Penulis: Raka Sumichan, Umar Kayam
Perancang grafis: Hanny Kardinata untuk Citra Indonesia
Fotografer: Toky Yohari
Penerbit: Yayasan Bina Lestari Budaya, Jakarta
Percetakan: PT Jayakarta Agung Offset
Tahun: 1987
SUDAH empat bulan dunia seni lukis kita tak berjumpa dengan seorang lelaki gemuk, dengan muka dan kepala bulat mirip Pete Thornton dalam serial MacGyver. Telah empat bulan dunia seni lukis Indonesia kehilangan seorang pencintanya yang sejati, yang setiap kali menjenguk pameran dengan simpati.
Si Pete Thornton itu tak lain adalah Raka Sumichan, seorang kolektor seni lukis Indonesia utama, yang telah tutup usia 2 Juni 1991 silam. Raka yang juga kolektor porselin dan perangko, sekonyong-konyong pergi, dalam diam.
Kehilangan seorang kolektor yang baik, adalah sama dengan kehilangan seorang pelukis yang kampiun. Karena seorang kolektor yang baik adalah ibarat album yang mengumpulkan aspirasi jagat seniman, yang dengan sabar, selangkah demi selangkah mengabadikan api kesenilukisan.
Raka Sumichan selama ini kita kenal sebagai seorang kolektor lukisan-lukisan Affandi, sang maestro itu. Sulit dilacak persis berapa ratus karya Affandi yang telah ia kumpulkan, dan kemudian sebagian dibukukan dalam kitab monumental yang telah beredar beberapa tahun silam. Ada yang menyebut sekitar 100 buah. Ada yang mengatakan lebih. Sementara ia sendiri tak pernah mengaku dengan jelas. Namun yang penting, ia mengatakan bahwa masih ada beberapa puluh karya Affandi yang bertema Jepang, yang dibelinya langsung dari Affandi ketika di Jepang, dan sampai kini masih tersimpan di Jepang.
Apa yang ia kerjakan dan ia targetkan atas karya-karya Affandi bagi seleret sejarah seni lukis Indonesia, dan bagi sejarah pertumbuhan bangsa Indonesia, haruslah kita simak.
Affandi dan Raka Sumichan adalah duo yang tunjang menunjang untuk melahirkan kebesaran. Dengan Raka Sumichan, Affandi bisa melenggangkan hidupnya dengan tenteram dan penuh kepercayaan diri. Sementara dengan Affandi, Raka menempatkan dirinya kepada posisi harkatnya sebagai manusia yang berbudaya, sebagai kolektor yang prima dan memiliki idealisme. Meski untuk menuju ketinggian tersebut, diperlukan sebuah perjalanan panjang yang memerlukan ketabahan dan ketahanan gizi.
CICILAN 32 TAHUN
Raka (lahir di Tabanan, Bali 5 Mei 1925) pertama kali mengenal karya Affandi pada zaman Perang Kemerdekaan. Kala itu ia melihat sebuah lukisan potret diri temannya, Lim Kwi Bing, seorang pelukis kota Malang yang sedang action membawa kuas. Raka terkagum-kagum dengan tarikan garis dan warna-warna lukisan realistik tersebut. Kepada Lim Kwi Bing, Raka bertanya, lukisan siapakah yang tergantung itu. Si empunya menjawab bahwa itu adalah karya sahabatnya Affandi. Raka terkesan dalam, meski untuk kemudian ia tak pernah lagi berhubungan dengan lukisan atau pelukis yang bernama Affandi.
Baru tahun 1955 minat Raka untuk memiliki sebuah karya Affandi muncul. Dan ini bertumbuh ketika ia menyaksikan pameran Affandi (bersama Kartika dan Sapto Hudoyo), yang diantaranya memajang Menara Eiffel. Lukisan inilah yang memancing hati terdalam Raka untuk terus masuk ke jagat seni lukis Affandi. Raka pun berniat membeli lukisan itu. Namun Affandi menahannya. Tapi beberapa bulan kemudian Affandi datang ke tempat Raka, dan menawarkan lukisan Menara Eiffel tersebut. Kini sebaliknya, Raka yang menahan diri dengan alasan uang tak cukup. Dari negosiasi, akhirnya disepakati lukisan di atas dibeli dengan cara cicilan.
Yang menarik, cara pembayaran cicil ini terus berlangsung untuk transaksi Raka dan Affandi. Dan segalanya baru terlunasi pada tahun 1987, setelah 32 tahun (!), ketika Affandi berpameran tunggal di Gedung Seni Rupa Depdikbud, depan Stasiun Gambir, Jakarta.
Raka Sumichan, tokoh pendiri Museum Puri Lukisan Ubud-Bali dan penasihat ahli Himpunan Keramik ini bertutur, bahwa ia dan Affandi sengaja membuat “kontrak” bayar cicil seperti itu agar persahabatan keduanya tetap terjalin.
Pada tahun 1970 Raka bertemu dengan Affandi di Ginza, Tokyo, di sebuah toko buku. Di tengah-tengah himpitan kitab kitab seni lukis dunia, Raka berkata bahwa Affandi sesungguhnya tak kalah dengan para pelukis impresionis Eropa atau pelukis-pelukis Jepang dan India yang dibukukan di situ.
Affandi mendengar itu hanya terkekeh. Namun di sinilah “janji” pembuatan kitab besar muncul, dan terealisasi tahun 1987. Sebuah buku seni lukis yang paling gagah, sempurna dalam format dan cetakannya, dan berisi dalam tutur literernya. Kitab ini selain diisi dengan 150 reproduksi berwarna, yang tentu sebagian besar adalah koleksi Raka Sumichan, juga oleh tulisan kesan Raka atas Affandi, dan esei Prof. Dr. Umar Kayam atas karya dan hidup Affandi.
KOLEKTOR TOTAL
Raka Sumichan adalah kolektor yang masuk dengan total kecintaan terhadap seni. Apa yang ia dapat tak ingin ia makan sendiri. Ia tak berminat memingit segala yang ia dapat hanya sekadar sebagai, misalnya, benda investasi. Dari prinsip itu ia pun lantas membuat buku. Dengan upayanya sendiri, keringatnya sendiri, dan tentu dengan biayanya sendiri yang puluhan juta rupiah. Walaupun tak berarti Raka tak mau menjual koleksi Affandinya. Sebab kita tahu, beberapa bulan sebelum tutup usia ia menawarkan sekitar selusin koleksinya.
“Untuk membangun rumah koleksi,” katanya beberapa minggu sebelum pergi selama-lamanya.
Rumah koleksi yang terletak di Jalan Taman Margasatwa itu sudah setengah jadi. Berdiri dengan dua lantai, dengan kapasitas dinding yang bisa memajang tak kurang dari 60 lukisan. Namun, nasib mengatakan bahwa di “rumah koleksi” yang belum jadi itulah jenasahnya, disemayamkan, sebelum akhirnya dikremasi, diperabukan.
Raka, kolektor sejati itu, mulai membeli lukisan ketika berusia 14 tahun, di sebuah pasar loak. Lukisan “anonim” yang ia beli tersebut ternyata adalah karya L. Eland, seorang pelukis Hindia Belanda yang ternama. Raka terhenyak dengan pilihannya. Sejak itu ia yakin, bahwa matanya memiliki sensitivitas untuk ihwal pilih memilih.
Tekadnya menjadi kolektor pun tersulut. Karena itu, orang mungkin tak paham, bahwa di balik ratusan koleksi Affandinya, bertumpuk karya lukisan-lukisan karya seniman lain. Ada Hendra Gunawan, Lee Man-Fong, Carel L. Dake, W.G. Hofker, Trubus dan puluhan nama di belakangnya.
Tapi yang mengagetkan adalah realitas ini: karya terakhir yang dibelinya adalah lukisan L. Eland, yang bergambar pemandangan kebun teh di Priangan. Yang teduh, hijau bagai swargaloka. Ia memulai dari nama L. Eland, dan mengakhiri dengan nama L. Eland pula! Raka meninggal karena serangan jantung, di Jakarta.
Menjadi pelukis sukses itu sulit. Namun menjadi kolektor yang bisa dianggap sukses, agaknya lebih sulit. Dan Raka agaknya telah merenggut anggapan terakhir itu.
(Agus Dermawan T)
Sumber: Harian “Kompas”, 13 Oktober 1991, halaman 10.
“Cheating the system is very gratifying”