“The design of history is the history of design”
— Ivan Chermayeff
Seperti apa perjalanan sejarah desain grafis di Malaysia? Meski memiliki peran penting dalam transformasi pedesaan dan jalanan di Malaya menjadi kota metropolitan, kelahiran dan perkembangannya terabaikan dari landskap sejarah Malaysia. Malaysia Design Archive dimaksudkan untuk menggali potongan sejarah ini, sekaligus untuk melacak setiap jejak anomali yang ditinggalkan oleh desain grafis dalam perkembangan bangsa Melayu di Malaysia. Dalam catatan ini, penulis akan jabarkan kilas kisah desain grafis di Malaysia dari periode kolonialisme Inggris, pendudukan Jepang, dan Darurat Tanah Melayu.
Awal Mula
Seni grafis dapat dilacak kemunculannya pada abad ke-15, ketika letak geografis Malaka yang strategis menjadikannya sebagai salah satu rute perdagangan internasional hingga menarik para saudagar untuk datang dan menggunakan fasilitas pergudangan dan perdagangan Malaka untuk perdagangan mereka. Malaka menjadi titik pertemuan sekaligus persilangan budaya yang kemudian mendorong pertukaran pengaruh desain: pedagang Arab dengan teks dan ornamen Islamnya, pedagang Tiongkok dengan porselen, sutra mewah, serta alat cetak dan kertas, hingga pedagang India dengan tekstil mereka yang kaya warna. Aktivitas sosiokultural dan ekonomi ini diabadikan—sebelum hadirnya mesin-mesin cetak dan fotografi—melalui ukiran, ilustrasi, serta peta [1. Moore, Wendy. Malaysia, A Pictorial History 1400 – 2004. Didier Millet, 2007]. Artefak-artefak ini tak hanya menunjukkan semangat zaman, namun juga tren serta selera budaya masa itu. Kebutuhan-kebutuhan ini yang diisi oleh sejumlah orang di Malaya, termasuk juru tulis, pengukir, dan pembuat peta—dan banyak seniman yang tak cukup dikenali [2. Meggs, Philips B. History of Graphic Design. Wiley, 2005:2].
Kedatangan kolonial Inggris di abad 19—dengan hasratnya untuk meningkatkan posisi mereka sebagai industri terdepan—menghasilkan begitu banyak informasi dalam format cetak: iklan, logo, poster perjalanan hingga ilustrasi editorial, majalah dan surat kaba, serta dengan tata aturan pos dan pendidikan, perangko, serta buku [3. Jamal, Syed Ahmad. The Encyclopedia of Malaysia: Volume 14 – Crafts and Visual Arts. Didier Millet, 2007]. Inilah periode perubahan besar bagi Malaysia, dimana desain grafis modern perlahan tumbuh dan berkembang.
I. 1850 s.d. 1943: Modernisasi dan Niaga
Di awal abad 19, Malaya menjadi salah satu wilayah jajahan imperalisme Inggris. Dengan meningkatnya intervensi Inggris, gaya hidup tradisional Malaya pun turut mengalami perubahan. Banyak penguasa Malaya kehilangan kekuasaannya. Demografi pun berubah dengan masuknya gelombang besar warga Tiongkok yang bekerja di pertambangan timah dan perkebunan. Begitu juga dengan wilayah pedesaan yang perlahan berubah menjadi kota yang hiruk-pikuk serta dilengkapi dengan kehadiran kelas saudagar serta atribut jalanan bergaya Eropa [4. Moore, Wendy. Malaysia, A Pictorial History 1400 – 2004. Didier Millet, 2007]. Sepanjang masa ini, desain grafis digunakan oleh penjajah Inggris sebagai bagian dari strategi mereka untuk memperluas kekuasaan bisnisnya, yang menjadikan desain grafis sebagai alat pemasaran. Dengan kata lain, desain grafis digunakan untuk menciptakan identitas dan ‘wajah’ Malaya Britania.
Sebagai negara yang melalui transformasi kultural mendalam, desain grafis pun mengalami banyak cara baru dalam penyampaiannya. Salah satu cara yang paling banyak dilakukan oleh penguasa kolonial untuk berinteraksi dengan pasar lokal adalah dengan memproduksi desain mereka ke dalam lebih dari satu bahasa dan tipografi, termasuk dengan mengadopsi simbol-simbol lokal dalam komunikasi mereka. Sebagai contoh, di 1902, logo perusahaan Simit (sekarang dikenal sebagai Sime Darby, yang dulunya adalah perusahaan dagang Inggris yang berfokus di timah dan karet) menggunakan gambar timbangan untuk menonjolkan aktivitas perdagangan mereka, serta memasukkan karakter huruf Cina di dalamnya. Seperti inilah desain logo digunakan sebagai perbendaharaan kata—sebuah bahasa visual yang menjembatani dan menghubungkan kolonial dengan pasar lokal, yang pada saat itu didominasi oleh pedagang Tiongkok.
Pengadopsian simbol-simbol lokal ke dalam ideologi kolonial juga hadir terang-terangan dalam produksi surat kabar. Surat kabar, dengan distribusinya yang luas, digunakan untuk menyebarluaskan gagasan, kebiasaan, serta agenda kolonial. Lewat iklan, penguasa kolonial juga mengadaptasi iklan luar negeri ke dalam bahasa maupun sistem-sistem simbol lokal. Salah satu di antaranya adalah iklan Tiger di bawah ini. Fraser dan Neave menggunakan gambaran perempuan setempat yang dikombinasikan dengan abjad Jawi [5. abjad Jawi – huruf yang merupakan adaptasi dari aksara Arab dan digunakan untuk menulis dalam bahasa Melayu] dalam iklan mereka untuk menarik atau berbicara pada pasar lokal guna mempromosikan Tiger Beer. Lagi-lagi, desain digunakan sebagai alat pemasaran—menjadi jembatan antara pengiklan dengan konsumennya. Iklan Inggris yang mengadopsi kelokalan seperti ini terus meningkat jumlahnya ketika surat kabar menjadi sarana utama untuk meluncurkan produk-produk baru: mobil, kosmetik, obat, barang harian, dan sebagainya—yang target pasar utamanya adalah warga lokal.
Sejumlah majalah, surat kabar komunitas, serta buletin juga muncul. Masing-masingnya menjawab kebutuhan kelompok yang berbeda-beda—yang serius, edukatif, atau jenaka—dan merepresentasikan minat yang disesuaikan dengan ras dan kelas. Sebagian besar konten dari publikasi-publikasi semacam ini tentunya dikontrol oleh swasensor sebagai akibat dari hukum kolonial mengenai perizinan dan pemakaran. Karenanya, simbol-simbol yang ditemukan dalam materi-materi cetak ini hanyalah sebagian kecil dari kontribusi simbol yang lebih besar dalam komunitas sesungguhnya. Salah satu di antaranya adalah Jajahan Melayu, salah salah surat kabar awal berbahasa Melayu yang diterbitkan di Taiping pada 1896, ditulis oleh dan untuk komunitas Arab. Masthead yang digunakan menampilkan ikon relijius Islam yang tipikal: bulan sabit, bintang, dan timbangan. Sosok laki-laki berpeci [6. Dikenal dengan istilah ‘songkok’ di Malaysia] dipilih sebagai antarmuka—sebuah avatar bagi terbitan yang merefleksikan kepercayaan relijius dari komunitasnya. Hal ini juga mendorong pertanyaan selanjutnya mengenai gender, termasuk persoalan representasi dan perannya di masyarakat.
Selain memperkuat perdagangannya lewat barang-barang keseharian dan hasil olahan sumber daya alam, penguasa kolonial juga mempromosikan Malaya sebagai tujuan wisata tropis. Sebagai sebuah alternatif untuk beriklan, poster-poster cantik pun dibuat dengan memperkaryakan para seniman lokal dengan tujuan untuk mempromosikan Malaya sebagai sebuah destinasi wisata nan eksotis dan menggoda dengan menggunakan figur-figur perempuan ‘pribumi’ sebagai subyek utamanya. Selama menelusuri poster-poster lama ini, dapat kita temukan penggunaan komposisi dan warna-warna romantis yang nampak sebagai sebuah pendekatan ‘baru’ dalam memahami alam dan lingkungan yang berasal dari ajaran seni Barat. Tercerabut dari gaya historis ‘kita sendiri’, desain-desain poster tersebut mengingatkan kita pada gaya lukisan cat air Inggris yang umumnya menampilkan adanya foreground, middle ground, dan background yang jauh [7. Jamal, Syed Ahmad. The Encyclopedia of Malaysia: Volume 14 – Crafts and Visual Arts. Didier Millet, 2007]. Dari sana, kita temukan sebuah tren baru yang kaya dengan persilangan pengaruh antara seni dan desain.
Imperialisme Inggris diuntungkan oleh penaklukan Malaka ini: yang menguntungkan tak hanya dari lokasinya, namun juga sumber daya alam dan manusianya. Penjajahannya pun bertahan: mengomodifikasi dan meraup untung dari Malaya Britania selama 150 tahun.
II. 1943 s.d. 1945: Masa-Masa Prasangka-Prasangka Estetika
Perebutan kekuasaan oleh Jepang pada 1943 berakibat pada pemberontakan bersenjata yang menjadi saksi periode pendudukan Jepang sepanjang tiga tahun kemudian di Malaya. Pada masa ini, muncul pengaruh besar dalam hal perlakuan terhadap seni grafis: semua media dalam format cetak diubah menjadi medium propaganda Jepang.
Jepang menggunakan simbolisme dengan kosakata yang lugas untuk memusnahkan sisa-sisa imperialisme Inggris dan menghadapkan masyarakat dengan citraan-citraan kebudayaan Jepang (yang paling terkenal: matahari terbit). Di masa ini, peran desain grafis mengalami adaptasi dan pergeseran: dari komodifikasi dan pergadangan ke bujuk rayu. Dengan kata lain, desain digunakan untuk mengontrol dan mempengaruhi [8. Heller, Steven. Design Literacy : Understanding Graphic Design. Allworth Press, 2004], in this case, for the promotion of Japanese values [Syonan Years 1942 – 1945, Living Beneath The Rising Sun. National Archives of Singapore, 2009].
Sebagai langkah awal, Jepang melenyapkan semua ikon dan simbol-simbol Inggris dari semua karya grafis—yang berakibat pada penyitaan seluruh materi cetak peninggalan Inggris serta ditutupnya sekolah-sekolah dirian Inggris. Propaganda Jepang dilakukan lewat perancangan perangko, kartu pos, surat kabar, serta buku. Penciptaan perangko-perangko baru juga menciptakan dialog visual mendasar antara pengirim dan penerima. Perangko-perangko tersebut berperan menjadi semacam ‘kartu panggil’ bagi Jepang untuk menguasai perhatian dunia dengan simbol-simbol kejayaannya dalam mengalahkan Inggris. Hal ini terang-terangan terlihat pada perangko bergambar Raja George VI: wajahnya ditimpa cap merah bertuliskan “Segel Kantor Pos Departemen Militer Malaya” sebagai tambalan sebelum perangko baru resmi dibuat. Penimpaan itu secara efektif mencoreng wajah kedaulatan Inggris [10. Syonan: Light of the South, A Story Told Through Stamps (http://www.spm.org.sg/exhibition/syonan/index.html):10].
Untuk membantu terbentuknya “identitas Asia”, administratur Jepang mengorganisir sebuah kompetisi desain perangko pertama. Lima desain bergambarkan pemandangan Singapura dan Malaya pun dipilih dan diedarkan pada 1943 [11. Syonan: Light of the South, A Story Told Through Stamps (http://www.spm.org.sg/exhibition/syonan/index.html)]. Dalam perangko seharga 15 sen ini, gambar padi yang sedang tanam tak hanya menampilkan pemandangan umum Malaya, namun juga menjadi simbol awal dan pertumbuhan baru. Ketebalan garisnya—yang kuat dan tebal seperti seni cukil kayu Jepang—dengan matahari terbit di latarnya menunjukkan kekuasaan Jepang.
Dalam keadaan yang menegangkan ini, produksi publikasi cetak sepanjang periode ini menghadapi konflik dalam hal gaya dan peran. Publikasi-publikasi baru diproduksi untuk menanamkan, memaksakan, dan mendiktekan masyarakat dengan ‘gaya hidup Jepang’. Berlawanan dengan masa-masa kolonial Inggris—dimana desain grafis digunakan sebagai alat komunikasi dua arah antara produk dan konsumen—pada masa ini yang berlangsung adalah komunikasi satu arah: komunikasi visual menuntut perhatian masyarakat dan menuntut reaksi cepat.
Industri perfilman tumbang pada masa ini. Pemerintah Jepang melarang pemutaran film-film Inggris sebagai bagian dari upayanya untuk memusnahkan segala pengaruh Barat. Hanya film-film Jepang dan Melayu yang boleh diputar. Kebanyakan, film dokumenter dan film-film propaganda yang diputar oleh pemerintah Jepang yang—lagi-lagi—digunakan untuk mempengaruhi penduduk setempat agar mengadopsi budaya dan moral seorang samurai [12. Millet, Raphael. Singapore Cinema. Didier Millet, 2007].
Periode ini berakhir dengan hasrat akan permulaan yang baru. Desain grafis, meski perlahan membangun pertaliannya, mengalami masa yang meresahkan dan ketersesatan melalui rangkaian nilai dan tujuan yang disuntikkan; sekaligus mendambakan identitas yang baru dengan keberadaan dan kepemilikan yang nyata.
III. 1945 s.d. 1957: Tumbuhnya Identitas Nasional Baru
Di tahun 1945, Malaya kembali jatuh ke tangan Inggris yang menggiring pada semangat baru akan nasionalisme. Desain grafis yang berkembang dalam konteks baru ini berusaha untuk menunjukkan upaya-upaya nasionalistik dengan menempatkan dirinya sebagai media komunikasi dan ideologi bangsa. Periode ini juga menjadi saksi keragamaan gaya yang muncul bersamaan tatkala penyaringan gencar dilakukan. Dalam proses membangun identitas nasional baru, gambar-gambar dan simbolisme yang tak diharapkan (baik dari dalam maupun luar) ditiadakan dari semua media komunikasi. Periode ini juga menjadi saksi munculnya perkembangan yang merata antara komunikasi komersil dan propaganda politik—pergumulan politik dan visual yang berlangsung hingga Malaya memperoleh kemerdekaannya.
Ledakan-ledakan estetika baru mulai bermunculan. Grafis tampil dalam pendekatan yang lebih minim—komposisi, penggunaan garis, bentuk-bentuk provokatif, serta hubungan yang mendalam dengan simbolisme mulai tumbuh. Hal ini bukan berarti grafis yang dihasilkan bermain dalam zona nyaman, melainkan menampilkan sebuah transisi yang lebih radikal dan jelas dalam membangun identitas nasional. Hubungan antara tipografi, ilustrasi, dan fotografi juga tereksplorasi dan tereksperimentasikan secara intens dalam desain yang menguntungkan pemerintah dalam menampilkan simbol dan ‘maskot’ yang lebih jelas untuk memenangkan hati dan pikiran warganya.
Poster, secara khusus, berfungsi sebagai medium dasar nan efisien untuk menyebarluaskan informasi di ruang publik. Sebagai contoh, poster di bawah ini digunakan untuk mengajak orang mendaftar di militer. Dalam ilustrasinya nampak seorang lelaki Melayu yang menggunakan pakaian adat namun ekspresinya yang nampak menggertak—ekspresi yang belum pernah muncul dalam konteks seperti ini. Menariknya, tak diragukan lagi bahwa komposisi poster ini dipengaruhi oleh poster Paman Sam di Amerika Serikat yang digunakan dengan tujuan yang serupa.
Majalah pada masa ini telah memiliki ekspresi visual dan peran hiburan yang mapan. Komik di bawah ini menampilkan sosok pahlawan Muslim Melayu Malaka, Hang Tuah, yang menjadi pahlawan nasional dari kisah ‘Hikayat Hang Tuah’. Sang legenda dibuat ke dalam film dan terpampang di mana-mana. Salah satunya adalah edisi ‘Majalah Comic Melayu’ tahun 1953 berikut ini. [13. Omar, Prof. Dato’ Dr Asmah Haji. The Encyclopedia of Malaysia: Volume 9 : Languages and Literature. Didier Millet.]. Hang Tuah digambarkan sebagai sosok serupa dengan pakaian adat yang sama. Penggunaan warna-warna primer juga mengingatkan kita pada tokoh pahlawan super Amerika, Superman.
Dari sini, kemunculan sosok laki-laki dalam pakaian adat mulai bermunculan. Gambar dan kisah cinta nan patriotik yang diulang-ulang ini dijadikan sebagai simbol junjungan bagi Hang Tuah. Sebagai sebuah lambang yang saling terjalin dengan propaganda nasional yang muncul di poster, majalah, serta buku, Hang Tuah menjadi sosok yang menggairahkan yang dimaksudkan untuk menarik seluruh ras dan kelas. Perlahan, sosok Hang Tuah menjadi wajah publik, citra masyarakat, dan lambang kepercayaan.
Periode ini juga dikenal sebagai periode ‘darurat’, dimana perang gerilya antara tentara bersenjata persemakmuran dan Partai Komunis Malaysia berlangsung [14. Malayan Emergency – http://en.wikipedia.org/wiki/Malayan_Emergency]. Perang ini menghasilkan begitu banyak propaganda grafis dalam jumlah yang membludak. Grafis dan ilustrasi yang ditanamkan pesan dan manipulasi politis disebarluaskan ke berbagai jalur dan jaringan bawah tanah. Pamflet-pamflet ini digunakan untuk mempengaruhi, menghimbau, dan menakut-nakuti komunis yang berlindung di hutan Malaya. Dalam kondisi semacam itu, komunikasi visual yang provokatif menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari dan didukung oleh penduduk yang juga terjebak dalam konspirasi yang sama.
Masa ini berakhir dengan tercapainya kemerdekaan Malaysia. Meski tanpa gaya dan bentuk-bentuk grafis khusus yang menjadi karakter ‘desain Malaysia’, kita telah mulai mengurai simpul-simpul pengaruhnya melalui pilihan gambar dan simbol yang diartikulasi, direpetisi, disebarluas, dan dipertahankan melalui beragam medium desain.
Sebagaimana yang dapat kita lihat, mengamati lebih dekat artefak-artefak dan elemen-elemen desain tak hanya dapat memberikan petunjuk perkembangan industri periklanan dan desain grafis pada suatu masa, namun juga memberi gambaran akan latar belakang, keterkaitan, serta pemikiran sosiokulturalnya.
Sayangnya, banyak produk dan artefak desain grafis tidak dilestarikan lewat pengarsipan atau pengoleksian di Malaysia. Ditambah dengan sejarah masa lalu Malaysia yang rumit, hal ini menyisakan tugas yang rumit dalam upaya pembacaan yang rinci atas perjalanan historis desain grafis Malaysia: proses, kemampuan produksi, nama-nama organisasi, agensi, serta para desainer grafisnya. Malaysia Design Archive diharapkan dapat menjadi sebuah upaya untuk menggali dan mendokumentasikan leksikon-leksikon dalam sejarah desain grafis Malaysia.
Keterangan gambar:
1. 1902, Simit Logo. The Encyclopedia of Malaysia: Volume 7 – Early Modern History (1800-1940). Didier Millet.
2. 1933, koleksi iklan Tiger Beer oleh Fariza Azlina Isahak dan National Archives of Malaysia
3. 1896, Jajahan Melayu. The Encyclopedia of Malaysia: Volume 7 – Early Modern History (1800-1940). Didier Millet.
4. 1934, “See Malaya”. Koleksi poster perjalanan oleh Ezrena Marwan.
5. Perangko Raja George VI. http://swiftraft2000.com/default.aspx.
6. 1943, Stamps “Savings” Campaign dari artikel “Japanese Occupation of Malaya, The Pictorial Issues” oleh Susan McEwan.
7. Basic Letter Writing Japanese for Children. National Archives of Singapore.
8. Japanese Propaganda Poster Millet, Raphael. Singapore Cinema. Didier Millet, 2007
9. 1951, Berkhidmatlah Kepada Tanahair National Archives of Malaysia
10. 1953, Majalah Comic Melayu (Malay Comic Magazine) The Encyclopedia of Malaysia: Volume 14 – Crafts and Visual Arts. Didier Millet.
11. Malaya Ration Card Collection of Ezrena Marwan
Hak cipta setiap gambar merupakan hak cipta masing-masing pemiliknya. Artikel ini menyusun arsip-arsip yang tersedia dan dimaksudkan untuk tujuan pendidikan.
Ditulis untuk Kuala Lumpur Design Week 2010 dan diterbitkan ulang di Blueprint Asia edisi Mei/Juni 2010. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia untuk tujuan pendidikan atas izin penulis.
Ezrena Marwan adalah desainer grafis yang mendirikan Malaysia Design Archive yang berfokus pada pengarsipan dan pencatatan desain grafis Malaysia. www.ezrenamarwan.com.
The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life