Hampir genap enam puluh lima tahun setelah film Darah dan Doa (1950) mengawali proses pengambilan gambarnya ketika Desain Grafis Indonesia berkesempatan untuk melihat beberapa poster film klasik Indonesia yang dirancang oleh Sandy Karman. Dimaksudkan untuk turut serta dalam sebuah pameran di Jakarta yang kemudian urung dilaksanakan, poster-poster reinterpretasi ini mencoba menghadirkan nuansa ke-Indonesia-an dalam pendekatan kontemporer dan (mungkin juga) personal.
Delapan film yang posternya dirancang ulang ini memiliki nilai penting dalam tonggak sejarah perfilman Indonesia. Poster-poster ini jelas sayang jika hanya disimpan sendirian. Karenanya, tepat pada Hari Film Nasional* ini, kami tampilkan delapan poster film klasik Indonesia yang direinterpretasi oleh Sandy Karman.
Poster-poster ini sendiri telah masuk dalam kongres anggota AGI (Alliance Graphique Internationale) akhir tahun lalu di Sao Paulo ketika Sandy menjadi nominasi yang dipilih oleh Ralph Schraivogel (Swiss), Max Kisman (Belanda), dan Ahn Sang Soo (Korea Selatan). Pada 18 April–31 Mei 2015 mendatang, poster-poster ini akan dipamerkan di NEW VISION EXHIBITION di The 4 Gallery of PIER-2, The Art Center of Taiwan dan dimuat dalam buku CTA (Creative Talk Asia) dari penerbit Taiwan yang mengusung pameran NEW VISION.
Selamat menikmati dan jangan lupa menonton film-film Indonesia!
“Ada nuansa romantisme dan nasionalisme yang saya sukai karena film-film ini merupakan film-film klasik yang memiliki nilai historis dan menjadi sebuah nostalgia. Banyak juga di antaranya yang mengangkat atau berkaitan dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Masih banyak film-film penting yang masih ingin saya buat seperti: Cut Nyak Dien (yang berhasil menembus Cannes Festival), November 1828, Pedjuang, Kembang Kertas, Daun Di Atas Bantal…”
“Saya berusaha menangkap esensi dari setiap film. Ada beberapa yang lebih ‘nyeleneh’, ada beberapa yang masih tetap berpegang teguh dengan isi cerita. Poster Doea Tanda Mata misalnya. Wajah Yenny Rachman tidak saya ubah karena sejak pertama saya lihat gestur dan tatapannya di balik hijabnya, saya rasa saya harus menggunakannya. Semua poster saya buat sendiri: dari fotografi, ilustrasi, kaligrafi, dan sebagainya.”
“Dengan kebangkitan kembali perfilman Indonesia, poster-poster filmnya pun semakin baik. Meskipun demikian, masih sangat komersil dan tergantung tolok ukurnya. Bila dilihat dari tolok ukur festival desain internasional, pastinya masih jauh: poster-poster film Polandia sangat artistik dan art-oriented, poster-poster film Russia sangat avant-garde.”
Film Indonesia yang terakhir yang ditonton?
Naga Bonar. Sekitar seminggu yang lalu sebelum membuat posternya.
Poster paling favorit dari delapan reinterpretasi di atas?
Tiga Dara. Pertama, karena Tiga Dara merupakan poster yang pertama kali saya buat. Ilustrasi Tiga Dara di ambil dari salah satu potongan adegan film. Kedua, di poster Tiga Dara saya merasa berhasil menangkap esensi ke-‘klasik’-an film tersebut dengan tetap menyampaikan nuansa komedinya dengan komposisi bentuk yang kontemporer, playful, dan Indonesia sekali.
Kesulitan dalam proses reinterpretasi?
Saya harap saya tidak mengecewakan visi-visi dari para sutradara dan pembuat film tersebut… hahahaha. Saya harap, di kajian singkat poster-poster film ini, saya bisa menghadirkan sebuah nuansa identitas ke-Indonesiaan dalam pendekatan kontemporer dan (mungkin bisa disebut) personal juga.
Lima film Indonesia paling favorit dan paling diingat?
Masih banyak yang belum saya tonton. Tapi dari yang sudah, saya suka Sang Penari, Tiga Dara, Naga Bonar, Daun di Atas Bantal, dan Ada Apa Dengan Cinta.
*)Hari Film Nasional jatuh pada tanggal 30 Maret ini. Pada tanggal yang sama di 1950, Usmar Ismail mengawali pengambilan gambar untuk film pertamanya, Darah dan Doa. Pada 1962, Dewan Perfilman Nasional menetapkan hari pertama produksi Darah dan Doa sebagai Hari Film Nasional, dengan alasan film tersebut dikerjakan oleh sutradara asli Indonesia dan diproduksi oleh perusahaan film nasional (Perfini). Sebelumnya, menurut catatan Dewan Film Nasional, film-film yang beredar di Indonesia adalah film impor atau film hasil produksi orang-orang non-Indonesia.
(Terima kasih Adrian Jonathan P. atas keterangan singkat mengenai HFN ini.)
Sekolah membuat desainer menjadi pintar, bekerja membuat desainer menjadi paham, pengalaman panjang membuat desainer menjadi arif