Kata grafik bagi orang di desa saya punya makna sesuatu yang ilmiah. Sebab ia senantiasa dihubungkan dengan hal-hal yang menyangkut penghitungan atau pendataan. Entah itu penghitungan penduduk atau pendataan hasil panen beras dalam kurun tertentu. Tetapi begitu kata grafik di desa saya tersebut tokh tak lepas dari sifat grafik yang sebenarnya, yakni: tulisan coretan. Atau lebih melebar lagi: gambar. Gambar grafik itu berbentuk garis-garis lurus, yang boleh membujur dan menyilang dan menunjuk angka-angka tertentu. Di sisi lain, orang bilang itu adalah gambar statistik. Biasanya ia tertempel di kantor pak lurah.
Jadi jelas, jika ada spanduk pameran grafik terbaca oleh orang dari desa saya itu, pasti ia akan tertawa dan berkata sendiri. “Goblok. Gambar-gambar begitu saja dipamerkan. Apa bagusnya….”. He he, ini memang iseng.
Tetapi bagi siswa sekolah seni rupa, atau mahasiswa perguruan tinggi seni rupa, istilah grafik dilalap sebagai “seni rupa yang disiapkan untuk diproduksi banyak”. Dan itu dihubungkan dengan etsa, litografi, woodcut, linografi, harboardcut, serigrafi, sablon dan sebagainya. Dan ini juga tepat, seperti halnya pengertian orang di desa saya itu.
Hanya saja, jika bagi orang desa tersebut citra grafik adalah “barang jadi”, atau sekedar jenis gambar saja, maka bagi orang seni rupa punya implikasi tehnis. Yakni suatu karya seni yang musti dikerjakan dengan cara-cara yang khas dan tertentu.
Jadi, cara-nya yang terambil sebagai makna dari istilah itu. Kemudian selebihnya, jika grafik istilah orang desa dihidupkan oleh angka-angka, maka grafik orang seni rupa digerakkan oleh ekspresi. Yang satu gambar ilmiah. Yang satu lagi gambar seni. Itulah.
Dan agaknya, istilah yang terakhir tersebut yang paling tepat diletakkan di tengah latar pameran ini. Sebab dari runtutan sejarah itulah akhirnya muncul yang namanya “perancang grafik”. Apa bener?
EMPAT DASAR KERJA
Pada abad ke 19 orang membagi 4 cara dalam mengolah seni grafis. Yakni cetak rakam, cetak timbul, cetak bidang dan tehnik sablon. Empat cara itu hanyalah hasil pengelompokan tehnis kerja etsa, litografi, woodcut dan sebagainya seperti yang telah tersebut di atas.
Adapun tehnik cetak rakam ialah dengan mengukirkan suatu bentuk ke atas sebuah bidang datar. Setelah ukiran selesai, baru tinta cetak dilumurkan di atasnya. Kemudian kertas lunak, atau barang apa pun yang datar dan tak keras dicapkan di situ. Hasilnya tentu telah bisa dibayangkan sendiri. Etsa, woodcut atau harboardcut bisa dimasukkan ke dalam jenis ini.
Cetak timbul paling gampang diambilkan contohnya. Stempel umpamanya. Bidang datar ditatah, hingga subyek yang mau ditampilkan (gambar ataupun huruf) nongol. Baru kertas atau sebangsanya diletakkan dan ditindaskan di atasnya, atau di bawahnya. Setelah tentu saja bidang tertatah itu dibubuhi tinta terlebih dahulu.
Cetak bidang lebih rumit, sebab ia menuntut pengetahuan yang mendalam mengenai kimia. Sebagai contoh bisa diambil litografi. Orang mencoret, menulis atau melukis di atas batu. Kemudian batu diproses dengan zat-zat kimia hingga terkikis seperlunya, sesuai dengan yang dicoretkan seniman di atas batu tersebut. Usai itu, baru kertas dicetakkannya.
Jenis yang terakhir adalah cetak sablon. Cetak ini telah dilakukan orang sejak ratusan yang lalu, dengan cara mengerat-ngerat kertas untuk cetakan. Tehnik yang sangat sederhana ini memang membawa akibat kecil: tidak diakui sebagai kerja seni. Tetapi pendapat itu akhirnya tokh luntur. Pada pertengahan abad 20 sablon diangkat orang sebagai seni. Ia berkembang terus sampai pada tahun 1930 an diketemukan sarangan (saring). Pada masa sesudah Perang Dunia II cetak sablon ini sangat populer, dan banyak dikerjakan orang.
Empat dasar kerja di atas lantas membuahi ide para ahli untuk terus membiakkan seni grafis. Bukan hanya segi estetiknya saja yang berusaha diangkat, tetapi juga segi tehnis atau pelaksanaannya. Dan segi praktisnya. Sementara yang namanya etsa, litografi dan sejenisnya masih bertahan dan masih dikerjakan orang (sebagai ‘seni murni’) dengan tehnik yang boleh dikata tradisional, tehnologi cetak melesat terus ke depan. Cetak timbul melahirkan mesin handpress. Dan tehnik-tehnik lain mengilhami kelahiran mesin-mesin semisal offset, anak tehnologi grafik mutakhir yang akhirnya banyak dipakai. Yang luncur dan lancar. Yang menyebabkan seorang seniman tak lagi terlibat secara langsung dalam proses terjadinya hasil final sebuah karya grafik. Namun hanya terlibat dalam penyusunan, pengorganisasian segala sesuatu elemen grafik. Tidak sebagaimana halnya seniman etsa dan sebagainya itu.
Di sinilah kemudian terlahir istilah “perancang grafik”, atau “grafis designer”. Ia telah terpisah dari sebutan “pelaksana grafik”. Sebab pelaksanaannya telah ‘direbut’ oleh mesin-mesin.
TAK AKAN MATI
Karena itulah, terasa sah jika para perancang grafik ini kembali mengambil haknya yang telah berkurang itu dengan pengetengahan martabat yang lebih tinggi, lewat ketrampilannya, lewat kreatifitasnya melahirkan bentuk-bentuk. Bagaimana modernnya mesin, sempurnanya mekanisme kerja sebuah unit offset, tanpa adanya rancangan yang memikat dan artistik, semuanya akan kering dan tak berarti.
Kebangkitan kesadaran para perancang grafik dari keterpisahannya dengan “pelaksana grafik”, barangkali merupakan pertanda bahwa: sampai kapanpun yang namanya seni tidaklah akan mati. Semakin besar raksasa tehnologi, semakin membantu dan mengukuhkan eksistensi seni. Sebab grafik pada dasarnya bukan hanya tehnik, tetapi juga manifestasi artistik.
Sumber: Brosur Pameran Pertama Ikatan Perancang Grafis Indonesia “Grafis ‘80”, 24 September-10 Oktober 1980 di Wisma Seni Lingkar Mitra Budaya.
“Seorang desainer harus memiliki keberpihakan pada konteks membangun manusia Indonesia. Peka, tanggap, berwawasan, komunikatif adalah modal menjadikan desainnya sebagai alat perubahan”