[Sambungan dari: Nada dalam Tautan Bidang-Bidang (1). Bagian kedua dan terakhir dari dua bagian]
Oleh: Hanny Kardinata
“Kerjakan apa saja secara perlahan-lahan dan dengan penuh hormat, perlakukan bagai sumbu di mana bumi bergerak—lamban, teratur, tanpa bergegas menuju ke waktu yang akan datang. Hayatilah momen aktualnya. Hanya di saat itulah ada kehidupan.” —Disadur dari Drink your tea slowly, Thích Nhat Hanh (l. 1926)
Jakarta 1979. Seusai studi di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) Asri, Yogyakarta (1972–1975) saya bekerja di Jakarta dan indekos di tempat tinggal Kirdi Dipoyudo, di jalan Kalipasir 24A, Cikini. Doktor Kirdi adalah seorang pastor yang kemudian memilih berpolitik praktis, dan berkiprah sebagai peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Di dalam kamar berukuran sekitar tiga kali tiga meter yang saya tempati, selain perabot standar juga ada satu meja gambar beserta kursinya yang saya bawa sendiri. Pada akhir 1975 hingga kisaran 1976, saya masih tinggal berdua di kamar ini bersama teman lama saya, desainer iklan Tjahjono Abdi (1952–2005). Tze-chen, demikian saya biasa memanggilnya, kemudian pindah ke rumah sendiri setelah memulai hidup barunya bersama Rani, pacarnya sejak mereka sama-sama bersekolah di Yogyakarta.
Di depan saya, di atas meja gambar, tergelar kertas gambar berukuran A1. Saya sedang menyelesaikan pesanan Guruh Soekarnoputra (l. 1953), menggambar potret dirinya dengan gaya Art Deco. Gambar ini akan dipakai sebagai materi komunikasi dan promosi bagi pergelaran perdana kelompok Swara Maharddhika.[iii] Untuk memenuhi pesanannya, saya dibekali sebuah pasfoto dirinya dan sebuah buku kumpulan lukisan Tamara de Lempicka (1898–1980). Gaya Art Deco-nya Lempicka ini (Gb. 2) sebenarnya terinspirasi oleh Kubisme, pergerakan seni garda-depan abad ke-20 yang dipelopori oleh Pablo Picasso (1881–1973) dan Georges Braque (1882–1963). Saya yang baru kali itu melihatnya, merasa bahwa teknik menggambar yang saya akrabi [yaitu teknik kuas kering (dry brush)] akan cukup efektif untuk dipakai menggambar dengan gaya lukis Lempicka ini. Teknik ini memang mengandalkan warna-warna kuat, kontras gelap dan terang, serta ritme garis-garis yang tegas (kubistis).
Karena ukurannya yang cukup besar, proses menggambar Guruh ini tidak bisa dilakukan di atas meja saja. Tapi juga di lantai kamar. Detailnya bisa dikerjakan di atas meja gambar, tapi finalisasinya mesti dilakukan di lantai. Jarak pandang yang lebih luas dibutuhkan ketika mengontrol irama gambar secara keseluruhan, dan hal itu mustahil dikerjakan di meja.Memberikan sentuhan terakhir senantiasa menjadi saat-saat yang paling saya nantikan di antara seluruh perjalanan penciptaan sebuah karya gambar. Pengalamannya lebih “ke dalam”. Saya seperti kehilangan diri, dan baru bisa berhenti setelah merasa “sampai di tujuan”. Dalam bahasa Jawa, ini yang mungkin disebut dengan nglakoni, atau mengerjakan sesuatu sampai benar-benar selesai (kelakon) (Gb. 3). Barangkali juga ini yang dimaksud oleh J. Krishnamurti (1895–1986) dengan “proses mengalami” ketika menjelaskan mengenai keadaan tiada hadirnya ego seseorang.
Yang mengesan dari Guruh adalah, berbeda dengan kebanyakan klien, ia tidak melakukan intervensi sedikit pun terhadap perancangan gambar ini. Saat dalam proses pengerjaannya, ia hanya datang menjenguk ke tempat kos saya satu kali. Hal itu memberi keleluasaan kepada saya untuk mengekspresikan apa saja yang saya inginkan. Seperti citra musikal yang ingin saya kesankan, dengan meracik ‘nada-nada dalam bidang-bidang’ yang saya tautkan. Atau impresi megah dan anggun, selaras dengan pergelaran seni tari dan musik yang kolosal. Saya juga bisa menyisipkan semacam simbolisasi melalui tangan Guruh yang mengepal, didistorsikan [secara karikaturis, dibuat agak lebih besar dari proporsi sebenarnya], yang mencerminkan tekadnya untuk melindungi warisan budaya negerinya.
Untuk menyelesaikan gambar ini saya membutuhkan waktu sekitar satu bulan. Teknik kuas kering memang tidak bisa dipakai untuk mengeksekusi suatu rancangan dengan cepat. Karakteristiknya menyerupai teknik cat air yang harus ‘sekali jadi’. Gambar menjadi ‘tidak jernih‘ bila catnya bertumpuk-tumpuk, dan bila sampai terjadi demikian maka proses pengerjaannya mesti diulang dari awal. Ada tuntutan keheningan di tiap langkahnya. Menikmati dan mensyukuri setiap saat yang dilalui.
Berbeda dengan teknik cat semprot (air brush), teknik kuas kering menghasilkan kualitas taktil pada kertas, terutama yang bertekstur. Di samping kehalusannya, terdapat kekesatan. Proses yang menyerupai prinsip kerja Slow Design[iv] ini bisa jadi tak lagi selaras dengan tuntutan zaman sekarang yang maunya serba cepat (rush). Teman saya Gauri Nasution (l. 1950), berulang kali menyarankan agar saya menulis buku mengenai teknik kuas kering ini. Tapi, dengan kemanjaan berlimpah yang disodorkan oleh teknologi masa kini, adakah yang masih mau bersusahpayah mempelajari dan mempraktikkannya?
Gambar Guruh ini pernah beberapa kali mengisi dinding-dinding ruang pameran. Di antaranya, dalam Pameran Rancangan Grafis ’80 Hanny, Gauri, Didit pada 16–24 Juni 1980 di Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis, Jakarta. Dan di Wisma Seni Mitra Budaya, Jakarta pada pameran Grafis’80 yang diselenggarakan oleh Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) pada 24–30 September 1980. Serta dipublikasikan di beberapa media cetak lokal maupun internasional, antara lain di harian Kompas (1980), majalah Desain Grafis Concept (2004), buku Tinjauan Desain Grafis (2010), buku kumpulan karya Index: South-East Asian Section, dan di beberapa media daring. Ketika pada akhir 1990 saya mampir ke rumah Guruh di jalan Sriwijaya 26, Jakarta, saya lihat gambar ini masih tergantung di dinding kamarnya.
Bidang di antara deretan nada-nada
Sebelum mengerjakan gambar Guruh itu, atas pesanan Gauri, saya pernah merancang empat buah kepala rubrik majalah Maskulin, majalah khusus pria yang dianggap paling “panas” pada masanya. Tapi sebelum sempat dipakai [guna menggantikan kepala rubrik yang lama], majalah ini terlanjur dibreidel. Akhirnya, desain kepala rubrik yang juga saya eksekusi dengan teknik kuas kering itu dipakai pada majalah Visi, majalah yang terbit sebagai pengganti Maskulin. Misi penerbitan majalah ini sama, dan dikelola oleh orang-orang yang sama pula. Di majalah bulanan ini, Gauri menjabat sebagai Managing Editor, sekaligus menangani desain grafisnya bersama Didit Chris (l. 1950). Tak lama berkibar, penerbitan Visi kemudian juga dibekukan.
Sebelum kegiatan majalah ini terhenti pada 1980, di kantor pusatnya yang berlokasi di jalan Padalarang 1A, Jakarta pernah diadakan beberapa kali pertemuan di antara sejumlah desainer grafis generasi 1960-an dan 1970-an. Pertemuan-pertemuan itu menghasilkan terbentuknya Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) yang pendiriannya diresmikan dalam sebuah pameran besar bertajuk Grafis ‘80. Setelah beberapa kali menyelenggarakan pameran akbar, di antaranya dua kali bersama Japan Graphic Designers Association (JAGDA), pada tahun 1994 IPGI berganti nama menjadi Asosiasi Desainer Grafis Indonesia (ADGI) hingga sekarang.
Gauri, yang sebelumnya adalah anggota kelompok musik Gipsy itu pada masa ini telah memilih jalannya sebagai desainer grafis. Sebelumnya, pada tahun 1973 Gipsy pernah bermain di Restoran Ramayana [milik Pertamina] di New York, dengan formasi: Chrisye (bass), Keenan Nasution (drum), Gauri Nasution (gitar), Adjie Bandy (biola), Rully Djohan (keyboard), dan Lulu Soemaryo (saxophone). Selama berada di Amerika, Gauri berkesempatan menempuh studi desain grafis di Art Instruction Schools, New York jurusan Commercial Arts (1973–1975). Selanjutnya, pada 1989 ia mengikuti Milton Glaser’s Summer Course di School of Visual Art dengan topik Pengembangan Kreatifitas.
Sebagaimana seniman fotografi Man Ray (1890–1976) melihat inter-relasi antara fotografi dan musik, Gauri pun merasakan adanya pola serupa pada desain dan musik:
“Desain, seperti musik, mampu melampaui bahasa dan batasan politik. Keduanya memiliki kesamaan: orisinalitas, dan membutuhkan kerja keras untuk menciptakannya…”
Demikian pula halnya dengan Debussy yang menyatakan bahwa:
“Music is the ‘space between notes’.”
Atau Sadjiman Ebdi Sanyoto (1942), pengajar teori-teori dasar desain Nirmana di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, yang mengatakan:
“Saya pernah membaca buku, saya lupa buku apa, yang bilang kalau dasar seni rupa adalah not musik. Maka saya menyusun Nirmana dengan dasar musik.”[5]
———
[iii] Swara Maharddhika, dalam bahasa Sansekerta berarti “suara yang perkasa”. Diawali dari keinginan kelompok vokal asuhan Johny Lantang untuk bisa mengisi acara di TVRI Jakarta yang kemudian bergabung dengan Guruh Soekarnoputra. Banyaknya kegiatan seni yang timbul kemudian menuntut dibentuknya sebuah organisasi yang mewadahinya. Maka pada 27 Maret 1977 Swara Maharddhika resmi didirikan.
[iv] Istilah Slow Design kemungkinan besar dicetuskan pertama kali oleh seorang penulis, pengajar dan aktivis desain, Alistair Fuad-Luke di dalam makalahnya yang berjudul Slow Design: a Paradigm for Living Sustainably? (2002). Sebagai sebuah metode, Slow Design sangat berbeda substansinya dengan desain dalam pengertiannya yang konvensional. Perannya yang paling signifikan adalah dalam menggeser pemahaman ‘desain untuk fungsi atau kebaruan (novelty)’ ke ‘desain untuk kesejahteraan manusia (well-being) dan lingkungan’, atau untuk quality of life. Di balik pendekatan desain-yang-lebih-lambat ini tercakup sejumlah pertanyaan, seperti: “Kualitas kehidupan yang bagaimanakah yang bisa ditingkatkan?”, “Bagaimana dampaknya terhadap kesejahteraan manusia dan lingkungan?”, “Apakah [desain] ini dibutuhkan?”. Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini akan membantu menuntun seorang desainer menentukan solusi yang ekonomis (tak-boros) atau tidak membahayakan.
———
[5] Ediron. Drs. Sadjiman Ebdi Sanyoto: Disiplin dan Rendah Hati. Jakarta: Majalah Desain Grafis Concept, Vol. 04 Edisi 21, 2008, h. 52.
***
If your creativity is not your passion, there won’t be passion in your creativity.
Be passionate… and never sell yourself cheap