Kami berjumpa secara tak sengaja dengan Ezrena Marwan di internet. Percakapan di Twitter kala itu sebetulnya terkait dengan buku Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia yang baru diterbitkan. Setelah membaca wawancaranya bersama Justin Zhuang di Eye on Design mengenai Malaysia Design Archive yang dia inisiasi, redaktur kami memutuskan untuk menghubunginya untuk berbagi pemikiran tentang pengarsipan desain grafis.
Sebelumnya, kami menerjemahkan tulisan Ezrena tentang pengarsipan desain grafis di Malaysia, “Mengurai Perjalanan Desain Grafis Malaysia“. Setelah menemukan perhatian yang sama—tak hanya tentang dimensi historis desain grafis, namun juga keterkaitannya dengan isu sosial dan politik secara lebih luas, serta keterlibatan sebagai desainer grafis dalam berbagai inisiatif terkait isu perempuan dan gender—kami memutuskan untuk menggali lebih dalam tentang bagaimana Ezrena memandang dan memperlakukan desain grafis.
Percakapan tersebut kemudian kami sarikan dan susun ke dalam format wawancara yang lebih runut, untuk membagikan pandangan tentang desain grafis, identitas kebangsaan sebagai bekas negara jajahan, budaya visual dan dimensi sosialnya, serta persoalan perempuan dan kesetaraan.
Selamat membaca.
Mengapa menurutmu sejarah itu penting? Apa perannya bagi praktik dan perkembangan desain grafis—baik pada masa kini maupun masa yang akan datang?
Dengan kita sadari ataupun tidak, desainer bekerja dalam suatu konteks historis. Pilihan-pilihan artistiknya pun dibentuk oleh sejarah. Sejarah membantu kita memahami mengapa suatu hal menjadi seperti sekarang, mengapa suatu hal mungkin terjadi sedangkan yang lainnya tidak, dan apakah ada alternatif tertentu dalam pemikiran dan praktik desain. Dengan memberi perhatian terhadap sejarah, desainer tak hanya menjadi lebih peka terhadap faktor historis yang mempengaruhinya, namun juga dapat mendorong pengambilan keputusan-keputusan yang lebih bermakna untuk membentuk masa depan.
Saya melihat dua poin menarik dari Malaysia Design Archive. Pertama, ketika kami (DGI) berfokus secara spesifik pada desain grafis, kamu memilih untuk bekerja dengan desain yang lebih lebih. Apa alasanmu?
Karena tujuan utama saya adalah untuk menelusuri sejarah, saya tidak ingin membatasi pencarian saya dengan mengkhususkan diri pada satu jenis desain. Lebih dari itu, ragam kategori desain itu memiliki sejarahnya sendiri dan terus berubah dari waktu ke waktu. Dengan bekerja di lingkup yang lebih luas berarti tidak mengabaikan makna dari berbagai jenis desain yang sudah ada itu. Juga berarti bahwa kita mengevaluasi kegunaannya dengan menganalisa karya-karya yang berangkat dari konteks kemalaysiaannya, sebagaimana karya-karya ini mengajak kita untuk memikirkan ulang pandangan-pandangan konvensional kita tentang desain.
Kedua, persoalan latar belakang dan tujuan. Kamu menyatakan bahwa, “Desain memiliki perannya sendiri dalam sejarah, dalam membentuk suatu bangsa, dan ia memiliki narasinya sendiri. Ini begitu penting dalam memahami dan mengartikulasikan diri saya sebagai seorang Malaysia.” Menurutmu, bagaimana suatu artefak desain bisa berpengaruh dalam pencarian identitas suatu bangsa?
Desain selalu berintegrasi dalam tiap upaya pembangunan suatu bangsa. Bendera kenegaraan adalah satu contoh paling klasik untuk menunjukkan bagaimana desain digunakan untuk merepresentasikan suatu bangsa. Sejak usia dini, tiap warga negara sudah ditanami pemikiran bahwa bendera adalah lambang negaranya, yang karenanya, menjadi lambang akan dirinya sendiri.
Namun, saya sendiri melihat desain lebih dari sekadar pencarian identitas. Mengamati desain berarti memahami bagaimana desain digunakan untuk membentuk identitas kolektif Malaysia, bagaimana kisah dan gagasan kita dipertegas oleh suatu desain tertentu, dan apa yang tersisa atau bahkan dikaburkan.
Ketika produk desain grafis lebih banyak diciptakan atas kebutuhan pasar dan dengan tujuan komersial, pendekatan apa yang kamu ambil dalam melakukan pembacaan terhadap artefak-artefak yang menjadi bagian dari sejarah kecil Malaysia? Adakah kisah-kisah menarik yang kamu temukan sejauh ini?
Di situs Malaysia Design Archive ada sepasang iklan cetak Tiger Beer yang ditayangkan di surat kabar berbahasa Jawi, The Malay Mail, pada 1934. Satu iklannya menampilkan seorang laki-laki mengenakan peci dan berpakaian Melayu tengah mengangkat gelas bir, dan satunya lagi menampilkan sekelompok perempuan dalam baju kurung dan selendang—yang diasumsikan tengah berbelanja—membawa sejumlah botol bir dalam keranjang mereka.
Bagi pembaca di zaman sekarang, iklan ini mengejutkan karena menampilkan orang Muslim-Malaysia yang mengonsumsi alkohol. Kita bisa saja membaca iklan tersebut sebagai bukti bahwa orang Malaysia jauh lebih liberal di masa lalu ketimbang sekarang. Cara berpikir semacam ini biasa kita temukan untuk membantah konservatisme yang muncul sekarang ini; contohnya dengan menekankan gambar-gambar yang membuktikan bagaimana perempuan Malaysia dahulu mengenakan kebaya yang ketat—yang menunjukkan bahwa perempuan Malaysia tak selalu ditundukkan oleh fundamentalisme agama sebagaimana yang terjadi sekarang.
Namun, iklan ini sebenarnya bisa dibaca sebaliknya. Pembacaan seperti di atas sebetulnya menunjukkan pengabaian terhadap sejarah kolonial dari perusahaan iklan dan bir tersebut, Fraser and Neave, yang didirikan oleh dua orang berkebangsaan Inggris di Singapura. Itulah, alih-alih menunjukkan budaya Malaysia pada era itu, iklan tersebut justru sebenarnya menunjukkan pengabaian si perusahaan terhadap praktik budaya di Malaysia—dimana minum bir bukan menjadi kebiasaan sehari-hari.
Poin saya adalah interpretasi kita terhadap iklan-iklan ini menunjukkan asumsi-asumi dan bingkai kebudayaan kita sendiri. Ini bukan berarti kita hanya melihat apa yang ingin kita lihat, melainkan bahwa penting untuk menyadari bagaimana lensa kontemporer, pandangan politik, dan hal-hal sejenisnya membentuk cara pandang kita terhadap dunia. Dengan memiliki kesadaran penuh bahwa cara kita melihat dibatasi oleh sudut pandang tertentu, kita bisa mulai mempertimbangkan bagaimana jika suatu hal kita persepsikan sebaliknya.
Iklan tersebut menunjukkan bahwa meskipun desain grafis diproduksi untuk kebutuhan komersil dan ditujukan pada orang yang berada, ada unsur yang kompleks di dalamnya yang menunjukkan bagaimana kita menarasikan kebudayaan. Tantangannya kemudian adalah bagaimana kita memahami: lewat perspektif siapakah suatu produk desain kita lihat dan apa yang menjarakkan pandangan kita itu sendiri.
Kita memiliki kemiripan sejarah dengan identitas postkolonial bangsa kita. Bagaimana kegiatanmu di Malaysia Design Archive dapat berelasi dengan hal tersebut?
Ya, Malaysia dan Indonesia tak hanya memiliki kemiripan sejarah sebagai bangsa bekas jajahan penguasa Eropa, namun juga punya sejarah dan kebudayaan yang saling berkaitan. Di Malaysia Design Archive, saya memutuskan untuk mengelompokkan artefak ke dalam empat periode yang menandai sejarah kolonial Malaysia dan transisinya menuju pemerintahan yang merdeka: penjajahan Inggris, pendudukan Jepang, perlawanan Inggris terhadap gerilya kelompok Komunis, dan masa kemerdekaan Malaysia. Pengelompokan ini justru tidak berdasarkan pada gerakan maupun aliran estetika tertentu sebagaimana yang biasanya dilakukan dalam sejarah seni Barat.
Hal ini saya lakukan bukan untuk mengatakan bahwa kebudayaan di sini tidak mengakui adanya perkembangan dalam seni atau bahwa konsep sejarah seni Barat itu irelevan. Pengelompokan dalam periode tersebut dilakukan untuk menempatkan desain grafis dalam konteks sejarah yang lebih besar dan untuk memahami penggunaannya oleh mereka yang memiliki kuasa dalam konteks tersebut.
Apa yang rutin dilakukan oleh Malaysia Design Archive?
Saya rutin beraktivitas di media sosial dengan membagikan gambar-gambar dari arsip cetak, mendokumentasikan meme dari internet di Instagram, atau membagikan sejumlah artikel terkait di laman Facebook Malaysia Design Archive. Sekali waktu, saya menambah sejumlah koleksi di situs.
Baru-baru ini, Malaysia Design Archive berkolaborasi dengan Ilham Gallery untuk mendigitalisasi dan mengalihbahasakan serangkaian artikel yang ditulis dalam bahasa Jawi mengenai seni dan budaya yang terbit pada 1950-an. Koleksi ini bisa dilihat di rubrik terbaru kami, Visual Arts. Ke depannya, akan ada lebih banyak koleksi yang akan kami tambahkan di sana.
Dengan membuat artikel-artikel ini lebih mudah diakses secara daring bagi orang awam yang tak memahami bahasa Jawi, kami berharap hal ini dapat memperkaya pemahaman kita mengenai sejarah wacana seni dan budaya Malaysia.
Bagaimana dengan praktik desain grafismu sendiri? Bagaimana kamu mendeskripsikannya? Untuk dan dengan siapa biasanya kamu mendesain? Topik apa yang menjadi perhatianmu selama mendesain?
Mayoritas, saya mendesain untuk mendukung organisasi kesenian, sosial, hak asasi manusia, serta sejumlah inisiatif yang berfokus pada sejumlah dimensi terkait perjuangan hak-hak perempuan. Saya mendesain untuk organisasi terkait hak perempuan internet seperti Association for Progressive Communications, kampanye seperti Take Back the Tech dan Feminist Principles of the Internet. Saya juga mendesain untuk Sisters in Islam and Musawah, yang mempromosikan hak-hak perempuan dalam Islam. Selain itu, saya juga mengerjakan kampanye dan proyek seperti Freedom Film Festival dan proyek Sejarah Oral untuk Pusat Sejarah Rakyat.
Apakah kamu tertarik pada politik? Bersedia untuk menceritakan bagaimana praktik desain grafismu berkaitan dengan pandangan politikmu?
Bagi saya, desain grafis itu pada dasarnya politis, dalam artian bagaimana desain grafis itu membentuk cara publik memandang sesuatu, atau bagaimana desain grafis itu sendiri melihat dan memahami suatu hal tertentu. Itu yang membuat desain grafis memiliki kuasa yang besar. Hal ini juga berarti bahwa praktik desain grafis itu sendiri menyatu dengan relasi kuasa yang terjalin.
Saya sendiri secara khusus tertarik pada bagaimana perempuan dihadirkan dalam budaya visual, bagaimana mereka ditampilkan dengan cara yang begitu seksis, atau bagaimana perempuan dibuat tak nampak sama sekali. Dalam praktik saya pribadi, saya berusaha untuk menarik perhatian terhadap persoalan ini dan untuk menantang balik pandangan semacam ini.
Ketika menemukan “Take Back The Tech” di akhir surelmu, saya menyadari bahwa kita memiliki perhatian yang sama, yakni terkait isu perempuan dan gender. Saya pernah mencoba untuk mencari tahu apakah perempuan dalam industri desain grafis menemukan masalah serupa dengan yang dihadapi oleh perempuan dalam konteks luas. Mengejutkannya, sebagian dari responden ini menjawab bahwa tidak ada persoalan khusus tentang perempuan dalam industri desain grafis: tidak ada diskriminasi, tidak ada ketimpangan, tidak ada kendala khusus. Persoalan perempuan yang begitu nyata saya hadapi sehari-hari nampak irelevan bagi mereka—menjadikan feminisme sebagai isu yang irelevan dalam konteks industri desain grafis. Namun, kemudian saya menarik kesimpulan sementara bahwa persoalan ini sebenarnya juga terkait dengan politik kelas (terkait ekonomi serta hak istimewa (privileges) terkait akses edukasi, literasi, dan sebagainya), serta sejumlah hal lain yang membuat responden ini memiliki lebih banyak alternatif ketimbang perempuan-perempuan yang saya temui di luar industri desain grafis.
Lantas, bagaimana kamu sendiri melihat isu perempuan dalam desain grafis Malaysia? Menurutmu, mengapa masih penting bagi kita untuk membicarakan isu perempuan dalam industri desain grafis di Malaysia?
Meskipun perempuan memiliki peran yang begitu signifikan dalam industri desain grafis Malaysia, kepemimpinan dan kehadiran di tengah publik masih secara ekslusif didominasi oleh laki-laki. Misalnya saja, dalam sebuah konferensi desain yang baru-baru ini diselenggarakan di Kuala Lumpur, seluruh pembicaranya adalah laki-laki. Tidak ada satu pun perempuan yang diikutsertakan dalam panel. Ketika hal ini kita angkat, tak ada satu orang pun yang menyadari atau melihat ada yang salah dari hal ini. Inilah yang melatarbelakangi proyek Sejarah Wanita, sebuah proyek yang saya inisiasi bersama seorang kawan untuk mengarsipkan ragam sejarah perempuan di Malaysia.
Apakah kamu menganggap dirimu sebagai seorang feminis? Jika ya, apa artinya menjadi seorang feminis bagi kamu?
Dulu saya sering menyatakan terang-terangan bahwa saya adalah seorang feminis. Seiring dengan tidak berubahnya pandangan saya terhadap kesetaraan gender, saya merefleksi kembali kemanjuran label-label semacam itu.
Kita sama-sama tahu bahwa narasi sejarah sebagian besar ditulis dengan sudut pandang laki-laki (male-gaze), begitu pula dengan sejarah desain grafis. Apakah Malaysia Design Archive mendorong suatu riset, metode, atau pembacaan khusus terkait dengan kondisi ini?
Saya merespon isu ini dengan seri Apa Kata, sebuah kolaborasi bersama LSM Sisters in Islam untuk festival/bazaar seni bernama Art for Grabs. Seri ini menampilkan foto-foto historis yang menampilkan wajah-wajah pemimpin politik laki-laki di Malaysia. Sosok-sosok ini kami edit dan kami ganti dengan gambar-gambar dari arsip lain yang menampilkan perempuan biasa. Dengan ini, saya bermaksud untuk menantang balik cara pandang kita dalam melihat kepemimpinan dan pembangunan bangsa, sekaligus untuk mengundang publik untuk memikirkan kembali peran perempuan dalam keragaman jalan yang turut membentuk suatu bangsa, bukan hanya oleh mereka yang terlibat dalam politik aktif.
Di samping itu, seri ini juga mendeskripsikan pendekatan saya terkait sejarah desain grafis: untuk melihat apa yang disisakan oleh narasi sejarah yang dominan dan mempertanyakan apakah pandangan kita terhadap masa lalu dapat berubah jika kita mengikutsertakan sosok-sosok yang tak pernah menonjol di masa lalu. Hal ini juga berarti bahwa kita sebagai pembaca sekaligus peneliti memiliki peran aktif—bukan hanya untuk mengusut apa yang ada di masa lalu, namun juga untuk mengintervensinya dengan mempertanyakan apa yang tidak ada di sana, mengapa, dan sambil membayangkan cara pandang alternatif.
(***)
Selain Malaysia Design Archive, Ezrena juga berada di balik sejumlah proyek seperti: Apa Kata, Take Back the Tech, and Sejarah Wanita.
Diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dari versi wawancara asli berbahasa Inggris yang juga kami terbitkan dengan judul “Ezrena Marwan: Looking at design is less about a quest or search for identity“.
Naskah dan wawancara: Desain Grafis Indonesia/Ellena Ekarahendy.
“Imajinasi yang liar lebih kuat dari lirik yang sok mau jelas.”