Wawancara dengan Ibu Pia Alisjahbana, Pemred GADIS
Dengan beberapa majalah GADIS dan FEMINA dihadapannya, Pemimpin Redaksi majalah remaja puteri ini menjelaskan pandangannya tentang dunia perancangan grafis, khususnya dari pengalamannya sendiri berhadapan dengan kesibukan penerbitan majalah, buku dan kehidupan disekelilingnya.
Dan inilah komentarnya:
Memang saya melihat adanya majalah yang seakan-akan tidak memperdulikan wajahnya. Bagi saya, saya percaya bahwa rancangan grafis dan isi majalah itu sendiri harus saling berkaitan, integrated satu dengan yang lain. Keduanya (isi dalam bentuk tulisan, maupun perwajahannya) sampul maupun isi, tetap saling membutuhkan dan sama pentingnya. Mungkin saya sendiri kurang ahli dalam hal ini, karena kebetulan rancangan grafis bukan bidang dan dunia saya, tetapi saya percaya bahwa rancangan grafis atau barangkali istilahnya disini bagian layout, para artis yang mengerjakannya disana, apapun itu namanya – pekeriaan itu tetap saja saya anggap mempunyai daya tarik tersendiri untuk kehidupan sebuah majalah
Rancangan grafis secara total, benar-benar involve dengan kehidupan sebuah majalah – bagaimana susunan foto, bentuk huruf dan warna mengapa tidak begitu, saya percaya para artis itulah yang tahu mengapa harus demikian dan mengapa bukan yang lain. Sudah tentu ini kami bicarakan dalam rapat redaksi yang selalu membahas setiap isi penerbitan dan edisi atau nomor. Layout inilah yang bisa melahirkan imaji-imaji bagi yang melihatnya. Mereka jadi tertarik untuk membeli, membaca dan menyimpan majalah ini, bukan cuma karena isinya saja atau karena gambar-gambar yang indah saja, tetapi juga karena tata letak gambar, bentuk huruf, gambar sampul, dan lain sebagainya. Itulah sebabnya mengapa saya katakan rancangan grafis mempunyai peranan yang penting di dalam kehidupan sebuah majalah, sama pentingnya dengan penulis, redaksi, fotografer, illustrator dan lain-lain – kesemuanya menjadi satu di dalam sebuah teamwork yang harus ketat!
Kalau kita menengok ke belakang, tahun-tahun disekitar 50-an boleh disebut sebagai dekade suram bagi penerbitan, dan masa itu, semua penerbitan masih mempergunakan warna hitam putih, seperti Star Weekly misalnya. Tahun 60-an bisa dikatakan sebagai awal bangunnya dunia
permajalahan di Indonesia. Mereka bergerak, berusaha sekeras mungkin untuk bisa menarik pembacanya. Ditambah lagi dengan perkembangan percetakan, dengan adanya offset dan lain-lain; kesemuanya ini membantu kemungkinan-kemungkinan yang direncanakan para artis itu sendiri. Jadi secara garis besar perkembangan bidang perancangan grafis tampaknya bersamaan dengan majunya bidang grafika atau cetak mencetak sendiri – itulah sebabnya mengapa mungkin disaat itulah banyak gagasan para artis mulai bisa dilaksanakan di Indonesia, karena sarana dan teknis nya sudah bisa dikerjakan.
Tahun 70-an saya rasa bisa disebut sebagai dekade permajalahan, dan sejak itulah seorang graphic designer memegang peranan penting dalam sebuah majalah. Di luar negeri, bahkan untuk itu – maksud saya di deretan nama redaksi sebuah majalah, harus ada seorang art director khusus – dan hal itu tampaknya belum banyak dikerjakan di Indonesia sini.
Berbicara tentang minat para remaja putri pada bidang Merancang Grafis saya percaya bahwa seseorang juga harus sudah mempunyai bakat. Bakat menggambar merupakan dasar pertama bidang seni rupa atau penjabaran bentuk melalui media pendidikan kearah sana. Kemudian sekolah-sekolah menjadi tempat menempa bakat tersebut dengan baik, sebab disinilah mereka ditempa untuk bisa menempatkan diri di dalam masyarakat.
Di dalam sebuah kelompok kerja dalam sebuah majalah seorang graphic designer harus juga memperhatikan estetikanya, agar apa yang disajikan harus bisa menarik dengan benar dan baik.
Kalau anda sebutkan koleksi F&G kami, mungkin benar bahwa T-shirts koleksi kami itu juga mempunyai unsur grafis. Tetapi semuanya memang berdasarkan kreativitas artis kami disini. Dan itu memang kami berikan kesempatan untuk dikembangkan sebaik mungkin. Tetapi kalau anda tanyakan bagaimana selera yang paling baik diantara remaja, wah sulit. Mereka-reka selera remaja tidak mudah. Barangkali bisa diambil kesimpulan, bahwa kalau ada T-shirt yang laku keras maka itu merupakan salah satu selera remaja pembeli dan pemakainya, tetapi itu belum tentu merupakan jaminan mutunya.
Kesulitan selalu ada, dan kebanyakan karena masalah teknis. Misalnya ada gagasan brillian dari artis kami, tetapi ternyata setelah dicetak hasilnya agak mengecewakan. Barangkali, karena itulah mereka belajar dari pengalaman. Dan mereka semua maju dengan pesat. Atau katakan belajar dari kesalahan yang sudah-sudah.
Saya fikir, ada baiknya apabila pendidikan rancangan grafis yang sudah ada juga mengumpulkan kesalahan-kesalahan yang sering terjadi pada prakteknya, dan kesalahan-kesalahan ini bisa diberikan dalam kurikulum pendidikan sebagai bahan pengolahan para mahasiswanya. Juga tentang perubahan-perubahan warna diatas berbagai kertas.
Sebab satu hal yang saya fikir penting… bidang rancangan grafis luas sekali dan cukup vital dalam memainkan sebuah teamwork yang ketat merupakan satu cara yang paling ampuh untuk memberikan hasil maksimal.
Sumber: Brosur Pameran Pertama Ikatan Perancang Grafis Indonesia “Grafis ‘80”, 24 September-10 Oktober 1980 di Wisma Seni Lingkar Mitra Budaya.
“Seorang desainer harus memiliki keberpihakan pada konteks membangun manusia Indonesia. Peka, tanggap, berwawasan, komunikatif adalah modal menjadikan desainnya sebagai alat perubahan”