Hermawan Tanzil – Menyimak Sejarah Grafis Lewat Label Korek Api

Minggu, 12 Agustus 2001

Mendalami profesi itu ternyata bisa lewat koleksi pribadi. Desainer grafis Hermawan Tanzil (40) membuktikannya dengan mengumpulkan 120.000-an lembar cap korek api.

Istimewanya lagi, sebagian besar label korek api yang telah dilepas dari kotaknya ini memiliki tahun produksi di bawah tahun 1960-an. Bahkan, ada pula korek api yang usianya lebih dari seabad, diproduksi sekitar 1870-an. Misalnya, dua cap korek api yang masing-masing bergambar Pakubuwono X dan Ratu Wilhemina yang dibuat pada akhir abad ke-19. “Semua koleksi ini tak ada di toko,” tandas Hermawan.

Laki-laki kelahiran Bandung ini mulai mengoleksi label korek api sejak sepuluh tahun yang lalu. “Koleksi saya yang terbaru dibikin pada 1960-an. Umur saya saja lebih muda dari korek apinya,” kata desainer grafis ibukota ini.

Kebanyakan barang koleksinya itu diperoleh dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. “Cap-cap korek api ini biasanya juga saya dapatkan dari orang yang turun temurun telah menyimpannya sejak zaman ayah atau kakeknya,” terang Hermawan.

 
Belajar Sejarah

Saat pertama kali menemukan cap korek api di Semarang, lulusan desain grafis dari California College Arts and Crafts, AS, ini langsung terpikat. “Saya lantas nyandu dan mendapatkan kenyataan label korek api itu ternyata begitu banyak jumlahnya,” ungkap Hermawan.

Dari jumlah koleksi yang ada, paling besar dikumpulkannya dalam tahun 1998. “Sekarang ini saya sudah nggak pernah nyari lagi. Lebih sering dapat dari orang-orang di daerah.” Lewat koleksinya, Hermawan mengaku bisa belajar sejarah, seni budaya, tradisi, kultur suatu masyarakat. Ia menyebut cap korek api bergambar Bung Karno bikinan tahun 1960-an menunjukkan ketokohan sang presiden pertama RI kala itu.

Semua koleksi cap korek api Hermawan itu bertema Indonesia. “Walau dipasarkan di Indonesia, tapi ternyata semuanya diproduksi oleh Jepang, Swedia, Belanda, Belgia, Cina, India dan beberapa negara Eropa lainnya,” ujarnya.

Hal ini, jelas creative director Galeri Leboye Kemang, Jakarta, saat itu di Indonesia belum ada pabrik korek api. Dari sekian koleksinya, buatan Swedia adalah yang terbanyak jumlahnya.

Hermawan membagi koleksinya ini dalam beberapa kategori gambar. Ada kategori orang dan tokoh yang bergambar tokoh-tokoh nasional dan dunia serta profil manusia lainnya. Ada kategori gambar wayang dan alat transportasi, seperti cap sado, mobil, perahu tambangan dan sepeda.

Ada pula kategori propaganda. “Kategori propaganda berupa gambar dan tulisan yang mengandung promosi politik,” ujar ayah seorang putri ini. Di antaranya ada propaganda Jepang yang mengatakan dirinya sebagai saudara tua bangsa Indonesia.

Propaganda ini digambarkan dengan sebuah tank berbendera Jepang yang tengah melindas bendera AS dan sekutu dan tertuliskan kalimat Kita pasti menang (1942). Gambar lainnya adalah propaganda Partai Tionghoa Hwe Kwan Sarekat Islam bergambar kacamata (1935). “Mereka ingin menunjukkan bahwa adapula Tionghoa yang Islam,” kata Hermawan.

Kategori lainnya adalah binatang dan tumbuh-tumbuhan. Selain itu, adapula kategori iklan, misal cap sabun Lux, cap Garuda Indonesia Airways, cap rokok kretek Bal 3 Nitisoemito (1930). Hermawan menyebutkan ada sebuah korek api yang bergambarkan sebuah toko di Semarang untuk diiklankan lewat korek api. “Toko ini mengirim order ke luar negeri untuk dibuatkan profilnya di korek api, ya sebagai promosi,” ujarnya.

 
Sering Dilihat

Ada kepuasan tersendiri bagi Hermawan memiliki barang koleksi yang termasuk langka ini. “Saya hanya merasa yang saya koleksi ini mempunyai nilai lebih. Padahal barang yang saya koleksi ini cuma barang sehari-hari, simpel, tapi bernilai,” paparnya.

Lewat koleksi label korek apinya, Hermawan bercita-cita merangkum sebuah sejarah perkembangan seni grafis Indonesia. “Dari situ saya bisa mempelajari desain grafis yang telah dibuat orang sebelumnya,” katanya, “Dan ini membantu saya menemukan identitas grafis Indonesia.”

Tak ada perawatan khusus yang dilakukan Hermawan terhadap koleksinya ini. Begitu pula, katanya, tak ada ruangan bersuhu khusus untuk menyimpan label-label korek apinya itu. “Saya susun saja di album atau lepasan dalam plastik. Yang penting ruangan tempat menyimpannya tak terlalu lembab,” paparnya.

Namun, sambung Hermawan, yang lebih penting lagi adalah sering dilihat. “Ibarat rumah, kalau dibiarkan kosong dan tak pernah ditengok, maka akan cepat rusak,” tuturnya.

Hingga saat ini, Hermawan belum bermaksud menjual koleksinya ini. “Belum kepikir dan saya juga takut orang yang membelinya itu tak bisa mengapresiasi dengan benar,” ungkapnya.

Dan lagi, sambungnya, koleksinya ini juga tak akan dinikmatinya sendiri. Sudah dua kali ia memamerkan koleksinya ini pada masyarakat. Yang terakhir telah berlangsung sebulan lalu.

Kendati koleksinya ini dinilai tinggi, Hermawan tak mengasuransikannya. “Pencuri yang masuk rumah pun nggak akan mengambilnya kan cuma gambar korek api saja.”

 


Sumber: Republika Online

Quoted

Ketika dari mata tak turun ke hati, desain pun gagal total

Bambang Widodo