Wawancara dengan Shigeo Fukuda*

150622 Shigeo Fukuda

*) Dalam rangka Pameran Grafis Indonesia—Jepang (JAGDA): Grafis ’89

 


 

Apa yang dimaksud dengan desain grafis?

Desain grafis adalah media komunikasi, seperti misalnya melalui TV terjadi komunikasi visual. Desain grafis berbeda dari seni cetak, meskipun desain grafis dibuat dengan cara mencetak. Desain grafis sendiri merupakan ekspresi budaya suatu zaman.

 

Apakah beda yang dimaksud adalah desain grafis dari seni grafis?

Memang begitu. Bedanya adalah seni dikerjakan sebagai ungkapan atau cetusan murni dari hati/jiwa seniman. Desain grafis dibuat karena ada pesanan, misalnya oleh biro iklan. Jadi, dengan sendirinya desain grafis seringkali bukan cetusan murni artis. Dalam hal ini desain grafis harus dimengerti oleh orang yang melihatnya.

 

Apakah dengan demikian masih sah menganggap desain grafis sebagai seni?

Sampai saat ini desain grafis masih tidak termasuk sebagai seni. Desain grafis hanya sekedar kegiatan bisnis saja. Tapi saat ini Jepang sudah mulai mengakui desain grafis sebagai seni. Hal itu ditunjukkan dengan membuat museum poster, yang setahun lagi akan selesai. Sejauh ini, poster-poster di Jepang segera dibuang setelah dipakai; berbeda sekali dengan Amerika (museum New York), Chekoslovakia, Belanda, Perancis, dan Polandia yang sejak lama telah menyimpan dan menghargai poster sebagai benda seni. Dan di Jepang, kehadiran museum poster yang sedang dibangun itu merupakan perlakuan serta sikap baru yang jelas berbeda.

 

Saling pengaruh antara desain grafis dan seni?

Seni itu kegiatan yang sepenuhnya seni, tidak perlu harus selaras dengan zaman, jadi lebih bebas. Misalnya, karya seniman yang baru diakui bertahun-tahun kemudian – sementara pada zamannya sendiri mungkin tidak terlalu dihargai. Sedangkan desain grafis butuh dan harus diakui pada saat dibuat, dan itu bisa terjadi seperti pada kasus ketidakcocokan dengan pemesan. Desain grafis tidak bisa diharapkan sebagaimana halnya karya seni – yang sekian tahun kemudian akan dipahami oleh masyarakat. Desain grafis harus mengungkapkan sesuatu yang kontemporer, bagaimana kaitannya dengan kondisi masyarakat saat ini, jadi bukan sekedar jadi seniman—tapi sekaligus juga harus berpikiran maju mengikuti zaman sebagaimana layaknya ilmuwan.

 

Shigeo Fukuda dalam jamuan makan malam bersama desainer-desainer Indonesia.

Shigeo Fukuda dalam jamuan makan malam bersama desainer-desainer Indonesia.

 

Bagaimana posisi fotografi terhadap desain grafis?

Desain grafis tidak bisa disamaratakan dengan fotografi. Bisa disimak dari sisi pendidikan. Sekolah seni rupa Tokyo setiap tahunnya hanya menerima 50 murid desain grafis, dengan tingkat persaingan cukup tinggi—sekitar 20:2. Desain grafis dalam hal ini bisa dilihat sebagai ilmu. Sisa yang tak tertampung umumnya masuk di sekolah swasta dengan tingkat persaingan yang juga mulai tinggi—lama kursusnya 2 tahun. Desain grafis berbeda dari fotografi, paling tidak karena di Jepang tidak ada sekolah fotografi. Fotografer umumnya hasil pengalaman sebagai kameraman. Kalau misalkan Toshiba memesan, mereka akan datang pertama kalinya ke desain grafis yang kemudian mungkin saja menggunakan jasa fotografer. Di Jepang jumlah desain grafis lebih banyak daripada fotografer—dan kehadiran para fotografer kurang begitu dianggap, kedudukannya jauh di bawah desain grafis.

 

Perbandingan peran desain grafis dan fotografer dalam produk iklan ?

Bisa 9:1 untuk ilustrator. Di Jepang, ilustrasi sangat berkembang. Berkaitan dengan iklan, meskipun tidak terlalu mengetahui iklan, mereka bisa masuk ke dalam pekerjaan ilustrator. Dan Jepang justru memanfaatkan ilustrator dari Perancis atau Amerika. Ilustrasi itu merupakan hasil kerja yang original, dan tidak perlu meniru.

 

Sejauh apa teknologi mempengaruhi desain grafis?

Saya anti komputer grafis. Di Jepang ada komputer grafis, tapi itu hanya terbatas kepada orang-orang yang tahu komputer, serta mengenal program-programnya. Bagi saya, itu tidak menarik, dan tidak yakin bisa menghasilkan sesuatu yang menarik. Pasti ada saatnya komputer tidak bisa menghasilkan/mencetuskan apa-apa yang diingini oleh seniman, karena komputer memiliki keterbatasan-keterbatasan, misalnya hanya mampu membuat garis-garis tertentu sesuai program saja. Padahal kebutuhan dalam graphic design lebih dari itu. Saya sendiri berminat besar kepada penglihatan/daya lihat manusia sebagai titik pangkal dari ilusi atau pembuatan trik-trik tertentu. Penglihatan bagi graphic designer merupakan sesuatu yang amat penting. Komputer sendiri bagus sejauh dianggap sebagai alat, seperti halnya penggaris dan jangka. Sebagaimana layaknya robot, komputer pasti kalah pintar dari manusia. Setelah era komputer terlewati, dari situ tidak akan melahirkan apa-apa lagi.

 

Perbedaan konsepsi budaya oriental dari oksidental dalam dsain grafis?

Sebaiknya tidak usah dipikirkan ada/tidak, atau baik/buruknya Timur dan Barat, serta siapa yang lebih baik. Hal-hal baru yang timbul asalnya dari tradisi. Desain grafis adalah sesuatu yang universal seperti halnya musik dsb. Dalam membuat poster misalnya, tidak perlu memikirkan kemungkinan takut dicemooh oleh orang yang lebih pintar. Saya juga membuat poster tidak melulu untuk orang Jepang, tapi juga untuk orang Amerika dan dunia dalam arti luas; poster-poster yang bisa dipahami oleh dunia, membuat poster yang bisa dinikmati oleh masyarakat internasional. Jadi jangan pikirkan Barat atau Timur, pokoknya buat saja poster yang baik dan terbaik.

 

Karakter dasar desain grafis Timur dan Barat?

Itu hanya berbeda dalam gaya/style. Misalkan yang khas Indonesia adalah batik, yang mungkin saja mulai tidak diminati oleh bangsa itu sendiri yang kadang kala justru menginginkan sesuatu yang dari luar. Lukisan Jepang memiliki tradisinya sendiri, yang mungkin tidak dipahami oleh bangsa lain. Pada saat memikirkan desain pasti akan berkaitan dengan masalah ekonomi, politik, budaya, dan lainnya. Tradisi itu sendiri sudah mendarah daging dalam diri kita. Seniman memiliki otoritas untuk memanfaatkan atau tidak memanfaatkan tradisi itu.

 

Apa kesan Anda terhadap desain grafis Indonesia?

Desain grafis berkaitan erat dengan produksi, berproses dalam jaman dan masyarakat, jadi terus berkembang. Dalam dua kali ceramah saya di Kuba saya perhatikan banyak poster yang digunakan sebagai media pendidikan atau propaganda kepada masyarakat luas karena mereka banyak yang buta aksara. Poster, dengan demikian, tergantung juga kepada situasi negara. Jepang telah melalui tahap-tahap tertentu untuk sampai ke puncaknya dalam 20 tahun terakhir ini. Ada baiknya Indonesia memperhatikan langkah-langkah yang telah ditempuh Jepang, dan jangan mempunyai ambisi untuk melompat-lompat agar segera sampai di puncak, meskipun secara ajaib hal yang khusus ini terjadi pada negara Korea. Dalam bidang apa pun, dalam budaya, sastra, dan lainnya terdapat generasi yang di dalamnya perlu ada persaingan agar bisa maju. Bagus bila Indonesia secara periodik mengumpulkan seniman-seniman (grafis) untuk berpameran, hingga selalu didapatkan masukan-masukan tertentu sebagai titik untuk maju terus.

 


 


Tentang Shigeo Fukuda

Shigeo Fukuda, adalah desainer grafis Jepang yang telah menjadi tokoh terkemuka dalam perkembangan desain grafis dan illustrasi internasional dewasa ini. la telah dianggap sebagai pelopor generasi ke 11 desainer grafis Jepang bersama Tadanori Yokoo, Mitsuo Katsui, Ikko Tanaka dan beberapa lagi. Sebagai desainer grafis Jepang yang terkemuka pada saat ini, Fukuda telah memperoleh banyak penghargaan melalui pelbagai kompetisi desain bertaraf internasional, selain aktif dalam bidang desain grafis, Fukuda juga mengerjakan pelbagai ilustrasi termasuk buku anak-anak, mendesain mainan, menciptakan karya seni pahat dan mendesain ekshibisi. Debut internasionalnya dimulai pada usia 23 tahun, tatkala menjadi juara pada kontes dalam memperingati ulang tahun Hans Christian Andersen ke 130, sejak itu prestasinya yang bertaraf internasional kian mencuat.

 

Sekelumit tentang “Images of Illusion” Fukuda:

Dalam menetapkan obyek pada desainnya, Fukuda memilih sumber dari obyek yang lazim atau yang ada dinegaranya untuk dikembangkan dalam pelbagai kemungkinan, yang kemudian diadon atau digabung oleh Fukuda dengan dorongan bermainnya yang kreatif dan penuh daya khayal, sehingga menampilkan karya visual yang mengandung bermacam arti. Kentara pada hasil karya Fukuda, suatu penjelajah kemungkinan-kemungkinan secara bebas yang memperkaya penampilan suatu obyek atau situasi. Menurutnya, dengan pendekatan seperti ini, pelihat bebas menafsirkan arti karya-karyanya sesuai persepsi pelihatnya.

Visualisasi yang ia wujudkan merupakan hasil penelitiannya bersama organisasi Impossible Shape Institute Riga-Uni Soviet, yang menemukan bahwa persepsi visual dikendalikan oleh otak manusia dan bahwa suatu desain grafis dapat dimanipulasi sehingga menimbulkan efek yang kaya, misalnya karya hitam-putih bisa terlihat berwarna apabila kita melihatnya dari sudut yang berpindah. Hasil penelitiannya yang sukses tersebut banyak diterapkan ke dalam karya-karyanya, sistem tersebut juga digunakan Japan National Railway dalam desain logo dan sistem tanda.

shigeo-fukuda-13

shigeo-fukuda-23

shigeo-fukuda-33

shigeo-fukuda-43

 


 

Wawancara dilakukan di Pusat Kebudayaan Jepang, Summitmas Tower, Lantai 2, Jalan Jend. Sudirman kav. 61-62, Jakarta, 29 Maret 1989 menjelang ceramah Shigeo Fukuda di tempat yang sama dalam rangka Pameran Grafis Indonesia-Jepang ke-2:Grafis ’89.

Dituliskan kembali oleh Hanny Kardinata, yang hadir bersama beberapa penulis mewawancarai Shigeo Fukuda untuk Majalah Desain Grafis F/A (belum pernah terbit).

 


 

Sumber: Katalog Pameran Grafis Indonesia-Jepang ke-2: Grafis ’89 yang diselenggarakan oleh Ikatan Perancang Grafis Indonesia (IPGI) bekerjasama dengan Japan Graphic Designers Association (JAGDA) dan Japan Foundation, diselenggarakan di Jakarta: Gedung Pameran Seni Rupa (Depdikbud), Jalan Merdeka Timur 14 (Gambir), 23-30 Maret 1989; di Bandung: Yayasan Pusat Kebudayaan, Jalan Naripan, 12-20 April 1989; di Yogyakarta: Kampus Institut Seni Indonesia, Jalan Gampingan, 26 April-3 Mei 1989.

Quoted

Ketik, pilih font, dan presentasikan sebagai ‘desain’… nggak salah tuh!?

Bambang Widodo