Seni Rupa Sehari-hari Menentang Elitisme
Ilustrasi: Oentarto

Ilustrasi: Oentarto

Karya seni adalah: “barang” canggih. Dalam diskusi kesenian, seminar kebudayaan sampai pendidikan, seni canggih inilah yang terbanyak dimasalahkan. Di luar itu sesuatu fenomen seni seringkali dianggap “separuh seni” atau malah “bukan seni” sama sekali.

Padahal semua fenomena kesenian pada galibnya sederajat. Perbedaan tata acuan (frame of reference) yang mengakibatkan berbedanya estetika, pengungkapan nilai, dan fungsi seni, tidak membuat kesenian harus dikategorikan menurut jenjang, ada kesenian kelas wahid dan kesenian kelas kambing.

Akan tetapi, walaupun diskusi seni dan pendidikan kesenian khususnya seni rupa yang mengaku bersandar pada ilmu seni membedakan dengan tajam berbagai fenomena kesenian – hingga lahirlah dilema “seni yang seni” dan “seni yang bukan seni” – definisi seni dalam bahasa kita terbuka menghadapi berbagai jenis kesenian.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, karangan Poerwadarminta (versi 1976, sudah diolah kembali oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) seni dicatat sebagai: (1) kecakapan membuat atau menciptakan sesuatu yang elok-elok atau indah, dan (2) sesuatu karya yang dibuat dengan kecakapan yang luar biasa, seperti puisi, lukisan, ukir-ukiran dan sebagainya.

Pengertian keindahannya bisa dicari pada batasan bahasa daerah di mana definisi seni itu berakar. Dalam Bahasa Jawa, seni berkaitan dengan faedah dalam arti yang umum. Kamus Bahasa Jawa Tinggi, Bausastra Jawa di mana Poerwadarminta termasuk salah seorang penyusunnya, mencatat rasa seni sebagai kagunan yang mengandung arti: (I) kapinteran. (2) jejasan ingiang adipeni, atau pekerjaan yang berfaedah. (3) wudaring pambudi nganakake kaendahan – gagambaran, kidung, ngukir-ukir, atau pencurahan rasa yang menghasilkan keindahan. Tekanan keindahan bisa diraba pada akar katanya yaitu “guna” yang mempunyai arti: watak, keahlian, penciptaan dan faedah.

Dari rangkaian batasan tadi – bisa juga disimak kata panggorga dalam Bahasa Batak dan undagi pada Kebudayaan Bali – terlihat definisi seni kita bertopang pada estetika yang cuma berusaha mengidentifikasikan suatu rasa spesifik dalam menghasilkan ciptaan yang dikategorikan mengandung kepekaan keindahan. Rasa itu sejenis kemampuan yang tidak lebih istimewa dari kemampuan lain. Sementara hasilnya kendati ekspresif (mengandung cermin watak) sejajar dengan produk sehari-hari lainnya yang berguna dan berfaedah.

Namun sebagai bahasa baru, bahasa kita tak bisa menghindar dari menimbang kata fine arts. Perhatikan kesamaan kata fine dengan seni yang arti asalnya dalam Bahasa Melayu adalah “halus”. Pengertian fine arts dalam pendefinisian seni dibebankan pada term seni murni yang dijabarkan sebagai seni yang mengenai pembuatan barang yang indah-indah seperti seni lukis, seni pahat, seni ukir dan seni bangunan. Pengelompokan seni lukis, seni pahat (patung) dan seni bangunan (arsitektur) tak bisa lain mengacu ke batasan “fine arts”.

Maka bila ada seni murni, mestinya ada “seni tidak murni”. Dan inilah pangkal citra membeda-bedakan fenomena kesenian; ada papan atas ada papan bawah.

Sudah dari pangkalnya pengertian seni murni, fine arts, beaux arts, yang sering juga disebut gentle arts, liberal arts dan Bolite arts membeda-bedakan fenomena kesenian.

Akar dari batasan term-term ini adalah seni dalam kebudayaan Yunani kuno yaitu mousike techne, tak lain “semacam kepekaan seni” yang nilai ketrampilannya (merenung-renung, barangkali) dibedakan dari kerja yang dianggap kasar yaitu techne.

Pada Zaman Renaissance di abad ke-16 kepekaan seni model Yunani itu mengalami transformasi dan membentuk batasan artes liberales – kerja orang-orang bebas. Kepekaan seni pada definisi ini sudah tidak lagi cuma kepandaian merenung-renung, tapi telah mengenal kerja dan perwujudan. Namun kerja yang berhubungan dengan kepekaan kesenian ini adalah kerja yang khas. Tidak semua kerja bisa menampung kepekaan ini.

Konsep pembatasan jenis kerja itu nampak jelas pada batasan seni rupanya yang disebut La belle arti del disegno. Jenis kerja yang dianggap bisa menampung kepekaan yang sangat khusus ini adalah: seni lukis, seni patung dan arsitektur. Kerja lain di luar bidang-bidang ini dianggap tak mampu menampung kepekaan seni.

Kendati dalam perkembangannya sampai ke seni rupa modern – yang diadaptasi dunia, termasuk kita – terjadi berulangkali perubahan batasan dan definisi (masuknya seni grafis dan keluarnya arsitektur) citra dasar yang bertujuan membeda-bedakan fenomena kesenian tetap bertahan. Inilah sebabnya mengapa pembeda-bedaan fenomena kesenian paling terasa di bidang seni rupa.

Tak bisa disangkal, seni rupa modern kita juga mengacu pada mousike techne – seni rupa dianggap memiliki keistimewaan karena mampu menawarkan nilai-nilai dan pemikiran yang canggih. Definisi seni rupa nampak jelas diambil dari artes liberales – perhatikan pengertiannya yang rancu dengan seni murni.

Istilah ini mula-mula muncul dalam surat-surat kabar kita pada masa pendudukan Jepang dalam laporan dan resensi tentang pameran lukisan. Kamus Modern Bahasa Indonesia yang disusun Mohammad Zain di tahun 50-an menerangkan yang masuk seni rupa ialah: seni lukis, seni pahat dan seni gambar. Kamus Umum Bahasa Indonesia kemudian membatasinya sebagai: seni pahat dan seni lukis.

Berbeda dengan pembatasan seni yang lebih terbuka, pendefinisian seni rupa menunjukkan, kesenian itu disahkan sebagai gejala baru yang diadaptasi. Sastrawan dan pelukis almarhum Trisno Sumardjo mengutarakan, “kita tak punya tradisi seni lukis”. Semangat tradisi baru ini sudah tentu dilkuti semangat membeda-bedakan fenomena seni rupa. Rusli, pelukis terkenal kita dan anggota Akademi Jakarta pernah mengutarakan pendapat bahwa lukisan batik yang mengacu ke seni tradisional, bukan lukisan – dengan kata lain bukan seni.

Kritikus kenamaan almarhum Dan Suwaryono mensahkan adaptasi itu dengan menyatakan bahwa seni rupa modern memiliki dasar-dasar keilmuan. Lalu perlukah kita mencari acuan baru menimbang fenomena seni rupa yang berasal dari lingkungan kita sendiri? Dan Suwaryono menjawab, seni rupa modern adalah sebuah hasil pemikiran berabad-abad, lalu apa mungkin kita mengoreksi definisinya dengan sebuah pemikiran yang baru kemarin sore kita mulai?

Dan Suwaryono benar. Pensahan seni rupa yang berakar pada artes liberales sebagai satu-satunya seni rupa terjadi terutama karena tradisi panjang yang dibentuknya selama dua abad. Di sekitar seni rupa jenis ini – di manca negara maupun di lingkungan kita – sudah terbentuk lingkaran maha besar. Di sana terhimpun sejumlah besar seniman, kritikus, kolektor, jaringan museum, lingkaran pendidikan, himpunan ilmu, sindikat galeri dan juga lembaga-lembaga resmi.

Toh ada yang berani mengemukakan pendapat lain yang melawan arus. Sejak tahun 70-an ahli seni rupa terkemuka Dr. Soedjoko mencanangkan sikap kontraversial, anti “seni rupa elitis” yang berakar pada paham Yunani dan Renaissance itu.

Soedjoko dalam berbagai tulisan, ceramah dan diskusi menyatakan seni rupa yang kini berkembang dan diakui di pendidikan tinggi maupun pusat-pusat kegiatan seni adalah seni rupa yang berakar pada “romantic agony” zaman Renaissance yang individualistis. Soedjoko mengeritik keras estetika ini dan mengetengahkan estetika yang diyakininya – dekat dengan definisi seni dalam Bahasa Indonesia – yaitu konsep seni yang menyenangkan dan berfaedah bagi orang banyak. Bagi Soedjoko hanya ada satu seni rupa yaitu kerajinan.

Soedjoko sebenarnya tak sendirian. Pandangan yang berpihak pada seni tradisional dalam bentuk lebih “lunak” cukup banyak dianut. Menghadapi fenomena seni rupa yang sangat kaya di Indonesia banyak di antara kita mengambil sikap mendua. Seolah-olah terombang-ambing di antara dua definisi seni rupa dan dua estetika. Suka pada seni rupa modern, senang juga pada seni rupa tradisional.

Seni rupa tradisional yang pamornya mampu menyaingi seni rupa modern, cukup mendapat angin. Seni rupa jenis ini dianggap mengandung akar kepribadian. Dalam kebudayaan yang luka akibat penjajahan, menoleh ke akar kebudayaan adalah penghasratan yang umum ditempuh.

Gerakan Seni Rupa Baru yang bangun di tahun 1975 – dan pernah bubar di tahun 1980 – juga menentang seni rupa elitis dengan mendefinisikan kembali seni rupa. Manifestonya (tahun 1979) menegaskan tujuan meruntuhkan definisi seni rupa yang terkungkung pada seni lukis, seni patung dan seni grafis. Keyakinannya: estetika seni rupa adalah gejala jamak.

Gerakan, meyakini jalur seni rupa modern tidak perlu bertahan pada akar artes liberales. Ini reaksi terhadap kebingungan para perupa di lingkungan seni rupa modern yang masih saja sibuk dengan mencocok-cocokkan ukuran dan meraba patokan. Adaptasi seolah-olah tidak selesai-selesai juga.

Kekakuan memegang batasan – karena kurangnya pemahaman – melahirkan kecurigaan berlebihan menghadapi eksperimentasi dan eksplorasi seni rupa di lingkungan kritisi dan pendidikan seni rupa. Karena pengaruh ini muncullah stagnasi. Corak dan gaya seni rupa berputar di situ-situ juga karena corak baru senantiasa kandas.

Di kalangan perupa muda stagnasi ini diwarnai pula faktor lain. Karya seni rupa pada kenyataannya sudah menjadi komoditi yang punya corak standar. Membuat karya di luar corak itu berarti menghadapi risiko tidak laku. Gerakan Seni Rupa Baru yang menampilkan karya-karya dengan idiom baru justru menempuh risiko ini.

Anti-elitisme pada Gerakan Seni Rupa Baru juga nampak pada kecenderungan memperhatikan masalah masyarakat. Kendati bukan ikhtiar baru karena seni rupa modern Indonesia cukup kaya dengan usaha ini – lihat karya-karya pelukis almarhum Soedjojono dan Affandi – ada perbedaan yang hakiki.

Masalah masyarakat pada seni rupa modern Indonesia terikat pada pendekatan yang individualistis. Terpaku pada persepsi seni. Karena itu masalah masyarakat yang diangkat ke karya seni hanya mengubah subject matter. Nilainya sama dengan sosok wanita, bunga, pemandangan alam, dan alam benda. Dengan kata lain masalah masyarakat itu harus “seksi” dan mampu membangkitkan inspirasi dan rasa greget bagi ekspresi.

Maka produk akhir tampil dalam bahasa keindahan yang terbatas dan arogan. Masalah masyarakat seringkali terpiuh akibat pandangan perupanya atau tersaring kaidah-kaidah estetik. Betapa pun kerasnya misi sebuah uangkapan – protes sosial umpamanya – di tengah pigura ia tetap jadi “nomor dua”.

Gerak Seni Rupa Baru mencari pola pendekatan yang lain: mencoba mengangkat masalah sebisanya tanpa mengubah substansinya. Usaha menyatukannya dalam sebuah ungkapan, justru menyesuaikan inspirasi dan ritme ekspresi ke masalah yang digarap. Dramatisasi dan pengungkapan kembali masalah sosial tidak dilakukan dengan penafsiran artistik yang individualistis, melainkan dengan pendekatan masalah yang sebenarnya. Bila perlu menyertakan metode penelitian dan studi lainnya.

Pada percobaan Gerakan Seni Rupa Baru – yang hidup kembali – berupa pameran Proyek I berjudul “Pasar Raya Dunia Fantasi” tahun 1987 ini; manifestasi eksplorasi, menentang elitisme, dan membangkitkan plurarisasi seni rupa adalah menoleh ke seni rupa sehari-hari. Titik apinya: karya situasi, kebudayaan massa dan desain.

Tidak semua seni rupa sehari-hari bisa dirangkumkan pada sebuah pameran. Karena itu yang tampil pada Proyek I tergolong hanya seni rupa sehari-hari yang mengandung “simbol-simbol rupa urban” masyarakat kota. Simbol-simbol yang sebagian besar bisa ditemukan di pasar raya (super market versi Indonesia yang mengaku bergaya kaki lima) bisa dibaca mengandung semacam dunia fantasi – penawaran angan-angan dan mimpi yang memang sedang laku-lakunya di masa kini.

Suasana Pasar Raya inilah yang diterjemahkan dan didramatisasikan ke sebuah karya situasi dengan elemen dasar ruang. Penawaran mimpi-mimpi dan simbol-simbol urban “dijajakan” dengan tekanan-tekanan gamblang, tidak tersembunyi dan bersifat seperti biasanya.

Proyek I terdiri hanya dari sebuah karya besar 4 dimensi. Dengan kata lain terdapat faktor waktu (T). Komposisi bentuk 3 dimensi itu baru lengkap bisa dilihat setelah faktor T lengkap. Faktor T ini pula yang membuat bagian-bagian karya situasi terlihat sekuen demi sekuen ketika pengamat memasuki karya.

Seluruh elemen ruang pada karya situasi disatukan elemen dasar berupa konstruksi lunak (sosok pejaja dan 5 perlengkapan yang terbuat dari kapuk) hingga kesamaan gesture (sikap sosok akibat gaya tarik bumi) menjadi ritme yang dominan.

Materi utama Proyek I adalah produk seni rupa yang kaya perlambangan dan akrab dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Produk-produk itu – sebagian kecil dari yang sebenarnya ada 5 – ialah: iklan yang terhampar di media massa, billboard raksasa di tepi jalan, kalender pin-up, cover majalah, kaos bergambar, fashion dan perlengkapannya, stiker yang dijajakan di pinggir jalan, komik, poster film, mainan anak-anak, cover kaset, logo perusahaan yang menjadi populer.

Sebagian besar hasil karya seni rupa ini adalah produksi massa yang merupakan bagian dari dunia usaha, dirancang dengan memperhitungkan konsumen dan laba. Prinsip ini tentu saja menjadi bertolak belakang dengan 5 tata acuan seni rupa elitis.

Tata acuan produksi massal itu – yang mengutamakan aba dan tak mencari nilai – dilecehkan para cendekiawan. Para kritisi kemudian mencemoohkannya sebagai “Kebudayaan Massa”. Kritik ini meluas ke manca negara di tahun 50-an, dan dalam transformasinya menjadi lebih keras. Kebudayaan massa kemudian dianggap ancaman bagi “Kebudayaan Tinggi” dan juga masyarakat.

Dalam kritik itu, para konsumen kebudayaan massa, dianggap sebagai atom-atom yang berdiri sendiri-sendiri. Mereka bebal, dan bergerak hanya akibat dorongan-dorongan instingtif yang paling rendah. Mereka pasif dan tanpa pertahanan.

Nampak dengan jelas kritik ini berorientasi pada elitisme. Dasar yang dipegang berasal dari kata acuan Kebudayaan Tinggi yang berkembang selama dua abad, yaitu kepercayaan pada otonomi perorangan. Prinsip ini pula yang memuja daya cipta, dan penolakan norma-norma kelompok dalam menghasilkan karya seni. Dan prinsip ini pula yang mengesahkan Kebudayaan Tinggi sebagai satu-satunya kebudayaan yang sah yang berbagai aspeknya tercantum pada karya-karya “seni tinggi”.

Salah satu sikap yang khas dari prinsip Kebudayaan Tinggi ini adalah memandang rendah orang kebanyakan dan rakyat jelata yang kemampuan estetiknya rendah. Perlunya meninghtkan apresiasi seni masyarakat adalah seruan yang lestari. Imbauan ini ada di lingkungan kita dan kita cukup bosan mendengarkannya diuar-uarkan di Taman Ismail Marzuki.

Kendati banyak policy penjualan barang tidak terpuji karena bersiasat dengan licin, tak ada alasan untuk menyebutkan seni rupa – sektor yang banyak digarap – yang terkait di dalamnya sebagai “bukan seni”. Lepas dari policy dagangnya, aspek seni akrab dengan sebagian besar masyarakat. Sticker, kaos bergambar, komik yang dijajakan di kaki lima – dibuat di industri rumah tangga dengan produksi terbatas, namun sangat laku dan populer – adalah refleksi pengaruh selera itu. Pada produksi ini pengaruh produksi massa itu terlihat membuahkan perlambangan yang cukup kaya. Di sana tergambar sebuah gaya hidup.

Desain adalah fenomena menarik yang tumbuh bersama industri dan teknologi. Dalam desain kepekaan seni rupa diterapkan pada berbagai benda pakai, digabungkan dengan rancangan yang berorientasi pada kegunaan. Karena kepekaan seni rupa pada desain ini tidak berorientasi pada pengungkapan ekspresi atau nilai – karena dibatasi fungsi – produk desain termasuk yang dianggap sebagai seni rupa yang “separuh seni”. Seni rupa ini pernah di juluki mechanical arts dengan nada merendahkan, dan kini populer dengan term applied arts. Kita menyebutnya seni pakai sebelum istilah desain menjadi populer.

Di Indonesia desain diperkenalkan perguruan tinggi seni rupa. Dalam perkembangannya selama 40 tahun perguruan tinggi kita telah memperluas lingkup pendidikannya. Tidak lagi terbatas pada pendidikan seni rupa artes liberales tapi juga pendidikan desain.

Pendidikan desain itu meliputi grafis yang berurusan dengan perancang segala informasi tercetak, desain interior yang berurusan dengan tata ruang dalam dan perlengkapannya, desain industri atau desain produk dan desain tekstil yang berurusan dengan wujud produk yang dibuat dengan mesin dalam jumlah besar.

Namun perluasan bidang pendidikan ke lingkup desain ternyata tidak membuka kesempitan pandangan perguruan tinggi seni rupa dalam meyakini batasan seni rupa. Tak ada usaha sama sekali di lingkungan itu untuk menggariskan estetika yang secara padu merangkum kedua jenis seni rupa itu.

Dalam praktek sehari-hari di lingkungan perguruan tinggi seni rupa digunakan istilah jurusan “seni” dan jurusan “desain” yang cenderung mempertajam perbedaan kedua jenis seni rupa itu. Kerancuan ini telah diresmikan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan menentukan standar pendidikan tinggi seni rupa sebagai Pendidikan (Fakultas) Seni Rupa dan Desain.

Pakar seni rupa di lingkungan pendidikan tinggi ragu menghadapi fenomena desain. Ini berarti hasil karya seni rupa yang paling tersebar luas di masyarakat sekarang masih belum mendapat perhatian. Seni rupa yang akrab dengan kehidupan sehari-hari ini luput dari apresiasi dan pengamatan kritis. Daya serta tata ungkapnya, pesannya, dimensi psikologisnya, kemampuannya menyentuh dan menggerakkan angan-angan manusia berada di luar pengamatan. Maka desain, berkembang di luar cakrawala seni rupa kita.

Padahal aspek seni rupa dalam desain, khususnya proses penciptaannya nyata benar telah melahirkan pola baru dan melahirkan seni rupa yang sangat potensial. Desain industri yang berurusan dengan mesin dan produksi besar-besaran harus dengan cermat menghitung dimensi estetik dan psikologis. Di masyarakat industri maju kumpulan perhitungan ini sudah terhimpun dalam berbagai ilmu dan mendapat tempat yang terhormat. Biasanya berada di sektor “penelitian dan pengembangan”.

Desain grafis juga terlihat erat dengan industri dan perdagangan. Di sektor ini nampak dengan jelas bagaimana seni rupa menjadi sangat berpengaruh. Produksinya tidak cuma memiliki pesona tapi juga daya gugah – hal yang senantiasa diburu setiap perupa – karena menyertakan metode penelitian ilmu sosial dan teori-teori psikologis.

Selama paruh pertama abad ini desain grafis belum lagi berperan dalam periklanan. Prinsip menawarkan produk dagangan berangkat dari asumsi, konsumen adalah makhluk rasional. Karena itu, harus diyakinkan akalnya agar mau membeli barang. Maka penyusunan kata-kata bujukan memegang peran pokok dalam periklanan sedang gambar hanya digunakan untuk menarik perhatian.

Namun sekitar pertengahan abad ini terjadi perubahan besar dengan munculnya Penelitian Motivasi (Motivational Research) yang dibangun dari berbagai teori yang dikumpulkan dari berbagai ilmu seperti sosiologi, antropologi sosial, psikologi analisis, psikiatri, psikilogi sosial, studi semantik, dan ilmu komunikasi. Peneiitian urtuk mengetahui lubuk jiwa orang ini dilakukan melalui diskusi kelompok, pertemuan tak terpimpin dan teknik proyeksi.

Kesimpulannya konsumen ternyata bukan makhluk rasional. Maka yang harus digugah untuk membangkitkan dorongan membeli adalah alam ambang sadar. Berdasar teori ini ditemukan gambar mempunyai peran sangat penting karena pengaruhnya tidak membangun pengertian rasional melainkan menggugah asosiasi dan emosi.

Kita tidak tahu persis apakah periklanan kita dan desain grafis yang merancang kemasan (package) punya kecanggihan ini untuk mempengaruhi orang. Namun, yang pasti sudah terjadi “ledakan barang” yang amat luar biasa ukurannya pada dua dasawarsa terakhir. Di baliknya berdiri industri dan perdagangan internasional lengkap dengan perangkat promosi dan policy periklanan.

Pengaruhnya sudah kita rasakan dan itu berarti citra kita sudah dipengaruhi objek-objek rupa dan itu berarti citra kita sudah dipengaruhi “kebudayaan rupa”. Citra yang paling banyak bangkit ketika kita berhadapan dengan kata kalimat, bunyi dan ungkapan adalah citra yang piktural.

Desain adalah seni rupa yang rasional, karenanya potensial lepas dari menilai misi yang dibawanya. Prinsip dasar dan proses kerjanya ternyata berbeda sangat jauh dengan seni rupa elitis. Memperbandingkannya lewat pasangan-pasangan konsep di bawah ini, keduanya malah terlihat bertolak belakang. Pasangan konsep itu (lajur atas: seni rupa elitis, lajur bawah: desain):

ELITIS
Orientasi pada pencipta
Subjectif
Intuitif, emosional
Produk tunggal
Kerja individual
Kerja sederhana
Spontan
Anti data

DESAIN
Orientasi pada konsumen
Objektif
Nalar
Produk massal
Kerjasama (tim)
Mengenal proses produksi
Rencana dan sistematis
Bekerja berdasar penelitian

Proyek 1, Pasar Raya Dunia Fantasi adalah karya ekspresi yang mencoba mengikuti prinsip desain. Karena itu karya ini adalah karya kolektif, dikerjakan sebuah tim yang terdiri dari 16 perupa dari berbagai bidang seni rupa. Urutan kerjanya mengenal sejumlah penelitian dan studi dilakukan atas elemen-elemen yang akan ditampilkan. Studi meliputi pengamatan iklan yang diikuti penelitian pengaruhnya pada masyarakat menengah atas, studi kualitatif atas stiker, komik, cover majalah wanita, dan produk lainnya.

Prinsip kerja emosional dan intuitif – apalagi dalam keadaan trans, ditabukan. Kepekaan seni rupa dan tekanan-tekanan tema berpedoman pada hasil studi yang dilakukan bersama.

Bila kita ingin membebaskan cakrawala seni rupa di Indonesia dalam kaitan sosial budaya kita harus berani menyingkirkan sekurang-kurangnya tiga hambatan pandangan yang merintangi kesadaran sosiologis.

1. Pandangan serba tunggal yang menganggap hanya ada satu kata tata acuan yang melahirkan satu seni rupa, hanya ada satu masyarakat global dengan wujud yang utuh dan padu. Pandangan ini mengesampingkan, sejumlah kenyataan masyarakat kita seperti kebudayaan-kebudayaan etnik, desa, kota serta golongan dan lapisan sosial.

2. Pandangan yang menggambarkan sejarah seni rupa kita sebagai suatu garis lurus. Pada pandangan ini seni rupa prasejarah dibayangkan sebagai sebuah garis yang berakhir pada suatu titik dan disambung dengan garis seni rupa Hindu, yang kemudian disambung lagi dengan seni rupa Islam.

Pada garis itu dapat kita temui seni rupa kuno dan tradisional berakhir di sebuah titik di mana seni rupa modern berawal. Maka di luar seni modern – yang dianggap “wakil” seni di masa kini – semua jenis seni rupa yang lain dianggap milik masa lampau dan bukan seni.

Padahal semua mengenal terdapat berbagai tradisi seni rupa di Indonesia. Tidak semua punah. Sebagian menyesuaikan diri karena perubahan sosial budaya dan hidup terus, sebagian lagi malah berkembang.

3. Pandangan yang mengutamakan seni rupa berpangkal pada artes liberales. Pandangan inilah yang terutama menghambat peluasan istilah seni rupa ke lingkup lebih luas, ke citra seni rupa yang merupakan bagian besar dari kebudayaan material yang menempatkan rupa sebagai seni yang penting.


RIWAYAT KE-16 PERUPA:

Bernice, lahir di Den Haag, Holland, tanggal 1 Februari 1960. Ia cineast. Pernah terlibat film iklan satu menit untuk TV Australia-Life Cicle. All in a day-short film bersama tim U.S.C. dan film Ibunda.

Gendut Riyanto, lahir di Solo, tanggal 1 Desember 1955. Ia bekerja di biro iklan di Jakarta. Sejak 1981-1985 terlibat gerakan lingkungan hidup dan eksperimen-eksperimen seni rupa.

Jim Supangkat, lahir di Makassar, tanggal 2 Mei 1948. Perupa dan rupa-rupa terlibat pembentukan Gerakan Seni Rupa Baru sejak tahun 1945, pembubarannya, hingga sekarang penghidupannya kembali.

Priyanto Sunarto, lahir di Magelang, tanggal 10 Mei 1947. Ia guru gambar. Karyanya tersebar di berbagai mass media di Jakarta.

S Malela Maharga Sare, lahir di Yogyakarta, tanggal 28 Juni 1959. Ia arsitek interior. Sekarang bekerja di majalah berita mingguan di Jakarta.

Dede Eri Supria, lahir di Jakarta, 1957. Belajar melukis di Pak Oog dan di SSRI (Sekolah Seni Rupa Indonesia), Yogya. Terlibat seni rupa baru sejak tahun 1977 hingga kini.

Dadang Christanto, lahir di Tegal, tanggal 12 Mei 1957. Ia perupa. Beberapa kali terlibat dalam pameran seni rupa sejak 1975-1987.

Harsono, lahir di Blitar, tanggal 22 Maret 1949. Ia perancang grafis. Terlibat pameran seni rupa sejak 1972-1985 di berbagai tempat. Sebagai perancang grafis sejak tahun 1978-sekarang.

Harris Purnama, lahir 3 April 1956 di Delanggu. Belajar seni rupa di SSRI dan ASRI, selesai 1984. Kini di biro iklan di Jakarta.

Wienardi, lahir di Solo, tanggal 28 Agustus 1955. Ia wartawan foto, sarjana seni rupa Universitas Sebelas Maret. Sekarang bekerja di sebuah majalah profesi di Jakarta. Terlibat gerakan “Seni Rupa Kepribadian Apa” tahun 1977-1979, sekaligus sebagai salah satu konseptornya. Ia kini mendalami fotografi dan sosiologi seni.

Siti Adiyati, lahir di Yogyakarta, tanggal 8 Januari 1951. Ia penulis. Belajar di STSRI “Asri” tahun 1973. Sejak tahun 1972 pameran bersama. Tahun 1974 hingga bubar aktif bersama Seni Rupa Baru. Kecuali aktif di seni rupa juga di bidang seni tari klasik. Pengalaman lain, menjadi guru, pedagang kaki lima, mengusahakan pekerjaan kepada tukang becak dan kegiatan sosial lainnya. Tahun 1983 menulis tentang seni rupa dan seni tari. Sekarang kembali terlibat Pameran Seni Rupa Baru Proyek 1.

Oentarto H, lahir di Semarang tanggal 12 September 1959. Ia ilustrator cover majalah. Karyanya tersebar di berbagai mass media.

Taufan S CH, lahir di Jakarta 15 Mei 1956. Perancang grafis, pekerja swasta, juga teater.

Sanento Yuliman, lahir di Jatilawang, 14 Juli 1941. Pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Penulis artikel esai dan kritik.

Rudi Indonesia, lahir di Klaten-Jawa Tengah, tanggal 31 Juli 1950. Ia artis, wiraswastawan. Mendalami kesenian tradisional dan grafis post-modern.

Fendi Siregar, sarjana muda Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pajajaran, Bandung. Sebagai fotografer profesional sejak tahun 1973.


Sumber: Katalogus Pameran Seni Rupa Baru Proyek 1 “Pasaraya Dunia Fantasi”. Pameran diselenggarakan di Galeri Baru Taman Ismail Marzuki, 15-30 Juni 1987.

Quoted

The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life

Surianto Rustan