Book by Its Cover: Desain Cetak Belum Mati, Kok!

Berapa rasio waktu yang kita habiskan untuk menatap layar ponsel cerdas dibandingkan dengan waktu yang kita luangkan untuk menelusuri berlembar-lembar halaman buku cetak? Buku cetak vs buku digital adalah debat yang melelahkan, tajuk sebuah artikel di The Guardian1. Ketegangan di antara kedua media itulah—khususnya bagi desainer grafis—yang kemudian menjadi arena yang tak akan ada habisnya untuk diperbincangkan.

Tekstur, kedalaman, ruang gerak dan dimensi yang luas, serta aspek-aspek yang mengundang interaksi indera selain hanya mata memberikan nilai tersendiri bagi publikasi-publikasi cetak. Ketika invasi media digital yang tak dapat dipungkiri ini telah melahirkan yang disebut sebagai ‘fast design‘, merayakan kembali publikasi cetak menjadi hal romantis tersendiri.

Meruangkan kembali perhatian bagi publikasi cetak, seorang ilustrator bernama Julia Rothman menginisiasi sebuah situs pada 2006, Book by Its Cover. Berawal sebagai medium untuk membagikan koleksi-koleksi buku pribadinya, situs ini pun kemudian berkembang dan diisi oleh ulasan dari berbagai penulis. Berfokus pada buku-buku seni dan desain, Book by Its Cover tak hanya memuat ulasan buku-buku cetak yang diproses digital, namun juga buku-buku sketsa berbagai seniman yang sarat akan sentuhan tangan yang personal. Di situs yang merupakan bagian dari Amazon Affiliate ini, kita juga dapat menelusuri berbagai wawancara dengan para desainer/artisan di balik publikasi cetak yang terkurasi.

 

unsungicons-01

dandnosercover2

dandnoserinsidespread1

brooke4

brooke1

brooke4 (1)

cover1

spread21

thumbwar31

cover-01

script1-135x180

sketchbook3

pop4

olle2

lynda7

lisahanawalt_4

lisahanawalt_2

craig5

cook2

blackout2

241

192

135

104

07

 

Karena desain cetak belum mati, yuk, kita telusuri! Book by Its Cover

 


1 http://www.theguardian.com/books/booksblog/2014/mar/31/paper-vs-digital-reading-debate-ebooks-tim-waterstone

Quoted

Designers need to think about others for the sake of improving the human existence. What we have received is a gracious blessing. Without it, we are nothing. Which is why we need to give it back.

Yongky Safanayong