Lomba Poster dan Stiker UP3DN: Terbesar dan Terheboh 1987

1. Pengumuman Lomba (awal Juni 1987):

“LOMBA CIPTA POSTER DAN STIKER UNTUK TINGKATKAN PRODUKSI DALAM NEGERI”

JAKARTA — Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (UP3DN) bekerjasama dengan Institut Teknologi Bandung dan P3I (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) akan mengadakan sayembara cipta poster dan stiker yang bertujuan untuk meningkatkan citra produksi dalam negeri dan mendorong masyarakat untuk lebih percaya dan menggunakan produksi dalam negeri.

Hal itu dikemukakan Staf Ahli Menteri UP3DN Ir. Drs. Ichiar Musa bersama Kasman Ardhani dari P3I dan Purnomo dari Persatuan Radio Siaran Niaga Indonesia, baru-baru ini di Jakarta.

Tujuan pembuatan poster dan stiker itu untuk menggalakkan pemakaian dan jasa produksi dalam negeri dengan jalan meningkatkan citranya di mata masyarakat Indonesia dan didukung oleh kualitas barang-barang yang telah memenuhi standar mutu nasional maupun internaslonal.

Poster dan stiker direncanakan harus berisikan slogan pendek, tapi padat dan ilustrasi yang menarik dalam tata desain yang memenuhi tujuan serta pemakaian bahasa Indonesia yang tepat dan sopan. Para perancang grafis yang akan mengikuti sayembara dapat merancang salah satu, atau kedua-duanya (poster dan stiker).

Poster dan stiker itu harus berukuran masing-masing 50 cm x 70 cm bidang gambar, stiker dengan format kertas 20 cm x 20 cm dan warna bebas. Di belakang karton dilekati amplop yang berisi nama samaran, nama dan alamat pembuat, foto copy KTP, surat pernyataan di atas meterai bahwa karya tersebut merupakan rancangan asli, tidak meniru dan belum pernah dlpublikasikan sebelumnya, di luar amplop diterakan nama samaran. Dikirim dalam amplop yang melindungi karya dari kerusakan selama pengiriman, jangan dilipat ataupun digulung. Dikirim ke alamat Panitia Lomba Poster dan Sticker UP3DN up. Sekretariat P3I, Gedung Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Lantai V, Jakarta.

Kepada pemenang pertama, kedua dan ketiga untuk poster akan diberikan hadiah masing-masing Rp 2,5 juta, Rp 1,5 juta, dan Rp 1 juta serta hadiah hiburan masing-masing Rp 100 ribu dan 42 piagam. Sedangkan untuk stiker hadiah pertama Rp 1 juta, hadiah kedua Rp 500 rlbu dan hadiah ketiga Rp 2S0 ribu dan lima hadiah hiburan masing-masing Rp 50 rlbu dan 42 piagam.

Sayembara akan ditutup tanggal 22 Juli 1987 dan hasilnya akan diumumkan 29 Juli 1987.

LOMBA JINGLE 1987

Disamping itu dengan maksud yang sama P3I bekerjasama dengan RRI, PRSSNI, PAPPR1, SPS, dan Kantor Menmud UP3DN, juga akan mengadakan Lomba Pencipta Lagu dalam bidang penciptaan jingle.

Peserta berumur di atas 10 tahun, karya harus asli. Peserta boleh mengirimkan tiga karya, peserta bisa kelompok bisa perorangan. Karya lomba dikirimkan dalam bentuk kaset, lengkap dengan vokal dengan iringan gitar, piano atau organ. Vokal dan iringan musiknya harus dapat didengar dengan jelas. Not balok atau not angka (tidak harus) dikirim serta dengan kaset.

Karya lomba paling lambat masuk pada panitia tanggal 10 Agustus 1987 dan karya yang telah diterima panitia tidak akan dikembalikan dan menjadi hak milik panitia. Hak cipta tetap ditangan peserta lomba.

Untuk maksud itu panitia akan memilih lima karya terbaik yakni pemenang satu sampai tiga dan pemenang harapan satu dan dua.

Lima karya terbaik itu akan disiarkan melalui Radio Swasta Niaga secara terus-menerus pada jam-jam tertentu mulai tanggal 14 September 1987 sampai dengan 18 Oktober 1987 untuk dipilih satu Jingle Favorit oleh masyarakat pendengar.

Masyarakat pendengar memilih satu jingle yang paling disukainya, dengan menuliskan jingle itu di kartupos untuk dikirimkan kepada panitia lomba selambat-lambatnya 18 Oktober 1987.

Pemenang pertama sampai ketiga mendapat hadiah masing-masing Rp 2,5 juta, Rp 1,5 juta dan Rp 1 juta, harapan pertama Rp 500 ribu, harapan kedua Rp 250 ribu dan jingle favorit Rp 1 juta. Sedang pengirim angket akan memperoleh hadiah uang tunai masing-masing Rp 500 ribu, Rp 300 ribu dan Rp 100 ribu. (T-3)

Sumber: Harian “Suara Pembaruan” (data waktu penerbitan tidak tercatat, diperkirakan awal Juni 1987).


2. Media pertama yang mengumumkan pemenang lomba secara lengkap (Majalah “Gadis” no. 21, 20 Agustus – 31 Agustus 1987):

“CINTA KARYA SENDIRI, DAN LOMBA BERHADIAH TERBESAR”

oleh: Agus Dermawan T

Kecintaan pada produksi dalam negeri, harus ditanamkan sejak remaja. Dan cara penanamannya di antaranya dengan poster dan stiker. Lalu diadakan lornba dengan hadiah terbesar dalam sejarah lomba seni rupa. Kamukah yang menang?

Produksi dalam negeri, barangkali memang buah yang sial. Ia sering matang di pohon, tanpa ada yang memetik. Beberapa waktu lampau ada cerita dari perancang top Harry Darsono. Pada suatu malam pertemuan, ada seorang wanita kece mendekatinya, sambil bersikap bangga.

“You lihat ini. Batik yang saya beli di London, seratus empat puluh dolar. Bagus?” katanya agak nyombong.

Melihat itu Mas Harry bukan main terkejut, untuk kemudian senyum-senyum. Sebab, pada busana batik yang anggun itu, di suatu sudutnya terselip logo goresan tangan dia.

“Kalau di sini, ini cuma empat puluh dolar” kata Harry Darsono bergurau. tapi serius. Ia tabu empatpuluh dolar, karena desain batik itu sesungguhnya memang buatan dia, yang diekspor ke London, dan dijual di sana. Yang beli? Orang Indonesia! Astaga.

Produksi Indonesia, sesungguhnya, memang punya nilai tinggi. Dalam berbagai iklan pelayanan, sering kamu lihat sebuah kencana perak yang indah agung bukan main. Hasil ketinggian seni Britania Raya? Begitu teks iklan itu. Ternyata bukan. Cupu perak berkilau tersebut adalah hasil tatahan pak Atmopawiro dari Kotagede, Yogyakarta. Kamu mungkin kaget, sebentar. Untuk kemudian kagum. Walau… hehehehe, tidak juga beli.

Tirulah “Saudara Tua”

Kenapa sih banyak orang agak priori dengan made in Indonesia? Sampai-sampai banyak orang memalsukan sendiri, sebagai bikinan luar negeri? Untuk menjawab itu pak Ginanjar Kartasasmita, Menteri Usaha Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (UP3DN) harus senyum-senyum dulu.

‘Ada kutu yang menggerayangi perasaan bangsa Indonesia, bahwa yang luar negeri itu selalu lebih bergengsi daripada yang dalam negeri”. Dan pak Ginanjar sendiri, ketika Gadis temui selesai bersembahyang Jum’at, nampak memakai sandal jepit made in Cibaduyut.

Pasal yang “dalam” jadi “luar”, itu sudah terjadi lama sekali. Adiknya tetangga teman saya pernah punya arloji merk Garuda tapi made in Germany. Lho, aneh ‘kan? Ini mau gaya tapi salah. Sementara itu di Tegal ada pabrik pompa air merk Dragon, juga made in Germany. Dan, kamu pernah lihat pompa air merk Yamakoto, made in Japan? Temyata itu juga buatan Tegal, karena yang punya pabrik adalah Yanto, Mardiono dan Abdul Sukoto. Mungkin, karena made in Japan itulah orang Indonesia lantas beli.

Hal ini merupakan kebalikan dari apa yang terjadi di negara pak Hirohito sendiri. Di Jepang justru barang dalam negeri yang lebih banyak dipakai daripada barang-barang impor. Walaupun bila ditilik kenyataannya, barang dalam negeri mereka harganya bisa lebih mahal dari benda-benda yang datang dari luar. Ini sebuah nasionalisme, atau fanatisme yang positif, untuk mencintai karya-karya bangsa dewek. Dengan begitu bangsa Jepang lalu bisa produktif, dan nylekutif (apa ini?). Mereka lantas bersemangat menciptakan apa saja. Dari kap lampu bambu, sampai mobil-mobil gaya. Hitung saja apa yang dilakukan oleh “saudara tua” kamu itu dalam hal penciptaan kendaraan. Sejak pancawarsa lampau Jepang memproduksi sekitar 11 juta mobil dalam setiap tahun. Ini jauh melebihi negara superbesar Amerika yang cuma membuat 7 juta mobil setahun. Pantas saja, kalau orang-orang Jepang bangga, dan “nyombong”. Satu lagi contoh. Untuk arloji misalnya, bangsa Jepang lebih suka pakai bikinan sendiri ketimbang buatan Swiss. Karena itu mereka lalu ngotot bikin sebanyak-banyaknya. Sekarang tak kurang dari 110 juta arloli dibuat di Jepang dalam setiap tahun. Ini bernilai total sekitar 325 milyar Yen. Bikin merindink nggak?! Sementara itu, kamu beli juga buatan mereka. Padahal, he, ini kenyataan unik, arloji yang diekspor untuk kita, kualitasnya lebih buruk dari yang mereka pakai sendiri…..

Bakiak Jadi Pesawat

Karena itulah. pak Ginanjar lantas ”sewot”. Pokoknya, kecintaan pada produksi sendiri harus ditingkatkan. Dan beliau pun, bikin lomba. Lomba poster dan stiker (juga jingle, lagu iklan) itu diselenggarakan atas kerja sama kementrian UP3DN, Institut Teknologi Bandung (Bagian Seni Rupa) dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. Untuk merangsang penciptaan maksimal, panitia memberikan hadiah besar banget. Untuk poster dan stiker saja, total 9,25 juta rupiah. Hebat. Karena itu, lalu berbondong-bondonglah yang ikut. Dan bermacam-macam pula gaya yang serta.

Dari karya yang masuk, ternyata remaja dan umumnya orang Indonesia cukup mencintai produksi dalam negeri. Dan lumayan bangga. Ada sebuah karya poster yang menceritakan pergantian bentuk (metamorfose) dari kelompen (bakiak) menjadi pesawat produksi Nusantara pak Habibie. Hehe, khas Indonesia nih, yeee. Ada stiker yang menggambar anak garuda (Pancasila) lagi promosi buatan Indonesia, dengan gaya lucu. Ada poster yang anggun, yang cuma melukiskan tangan orang (berdasi kupu-kupu) lagi menenteng tas berisi produksi Indonesia. Sebuah art poster yang keren! Dan sebagainya. Ratusan karya yang muncul itu, memang, sanggup menerbitkan optimisme peningkatan penggunaan produksi sendiri. Sampai-sampai muncul ide dari pak mentri untuk membukukan poster dan stiker lomba itu.

Tapi sebelum dibukukan. beberapa karya yang menang akan dicetak oleh negara dalam ratusan ribu eksemplar. Suatu kali akan sampai ke dinding kamar belajarmu, di tempel. Dan stikernya akan ngeceng di mobil babe. Promosi!

Tunggu saja. (Mas Agus)

PEMENANG LOMBA 10 JUTA

Inilah pemenang lomba poster dan sticker UP3DN yang berhadiah total 10 juta perak itu (sebenarnya sih, 9,25 juta, tapi dibuletin aja, biar enak nyebutnya).

POSTER

Juara I: Tri Harto Priyoprasetio (Jakarta) dengan judul “Bisa Karena Biasa’. Hadiah Rp 2.500.000,-
Juara Il: Hanny Kardinata (Jakarta), judul “Buatan Indonesia. Mengapa Tidak?”. Hadiah Rp 1.500.000,-
Juara lII: Gatot Widro (Jakarta), judul “99%”. Hadiah Rp 1.000.000,-
Lima hadiah penghargaan masing-masing Rp 100.000,- dimenangkan oleh Eddy Sundara (Bandung), Deddy Budiman (Jakarta), Poligon Desain (Jakarta), Rudi Varid Sagir (Bandung) dan Tony Iskandar (Bandung).

STIKER

Juara l: Aten Waluya (Bandung), judul “Satu Pilihanku”. Hadiah Rp 1.500.000.-
Juara Il: Dicky Mulyadi (Jakarta), judul “Buatan Indonesia”. Hadiah Rp 1.000.000,-
Juara lIl: Abub Luthfy H (Jakarta), judui “Patriot Pembangunan”. Hadiah Rp 750.000,-
Lima hadiah penghargaan masing-masing Rp 100.000,- dimenangkan oleh Aten Waluya (Bandung, gambar garuda), Gay Gautama (Bandung), Gedyth (Jakarta), Hermanto (Bekasi), Tonny Tantra (Denpasar). Slamet ya. Dan hasrat nraktir, tidak ditolak!

Sumber: Majalah “Gadis” no. 21, 20 Agustus-31 Agustus 1987, hal. 86-87.


3. Gugatan atas originalitas karya pemenang I melalui rubrik “Redaksi Yth”, Harian “Kompas”, Sabtu, 12 September 1987.

“LOMBA POSTER MENJIPLAK”

Baru-baru ini, Institut Teknologi Bandung (ITB) bersama Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia dan Kantor Menteri Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri (UP3DN) membuat kejutan, mengadakan lomba poster dan stiker dengan total hadiah seluruhnya Rp 9,25 juta. Suatu jumlah yang cukup menggiurkan.

Meskipun dengan batas waktu yang cukup mepet namun berhasil menyedot kira-kira 700 peserta lomba. Rupanya Dewi Fortuna berpihak pada Sdr. Tri Harto. Dengan karya posternya yang berjudul Bisa karena Biasa, ia berhasil menyingkirkan peserta lain, dan keluar sebagai pemenang I dengan menggondol hadiah Rp 2,5 juta.

Namun, sayang sekali. Karyanya yang notabene merupakan “karya terbaik” di mata dewan juri, ternyata dijiplak dari buku America’s Graphic Design Magazine karya ilustrator Jonelle Woolward, Mary Ellen Campion/Rice and Woolward, San Francisco (fotokopi terlampir).

Kali ini, dewan juri benar-benar kebobolan dan para peserta lomba lainnya harus puas mengelus dada. Apa mau dikata, palu dewan juri sudah telanjur jatuh. Hanya saja, kalau kenyataan membuktikan begini, saya ingin bertanya kepada dewan juri yang terhormat:

1. Inikah syarat originalitas sebuah karya yang konon ditandatangani peserta di atas kertas bermeterai seperti yang disodorkan panitia lomba?

2. Sahkah kemenangannya itu?

Thomas Soga Murin
Slipi RT OOI/RW 02 No. 72,
Kelurahan Slipi,
Jakarta Barat.

Sumber: Harian “Kompas”, Sabtu, 12 September 1987.

•••

4. Isu mengenai penjiplakan, dikupas di Majalah “Tempo”, 3 Oktober 1987.

“CINTAILAH BIKINAN SENDIRI (BUKAN TIRUAN)”

Sebuah karya poster yang menang, untuk menganjurkan produksi dalam negeri, dituduh menyontek karya Amerika.

LOMBA pembuatan poster itu — dengan hadiah terbesar di dalam sejarah desain grafis Indonesia — mula-mula lancar. Desainer Tri Harto Priyoprasetyo menang. Perancang dari biro iklan Citra Lintas, Jakarta, ini bakal memperoleh Rp 2,5 juta, dari kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri.

Kantor itu, bekerja sama dengan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, memang membuka sayembara poster yang menganjurkan penggunaan produk bikinan Indonesia.

Tapi mendadak heboh. Pertengahan bulan lalu, selembar surat pembaca yang disiarkan harian Kompas menuduh: Tri menjiplak poster yang dimuat dalam America’s Graphic Design Magazine “Print”. Surat senada, dari Adji Damais, anggota dewan pendiri Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI), juga dikirimkan kepada para anggota dewan juri. Mereka kaget, sebab umumnya belum pernah melihat poster dalam majalah Amerika itu.

“Dewan juri kecolongan,” kata Iwan Ramelan, salah seorang anggota juri. Menurut perancang di biro iklan Fortune ini, poster Tri berjudul Bisa karena Biasa itu bukan sekadar dipengaruhi poster AS itu, melainkan peniruan total.

“Bentuknya sama, hanya warnanya berbeda. Dan ada tambahan kata-kata dalam bahasa Indonesia,” tambahnya. “Padahal, para peserta sudah menulis pernyataan bahwa karyanya orisinil,” ujar Iwan, dengan nada tinggi.

Poster itu menampilkan selembar kemeja dari bahan bergaris-garis merah, tergantung pada sebuah hanger yang dicantelkan pada seutas tali jemuran. Pada pundak kanan kemeja, tersampir sehelai dasi. Merah putih ukuran kecil menempel pada krah leher, yang biasanya ditempeli merk pakaian. Merah putih itu, sebagai ciri “dalam negeri”, juga menempel pada tas belanjaan di bawah kemeja.

Memang sama persis dengan poster yang dimuat dalam majalah Print nomor tahunan 1985 itu. Bahkan sampai ke jumlah garis-garisnya. Bahwa kesamaan itu luput dari tilikan juri, karena semua anggota dewan juri menyatakan belum pernah melihat poster Amerika itu. Meskipun, majalah tersebut dikenal baik para grafikus, juga oleh kalangan biro iklan, di sini.

yang-asli-dok-print

yang-tiruan-dok-agus-dt

Juri lain, Agus Dermawan T., juga berang. “Sudah sekitar 70 kali saya jadi juri, tapi musibah penyontekan kali ini benar-benar memalukan,” kata kritikus seni rupa yang juga anggota redaksi majalah Gadis itu. Ia menilai, penjiplakan 100% itu merupakan “kriminalitas dalam seni rupa”. Alias skandal. Untung, hadiah Rp 2,5 juta belum keburu diserahkan.

Sikap A.D. Pirous, 54 tahun, rada hati-hatl. Ketua dewan juri yang juga Dekan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB itu menyatakan, “peniruan” seperti itu mudah terjadi. Sebab, para juri tak mungkin memantau seluruh karya grafis. Sebagai poster, katanya, karya Tri sangat menarik, karena pesannya kuat.

“Sangat pas dengan temanya. Gambarnya memang tidak orisinil, tapi ide atau konsepnya orisinil,” kata Pirous.

Lain bagi Iwan Ramelan. Yang jadi soal baginya bukanlah konsep, melainkan hasil akhir sebagai karya grafis. Katanya, konsep komunikasi pada tahap awal boleh sama dengan grafis lain. Begitu pula konsep visual pada tahap kedua. Tapi pada tahap ketiga, pelaksanaan visual terwujudnya karya grafis harus orisinil.

Dari pihaknya, Tri Harto, sang pemenang, mencoba menjelaskan. “Saya cuma punya ide sederhana: konsumen bisa menggunakan produksi dalam negeri karena terbiasa membeli. Dan bagaimana rancangan grafisnya, saya serahkan kepada sebuah tim kecil,” kata Tri, 32 tahun, pencipta logo TVRI, yang menyatakan sudah 12 tahun berkecimpung dalam desain grafis.

Tak berarti ia kukuh. Tri Harto, yang masuk ASRI, Yogya, pada 1973 dan belum meraih gelar formal dalam bidangnya, menyerahkan soalnya ke dewan juri. “Terpulang kepada dewan juri saja, deh. Mereka berwenang untuk menentukan,” katanya.

Bila demikian, maka Iwan Ramelan sependapat dengan Agus Dermawan. Menurut mereka, kalau sudah jelas Tri menjiplak, gelar sebagai pemenang I harus dicabut. Konsekuensinya bisa saja pemenang kedua naik jadi pemenang pertama. Atau, bisa juga dilakukan penilaian kembali atas karya yang masuk semifinal, dari 400 orang peserta. Setelah itu, terpulang pada panitia, apa maunya.

Untuk memutuskan, rupanya tak gampang. Dewan juri merasa perlu bersidang pada minggu pertama Oktober ini. Mereka yang sudah disebut-sebut sebagai “pemenang” diundang ke pertemuan itu.

Di sana, diharap Tri Harto akan hadir dan didengar pengakuannya, bila ia memang benar menjiplak. Bila tidak, pembelaannya juga ditunggu. “Sebaiknya ia sendiri menjawab secara sportif,” kata Pirous.

Sanksi apa yang bisa dikenakan pada Tri bila dewan juri bisa membuktikan ia menjiplak? Ternyata, IPGI angkat tangan. “Kami memang belum punya gigi seperti halnya PWI, IDI, Ikadin, atau organisasi profesi lainnya yang punya kode etik,” ujar penjabat Ketua IPGI, Wagiono. Satu-satunya yang bisa dikejar, kata Wagiono, ya surat pernyataan bersegel yang menjamin karya yang diperlombakan itu memang benar orisinil.

Itu mungkin perlu. Setiap kali ada lomba poster atau logo, pemenang pertama hampir selalu dituduh menjiplak. Dewan juri mana pun memang terbatas kemampuannya mengingat jutaan poster yang pernah diciptakan manusia di dunia ini. Akhirnya, memang terpulang kepada para pendesain akan kejujuran masing-masing — juga rasa malu mereka.

Happy Sulistyadi, Bunga Surawijaya, A. Ulli (Jakarta), Ida Farida (Bandung)

Sumber: Majalah “Tempo”, No. 31 Tahun XVII, 3 Oktober 1987, hal. 65.


5. Pengumuman hasil lomba dipertanyakan pada rubrik “Kontak Pembaca”, Majalah “Tempo”, 21 November 1987.

“MANA PENGUMUMAN POSTER?”

Pengumuman pemenang Lomba Poster dan Stiker yang diadakan oleh Kantor Menteri UP3DN bekerja sama dengan Fakultas Seni Rupa & Desain ITB dan PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) telah diputuskan. Yakni Pemenang I, II, dan lIl masing-masing memperoleh hadiah Rp 2,5 juta, Rp 1,5 juta, dan Rp 1 juta, yang dimuat oleh majalah Gadis nomor 21, edisi 20-31 Agustus 1987.

Sayang, terjadi kericuhan karena poster hasil karya pemenang I ternyata tidak orisinil, sehingga para juri perlu bersidang lagi untuk membicarakan kembali dalam suatu pertemuan (TEMPO, 3 Oktober 1987).

Menurut salah seorang dewan juri, penyelesaian masalah telah diputuskan bahwa pemenang I dinyatakan gugur karena menjiplak. Ini sesuai dengan surat pernyataan tiap-tiap peserta bahwa rancangan poster yang dilombakan harus asli dan tidak meniru.

Yang menjadi pertanyaan saya, kok belum ada lagi pengumuman resmi dari panitia. Saya, sebagai salah satu pemenang, tentu menunggu-nunggu. Hitung-hitung, sudah berjalan lebih dari 3 bulan, Iho.

GATOT WIDRO, Jakarta

Sumber: Majalah “Tempo”, No. 38 Tahun XVII, 21 November 1987.


6. Pengumuman resmi pembatalan pemenang I Lomba Poster sebagaimana dimuat oleh Harian “Kompas” dan “Suara Pembaruan”, 11 Desember 1987.

“PEMENANG PERTAMA POSTER DIBATALKAN DEWAN JURI”

Jakarta, Kompas

Poster “Bisa karena Biasa” yang menjadi pemenang pertama lomba poster peningkatan penggunaan produksi dalam negeri, dibatalkan oleh dewan juri lomba tersebut. Dewan juri kemudian menetapkan Hanny Kardinata dari Jakarta dengan poster “Buatan Indonesia. Mengapa Tidak?” sebagai gantinya.

Dalam keterangannya di Jakarta hari Kamis, dewan juri lomba yang diselenggarakan Kantor Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri bekerja sama dengan ITB dan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I) menyatakan, pembuat “Bisa karena Biasa” terbukti penjiplak. Poster itu dijiplak dari gambar yang dimuat America’s Graphic Design Magazine.

“Keputusan ini berdasarkan pertimbangan bahwa perkembangan desain grafis Indonesia seyogyanya selalu diilhami oleh suasana kreativitas daya cipta yang orisinal. Dewan juri juga telah mempelajari semua keterangan yang diperlukan,” ujar Ketua Dewan Juri Drs. AD Pirous.

Ia mengatakan, hadiah bagi para pemenang lomba poster dan stiker ini akan disampaikan 22 Desember di BKPM, diiringi pameran 50 hasil karya yang memperoleh penghargaan. (sk)

Sumber: Harian “Kompas”, Jumat, 11 Desember 1987, halaman XII.

“POSTER JIPLAKAN DIBATALKAN DEWAN JURI”

Jakarta, 11 Desember

Dewan Juri Lomba Poster dan Stiker Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri Kamis siang mengeluarkan keputusan baru dan menetapkan pemenang lomba, setelah karya pemenang lama terbukti jiplakan dari luar negeri.

Ketua Dewan Juri, Drs. AD Pirous mengatakan itu kepada wartawan Kamis siang di Kantor Menteri Muda UP3DN, sekaligus mengumumkan bahwa pemenang pertama yang baru adalah yang berbunyi “Buatan Indonesia. Mengapa Tidak? karya Hanny Kardinata sebagai pemenang, yang sebelumnya adalah pemenang kedua.

Pemenang pertama sebelumnya adalah, “Bisa karena Biasa”, karya Th (nama singkatan: A05), menurut dewan juri adalah hasil jiplakan maka sekaligus diputuskan batal dan gugur sebagai peserta lomba poster dan stiker.

Pemenang lomba stiker menurut dewan juri tidak ada perubahan yaitu Aten Waluya, Dicky Mulyadi dan Abub Luthfy H sebagai pemenang pertama, kedua dan ketiga beserta lima penghargaan lainnya.

AD Pirous juga menambahkan peserta lomba poster 313 buah, peserta lomba stiker 278 buah.

Kepada para pemenang lomba poster akan diberi hadiah masing-masing Rp 2,5 juta pemenang pertama, Rp 1,5 juta pemenang kedua dan Rp 1 juta pemenang ketiga.

Untuk stiker masing-masing mendapat hadiah uang Rp 1 juta, Rp 500.000,- dan Rp 250.000,-. (B-7)

Sumber: Harian “Suara Pembaruan”, Jumat, 11 Desember 1987, halaman XV.


7. Ucapan selamat kepada dewan juri melalui rubrik “Redaksi Yth”, Harian “Kompas”, 16 Desember 1987.

Setelah menunggu dengan perasaan kecewa selama 90 hari terhitung sejak dimuatnya surat pembaca di Kompas 12 September 1987, akhirnya “keadilan” itu datang juga.

Keberanian dewan juri sebagai “hakim” dalam lomba ini untuk meluruskan yang bengkok patut diberi acungan jempol. Pemenang lomba poster dibatalkan dewan juri (Kompas 11 Desember 1987). Dengan kasus ini akan membuka mata kita untuk senantiasa menjunjung tinggi sportivitas dalam lomba apa pun. Karena, bagaimana pun kemenangan yang diraih dari kejujuran yang murni akan lebih terasa nilainya.

Kasus ini telah selesai tapi gaung yang ditinggalkan akan terus bergema. Dan pepatah kuno, “Serapi apa pun membungkus barang busuk, suatu saat tercium juga” akan selalu terngiang di telinga kita.

Selamat untuk dewan juri, selamat untuk para pemenang!

Thomas Soga Murin
Slipi-Jakarta Barat.

Sumber: Harian “Kompas”, Rabu, 16 Desember 1987, halaman IV.


8. Klimaks, sebagaimana dilaporkan oleh Agus Dermawan T di harian Kompas, 3 januari 1988.

“LOMBA POSTER DAN STIKER UP3DN: TERBESAR DAN TERHEBOH 1987″

TANGGAL 22 Desember 1987, pukul 10 pagi, barangkali merupakan saat paling puncak bagi ratusan peserta lomba poster dan stiker (sticker) UP3DN (Urusan Peningkatan Penggunaan Produksi Dalam Negeri). Betapa tidak, mungkin inilah lomba desain poster dan stiker yang paling lama jarak waktunya antara uar-uar penawaran lomba dan pengumuman hasil lomba. Ia dibuka awal Juni 1987, dan diumumkan resmi pemenangnya medio Desember itu.

Tidak itu saja. Lomba ini bisa dianggap menegangkan karena ia menyediakan hadiah terbesar dalam sejarah. Untuk lomba poster misalnya, juara pertama berhak hadiah 2,5 juta rupiah. Sementara untuk stiker 1,5 juta rupiah. Lebih dari 2 kali lipat hadiah yang pernah diberikan oleh panitia lain untuk lomba serupa.

Namun menguasai segala peristiwa yang formal di atas, lomba ini diramaikan dengan “insiden” yang menarik, dan membuat kompetisi semakin membetot urat syaraf. Lomba yang ditutup akhir Juli itu dinilai oleh 7 orang juri yang diketuai Abdul Djalil Pirous, seorang seniman lukis dan pengajar desain grafis di ITB.

Dewan juri lewat sidangnya yang mulus, memutuskan sebuah karya Tri Harto P. yang berjudul Bisa karena Biasa sebagai pemenang pertama desain poster. Poster ini, menurut sidang, dianggap bagus konsepnya, mantap pelaksanaan teknis grafisnya dan memiliki nilai optimal dalam harmoni visualnya. Sehingga missi yang ingin disampaikan dirasakan akan meluncur lancar ke hadapan pemirsanya. Di samping karya Tri Harto P. ditetapkan pula karya-karya lain yang memenangkan nomor. Bahkan juga lima pemenang harapan serta puluhan karya yang masuk nominasi.

Sidang juri lantas membikin berita acara untuk pengumuman itu. Dan hampir bersamaan dengan saat penyebarluasan pengumuman, majalah remaja Gadis edisi akhir Agustus 1987 menulis karya-karya pemenang itu secara lengkap.

Majalah ini memuat beberapa karya pemenang lomba termasuk karya Tri Harto P. daiam reproduksi berwarna. Lalu apa yang terjadi? Ternyata, karya Tri Harto dituduh sebagai jiplakan dari desain poster yang dimuat dalam America’s Graphic Design Magazine “Print”. Persis bentuk, hanya lain warna.

Tuduhan atau koreksi itu dimuat di harian Kompas medio September. Dan ia didukung oleh surat dari pelindung Ikatan Perancang Grafis Indonesia, yang ditujukan kepada panitia dan segenap juri. Padahal, Tri Harto, lewat kertas bermaterai, menyatakan karyanya asli.

Lalu kegegeran pun terjadi. Panitia berembuk lagi. Dan juri, yang mengaku memang lalai serta tak mungkin mendeteksi jutaan poster yang pernah ada, bersidang kembali. Sidang tanggal 2 Oktober itu juga menghadapkan Tri Harto P. Calon pemenang pertama itu diharapkan membuat penjelasan mengenai karyanya. Dalam sidang, Tri Harto tak memberikan pengakuan jelas atas apa yang diperbuatnya. Bahkan ia menyebut bahwa karyanya dibikin oleh sebuah tim kecil, sehingga ia tak terlalu paham bahwa itu adalah tiruan persis dari karya orang Amerika. Dari sini dewan juri lalu mengambil keputusan baru. Poster Bisa karena Biasa dicabut dari kursi pemenang pertama. Dan karya pemenang kedua dan seterusnya naik pangkat sementara itu sebuah sangsi untuk “kriminalitas seni” Tri Harto, – yang tercatat sebagai pembuat logo TVRl yang kini dipakai itu – sedang disiapkan.

Keputusan baru diumumkan eksplosif lewat konferensi pers, 12 Desember. Yang sampai-sampai disambut oleh sejumlah surat pembaca dengan perasaan lega dan bahagia, yang salah satunya dimuat di harian Kompas.

Tawaran ke Sponsor

Lantas apa yang membuat acara tanggal 22 Desember itu menjadi puncak? Tak lain karena segenap karya poster dan stiker pemenang dijajarkan dalam sebuah pamerari. Ditambah puluhan karya lain yang dianggap memenuhi syarat, pameran ini semacam pernyataan terbuka panitia, yang selama ini was-was, kepada publik. Dan dalam upacara pembukaan yang dilakukan Menteri UP3DN Ginandjar Kartasasmita itu, diserahkan pula hadiah-hadiah kepada para pemenang. Dan kompetisi seni yang paling membuahkan sensasi (dan keributan) di tahun 1987 itu, dianggap sampai pada klimaksnya.

Tetapi tak itu saja yang dikerjakan oleh UP3DN. Dalam pameran sehari di aula gedung BKPM jalan Gatot Subroto tersebut, terundang puluhan pengusaha, yang diharapkan ikut berpartisipasi dalam penyebarluasan poster dan stiker yang tergelar. Poster-poster dan stiker-stiker ditawarkan untuk dicetak, dengan akreditasi nama perusahaan sponsor di bawahnya. Siapa mau, ada harga-harga tertentu. Untuk poster berukuran 50 x 70 cm, dicetak di atas art paper sebanyak 20.000 eksemplar, dikenakan beaya 10.500.000 rupiah. Sementara untuk stiker berukuran 10 x 10 cm di atas chromo paper sebanyak 100.000 eksemplar dikenakan ongkos 13.000.000 rupiah. Semua pelaksanaan desain akreditasi, cetak, dan materi pembuatan poster/stiker ditanggung oleh UP3DN. Jumlah eksemplar itu adalah jumlah optimal yang ditawarkan. Diberikan pula kesempatan mencetak jumlah di bawah ini, dengan beaya berlainan. Ya, sebuah teknik penyebarluasan yang menarik. Sebab dengan begitu, perusahaan-perusahaan sponsor dapat memilih desain yang lekat dekat dengan citra usahanya sendiri.

Lalu bagaimanakah kualitas poster dan stiker pemenang lomba?

Juara Pertama, Kelas Atas

Pemenang poster pertama, Buatan Indonesia, Mengapa Tidak? karya Hanny Kardinata, Jakarta, menghadirkan impresi konsumen kelas tinggi. Latar belakang hitam seolah mengabuti sebuah sosok berdasi kupu-kupu merah putih, sosok yang menyangking sebuah tas “buatan Indonesia” yang berwarna merah. Serba simbolik, estetik, dan sekaligus glamourous.

“Ini untuk mengimbau mereka yang di atas” kata Ginanjar. Agaknya benar.

Tapi produk dalam negeri bukan untuk mereka yang di kursi emas belaka. Untuk kalangan menengah, dewan juri juga menemukan desain yang sangat sugestif. 99% Pakai Buatan Sendiri, 1% Boleh Luar Negeri karya Gatot Widro, Jakarta, adalah karya yang menohok kesadaran banyak orang. Lewat ungkapan verbal yang dikristalkan jadi karya visual, dalam manifestasi warna merah putih. Imbauan arogan, tapi humor, atau humor namun arogan, memberikan kekhasan karya itu.

Juara III, Menghargai Karya Bangsa Sendiri Kunci Pembangunan karya Dadang Kreshnadi, Bandung, merupakan sebuah poster yang punya tenaga propaganda provokatif. Di depan gambar bola dunia, tergambar jari-jari tangan menarik pelatuk. Dan peIatuk itu adalah ring kunci yang digantungi bendera besi merah putih.

Pada stiker juara I karya Aten Waluya Bandung, tersembul watak optlmistik, kukuh dan fanatik. Angka 1 yang tegak berdiri, dilindungi bendera merah putih yang gagah perwira. Ketegaran seperti itu juga terlihat pada stiker pemenang II karya Dicky Mulyadi dan pemenang III Abub Luthfy H., keduanya dari Jakarta.

Akankah desain-desain profesional hasil perasaan sekitar 600 karya seluruh Indonesia itu menghiasai sekujur dinding rumah dan dinding hati pemakai produk di sini, kita tunggu saja.

Agus Dermawan T.

Sumber: Harian “Kompas”, Minggu, 3 Januari 1988, halaman X.


9. Seluruh karya pemenang dan karya-karya pilihan diterbitkan dalam sebuah buku berjudul:

“LOMBA POSTER & STICKER PENINGKATAN PENGGUNAAN PRODUKSI DALAM NEGERI 1987″

PEMENANG LOMBA POSTER:

Juara I: Hanny Kardinata, Jakarta “Buatan Indonesia. Mengapa Tidak?”

Juara II: Gatot Widro, Jakarta “99% Buatan Sendiri. 1% Boleh Luar Negeri”

Juara III: Dadang Kreshnadi, Bandung “‘Menghargai’ Karya Bangsa Sendiri Kunci Pembangunan”

Juara Harapan I: Dedy Budiman, Bandung “Mode Boleh Dari Luar, Tapi Barang, Dalam Negeri Punya Dong”

Juara Harapan II: PT Polygon Design Production, Jakarta “Sudah Saatnya Anda Berjalan Dengan Buatan Indonesia”

Juara Harapan III: Rudy Farid Sagir, Bandung “Bergengsi Dengan Buatan Dalam Negeri”

Juara Harapan IV: Tonny A Iskandar, Bandung “Buatan Indonesia Selalu… Di Hatiku”

Juara Harapan V: Loedy Z Alaidin, Bandung “Hadiah Terindah Dari Anda Adalah Produksi Dalam Negeri”

POSTER PILIHAN:

Agoes Joesoef, Jakarta “Aku Cinta Produksi Indonesia”

Ito Joyoatmojo, Jakarta “Orang Indonesia Membuat Untuk Orang Indonesia”

R Bambang Dwi, Bandung “Demi Produksi Dalam Negeri Lepaskan Pola Fanatisme Produksi Luar Negeri”

Herry Hudrasyah, Bandung “Boleh Datang Sejuta Barang, Pilihanku Hanyalah Satu Produksi Indonesia”

Nugraha, Jakarta “Cinta Produksi Dalam Negeri, Cinta Bangsa Yang Mandiri”

S Setiabudi, Jakarta “Kebanggaanku Buatan Indonesia, Aku Bangga Indonesia”

Ito Joyoatmojo, Jakarta “Saksikan, Buktikan, Gunakan, Buatan Indonesia”

Yogi Hendrasworo “Petiklah Produksi Bangsa Menuju Makmur”

Risman Zaihary, Bandung “Pilihanku Buatan Indonesia”

Gatot Widro, Jakarta “Buatan Sendiri Pakai Sendiri”

Tjahjono Abdi, Jakarta “Kami Cinta Produk Buatan Indonesia, Bagaimana Dengan Anda?”

Kis Prabowo, Jakarta “Bangsa Besar Percaya Diri”

Arief Sulistiyono. Semarang “Tidak Meremehkan Barang Poduksi Dalam Negeri Dan Memakainya”

Frederick Wouthuyzen, Bandung “Semua Buatan Indonesia”

Imam Sanyoto, Demak “Dengan Memakai Produksi Dalam Negeri Berarti Menyejahterakan Rakyat”

Handoko Tantono, Jakarta “Pakailah Produksiku Karena Citraku Di Tanganmu”

Aten Waluya, Bandung “Buatmu Buatku Buatan Indonesia”

Subowo, Depok “Cinta Bangsa Cinta Karyanya”

AM Hermantho L, Bekasi “Saya Sayang Indonesia”

Agoes Yoesoef, Jakarta “Dia Di Hati Kami”

Abub Luthfy, Jakarta “Paculah Derap Pembangunan Dengan Cinta Buatan Sendiri”

Adie Mawardie, Bandung “Sambut Hari Ceria, Dengan Buatan Bangsa Indonesia”

Agoes Joesoef, Jakarta “Pilihanku Satu… Produksi Indonesia”

Arief Adityawan, Bandung “Fakta”

Kis Prabowo, Jakarta “Bangsa Besar Percaya Diri”

Bersambung

Quoted

Sekolah membuat desainer menjadi pintar, bekerja membuat desainer menjadi paham, pengalaman panjang membuat desainer menjadi arif

Danton Sihombing