Ketahanan dalam Keragaman (2)

[Bagian kedua dari tiga bagian. Sambungan dari Ketahanan dalam Keragaman (1)]

 

“Untuk mengamati gerak seekor serangga diperlukan perhatian—itu jika anda berminat untuk mengamati serangga itu atau apa pun yang menarik perhatian anda. Perhatian ini pun tidak terukur. Itulah tanggung jawab pendidik untuk mengerti seluruh sifat dan struktur memori, untuk mengamati batas-batasnya dan untuk membantu siswa melihatnya. Kita belajar dari buku atau dari seorang guru yang mempunyai informasi banyak tentang mata pelajaran tertentu dan otak kita dipenuhi dengan informasi-informasi ini. […] Begitulah proses mendapatkan informasi berlangsung terus menerus dan secara bertahap kita menjadi manusia yang usang, tidak asli.” —J. Krishnamurti, Surat untuk Sekolah, 1 Desember 1978

Mendekati tahun 1970-an minat saya telah merambah ke dunia hewan, saya mulai tertarik merawat ikan. Lahan tempat saya “bermain” pun meluas, menyerobot pula halaman tengah rumah. Selain mengubah peruntukan bak penyimpanan air sumur di halaman belakang menjadi kolam ikan, saya meletakkan pula beberapa akuarium air tawar di beberapa sudut di halaman tengah; di bawah pohon jambu yang rindang, dan di atas peti-peti kemas.

Saya tak tanggung-tanggung menekuni dunia baru ini. Mempelajari karakter tiap spesiesnya dari sejumlah buku, hingga hafal di luar kepala nama-nama Latinnya. Saya juga belajar bagaimana menyatukan ikan-ikan yang beraneka jenis itu supaya bertahan hidup dalam keragamanannya yang adaptif (compatible). Kompatibilitas dan toleransi menjadi kunci dalam hidup bermasyarakat. Keindahan visual sebuah akuarium menjadi optimal ketika mereka hidup berdampingan dengan damai di dalam komunitasnya.

Tentu ada saja spesies tertentu yang tak bisa berdamai dengan sesamanya, sikapnya yang intoleran ini membuat jenis ini sebaiknya diasingkan di tempat tersendiri. Mereka indah hanya dalam kesendiriannya. Blue Gourami atau sepat biru misalnya tergolong salah satu jenis yang agresif, sementara Siamese Fighter (cupang/petarung), yang populer dengan sebutan internasionalnya, Betta, termasuk jenis ikan liar yang suka berkelahi. Cupang sangat terikat pada teritorialnya dan akan menyerang ikan lain yang mendekat ke tempat mereka. Untuk jenis yang terakhir ini saya memang sering melihatnya dijajakan sendirian di tempat terpisah di toko-toko hewan peliharaan. Konon usaha membudidayakannya di negara asalnya, Thailand/Siam, yang setidaknya telah berlangsung selama beberapa ratus tahun itu, memang untuk tujuan diadu, sebagai hiburan. Mereka diperlakukan layaknya gladiator di Zaman Romawi.

2. Akuarium air tawar. Sumber gambar: TropiCo Aqua.

Di dalam akuarium, pada bagian atas (permukaan air), biasanya saya menyatukan jenis Danio (Zebra) dengan Guppy (Rainbow Fish) atau Molly. Bentuk mulut mereka yang menghadap ke atas memudahkan ikan jenis ini menangkap serangga atau makanan yang jatuh ke air. Karakter mereka yang ceria serta lincah membantu “membawa” spesies yang lebih tertutup ke tempat terbuka.

Pada bagian tengah akuarium, saya suka menempatkan jenis Tetra yang suka hidup berkelompok seperti Neon Tetra, Penguin Tetra, Glowlight Tetra, dan Harlequin Rasbora. Jenis Discus, pun Angel Fish, senang berada di bagian ini, keelokannya akan menjadi pusat pandangan (center-of-view). Sementara di bagian bawah saya menempatkan jenis omnivora semacam Otocinclus yang bekerja 24 jam/hari membersihkan lumut di kaca, batu, dan dedaunan (algae eater). Beberapa jenis keong yang juga pemakan lumut bisa ditambahkan untuk melengkapi jaringan kehidupan di dalam sebuah akuarium.

3. Siklus nutrisi dan energi ada di sebuah akuarium:
1. Pakan diberikan ke ikan.
2 & 3. Amonia hasil metabolisme ikan diproses bakteri nitrifikasi.
4. Nitrat diserap tumbuhan air.
5. Air menguap dari permukaan air akuarium.
6. Cahaya matahari diserap tumbuhan air.
7. Detritivora memakan feses ikan dan bagian tumbuhan yang telah mati.
8. Tumbuhan air melepaskan oksigen.
9. Tumbuhan air menyerap karbon dioksida.
Sumber: Wikipedia.

Ekoliterasi, masa depan kehidupan
Dari sebidang kebun, atau sebuah akuarium, kita bisa belajar bahwa alam menopang kehidupan dengan cara menciptakan dan memelihara komunitas. Tak ada organisme apa pun yang bisa mewujud dalam keterasingan. Hewan bergantung pada fotosintesis tanaman untuk kebutuhan energinya; tanaman bergantung pada karbon dioksida yang dikeluarkan oleh hewan, juga pada nitrogen yang secara tetap diproses oleh bakteri di dalam akar-akarnya; serta secara bersama-sama tanaman, hewan, dan mikroorganisme mengendalikan seluruh biosfer serta menjaga kondisinya agar kondusif bagi kehidupan.

Dan dari Capra, saya belajar memahami bahwa sesungguhnya keberlangsungan kehidupan bukanlah monopoli individu-individu, melainkan peran-serta seluruh jaringan yang terhubung. Dan senantiasa melibatkan keseluruhan masyarakat. Inilah pelajaran penting yang bisa dipetik dari alam. Yaitu bahwa cara untuk bertahan hidup adalah dengan membangun dan merawat kehidupan bermasyarakat. Komunitas manusia berinteraksi dengan komunitas lain—baik komunitas manusia atau pun bukan—dengan cara yang memungkinkan mereka bisa hidup dan berkembang sesuai dengan sifat alaminya masing-masing. Kesinambungan tidaklah berarti bahwa segala sesuatu dalam keadaan tidak berubah. Tetapi adalah jalinan proses berevolusi bersama (co-evolution) yang bersifat dinamis, bukan suatu keadaan yang statis.

Fritjof Capra menulis, matinya kupu-kupu di Singapura berpengaruh terhadap iklim di Amerika. Antropolog sosial Gregory Bateson menyebut ada jejaring keterhubungan di antara kita. Thich Nhat Hanh mengajarkan, kita adalah daun-daun berbeda dari pohon yang sama, bintang-bintang berbeda dari langit yang sama. Daniel Goleman menyebutnya Ecological Intelligence.[2]

Dalam beberapa dekade mendatang, kelangsungan hidup manusia akan ditentukan oleh kemampuannya dalam membaca ekologi (ekoliterisme)—kemampuan untuk memahami prinsip-prinsip dasar ekologi, dan hidup sejalan dengannya. Ini berarti bahwa ekoliterasi harus menjadi keterampilan kritis bagi politisi, pemimpin bisnis, dan profesional di segala bidang, dan harus menjadi bagian terpenting dari pendidikan di semua tingkat—mulai dari taman kanak-kanak, sekolah dasar dan menengah hingga perguruan tinggi, universitas, serta berbagai pendidikan dan pelatihan keahlian, juga menjadi bacaan di masa pensiun.

———
[2] Id.

———
Referensi

Cosmos: A Spacetime Odissey. National Geographic Channel. 

Fritjof Capra. The New Facts of Life. EcoLiteracy, ecoliteracy.org

***

[Bersambung »]

Quoted

Makin banyak manfaat, makin sedikit dampak, makin baiklah desain itu

Arief Adityawan S.