‘Jurnal’ dibuat oleh Redi, terinspirasi dari novel Pram ‘Sekali Peristiwa di Banten Selatan’. Menarik di sini bagaimana kita melihat Redi menafsirkan Pram dalam percobaan yang berani, perlu didukung dan dikembangkan. Dari proses “hanya” untuk Tugas Akhir S1 ini, Redi kemudian menjadi terdorong untuk terus menerus mencari tahu berbagai hal, mempelajari sejarah, membaca karya sastra, sains, ilmu sosial, melakukan pengamatan, pengkajian, diskusi antar-kelompok. Memahami bagaimana penggabungan lakon-lakon di era orde lama, orde baru dan reformasi berpengaruh pula pada nuansa penggambaran suasana di setiap panel-panel novel grafis.
Sebelum memasuki halaman per halaman buku, alangkah lebih baik apabila saya jelaskan terlebih dahulu mengapa dan bagaimana novel grafis ‘Jurnal‘ bisa ada di hadapan anda. Baik pula saya katakan di awal jika sebenarnya hasil karya buku novel grafis ini hanyalah sebatas pemenuhan syarat untuk mengikuti tugas akhir saya di jurusan Desain Komunikasi Visual UK. PETRA Surabaya, pada tahun 2010. Sisanya, buku ini pun hanya sebuah sumbangsih kecil-kecilan untuk siapa saja yang ingin mempelajari situasi sosial terkini yang sungguh rumit itu (bagi saya) karena saya juga bukan ahli sosiologi.
Akan tetapi, saya yakin sekali bahwa ilmu sosiologi (dan ilmu-ilmu lain) akan memiliki kekuatan atau kelebihan tersendiri ketika digarap maupun dipersepsi oleh katakanlah, sarjana seni—seperti saya contohnya. Maka, hal itu cukup meyakinkan saya untuk terus menerus melanjutkan studi terhadap apa yang dinamakan sebagai “perjuangan kelas”, tentunya dengan cara mendorong kemauan diri sendiri untuk “ingin” membaca karya sastra, sains, ilmu sosial, melakukan pengamatan, mengalami pengalaman, pengkajian, diskusi antar-kelompok, hingga pada proses pembuatan sebuah karya seni. Saya sadar, masih ada orang-orang nyeni di sekitar kita, yang masih menganggap “kemurnian” adalah segala-galanya, hingga mereka mampu mencapai kesubliman estetis (katanya), lalu kemudian apa setelah “kemurnian” itu? Bagaimana kesubliman itu rasanya? Kalau saya sih, ya buang saja sublim itu, toh masih lebih nyaman tidur, daripada menikmati “kemurnian” yang menceraikan itu! Iya kan?
Bisa dibilang, karena penggarapan novel grafis ini, saya jadi banyak berhutang pada banyak pihak, karena menurut saya, suatu hasil karya seni tidak mungkin terasing dan berdiri sendiri, melainkan suatu hasil pertolongan dari beberapa pemikiran. Pertama-tama, saya ingin berterimakasih kepada Bapak Dedi Dutto dan Ibu Rika selaku dosen pembimbing saya, segenap kru C2O Library yang sudah membuatkan pameran dan diskusi novel grafis ‘Jurnal‘ yang menyenangkan bersama kawan-kawan, Mas Antariksa dari KUNCI Cultural Studies, yang telah rela menyumbangkan saran bagi alur cerita novel grafis ini serta pemahaman teoritis mengenai realisme sosialis, Ibu Astuti Ananta Toer yang mengijinkan saya menggunakan penerbitan Lentera Dipantara dan pengadaptasian cerita novel karya Pramoedya Ananta Toer berjudul ‘Sekali Peristiwa di Banten Selatan‘, sebagai prasyarat tugas akhir, tak boleh lupa, kelompok yang selalu semangat, Milisi Fotocopy yang sudah memberikan wejangan-wejangan apapun, ngajak cangkrukan, itu sungguh berarti bagi saya pribadi, Nandhaka Darta atas bantuan ceritanya, dan tentunya kepada Ibu saya terkasih, Murni Widarini.
PROSES PEMBUATAN
Saya yakin, dalam proses pembuatan karya seni, disadari atau tidak, seorang seniman pasti memiliki “kegelisahan” tertentu, yang kemudian hal itu menjadi latar belakang pembuatan karya seni. Untuk sesi pengantar novel grafis ‘Jurnal‘, saya ingin mengulas secara singkat bagaimana novel grafis ini dibuat, meliputi proses pencarian ide hingga pembuatan karya novel grafis. Pada mulanya, novel grafis ini dipersiapkan dengan mengadaptasi karya novel Pramoedya Ananta Toer yang berjudul ‘Sekali Peristiwa di Banten Selatan‘, dengan mengusung tema kemiskinan. Tampaknya sudah tidak perlu lagi saya jelaskan bahwa ini adalah karya tugas akhir semasa kuliah DKV, hingga banyak proses yang rumit tidak seperti semula membayangkannya.
Untuk pemilihan novel Pram, sejujurnya memang tidak ada landasan tertentu mengapa saya memilih novel ‘Sekali Peristiwa di Banten Selatan‘ dan tidak memilih Bumi Manusia misalnya, tapi hal yang paling masuk akal karena alasan efisiensi waktu pengerjaan gambar dan cerita, sehingga saya memilih buku novel Pram yang halamannya tidak tebal. Secara kebetulan, novel itu memang singkat jalan ceritanya, dan memungkinkan bagi saya untuk membacanya berulang kali dalam beberapa hari saja.
Sekilas tidak ada yang menarik ketika saya membaca novel ‘Sekali Peristiwa di Banten Selatan‘, sebagai orang awam yang baru membaca karya sastra, saya harus membacanya berulang kali untuk sekadar memahami ceritanya. Lain pula masalahnya ketika saya baru mengerti bahwa novel-novel Pramoedya adalah hasil sebuah pemikiran yang mendalam akan realisme sosialis, yang kebanyakan novelnya berpihak pada kaum yang lemah atau tertindas. Pengetahuan saya yang minim tentang hal itu membuat saya kebingungan. Pantas dan baguslah bila saya dibingungkan, karena semakin bingung, tambah pula rasa penasaran saya. Kemudian rasa penasaran itu berlanjut hingga saya merasa perlu mempelajari apa itu realisme sosialis, serta perkembangannya dalam bidang kesenian.
PROSES ADAPTASI
Untuk mengawalinya, saya memetakan permasalahan yang ada pada novel garapan Pram yang kemudian secara sederhana dapat di analisa satu per satu. Ternyata dalam novel ‘Sekali Peristiwa di Banten Selatan‘ termuat banyak kritik sosial di dalamnya. Misalnya dari konteks ruang-waktunya, Pram tengah membicarakan persoalan pemberontakan Darul Islam, lalu persoalan kemiskinan, solidaritas dan kritik gender. Itu hanya beberapa di antaranya. Selanjutnya masih banyak detil-detil yang masih belum mampu saya menganalisisnya. Konon, beberapa buku mengatakan kalau novel ‘Sekali Peristiwa di Banten Selatan‘ ialah salah satu karya Pram yang kurang bagus, maksudnya perwatakan tokohnya serta plot-nya masih kaku.
Saya pun yang membacanya juga harus mencari-cari lagi di mana bagian menariknya. Akan tetapi bagi saya, novel itu termasuk karya sastra yang enak dibaca, terlepas dari beban untuk memahami secara mendalam mengenai aspek-aspek ideologis yang terkandung di dalamnya. Baru sesudah itu, saya memulai membuat cerita baru bersama teman saya, Nandhaka Darta, untuk menulis dialog yang bernada lebih komikal. Menurut buku novel ‘Sekali Peristiwa di Banten Selatan‘, sebelumnya Pram telah melakukan reportase di Banten. Dari kata “reportase”, saya langsung memiliki inisiatif untuk memakai profesi wartawan sebagai tokoh utama dalam novel grafis saya –yang pada waktu itu, Nandhaka Darta (si pembuat plot) adalah seorang wartawan, jadi lebih memudahkan saya untuk melakukan riset sederhana pada karakterisasi, istilah-istilah hingga atribut-atribut wartawan.
DARI ADAPTASI KE INSPIRASI
Setelah saya memilih tema dan menentukan beberapa tokoh untuk novel grafis ‘Jurnal‘, ternyata masih terdengar aneh apabila saya “mengadaptasi” karya novel ‘Sekali Peristiwa di Banten Selatan‘, kiranya lebih tepat jika saya “terinspirasi” dari karya novel tersebut. Hal itu dikarenakan jalan cerita, penokohan, dan konteks ruang-waktu pada novel grafis ‘Jurnal‘ yang berbeda sama sekali dengan novel ‘Sekali Peristiwa di Banten Selatan‘. Oleh karena itu, saya rasa lebih tepat bila menggunakan novel Pram sebagai “inspirasi” dalam memilih tema, melalui tinjauan beberapa kritik sosial yang ada dalam karya novel tersebut.
Untuk penokohan figur pada novel grafis ‘Jurnal‘, saya menggabungkan lakon-lakon di era orde lama, orde baru dan reformasi, sehingga hal itu berpengaruh pula pada nuansa penggambaran suasana di setiap panel-panel novel grafis, misalnya tokoh Ipang sebagai lakon utama yang berprofesi sebagai wartawan dengan rambut gondrong yang dikuncir ialah sebuah indeks dari ketidakacuhannya terhadap penampilan yang rapi, lalu tokoh Supriyadi, perwajahannya sengaja dimiripkan dengan, misalnya Surya Paloh, kemudian untuk Cak Bowo, dengan rambut keritingnya, kacamata, dan busananya ialah ciri khas tokoh-tokoh pada masa orde lama. Sedangkan ada beberapa teks lagu dan lambang khusus yang dicantumkan mengalami perubahan dari aslinya, karena alasan akademis, harus dirubah—sebagai contoh teks lagu Plastik band berjudul ‘Seperti‘, yang diubah struktur pembacaannya—sehingga sedikit kabur dari makna aslinya.
Nah, seperti itulah gambaran singkat tentang perihal bagaimana pencarian ide hingga penyusunan cerita secara garis besarnya. Untuk selebihnya, bisa anda “nikmati” sendiri bagaimana cerita novel grafis ini. Uraian di atas juga merupakan pertanggungjawaban saya terhadap konten novel grafis ‘Jurnal‘. Namun sudah pasti bila terdapat kelemahan-kelemahan secara teknis maupun aspek retorik di dalamnya, seperti teks-teks kalimat yang kurang tepat pemilihannya atau tidak terstruktur dengan baik. Mohon maaf apabila ada kalimat-kalimat yang “terdengar” kampungan hingga terkesan malah seperti pidato caleg yang ingin mengatasi “kemiskinan”, hal itu juga sebagai proses pembelajaran bagi saya untuk memahami situasi politik terkini yang cukup sulit dipelajari. Hal ini menjadi salah satu bagian kecil dalam pengkajian yang tiada habisnya, mengenai politik, yang terkait dengan persoalan kemanusiaan. Bagi saya pribadi, memperbincangkannya harus memiliki fondasi yang kuat. Akhirulkalam, semoga buku novel grafis ini mampu meramaikan kehadiran komik-komik Indonesia, serta menjadi bagian dari perkembangan pemikiran-pemikiran sosial di Indonesia.
Unduh: Komik ‘Jurnal‘
Ketika dari mata tak turun ke hati, desain pun gagal total