menulis’ iklan untuk melawan aktivitas perdagangan oleh Portugis. Lebih dari satu abad kemudian, setelah Jan Pieterzoen Coen meninggal, tulisan tangannya diterbitkan kembali di surat kabar Batavia Nouvelles pada tanggal 17 Agustus 1744. Batavia Nouvelles merupakan surat kabar pertama di Hindia Belanda. Dengan demikian, iklan yang dimuatnya pun merupakan iklan pertama di Hindia Belanda. Kenyataan ini menunjukkan, bahwa surat kabar dan iklan lahir tepat bersamaan di Hindia Belanda.
Yang berperan dalam memediakan kembali iklan tersebut di Hindia Belanda adalah karyawan sekretariat dari kantor Gubernur Jenderal Imhoff, Jourdans.
Surat kabar Batavia Nouvelles hanya berusia dua tahun.
Negeri Belanda, sejak abad ke-16 merupakan pusat penulisan silografi (tulisan tangan indah) di Eropa. Tulisan ini digunakan juga untuk penulisan iklan dalam bentuk poster.
Sumber: “Sejarah Periklanan Indonesia 1744-1984″, Bab I, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.
INDUSTRI PERCETAKAN ABAD KE 18-20
Surat kabar yang pertama kali dicetak adalah De Bataviase Nouvelles terbit di Batavia pada tahun 1744, kemudian De Locomotief terbit pada tahun 1852 di Semarang danBataviassch Niewsblaad terbit di Batavia pada tahun 1885. Dunia persuratkabaran milik warga pribumi adalah Bromartani yang terbit di Surakarta pada tahun 1920-an. (Kartodirjo,1992:112-113)
Pada tahun 1776, setelah pelarangan penerbitan surat kabar De Bataviase Nouvellespada tanggal 20 November 1745, pemerintah kolonial memberi izin kepada L Dominicus seorang pakar dalam percetakan untuk menerbitkan mingguan yang diberi nama Het Vendu-Nieuws (Berita Lelang). Mingguan ini berisi berita lelang perusahaan-perusahaan perdagangan di bawah VOC. Sedangkan pemasangan iklan diluar perusahaan VOC dikenakan biaya. Mingguan ini bertahan terbit antara tahun 1776 hingga 1809. (Riyanto,2000:52-53)
Di abad ke-19, terbit beberapa surat kabar berbahasa Indonesia (Melayu) di antaranya ‘Soerat Kabar Bahasa Melajoe’ yang diterbitkan di Surabaya pada tahun 1861. Kemudian ‘Bintang Timoer surat kabar dua mingguan yang memuat pelbagai berita sosial-ekonomi. Kemudian di Semarang pada tahun 1860 terbit Selompret Melajoe of Semarang. Pada tahun 1883 para pengusaha Cina mulai terlibat usaha percetakan dan buku, terutama penerbitan buku terjemahan sastra Cina klasik yang kemudian berkembang menjadi komoditas percetakan yang semakin meluas.
Berkembangnya industri percetakan merupakan tahap penting dalam keterbukaan budaya, karena di dalamnya terdapat perluasan dan pelintasan komunikasi verbal maupun gambar. Rekaman melalui gambar dan penataan huruf di masa tersebut telah tampak sebagai bagian penting dari industri percetakan. Pada tahun 1919 telah tercatat 120 perusahaan yang mempekerjakan 3.080 orang di industri percetakan, sebagian di antara kegiatan industri tersebut adalah pekerjaan desain grafis. Tidak tercatat angka secara pasti berapa jumlah tenaga penata rupa surat kabar, buku, poster, dan produk cetak lainnya. Demikian pula jumlah ilustrator, perancang grafis dan fotografer. Selama pemerintahan kolonial, tercatat lebih 3000 seniman bangsa asing (Belanda, Jerman) yang dicatat dalam Lexicon of Foreign Artists Who Visualized Indonesia (1600-1950) dengan pelbagai bidang pekerjaan seni; di antaranya pelukis, peneliti seni, ilustrator cat air, juru gambar, pematung, ilustrator, pendesain grafis dan perupa produk industri. Sedangkan seniman bangsa Indonesia tidak dimasukkan ke dalam leksikon tersebut. Terlepas dari hal tersebut, fenomena itu menunjukkan bahwa kegiatan komunikasi cetak memiliki peran dan makna yang cukup penting dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian, dalam percaturan sejarah kebudayaan, perkembangan karya cetak sebagai bagian dari peradaban bangsa belum mendapat posisi yang penting.
Sumber: Pergeseran Nilai Estetis pada Desain Karya Cetak Indonesia di Abad ke 20 – Studi Historiografi pada Iklan Cetak dan Kulit Muka Buku oleh Agus Sachari
Brosur-brosur pertama untuk “go public”
Pertumbuhan iklan di jaman Hindia Belanda, sangat dipengaruhi pula oleh masuknya modal swasta ke sektor perkebunan dan pertambangan pada tahun 1870. Karena perkembangan itu ternyata menumbuhkan kebutuhan baru, berupa pembentukan lembaga-lembaga penelitian untuk mengembangkan dan mengakumulasi modal mereka, seperti yang dilakukan oleh asosiasi perusahaan-perusahaan gula, Suikersyndicaat, misalnya. Asosiasi ini juga bertugas sebagai lembaga penelitian, dan sekaligus memproduksi pula brosur-brosur sebagai wahana informasi dan promosi. Dengan demikian, para calon penanam modal di perusahaan perkebunan mereka mengetahui seberapa jauh rentabilitas investasi mereka.
Javaasche Bank menggunakan barang-barang cetakan untuk mengundang modal asing ke Hindia Belanda. Brosur dan buklet perkenalan mereka umumnya dicetak di percetakan G.C.T. van Dorp & Co., yang berlokasi di Jakarta, Semarang dan Surabaya.
Sumber: “Sejarah Periklanan Indonesia 1744-1984″, Bab I, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.
1893
Pemerintah Hindia Belanda mendirikan Percetakan Negara di Jakarta, pada waktu itu yang terbesar di Asia. Sementara itu di seluruh Indonesia sudah terdapat 6500 percetakan, 2700 di antaranya terdapat di Jakarta. Industri grafika dan dunia penerbitan di Indonesia pada waktu itu sudah mulai menyadari pentingnya desain grafis.
Laribu Meyoko, sekretaris Percetakan Negara: “Mengapa desain itu penting? Barang cetakan sama seperti manusia: penampilan lahiriahnya yang penting. Untuk memberi kesan yang baik, untuk menarik perhatian, untuk memberi kepercayaan. Desain grafis di Indonesia mempunyai masa depan gemilang.”
Sumber: Buku “Nederland Indonesia, 1945-1995, Suatu Pertalian Budaya”, [Z]OO produkties, Den Haag, 1995, hal. 165.
1938
Pada tahun 1938 berdiri PERSAGI (Persatuan Akhli Gambar Indonesia) di Jakarta dengan anggota kurang lebih tiga puluh pelukis (di antaranya Agus Djaja sebagai ketua, S. Sudjojono, Abdul Salam, Sumitro, Sudibio, Sukirno, Suromo, Surono, Setyosa, Herbert Hutagalung, Syoeaib, Emiria Sunasa, dan sejumlah seniman lainnya). Serikat ini sering dianggap sebagai awal seni rupa modern Indonesia.
Para pelukis PERSAGI berupaya membangun ‘gaya Indonesia baru’ yang dikembangkan dari paduan antara nilai estetik tradisi dan nilai estetik modern. Semasa kolonisasi Jepang di Indonesia, PERSAGI mendapat wadah yang bernama Keimin Bunka Shidoso (Pusat Kebudayaan Jepang) yang didirikan pada tahun 1943. Spirit yang dicanangkan Jepang untuk membangun ‘Kebudayaan Timur’ mendapat tanggapan postif, hal ini terbukti dari keterlibatan para pelukis dalam membina senilukis Indonesia, dan tokoh-tokohnya antara lain adalah S. Sudjojono, Agus Djaja, dan Affandi yang kemudian diikuti oleh sejumlah pelukis muda di antaranya Otto Djaja, Henk Ngantung, Hendra Gunawan, Djajengasmoro, Kartono Yudhokusumo, Kusnadi, Sudjana Kerton, Trubus, Baharuddin, dan sejumlah seniman lainnya.
Sumber: Budaya Visual Indonesia: Membaca Makna Perkembangan Gaya Visual Karya Desain di Indonesia Abad ke-20.
1945
Poster “Boeng, ayo boeng!”
Pada tahun 1943, Affandi mengadakan pameran tunggal pertamanya di Gedung Poetera Djakarta yang saat itu sedang berlangsung pendudukan tentara Jepang di Indonesia. Empat Serangkai – yang terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kyai Haji Mas Mansyur – memimpin Seksi Kebudayaan Poetera (Poesat Tenaga Rakyat) untuk ikut ambil bagian. Dalam Seksi Kebudayaan Poetera ini Affandi bertindak sebagai tenaga pelaksana dan S Soedjojono sebagai penanggung jawab, yang langsung mengadakan hubungan dengan Bung Karno.
Ketika Republik Indonesia diproklamasikan 1945, banyak pelukis ambil bagian. Gerbong-gerbong kereta dan tembok-tembok ditulisi antara lain “Merdeka atau mati!”. Kata-kata itu diambil dari penutup pidato Bung Karno, 1 Juni 1945, “Lahirnya Pancasila”. Saat itulah, Affandi mendapat tugas membuat poster. Poster itu idenya dari Bung Karno, gambar orang yang dirantai tapi rantai itu sudah putus. Yang dijadikan model adalah pelukis Dullah. Lalu kata-kata apa yang harus ditulis di poster itu? Kebetulan datang penyair Chairil Anwar (1922-1949). S Soedjojono menanyakan kepada Chairil, maka dengan ringan Chairil menyahut: “Bung, ayo bung!” Dan selesailah poster bersejarah itu. Sekelompok pelukis siang-malam memperbanyaknya dan dikirim ke daerah-daerah. Darimanakah Chairil memungut kata-kata itu? Ternyata kata-kata itu biasa diucapkan pelacur-pelacur di Jakarta yang menawarkan dagangannya pada zaman itu.
1 Agustus 1947
Berdiri Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar di bawah Fakultas Ilmu Pengetahuan Teknik Universitas Indonesia di Bandung sebagai cikal bakal berdirinya Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB. Pada tahun 1956, sekolah pendidikan guru gambar ini bersama bagian arsitektur digabung menjadi Bagian Arsitektur dan Seni Rupa. Bagian Seni Rupa terbagi menjadi dua bidang studi yaitu Pendidikan Seni Rupa dan Seni Lukis. Pada tahun 1959 Bagian Arsitektur dan Bagian Seni Rupa berubah nama menjadi Departemen Perencanaan dan Seni Rupa bersamaan dengan lahirnya Institut Teknologi Bandung. Bagian Seni Rupa terbagi menjadi Pendidikan Seni Rupa, Seni Lukis dan Seni Interior.
Sumber: Sejarah Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
1949
Akademi Seni Rupa Pertama di Indonesia berdiri
Tanggal 15 Desember 1949, Akademi Seni Rupa Indonesia (disingkat ASRI) didirikan yang peresmiannya harus dilakukan pada tanggal 15 Januari 1950. Ketergesaan ini rupanya dimotivasi oleh adanya keinginan agar akademi tersebut didirikan ketika Yogyakarta masih merupakan ibukota Negara. Sebagaimana diketahui, tanggal 27 Desember 1949, dua belas hari sesudah surat keputusan tersebut, pengakuan kedaulatan Republik Indonesia ditandatangani oleh Ratu Juliana dan bersamaan dengan itu berdirilah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Jakarta sebagai ibukotanya.
Pada hari Minggu tanggal 15 Januari 1950 jam 10.00 pagi Akademi Seni Rupa Indonesia diresmikan berdirinya di Bangsal Kepatihan Yogyakarta dengan RJ Katamsi Martorahardjo (7 Januari 1897-2 Mei 1973) sebagai direkturnya yang pertama (sekaligus pendirinya), dengan beberapa bagian pendidikan seni seperti Lukis, Patung, Pertukangan Kayu, dan Reklame. Jurusan Reklame – yang merupakan cikal bakal pendidikan desain grafis – saat itu masih menjadi satu dengan Jurusan Dekorasi, Ilustrasi dan Grafik dan disebut dengan Jurusan 4 (empat) atau REDIG. Salah satu mahasiswa pada awal jurusan ini yaitu Soetopo Mangkoediredjo lulus pada tahun 1955. Termasuk pendiri ASRI adalah Hendra, Kusnadi, Sudarso dan Trubus sementara Affandi pernah tercatat sebagai salah satu pengajar di perguruan ini.
Sumber: Sejarah Seni Rupa Indonesia.
Sejarah ASRI bisa dibaca di sini > Sejarah Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta
Dan mengenai RJ Katamsi-Pendiri ASRI oleh Prof. Soedarso Sp MA.
MENGENAI RJ KATAMSI MARTORAHARDJO-PENDIRI ASRI
RJ Katamsi, yang semboyan dalam exlibrisnya adalah ars longa vita brevis itu, lahir di Karangkobar, Banyumas, pada tanggal 7 Januari 1897. Nama lengkapnya, RJ Katamsi Martoraharjo, cucu dari R. Ng. Sastropermadi yang konon berbakat melukis dan kalau benar demikian maka bakat itu menurun kepada cucunya yang sesuai dengan judul di atas adalah pendiri Akademi Seni Rupa Indonesia yang terkenal dengan singkatannya ASRI dan yang kini menjelma menjadi Fakultas Seni Rupa, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Anak desa ini memiliki sejarah pendidikan yang menarik. Bermula dari HIS (Hollandsch Inlandsche School, Sekolah Dasar Belanda untuk orang-orang Pribumi) di Semarang, Kweekschool (Sekolah Guru Empat Tahun) di Yogyakarta yang kemudian pindah ke sekolah guru Gunung Sahari di Jakarta, dan sesudah itu mendapat kesempatan untuk meneruskan pelajarannya di Negeri Belanda, bersekolah di Academie voor Beeldende Kunsten (Akademi Seni Rupa) di Den Haag dan mendapat ijasah Middelbaar Onderwijs dalam menggambar (MO Tekenan), yang lebih kurang sama dengan ijasah B-II Seni Rupa di Indonesia. Dengan ijasah itulah pada tahun 1922 Katamsi pulang ke Indonesia dan diangkat menjadi guru di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, Sekolah Dasar yang diperluas, setingkat SMP sekarang) dan AMS (Algemene Middelbare School, Sekolah Menengah Umum, setingkat SMA) di Yogyakarta yang terkenal dengan nama AMS/B dan perlu dicatat bahwa RJ Katamsi adalah orang Indonesia pertama yang dipercaya menjadi direktur AMS ini. Jabatan sebagai direktur AMS/B tersebut diteruskan sampai jaman Jepang yang sekolahnya berganti nama menjadi Sekolah Menengah Tinggi (SMT).
Pada tahun 1935, masih di masa penjajahan Belanda, RJ Katamsi mendapat tugas untuk membina tukang-tukang ukir perak di Kota Gede, Yogyakarta, khususnya dalam hal penciptaan seni hias atau ornament. Di masa pendudukan Jepang, RJ Katamsi mendapatsampiran tugas dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk juga menjabat sebagai Kepala Museum Sonobudoyo (1942-1950). Di masa itulah RJ Katamsi menyerahkan sebagian koleksi pribadinya yang berharga kepada museum untuk melengkapi koleksinya.
Puncak pengabdian RJ Katamsi untuk negara dan seni budaya adalah keberhasilannya mendirikan akademi seni yang pertama di Republik Indonesia berkat bantuan para seniman dan budayawan di Yogyakarta. Sebagaimana dimaklumi, pada tahun 1946, bersama dengan pindahnya ibukota negara dari Jakarta ke Yogyakarta, hijrah pula para seniman ke ibukota republik yang baru, Yogyakarta, yang dulu terkenal dengan nama Ngayogyakarta hadiningrat. Maka berkumpulah di Yogyakarta tokoh-tokoh seniman seperti Soedjojono, Affandi, Hendra Gunawan dan beberapa lainnya.
Sebenarnya gagasan pendirian akademi seni rupa telah lama ada. Segera setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, para seniman menghendaki didirikannya suatu akademi kesenian yang dianggap sepantasnya ada di suatu negara yang merdeka, apalagi bagi Indonesia yang kaya akan warisan seni budaya itu yang akan dapat memelihara dan mengembangkan bibit-bibit seniman di masyarakat. Di masa penjajahan tidak mungkinlah hal itu dilaksanakan, apa lagi kalau mengingat bahwa lahirnya pendidikan dasar pun adalah akibat dari etische politiek dengan motto “de Eereschuld”atau “Hutang Kehormatan” nya Van Deventer (1899) yang juga didera oleh kebutuhan akan tenaga kerja pribumi yang lebih murah. Maka di jaman kemerdekaan, akademi kesenian mesti segera didirikan. Dari sisi pemerintah, sesungguhnya sejak Mr. Suwandi yang lebih terkenal dengan sistem ejaan Bahasa Indonesianya itu menjabat Menteri PP dan K, pada prinsipnya sudah ada persetujuan, tetapi mengingat situasi dan kondisi waktu itu, terwujudnya angan-angan ini baru beberapa tahun kemudian. Nampaknya Kongres Kebudayaan Nasional di Magelang yang berlangsung pada tanggal 20-25 Agustus 1948, dimana dengan suara bulat para peserta memandang perlunya segera direalisasikannya ide tersebut merupakan pendorong yang kuat, namun sekali lagi harus menelan pil pahit dengan adanya Clash ke II yang menyetop segala kegiatan.
Baru menjelang akhir tahun 1949 usaha itu menghangat kembali ketika Menteri PP dan K mengumpulkan tokoh-tokoh seni budaya yang ada di Yogyakarta untuk merencanakan segala sesuatunya yang berhubungan dengan pendirian akademi seni rupa tersebut, yang segera disusul dengan keluarnya pengangkatan Panitia Pendirian Akademi Seni Rupa, dengan RJ Katamsi yang pada waktu itu menjadi Pemimpin Bagian Kebudayaan Jawatan Sosial Daerah Istimewa Yogyakarta bidang Pengajaran sebagai ketuanya. Dengan dibantu oleh tokoh-tokoh seperti Djajengasmoro, Sarwono, Hendra Gunawan, Koesnadi, Sindusisworo, Prawito dan Indrosugondho, panitia ini harus menyelesaikan tugasnya dalam waktu satu bulan. Maka dalam sidang-sidang persiapan itulah Katamsi yang sudah memasukkan konsep-konsepnya kepada pemerintah sejak tahun 1947, membentangkan idenya.
Tanggal 15 Desember 1949, Akademi Seni Rupa Indonesia didirikan yang peresmiannya harus dilakukan pada tanggal 15 Januari 1950. Ketergesaan ini rupanya dimotivasi oleh adanya keinginan agar akademi tersebut didirikan ketika Yogyakarta masih merupakan ibukota negara. Sebagaimana diketahui, tanggal 27 Desember 1949, dua belas hari sesudah surat keputusan tersebut, pengakuan kedaulatan Republik Indonesia ditandatangani oleh Ratu Juliana dan bersamaan dengan itu berdirilah Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Jakarta sebagai ibukotanya.
Begitulah, pada hari Minggu tanggal 15 Januari 1950 jam 10.00 pagi Akademi Seni Rupa Indonesia diresmikan berdirinya di Bangsal Kepatihan Yogyakarta dengan RJ. Katamsi sebagai direkturnya yang pertama. Cita-cita berdirinya sebuah akademi seni sudah terlaksana, namun dari sanalah dimulainya suatu pekerjaan besar, yaitu mengisi dan mengembangkan bayi akademi yang baru lahir tersebut. Dalam pidatonya pada hari peresmian itu RJ Katamsi selaku Direktur ASRI menyatakan harapannya akan bantuan para peminat seni, para pengajar serta jawatan-jawatan yang bersangkutan dan mengemukakan keyakinannya bahwa dengan bantuan mereka itu “… kita akan dapat melaksanakan cita-cita kita, yaitu membimbing barisan seniman-seniman baru yang dinamis dan kreatif, yang benar-benar dapat menyumbangkan jiwanya yang berbakat tinggi guna kepentingan perjuangan Nusa dan bangsa,…” Pekerjaan itu besar dan berat kalau diingat bahwa semua kondisi pendukungnya sangatlah lemah; pengalaman belum ada, sumber daya manusia sangat kurang kalau tidak boleh dibilang tidak ada, gedung dan alat-alat sebagai perangkat keras juga belum ada, begitu pun perangkat lunaknya. Semuanya harus bermula dari titik nol, kecuali semangat yang menyala-nyala di setiap dada tokoh-tokohnya. Katamsi harus bekerja keras memimpin barisannya yang mengingatkan kita pada cerita dalam Injil (Mateus) di mana Kristus bersabda, “… kalau yang buta memimpin yang buta, maka semuanya akan terperosok ke dalam parit.”
Untung Katamsi tidak buta dan begitupun para dosen dan petugas yang membantunya, tidak sama sekali buta. Walaupun tidak masuk dalam jurusan seniman, keberadaan Katamsi di Academie voor Beeldende Kunsten tentulah memberikan kepadanya pengalaman yang cukup tentang dunia itu, dan di ASRI pun ada bagian guru gambar/seni rupa yang sama dengan yang diikutinya di Den Hag. Para dosen pembantunya juga tidak sembarangan, dosen ‘Anatomi’ nya adalah Dr. Martohusodo dan Dr. Radio-poetro, dosen ‘Sejarah Kebudayaan’ adalah Ki Padmopuspito yang sampai akhir hayatnya juga mengajar matakuliah yang sama di Universitas Gajah Mada, dan mata kuliah praktek studio dibina oleh seniman-seniman otodidak yang mumpuni seperti Hendra, Affandi, Koesnadi, serta Soedjojono, dan sementara itu Katamsi sendiri mengajar ‘Sejarah Kesenian’, ‘Perspektif’, dan kadang-kadang juga ‘Proyeksi’ atau ‘Menggambar Bentuk’ yang dulu disebut ‘Stilleven’.
Ketidakakraban para tokoh pengelola awal ASRI Yogyakarta dengan dunia pendidikan tinggi seni itu dapat terlihat dari caranya membuat peraturan-peraturan akademik, pembuatan kurikulum, maupun nama-nama mata kuliah seperti, ‘Opmeten’, ‘Reproduksi’, dan ‘Kekunoan’. Sementara itu ‘Ilmu Bentuk’ tidak pernah diajarkan di ASRI Yogyakarta dan ‘Estetika’ juga tidak tergarap dengan baik.
Karena belum memiliki gedung sendiri maka perkuliahan dilaksanakan di banyak tempat dengan basis menumpang di gedung Pusat Tenaga Pelukis Indonesia (PTPI) di Bintaran Lor 12b sebagai induknya dan tempat perkuliahan serta studio bagian I/II, SMA-B Kotabaru dan di rumah beliau di jalan Gondolayu 20 untuk Bagian IV dan V, dan di jalan Ngabean 5 (bekas gedung Kunst Ambachshool) serta jalan Bintaran 8 untuk bagian III. Baru pada tahun 1957, setahun sebelum pensiun, Katamsi berhasil memperoleh gedungpre-fabricated dari Amerika Serikat yang bentuknya sama dengan banyak gedung SMA di Indonesia.
Gedung itu sekarang ditinggalkan oleh ISI Yogyakarta bersama dengan kompleks Gampingan yang tanahnya merupakan hibah dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Sayang. Bangsa Indonesia memang kurang hirau akan sejarah, walaupun sekian puluh tahun yang lalu almarhum Presiden Pertama RI sudah mengingatkan, jangan meninggalkan sejarah yang terkenal dengan singkatannya “jasmerah”.
Dari uraian di atas dapatlah dikatakan bahwa beliaulah peletak dasar Akademi Seni Rupa Indonesia yang selain merintis kelahirannya juga memimpinnya sebagai direktur pertama selama delapan tahun, dari tahun berdirinya sampai masa pensiun di tahun 1958. Tambahan pula, walaupun sudah pensiun, R. Katamsi masih tetap memberi kuliah baik di ASRI maupun di Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada (Katamsi pula yang menciptakan lambang Universitas Gajah Mada yang dipakai sampai kini). Atas jasa-jasanya tersebut pada tahun 1970, RJ Katamsi menerima anugerah seni dari pemerintah yang diterimakan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu dan sekalian tanda kehormatan Lencana karya Satya Kelas II.
Dari sisi kehidupan pribadinya, RJ Katamsi kawin dengan nyonya Le Duc (keturunan Belanda-Turki) dan karena sampai meninggalnya isteri tersebut Katamsi tidak memperoleh keturunan, pada tahun 1965 RJ Katamsi kawin lagi dengan seorang gadis bernama Rusilah yang sempat memberikan dua orang putera kepada Katamsi.
Walaupun dimasa penjajahan Belanda RJ Katamsi mendapat gaji 400 gulden (lebih besar dari gaji seorang dokter Jawa), pada akhir hayatnya boleh dibilang Katamsi tidak memiliki apa-apa. Namun Katamsi legawa dalam soal ini seperti kata-katanya, “…kalau seseorang bercita-cita ingin menjadi kaya, lebih baik jangan menjadi guru.” Katanya lebih lanjut, “Pahit getir, suka dan duka sudah saya alami selama 46 tahun menjadi guru. Tetapi sungguh-sungguh senang. Walaupun selama 46 tahun saya menjadi guru itu tidak menjadi orang yang kaya. Dan yang saya cari memang bukan kekayaan, tetapi kepuasan. Saya sudah puas jika melihat murid-murid saya menjadi orang ternama. Saya ikut bangga dan bersyukur bahwa perjuangan saya tidak sia-sia.”
RJ Katamsi memang memiliki banyak murid yang menjadi seniman ataupun tokoh terkenal. Dari masa AMS/B, RJ Katamsi menelorkan antara lain Mr. Mohammad Yamin, Prof. Suwandi, dan Prof. Priyono yang ketiga-tiganya pernah menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan dari masa SMT, RJ Katamsi berhasil melepas Drs. Radius Prawiro yang beberapa kali menjadi menteri, Bambang Sugeng yang pernah menjadi KASAD, dan Sudarpo, seorang pengusaha terkenal. Dari ASRI bermunculanlah Widayat, Saptohudoyo, Saptoto, Frans Harsono, Hendrojasmoro, Abas Alibasyah, Abdulkadir, Sutopo, Edhi Sunarso, Amri Yahya, dan masih banyak lagi.
Sumber: RJ Katamsi-Pendiri ASRI
1959
Lahirnya Institut Teknologi Bandung (ITB).
Sumber: Sejarah Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB.
1960-1972
Logo mulai populer
Iklan-iklan produk konsumen tampak mengalami kemandegan kreativitas, khususnya dalam hal penulisan naskahnya. Bagian besar rancangan produk iklan dalam negeri bertema “anjuran memakai” yang tidak monoton. Kata-kata “pakailah selalu” senantiasa digunakan dalam setiap teks iklan. Struktur verbal iklan masih tetap dipengaruhi oleh iklan-iklan zaman kolonial. Bahkan mereka pun masih banyak menggunakan istilah-istilah dari bahasa Belanda, seperti Te Huur (sewa), Barbier (cukur rambut), Restaurant, atau Te Koop (dijual). Kata-kata ini memang sering dijumpai diucapkan di radio, atau tertulis dalam kolom-kolom media cetak.
Secara visual pengaruh “Hollandsch denken en Hollandsch inzicht” (berfikir dan berpandangan ala Belanda) juga terasa sangat dominan. Dalam iklan restoran atau hotel misalnya, selalu digunakan model seorang berpakaian jas dan celana panjang putih, memakai peci dan sebuah serbet yang tersampir di pundak kirinya, dalam posisi siap menerima perintah tuannya, yang seorang Belanda pula. Atau visualisasi budaya Barat lainnya, seperti penggunaan tokoh-tokoh Walt Disney dengan Mickey Mouse, Donald Duck, Cinderella, Putri Salju dan sebagainya. Atau ilkan-iklan keluarga tentang kelahiran dengan ilustrasi burung pelikan terbang membawa bayi.
Meskipun demikian, perusahaan-perusahaan besar sudah mulai berani menggunakan sedikit teks, dan sekaligus menyadari pentingnya khalayak sasaran mengenal logotype (ciri logo) produk-produk mereka. Sayangnya, berbeda dengan teori periklanan, banyak produk ataupun merek baru yang tidak menyatakan kebaruannya dalam iklan-iklan mereka. Di samping itu, nuansa yang tercipta dari iklan-iklan tersebut hampir seluruhnya hanya untuk tujuan penjualan (sales) semata.
Populernya penggunaan logo sebagai identitas suatu produk atau merek, membawa bisnis baru untuk perusahaan periklanan dari kliennya. Yaitu merancangkan logo yang sesuai dengan jenis, kepribadian dan citra produk yang ingin dikembangkan produk-produk tersebut.
Beberapa perusahaan bahkan meminta perusahaan periklanannya untuk juga menguruskan nomor pendaftaran (gedeponeerd) merek atau logo produk mereka tersebut di Kantor Pendaftaran Merk Dagang.
Membanjirnya kebutuhan mendaftarkan merek ini tidak seimbang dengan kesadaran mereka beriklan, memasyarakatkan logo-logo tersebut. Situasi ini membawa dampak di bidang hukum. Karena saat itu ternyata muncul banyak logo yang mirip satu sama lain. Akibatnya, justru mereka akhirnya merasa perlu memuat iklan-iklan pengaduan, atau sekedar menjelaskan tentang perbedaan logo produknya dengan yang milik perusahaan lain. Beberapa di antara mereka yang mirip logonya dan memuat iklan pengumuman ini, bahkan sama-sama pula belum terdaftar.
Sumber: “Sejarah Periklanan Indonesia 1744-1984″, Bab V, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.
Realisme Sosialis
Tahun 1960-an, ruang publik didominasi gaya realisme sosialis, termasuk baliho, poster dan media cetak lainnya. Realisme sosialis adalah pegangan resmi para seniman anggota Lekra yang di bawah patronase Partai Komunis Indonesia (PKI), merupakan organisasi dan gerakan yang terkuat di kalangan seniman Indonesia antara akhir 1950-an sampai dengan pertengahan 1960-an. Ketika itu asas realisme sosialis hendak diberlakukan bagi semua ekspresi kesenian dan pemikiran di Indonesia.
Manifes Kebudayaan disusun dan diumumkan sebagai reaksi terhadap realisme sosialis. Yang ditentang Manifes Kebudayaan adalah asas “politik sebagai panglima” yang dalam prakteknya berarti kekuasaan politiklah – tepatnya partai – yang mengendalikan kesenian.
1962
Jurusan Seni Reklame dan Propaganda
Pada tahun 1962 Reklame berpisah dengan REDIG dan menjadi jurusan tersendiri dengan nama Jurusan Reklame (1962–1968) dengan Ketua Jurusan yang pertama Dr. HC. R.M. Sapto Hoedojo. Situasi politik era Demokrasi Terpimpin di bawah Panglima Besar Revolusi (PBR) Ir. Soekarno yang mencanangkan gerakan anti Neo Kolonialisme dengan propaganda Indonesia sebagai Neo of Force Asia, membawa situasi nama Jurusan Reklame sementara sempat berubah menjadi Jurusan Seni Reklame dan Propaganda, sampai akhirnya ditetapkan dengan nama Jurusan Seni Reklame pada akhir tahun 1968.
Referensi: “Sekolah Toekang Reklame” – Suatu Catatan Perjalanan Disain Komunikasi Visual ISI Yogyakarta
1967
Jurusan Seni Rupa FTSP ITB membuka Studio Grafis. Pada saat itu, kurikulum desain dan seni masih bersatu.
1967
PERINTIS PERIKLANAN MODERN
Orde Baru ternyata cukup sigap mengembalikan kestabilan politik dan ekonomi dalam negeri. Selain berupaya keras mengendalikan inflasi, Pemerintah juga membuka peluang sebesar-besarnya bagi investasi baru. Konfrontasi dengan negara-negara liberal pun lambat-laun dihapuskan dan membuka lagi peluang bagi perdagangan luar-negeri yang lebih terbuka dan dinamis. Lebih lagi setelah Undang-undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) disahkan, telah sangat merangsang investasi dalam negeri dan menjamin adanya kepastian berusaha.
Di tahun 1967, tahun yang sama dengan dikeluarkannya Undang-undang PMDN tersebut, di Jakarta lahir perusahaan periklanan InterVista Ltd. Inc., yang didirikan dan dikelola oleh Nuradi (10 Mei 1926-8 Juni 2009). InterVista dianggap sebagai perintis periklanan modern di Indonesia. InterVista pula yang dianggap menjadi perusahaan periklanan pertama yang beroperasi dalam kapasitas pelayanan periklanan menyeluruh (full service advertising agency).
Setahun setelah diundangkannya Undang-undang PMDN, dikeluarkan pula Undang-undang Penanaman Modal Asing (PMA) yang mengatur tata cara penanaman modal asing di Indonesia. Undang-undang ini bukan saja memberi jiwa keterbukaan pada masuknya modal asing, tetapi juga telah lebih merangsang lagi peningkatan investasi di Indonesia. Undang-undang PMA ini bahkan memberi dampak langsung pada peningkatan tajam bisnis periklanan. Investasi oleh para pemodal asing rupanya membawa konsekuensi lain bagi periklanan. Para pemodal ini yang umumnya sudah terbiasa dengan sistem perekonomian dan perdagangan liberal, rupanya menuntut adanya pula sarana promosi dan periklanan yang baik di Indonesia*.
Sebagai perusahaan periklanan modern. InterVista juga tercatat aktif dalam membantu kampanye-kampanye pemasaran sosial (social marketing) atau periklanan layanan masyarakat (public service advertising). Kampanye-kampanye ini merupakan sesuatu ayng baru bagi masyarakat Indonesia di masa itu.
Salah satu karya besar InterVista yang bahkan tetap digunakan hingga saat ini adalah Kartu Menuju Sehat. Sebuah petunjuk sangat praktis bagi para ibu untuk memeriksa dan merawat kesehatan bayinya.
Munculnya InterVista rupanya menjadi katalis bagi lahirnya banyak lagi perusahaan periklanan modern di Indonesia. Bahkan tahun 1969 berdiri pula Benson SH Ltd., perusahaan periklanan pertama yang berafiliasi dengan perusahaan periklanan asing di Indonesia. Perusahaan periklanan ini tadinya sekedar merupakan afilasi dari perusahaan yang sama di Singapura, tetapi kemudian dikembangkan menjadi afiliasi langsung dengan perusahaan periklanan induknya di New York dan berubah nama menjadi Ogilvy Benson & Mather Indonesia. Selanjutnya karena ada peraturan yang tidak mengizinkan perusahaan periklanan asing Indonesia, perusahaan ini mengubah statusnya menjadi perusahaan Indonesia, sekaligus mengganti namanya menjadi PT Indo Ad**.
* Para praktisi periklanan umumnya berpendapat ada hubungan langsung antara aspek -aspek investasi, dan periklanan dalam arti yang luas. Karena itu, tuntutan para investor asing ini tentu saja wajar untuk mengamankan investasi mereka,dengan meningkatkan efisiensi produksi (mencapai tingkat skala ekonomi tertentu) dan dengan dukungan promosi dan periklanan menjamin tercapainya sasaran-sasaran pemasara barang atau jasa yang mereka hasilkan.
** Ogilvy Benson & Mather Internasional kemudian berubah nama menjadi Ogilvy & Mather. Saat terbentuknya Indo Ad, Ogilvy & Mather merupakan perusahaan internasional dengan kantor afiliasi terbanyak di dunia dan dalam hal omset, No. 6 terbesar di luar Jepang.
Sumber: “Sejarah Periklanan Indonesia 1744-1984″, Bab VI, Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia.
Riwayat Hidup Nuradi
Nuradi (10 Mei 1926-8 Juni 2009) lahir di Jakarta.
Antara tahun 1946-1948 masuk Fakultas Hukum Universitas Indonesia (Darurat).
1949 -1950 mengikuti Akademi Dinas Luar Negeri RI. Tahun-tahun berikutnya dia mengikuti berbagai pendidikan nonformal di Amerika Serikat dan menjadi orang Indonesia pertama yang diterima di Foreign Service Institute, US State Department, Washington DC.
1952-1954 menyelesaikan studi bidang adminsitrasi publik di Harvard University, Cambridge, Massachusetts. Selama setahun kemudian dia belajar bahasa di Universitas Sorborne dan Besancon, Perancis. Nuradi juga pernah menjadi penyiar siaran bahasa Inggris di RRI, dan menjadi juru bahasa pribadi untuk Bung Karno, Bung Hatta dan Ir, H. Juanda. Jabtan lain adalah kepala bagian penerjemah pada delegasi Indonesia di Konperensi Meja Bundar di Den Haag, serta menjadi anggota perwakilan tetap Indonesia di Uni Soviet. Dia mengundurkan diri dari Dinas Luar Negeri tahun 1957.
Kiprah Nuradi di bidang periklanan berawal tahun 1961-1962, saat dia mengikuti Management Tarining Course di SH Benson Ltd., London, sebuah biro iklan terbesar di Eropa saat itu. Pengetahuan teoritis ini kemudian dia lengkapi dengan keterampilan praktis melalui cabang perusahaan ini di Singapura. Tahun 1963 dia kembali ke Jakarta dan mendirikan InterVista Advertising Ltd., biro iklan modern pertama di Indonesia.
Di tahun itu juga, dan melalui InterVista, Nuradi merintis periklanan komersial pertama di TVRI. Hotel Tjipajung, produsen alat berat dan truk PT Masayu, dan PT Arschoob Ramasita merupakan tiga pengiklan pertama yang menayangkan telop iklan di media elektronik tersebut. Se tahun kemudian, materi iklan menggunakan slaid yang pertama muncul untuk produk skuter Lambretta. Iklan produk ini juga menjadi yang pertama tampil sebagai iklan komersial di bioskop-bioskop di Indonesia.
Menurut Nuradi, kekuatan InterVista terletak justru pada kekokohannya pada akar budaya Indonesia. “Ideologi” itu memang terungkap pada banyak pesan periklanan InterVista yang naskahnya kerap ditulis sendiri oleh Nuradi. Bahasa yang sederhana namun baku, merupakan ciri naskah-naskah iklan InterVista. “Indomilk sedaaap”, “Ini bir baru. Ini baru bir”, “Makin mesra dengan Mascot”, dan “Lebih baik naik Vespa” adalah contoh slogan-slogan periklanan yang amat populer hingga awal 1980.
Nuradi memang patut berbangga dengan prestasinya, karena hingga tahun 1970-an ia berhasil membawa InterVista sebagai biro iklan yang amat disegani, menyaingi biro-biro iklan afiliasi asing seperti Lintas (sekarang Lowe) dan Indo Ad (sekarang Ogilvy).
Baty Subakti (disadur dari buku Sejarah Periklanan Indonesia, Baty Subakti dkk.)
1969
Pada tahun 1969 Fakultas Teknik Universitas Trisakti membuka Departemen baru yaitu Departemen Seni Rupa, dengan kepala Departemennya Drs Soekarno.
1969-1971
AD Pirous belajar di RIT (Rochester Institute of Technology), Amerika Serikat untuk menjajagi kemungkinan dibukanya Program Studi Desain Grafis di ITB.
AD Pirous lahir di Meulaboh, Aceh, 11 Maret 1932. Sejak 1964 sampai dengan 2002, AD Pirous bekerja sebagai tenaga pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. AD Pirous pernah menjabat sebagai dekan pertama di fakultas ini pada tahun 1984. Memperoleh posisi Guru Besar pada 1994, AD Pirous mencatatkan prestasinya sebagai salah seorang perintis seni rupa Islam modern di Indonesia. Ia juga merupakan pendiri bidang studi Desain Grafis yang berlanjut menjadi bidang Desain Komunikasi Visual di ITB. Seusai masa baktinya pada dunia akademik di ITB, AD Pirous tetap mengabdikan dirinya sebagai pelukis dan cendekiawan senior di bidang seni rupa dan kebudayaan.
1970
Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) didirikan, membawahi Akademi Seni Rupa, Akademi Seni Tari dan Akademi Seni Teater.
Pada tahun 1976 untuk memenuhi persyaratan sebuah perguruan tinggi, nama LPKJ kemudian diubah menjadi Institut Kesenian Jakarta (IKJ).
1973
Jurusan Seni Rupa FTSP ITB dimekarkan dengan menambah Program Studi Desain Tekstil dan memecah Studio Grafis menjadi Program Studi Desain Grafis dan Seni Grafis. Tahun 1973, Program Studi Desain Grafis melepaskan lulusan pertamanya, yaitu empat mahasiswa studio grafis yang membuat tugas akhir berupa proyek desain grafis. Para lulusan pertama dari studio ini adalah Indra Abidin, Markoes Djajadiningrat, Teddy Sam Natasasmita dan Priyanto Sunarto.
Markoes Djajadiningrat, Teddy Sam Natasasmita dan Priyanto Sunarto juga adalah anggota IPGI (Ikatan Perancang Grafis Indonesia) ketika organisasi pertama di bidang desain grafis ini didirikan pada tahun 1980.
1974
Dunia seni rupa, terutama di STSRI “ASRI”, dan juga FSRD ITB, diguncang oleh terjadinya peristiwa Desember Hitam yang pecah di ujung tahun 1974 akibat protes yang dilayangkan oleh para mahasiswa yang kritis atas pemberian penghargaan oleh Dewan Juri Pameran Besar Seni Lukis Indonesia kepada lima orang pelukis (AD Pirous, Aming Prayitno, Widayat, Irsam dan Abas Alibasyah) karena karya-karya tersebut dianggap bercorak ragam sama, yakni dekoratif dan lebih mengabdi demi kepentingan “konsumtif”.
1975
Gerakan Seni Rupa Baru (1975-1979, 1987)
Peristiwa Desember Hitam itu menjadi cikal bakal terbentuknya Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) pada tahun 1975 yang menghantarkan dunia seni rupa Indonesia melahirkan pemahaman baru atas persoalan ideologis kesenian; konsepsi estetika dunia seni rupa;subject matter; batasan-batasan akademik, hingga menyentuh persoalan-persoalan interpretasi subjektivitas (Seni Grafis Yogyakarta dalam Wacana Seni Kontemporer, Wiwik Sri Wulandari, 2008, halaman 101-102).
Salah satu konsep GSRB adalah meniadakan batasan antara seni murni dan seni terapan (baca: seni tidak murni), dan semua fenomena kesenian termasuk desain pun kemudian dianggap sederajat.
Sepanjang perjalanannya, eksponen GSRB yang juga desainer grafis tercatat antara lainFX Harsono, Syahrinur Prinka (1947-2004), Wagiono Sunarto, Priyanto Sunarto, Gendut Riyanto (1955-2003), Harris Purnama dan Oentarto.
Pada tahun 1979 Gerakan Seni Rupa Baru membubarkan diri, tetapi sempat dihidupkan kembali pada tahun 1987.
1976
Pemisahan Above The Line (ATL) dan Below The Line (BTL)
Matari Advertising merintis pemisahan studio desain iklan (khusus ATL) dan studio desain grafis (khusus BTL). Tercatat pada periode ini Tjahjono Abdi sebagai desainer iklan dan Hanny Kardinata sebagai desainer grafis. Pada periode berikutnya, sebagai desainer grafis FX Harsono dan Gendut Riyanto.
1977
Penggunaan istilah desain komunikasi visual
Gert Dumbar, seorang desainer grafis Belanda memperkenalkan istilah semiotika dan komunikasi visual di FSRD ITB. Menurutnya, desain grafis tidak hanya menangani desain untuk percetakan tetapi juga moving image, display dan pameran. Sejak tahun 1979, istilah desain komunikasi visual mulai dipakai menggantikan istilah desain grafis.
1978
Program Pengutamaan Studi Desain Grafis, Jurusan Seni Rupa di Universitas Trisakti diadakan.
1979
ASRI pada periode ini berubah status dan nama lembaga menjadi Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia “ASRI” atau disingkat menjadi STSRI “ASRI”. Menjelang dikeluarkannya Keputusan Menteri Pendidikan seiring dengan diberlakukannya NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus) oleh Dr. Daud Joesoef maka nama Jurusan Seni Reklame berubah menjadi Jurusan Disain Komunikasi.
1980
Pameran desain grafis pertama di Indonesia
Pada tanggal 16-24 Juni 1980 di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis, jalan Menteng Raya 25, Jakarta diselenggarakan pameran desain grafis oleh tiga desainer grafis Indonesia: Hanny Kardinata, Gauri Nasution dan Didit Chris Purnomo, bertajuk “Pameran Rancangan Grafis ‘80 Hanny, Gauri, Didit”. Pameran ini tercatat sebagai pameran desain grafis pertama di Indonesia yang diadakan oleh desainer-desainer grafis Indonesia (Pameran Rancangan Grafis Hanny, Gauri, Didit – Mau Merubah Dunia, Agus Dermawan T, Kompas, 25 Juni 1980, hal. 6). Pameran ini membawa misi memperkenalkan profesi desainer grafis ke masyarakat luas, dan agar karya desain grafis diapresiasi sebagai karya seni.
Sumber:
“Hubungan Rancangan Grafis dengan Seni Copet” oleh Johannes Tan, Brosur “Pameran Rancangan Grafis ‘80 Hanny, Gauri, Didit”.
“Pameran Rancangan Grafis ’80 Hanny, Gauri, Didit” oleh Agus Dermawan T, Kompas, 25 Juni 1980, hal. 6.
“Informatif, Juga Indah” oleh Priyanto Sunarto.
Beberapa karya yang dipamerkan:
1980
Organisasi desain grafis pertama di Indonesia
Organisasi desain grafis pertama di Indonesia terbentuk pada tanggal 25 April 1980 dan diresmikan pada tanggal 24 September 1980 dengan nama Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) bersamaan dengan diselenggarakannya sebuah pameran besar bertajuk “Grafis ‘80” di Jakarta yang berlangsung hingga tanggal 30 September 1980 di Wisma Seni Mitra Budaya, Jalan Tanjung 34, Jakarta.
Badan Pendiri yang terdiri dari 9 orang: Sadjiroen, Sutarno, Suprapto Martosuhardjo, Soedarmadji JH Damais, Bambang Purwanto, Chairman, Wagiono, Didit Chris Purnomo dan J Leonardo N merumuskan program kerja dan membentuk pengurus sementara dengan susunan sebagai berikut:
Ketua: Wagiono Sunarto
Wakil Ketua: Karnadi Mardio
Sekretaris 1: Didit Chris Purnomo
Sekretaris 2: J Leonardo N
Bendahara: Hanny Kardinata
Dibantu beberapa koordinator bidang:
Pameran: FX Harsono, S Prinka
Publikasi dan Buletin: Tjahjono Abdi
Hubungan Masyarakat: Agus Dermawan T
Dokumentasi dan Perpustakaan: Helmi Sophiaan
Pendidikan dan Ceramah: Hanny Kardinata
Sumber: Sejarah IPGI-Upaya Menumbuhkan Apresiasi
1980
Akhir 1970 dan seterusnya, tumbuh perusahaan-perusahaan desain grafis yang sepenuhnya dipimpin oleh desainer grafis. Berbeda dengan biro iklan, perusahaan-perusahaan ini mengkhususkan diri pada desain-desain non-iklan, beberapa di antaranya adalah Vision (Karnadi Mardio), Grapik Grapos Indonesia (Wagiono Sunarto, Djodjo Gozali, S Prinka dan Priyanto Sunarto), Citra Indonesia (Tjahjono Abdi dan Hanny Kardinata) dan GUA Graphic (Gauri Nasution). Di Bandung sebelumnya sudah ada design center Decenta yang didirikan pada tahun 1973, antara lain oleh AD Pirous, T Sutanto, Priyanto Sunarto, yang walau lebih mengandalkan pada disiplin seni grafis juga menangani beragam produk desain grafis, mulai sampul buku, kartu ucapan, logo, kalender, pameran dan elemen estetis gedung.
Periode awal 1980 mencatat perkembangan jumlah perusahaan desain grafis yang cukup signifikan di Jakarta, antara lain: Gugus Grafis (FX Harsono, Gendut Riyanto), Polygon (Ade Rastiardi, Agoes Joesoef), Adwitya Alembana (Iwan Ramelan, Djodjo Gozali), dan di Bandung: Zee Studio (Iman Sujudi, Donny Rachmansjah), MD Grafik (Markoes Djajadiningrat), Studio “OK!” (Indarsjah Tirtawidjaja dkk), dll.
Pada masa ini, studio mana pun ‘dituntut’ bisa mengerjakan pekerjaan apa pun, klien datang dengan pekerjaan mulai dari desain logo sampai kepada ilustrasi sampul kaset, desainer bak superman atau superwoman. Studio grafis tidak punya pilihan lain supaya bertahan hidup.
Ilustrasi menggunakan teknik air brush, dengan gaya hyper-realism dan Pop Art menjadi trend waktu itu, sejalan dengan perkembangan ilustrasi di dunia maju (majalah “Tempo” dan “Zaman” adalah dua penerbitan yang mengakomodasi teknik ini untuk sampulnya).Air brush gun, pensil, kuas, cutter, Cow Gum, Spraymount dan huruf gosok Letraset/Mecanorma adalah alat-alat yang lazim bertengger di meja kerja desainer waktu itu.
Salah satu desainer yang mempopulerkan aliran Pop Art dengan teknik air brush adalah Tony Tantra. Tony Tantra menggunakan media kaos yang dijualnya di Bakungsari, Kuta, pada akhir 80an, dengan label “Tony Illustration”. Tony, bersama Harris Purnama dan Gendut Riyanto dulunya pengisi rubrik Pop Art di majalah Aktuil dengan editor tamu Jim Supangkat.
Sumber: Say it with Oblong
MENGENAI MAJALAH ZAMAN
Majalah Zaman, Mingguan untuk Seluruh Keluarga, bolehlah disebut sebagai “mimesis” (dalam arti luas) majalah Boss. Edisi Perdananya terbit pada minggu ke-II, September 1979, tetapi menggunakan SIT (Surat Ijin Terbit) bertanggal 31 Desember 1973 dengan keterangan: Untuk melanjutkan penerbitan MM Boss.
Edisi Perdana Zaman dibagikan secara gratis. Baru pada edisi No. 1/Thn I, Minggu I, Oktober 1979, majalah ini dijual dengan harga Rp. 250,-. Diterbitkan oleh Yayasan Bapora bekerjasama dengan PT Grafiti Pers, Penerbit Majalah TEMPO (waktu itu).
Dalam perjalanannya, di majalah ini berkumpul para seniman dan budayawan yang sudah tak asing lagi namanya di Indonesia, misalnya Danarto, Jim Supangkat, Nano Riantirano, Sori Siregar, Seno Gumira Ajidarma, Ananda Moersid, dan lain-lain. Pemimpin Redaksi: Goenawan Mohamad. Redaktur Pelaksana: Putu Wijaya.
Majalah Zaman ditutup oleh “Tempo” pada 1985. Lalu pada tahun berikutnya “Tempo” menerbitkan majalah baru: MATRA (Agustus 1986).
Sumber: Koleksi K Atmojo: Majalah Lama: “Zaman” Edisi Perdana & No. I/Thn I Oktober 1979
1983
Pada tanggal 22-31 Agustus 1983, bekerjasama dengan Dewan Kesenian Jakarta, IPGI menyelenggarakan pamerannya yang kedua yang digelar di Galeri Utama TIM, Jakarta dengan tajuk “Grafis ‘83”.
Sumber: Sejarah IPGI-Upaya Menumbuhkan Apresiasi
1984
Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (FSRD ITB) diresmikan
Bidang studi seni rupa maupun desain mengalami perkembangan yang pesat karena tuntutan kebutuhan dari masyarakat, maka pada tahun 1984 di ITB Jurusan Seni Rupa ditingkatkan menjadi fakultas tersendiri dengan nama Fakultas Seni Rupa dan Desain yang mencakup tiga jurusan, yaitu: Jurusan Seni Rupa Murni, Jurusan Desain dan Jurusan Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU).
FSRD ITB diresmikan pada tahun 1984 setelah mengalami sejarah perkembangan yang panjang sejak 1 Agustus tahun 1947 sebagai Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar di bawah Fakultas Ilmu Pengetahuan Teknik Universitas Indonesia di Bandung.
1984
Desain komunikasi visual di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
Pada pertengahan tahun 1984, terjadilah perubahan besar dalam sistem penyelenggaraan pendidikan seni, sehingga setelah menjalani perencanaan panjang sejak 1973 dengan ide penggabungan 3 (tiga) lembaga: STSRI “ASRI”, AMI, dan ASTI, maka disatukanlah ketiga lembaga dengan nama Institut Seni Indonesia Yogyakarta pada tanggal 23 Juli 1984. Perubahan status dari sekolah tinggi menjadi institut membawa konsekwensi perubahan lembaga jurusan. Yang tadinya satu jurusan membidangi 1 (satu) program studi, maka kini jurusan membawahi kewenangan pengelolaan administrasi 2 (dua) program studi. Dengan demikian nama baru jurusan Disain Komunikasi menjadi Program Studi Disain Komunikasi Visual.
ISI Yogyakarta dibentuk atas Keputusan Presiden RI No: 39/1984 tanggal 30 Mei 1984, dan diresmikan berdirinya oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, pada tanggal 23 Juli 1984.
1987
Pada tanggal 16 Desember 1987 Soetopo Mangkoediredjo menerima “Anugerah Pariwara” Indonesia yang pertama dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) Pusat, yang disampaikan oleh Menteri Penerangan Republik Indonesia, H. Harmoko.
1987
Lomba Poster dan Stiker UP3DN: Terbesar dan Terheboh 1987
Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (UP3DN) bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) mengadakan sayembara cipta poster dan stiker yang bertujuan untuk meningkatkan citra produksi dalam negeri dan mendorong masyarakat untuk lebih percaya dan menggunakan produksi dalam negeri.
Lomba dengan hadiah terbesar sepanjang sejarah itu telah menghasilkan jumlah entries sebanyak 313 poster dan 278 stiker, jumlah yang luar biasa mengingat masih terbatasnya profesi desainer grafis pada masa itu. Sayang lomba tersebut telah ternodai oleh diketemukannya fakta bahwa karya pemenang pertamanya merupakan hasil jiplakan dari sebuah desain dari Amerika. Pemenang pertama lomba poster pun dibatalkan dewan juri (Kompas 11 Desember 1987) dan keputusan baru diumumkan eksplosif lewat konferensi pers, 12 Desember 1987:
Pemenang lomba poster:
Juara I: Hanny Kardinata, Jakarta, judul: “Buatan Indonesia. Mengapa Tidak?”
Juara II: Gatot Widro, Jakarta, judul: “99% Buatan Sendiri. 1% Boleh Luar Negeri”
Juara III: Dadang Kreshnadi, Bandung, judul: “‘Menghargai’ Karya Bangsa Sendiri Kunci Pembangunan”
Pemenang lomba stiker:
Juara I: Aten Waluya, Bandung, judul: “Satu Pilihanku, Buatan Indonesia”
Judul II: Dicky Mulyadi, Jakarta, judul: Buatan Indonesia”
Juara III: Abub Luthfy H, Jakarta, judul: “Patriot Pembangunan, Cinta Produksi Dalam Negeri”
Karya-karya terpilih kemudian dibukukan dan beberapa karya yang menang dicetak oleh negara dalam jumlah ratusan ribu eksemplar.
Sumber: Lomba Poster dan Stiker UP3DN: Terbesar dan Terheboh 1987
1988
Pada tanggal 9-15 Februari 1988, bekerjasama dengan JAGDA (Japan Graphic Designers Association), IPGI menyelenggarakan pameran Grafis Jepang-Indonesia yang pertama, yang diadakan di Galeri Ancol, Pasar Seni Ancol, Jakarta. JAGDA menghadirkan 196 poster karya terbaru lebih dari 100 desainer terkemuka Jepang, diantaranya Yusaku Kamekura, UG Sato, Shigeo Fukuda, Shin Matsunaga, Ikko Tanaka, Kazumasa Nagai, Hiroshi Sato dan banyak lagi. Pameran kemudian dilanjutkan di Aula Timur ITB, Jalan Ganesha 10, Bandung.
Sumber: Sejarah IPGI-Upaya Menumbuhkan Apresiasi
Beberapa karya yang dipamerkan:
1989
Pameran Grafis Jepang-Indonesia yang kedua bertajuk “Grafis ‘89” diselenggarakan berturutan di tiga kota: tanggal 23-30 Maret di Gedung Pameran Seni Rupa Depdikbud (sekarang Galeri Nasional) di jalan Merdeka Timur 14, Jakarta; tanggal 12-20 April 1989 di Yayasan Pusat Kebudayaan, jalan Naripan, Bandung dan tanggal 26 April-3 Mei di Kampus Institut Seni Indonesia di jalan Gampingan, Yogya. Pada tanggal 29 Maret 1989, Shigeo Fukuda yang didatangkan dari Jepang menjadi pembicara dalam sebuah ceramah di Pusat Kebudayaan Jepang, Summitmas Tower lantai 2, Jakarta.
Sepanjang perjalanannya tercatat nama-nama desainer yang telah ikut berpameran dalam pameran-pameran yang diselenggarakan oleh IPGI yaitu Achmad Rumyar, Achmad Sadimin, Agoes Joesoef, Bambang Bargowo, Bambang Purwanto, Bambang Sidharta, Bambang Trenggono, Deddy Budiman, Dicky Mulyadi, Didit Chris Purnomo, Djodjo Gozali, Budi Mandiro, Chairin Hayati Joeda, Danardana, Dewi Nursalim, Dicksy Iskandar, Djoen Saptohadi, Dwi Koendoro, Gauri Nasution, Gendut Riyanto, GM Sudarta, Hanny Kardinata, Harianto IR, Indarsyah, J Leonardo N, Karnadi Mardio, Lesin, Markoes Djajadiningrat, Mulyadi W, Piet Hari Santosa, Pramono, Priyanto Sunarto, Sadjiroen, Sita Subijakto, Slamet Sugiyanto, Suyadi ‘Pak Raden’, Suyono Palal, S Prinka, Tarmizi Firdaus, T Ramadhan Bouqie, Teddy Sam Natasasmita, T Sutanto, Tjahjono Abdi, Wagiono Sunarto, Wendy Bari dan Yusuf Razak.
Sumber: Sejarah IPGI-Upaya Menumbuhkan Apresiasi
1992
JADEX‘92
Upaya menyejajarkan desain dengan cabang kesenirupaan yang lain, juga menjadi landasan kurasi “Jakarta Art & Design Expo‘92” atau “JADEX‘92” yang digelar di Jakarta Design Center tanggal 25-30 September 1992. Untuk pertama kalinya semua cabang seni rupa – seni lukis, seni patung, seni grafis, seni serat, seni keramik, instalasi, desain interior, desain grafis, desain produk, desain tekstil, desain busana, desain aksesori, kria kayu, kria keramik dan kria bambu – ‘dipersatukan’ dalam sebuah pameran besar.
Anggota-anggota IPGI yang ikut serta dalam pameran ini adalah Aten Waluya, Bambang Sidharta, Donny Rachmansjah, Gauri Nasution, Hanny Kardinata, Iman Sujudi, Lessy Sebastian, Priyanto Sunarto, T Ramadhan Bouqie, Tjahjono Abdi dan Yongky Safanayong.
1993
Forum KMDGI (Kriyasana Mahasiswa Desain Grafis Indonesia) pertama di Universitas Trisakti, jakarta
Forum KMDGI berdiri sejak tahun 1993 – diadakan setiap dua tahun sekali di perguruan tinggi yang berbeda – merupakan forum untuk berkumpul, bertukar pikiran, berdiskusi dan apresiasi konsep kekaryaan/konsep kreatif antar mahasiswa desain grafis se Indonesia.
KMDGI pertama kali diadakan di Universitas Trisakti, pada tanggal 10-13 September 1993 diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Desain Universitas Trisakti. Para peserta delegasi yang mengikuti acara tersebut adalah perwakilan dari tiga universitas yaitu dari Universitas Sebelas Maret Surakarta (Solo), Universitas Trisakti (Jakarta), Universitas Udayana (Bali) dan tiga institut yaitu ISI (Yogyakarta), ITB (Bandung), IKJ (Jakarta).
13 Desember 1994
Universitas Pelita Harapan didirikan oleh Yayasan Universitas Pelita Harapan. Jurusan DKV berada di bawah Fakultas Teknik dan Perencanaan.
1994
Studio Desain Grafis ITB berubah menjadi Studio Desain Komunikasi Visual.
1994
IPGI ganti nama jadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia)
Kongres pertama IPGI diadakan di Jakarta Design Center pada tanggal 7 Mei 1994. Di dalam konggres ini diresmikan penggantian nama IPGI menjadi ADGI (Asosiasi Desainer Grafis Indonesia) serta serah terima jabatan dari pengurus IPGI ke pengurus ADGI (Ketua: Iwan Ramelan, Sekretaris: Irvan Noe’man), pemilihan President Elect (Gauri Nasution), pengesahan AD/ART dan kode etik serta pengesahan Majelis Desain Grafis.
Sumber: Sejarah IPGI-Upaya Menumbuhkan Apresiasi
1996
Program Studi Desain Grafis di Universitas Trisakti menjadi Program Studi Desain Komunikasi Visual, Jurusan Desain, Fakultas Seni Rupa dan Desain.
1997
Studio Desain Komunikasi Visual menjadi Program Studi Desain Komunikasi Visual di bawah departemen Desain FSRD ITB.
1998
22 Januari 1998: Kurs rupiah menembus 17.000,- per dolar AS
Setelah berpuluh-puluh tahun terbuai oleh pertumbuhan yang begitu mengagumkan, tahun 1998 ekonomi Indonesia mengalami kontraksi hebat. Krisis dengan cepat merambah ke semua sektor. Puluhan, bahkan ratusan perusahaan, mulai dari skala kecil hingga konglomerat, bertumbangan. Sekitar 70 persen lebih perusahaan yang tercatat di pasar modal juga insolvent atau nota bene bangkrut. Sektor yang paling terpukul terutama adalah sektor konstruksi, manufaktur, dan perbankan, sehingga melahirkan gelombang besar pemutusan hubungan kerja (PHK).
Perusahaan-perusahaan desain grafis pun tidak luput dari hantaman krisis ini, satu per satu ditutup karena sebagian besar dari klien mereka berasal dari sektor perbankan, konstruksi dan manufaktur. Hanya studio kecil (terdiri atas dua atau tiga orang) yang selamat, karena overhead juga kecil, studio besar yang mampu bertahan pun dipaksa memangkas drastis jumlah stafnya.
1998
15 Oktober 1998
Dibentuk sebuah tim persiapan oleh Rektor Universitas Bina Nusantara, [Alm.] Dr. Th. Widia Soerjaningsih untuk membangun sebuah jurusan Desain Grafis Universitas Bina Nusantara.
22 Oktober 1998
Jurusan Desain Grafis Universitas Bina Nusantara resmi berdiri di bawah naungan Fakultas Teknik.
Sumber: Sejarah DKV Binus University.
1998
DKV UK Petra berdiri.
Sumber: Sejarah DKV UK Petra.
Desember 1998
Berdirinya Taring Padi (Teeth of the Rice Plant)
Sekelompok anak muda yang menamakan diri Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi memanfaatkan grafis sebagai seni publik untuk gerakan moral dan penyadaran. Mereka membuat poster-poster dengan teknik cukil kayu dan memajangnya di dinding-dinding kota, dinding kantor pemerintah, dinding rumah penduduk, dan di tempat-tempat lain yang dengan gampang ditatap orang.
Menurut ketuanya, Tony Voluntero, Taring Padi (TP), yang bermarkas di antara puing-puing bangunan bekas kampus ISI Gampingan itu (sekarang di daerah Bantul, Yogyakarta), juga memiliki kontak dengan puluhan LSM di berbagai kota gesar dan luar negeri. Selain membuat seni publik berupa poster-poster kemanusiaan, TP juga berperan dalam banyak kegiatan demonstrasi, serta membantu membuat karya instalasi danperformance art untuk aksi unjuk rasa.
Tujuan berdirinya kelompok ini jelas yakni menggunakan ruang publik untuk mempresentasikan karya-karya mereka. Sebuah pilihan ruang yang egaliter dan paling demokratis dengan harapan karya-karya dapat lebih mudah dikomunikasikan kepada masyarakat. Targetnya muncul kesadaran dan sikap kritis. Sehingga pada prakteknya, kelompok Taring Padi banyak memuntahkan persoalan-persoalan yang dialami masyarakat sekarang.
Taring Padi menyukai dialog dalam setiap proses karya mereka. Artinya, mereka melakukan strategi komunikasi agar masyarakat memahami karya mereka.
Poster-poster Taring Padi terkenal tanpa tedeng aling-aling. Parodinya kadang kasar, menggambarkan pertentangan kelas dengan cara hitam-putih, misalnya, kapitalis versus buruh, orang kaya versus orang melarat, dan cukong-cukong versus petani. Kalimat-kalimat sering berupa jargon-jargon anti-imperialis. Seluruh poster Taring Padi dikerjakan secara kolektif – tidak atas nama individual.
Sumber:
Setengah Abad Seni Grafis Indonesia.
20-21des 10 Tahun Senirupa Kerakyatan ‘Taring Padi’
Posters by Taring Padi (Indonesia).
Posters (2000-2009).
Teeth of the Rice Plant (Taring Padi).
1999
02 September 1999
Program Studi Desain Grafis Universitas Bina Nusantara dipimpin oleh seorang Ketua Jurusan dibantu oleh seorang Sekretaris Jurusan dengan tiga orang Dosen Koordinator Bidang Ilmu. Angkatan I Desain Grafis Universitas Bina Nusantara yang berjumlah 153 mahasiswa memulai aktivitas perkuliahan hari pertama.
Ketua Jurusan: Yongky Safanayong
Sekretaris Jurusan: Dyah Gayatri
Dosen Kordinator Bidang Ilmu: Lintang Widyokusumo, Mita Purbasari, Vera Jenny Basiroen
24 Agustus 1999
Dibentuk perwakilan mahasiswa Desain Grafis yang terdiri dari 11 orang dengan nama Formatur 11 (F 11).
Tujuan utamanya adalah membentuk Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ).
5 Desember 1999
Program studi Desain Komunikasi Visual Ubinus (No. SK472/DIKTI/KEP/1999)
Sumber: Sejarah DKV Binus University.
Copyright © 2009 Hanny Kardinata
Make your interactions with people transformational, not just transactional.