Memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional Indonesia: Peluncuran Online Buku “I See Indonesia”

ina-salam-pembuka1

350 tahun (konon) Indonesia dijajah Belanda, dan 100 tahun usia Kebangkitan Nasional Indonesia. Apakah secara matematis kita perlu 150 tahun lagi untuk “murni” merdeka dan mengimpaskannya? Bicara Indonesia sebetulnya bagi saya “menakutkan” apalagi bicara nasionalisme atau patriotisme. Seakan kata itu menjadi barang langka bahkan cenderung elitis dan sakral. Atau malah kamuflase karena banyak yang memanipulasi artinya? Wallahualam.

I See Indonesia, sebuah buku yang menawarkan sesuatu yang soft & light untuk menyudahi “kengerian” membicarakan Indonesia, patriotisme dan nasionalisme. Ada 50-an visual yang dibuat Ayip semenjak 2002 mengenai Indonesia yang dibukukan dan diluncurkan bertepatan dengan peringatan 100 tahun Kebangkitan Nasional Indonesia 20 Mei 2008. Dan buat melaunchingnya, situs Desain Grafis Indonesia adalah virtual venue yang menjadi tuan rumahnya. Selamat menikmati…dan mudah-mudahan menjadi Merdeka.


ABOUT

I See Indonesia adalah sekumpulan visual mengenai Indonesia yang dibuat oleh Ayip pada kurun 2003-2008 sebagai karya pribadi yang dikerjakannya dalam beragam medium dan gaya. Dikompilasi dalam sebuah buku yang secara perdana diluncurkan online bertepatan dengan peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional Indonesia. Edisi khusus versi cetak dibuat hanya 100 buku dengan isi 53 karya dalam 100 halaman berwarna hitam, merah dan putih.

Karya yang ditampilkan dalam buku ini merupakan respon terhadap Indonesia yang menjadi kebanggaan sekaligus kegelisahannya. Dituangkan dalam bentuk visual yang tipografis, karikaturis, grafis, bahkan fine arts. Dan Ayip lebih senang menggolongkannya sebagai visual arts. Seperti yang disampaikan dalam pengantarnya, karya-karyanya sangat subyektif dan dipenuhi nuansa romantis. Bukunya yang pertama ini didedikasikan untuk para desainer Indonesia dan ADGI.

TENTANG AYIP

Ayip hampir 20 tahun menggeluti dunia visual lewat desain komunikasi visual, kini walau posisinya sebagai creative director di Matamera Communications yang dirintisnya di Bali semenjak 1991, namun ia masih setia berkarya dengan profesi desainer yang dicintainya. Pertemanannya dengan berbagai profesi seni dan kreatif membentuk cakrawalanya dalam dunia seni menjadikan sebuah pemahaman semakin tidak ada batas diantara bidang seni selain sebuah medium kreatifitas untuk berkarya, berekspresi dan mengkontribusikannya untuk kehidupan sosial.

Aktifitasnya dalam dunia desain dan visual tidak hanya ditunjukkan dalam pekerjaan namun ia aktif juga dalam aktifitas lain semisal pameran yang dalam tiga tahun terakhir diikutinya termasuk pameran poster internasional “Light of Hope for Indonesia” Agustus 2005 dan “One Globe One Flag” Agustus 2007 serta pameran seni untuk climate change di GWK Desember 2007. Karyanya bersama tim dari Matamera mendapat beberapa award di ajang Pinasthika Ad Festival.

Beberapa partisipasinya dalam proyek lingkungan yang tengah dikerjakannya adalah kampanye World Silent Day dan Jaringan Ekowisata Desa di Bali. Kini bersama teman-teman lain di Bali membentuk Bali Now! dan bersama BEDO serta asosiasi profesi tengah terlibat dalam program komunitas kreatif di Bali merespon kebangkitan Indonesia melalui industri kreatif. Selain itu aktif menjadi anggota Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) dan Asosiasi Desain Grafis Indonesia (ADGI).


FOREWORD

I See Indonesia
Pengantar Karya Oleh Ayip

Isi buku ini, awalnya adalah koleksi lepasan karya pribadi yang dituangkan suka-suka dalam goresan, foto maupun desain. Membiasakan merespon sesuatu apalagi kejadian barangkali yang melatari hadirnya karya-karya diluar pekerjaan mendesain atau non komersil ini. Bagi saya kebiasaan ini penting sebagai catatan bebas merespon sesuatu lewat kepekaan dan kacamata profesi.

Indonesia, entah apa rasanya bagi saya. Saya menjadi orang Indonesia secara otomatis karena dilahirkan di Indonesia, karena orang tua saya adalah orang Indonesia. Jadi apa rasanya? Saya tidak pernah bergerilya menghunus bambu runcing. Satu-satunya momen yang melekat merasa pertamakali menjadi orang Indonesia adalah upacara bendera di sekolah dasar dulu. Menyanyikan lagu Indonesia Raya, membacakan teks Pancasila dan proklamasi, membacakan teks sumpah pemuda dan menghormat kepada bendera merah putih.

Kegalauan menjadi orang Indonesia justru terjadi ketika melihat kepiluan mendalam merasakan ketidaksempurnaan sebuah bangsa: oknum pemerintahan dan mentalitas bangsa yang korup, kebijakan pemerintah yang tidak strategis, asset bangsa “dicuri” orang, mudah “dibodohi” bangsa lain dan sulit “bangkit” dari keterpurukan. Pada suatu ketika di sebuah perjalanan di negeri orang tiba-tiba mata saya berkaca. Pedih karena tiba-tiba terbesit “negative thinking” merasa bahwa ini barangkali adalah nasib bangsa Indonesia. Atau barangkali suratan? Mudah-mudahan hanya romantisme saja. Dan saya memilih ini adalah nasib karena dengan upaya ia bisa berubah…

Semua yang saya buat disini -dibuat dalam kurun 2002-2008- terutama ditujukan kepada diri sendiri, sebagai pertanyaan, kemungkinan dan andai-andai bahkan “hiburan”. Gambar diri yang ditutup matanya oleh “kain merah putih” yang ditaruh pada halaman utama adalah cermin “Saya Melihat Indonesia” yang tak berjarak. Terbutakan. Dan sangat subyektif. Itulah cerminan semua karya yang tampil bersama dalam buku ini.

Jika akhirnya harus dipublikasikan anggap saja saya merindukan percakapan tentang Indonesia yang “berbeda”, yang dapat menegaskan kembali arti penting kebangsaan bagi kita semua secara “out of
mainstream”. Jika ternyata kegelisahan ini dimiliki oleh banyak orang yang sama seperti saya, Alhamdulillah.

Berpikir tentang kekayaan Indonesia; alam, seni dan budaya, manusia, kreatifitasnya, luasnya dan berjuta potensi lainnya, inilah yang menjadikan ketidaknyamanan melihat kenyataannya. Will I see Indonesia in the bright time? Suatu saat saya ingin tergetar seperti ketika saya mengolah kedahsyatan dan keindahan kata In-do-ne-sia, kekuatan merah-putih dan Burung Garuda serta keragaman gambar Indonesia dalam karya-karya di buku ini. Thanks God I’m Indonesian.

Secara tidak sengaja, buku ini diterbitkan bertepatan dengan peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional Indonesia. Mudah-mudahan menjadi manfaat, inspirasi dan benih untuk kita lebih berarti.

Denpasar Mei 2008


• Cover

ina-cover1


• Read Indonesia (RI)

As One?

As One?

Read Indonesia

Read Indonesia

Fighting for Freedom

Fighting for Freedom

Take A Rest

Take A Rest

For Lease 100 Years

For Lease 100 Years

Mendung Tapi Gagah

Mendung Tapi Gagah

Entering Bright Zone

Entering Bright Zone

Magic Words

Magic Words


• Ind[oh]nesia (OH)

Love Hope

Love Hope

SuperSmart

SuperSmart

To Make It Bright

To Make It Bright

Current Culture Climate

Current Culture Climate


• Only1ndonesia

Only1ndonesia

Only1ndonesia

Hospitality. Only1ndonesia

Hospitality. Only1ndonesia

Bali. Only1ndonesia

Bali. Only1ndonesia

People. Only1ndonesia

People. Only1ndonesia

Borobudur. Only1ndonesia

Borobudur. Only1ndonesia


• I do Indonesia (Type)

I Love Ina

I Love Ina

What Have We Been Done For Indonesia?

What Have We Been Done For Indonesia?

Together In One Indonesia

Together In One Indonesia

Indonesia 100%

Indonesia 100%

All Love Indonesia

All Love Indonesia

Keep It Balance

Keep It Balance

CanSnap

CanSnap

Do It Right

Do It Right

Jangan Omong Doang

Jangan Omong Doang

Merdeka 100 km

Merdeka 100 km

Make It Easy

Make It Easy

Stairway

Stairway

Yes Indonesia!

Yes Indonesia!


• Presidential Suite

Caution: Drive Carefully

Caution: Drive Carefully

Dicari: Pemimpin Masa Depan

Dicari: Pemimpin Masa Depan


CLOSING WORDS

MENGGALI DAN MENGINTERPRETASI KEMBALI SIMBOL KEINDONESIAAN
Oleh: Sugi Lanus

Buku ini adalah ‘reproduksi simbol’. Deretan huruf I-N-D-O-N-E-S-I-A, Garuda Pancasila, Batik, Borobudur, bambu runcing, etc. adalah deretan symbol keindonesiaan yang telah ada, yang mulai kehilangan makna simboliknya, di sini dipresentasikan kembali dengan cara baru, digali kembali dengan ‘perangkat visual’ yang mampu mencampuradukkan Cinta dan Kesedihan, Harapan, Kelakar, Kegalauan sekaligus Kebanggaan. Simbol-simbol itu diberi ‘nyawa baru’, reinterpretasi secara aktual, dan dijejalkan ke dalamnya segumpal harapan.

Ayip, sebagai pekerja kreatif di bidang desain visual yang hidupnya sebagian besar di depan screen computer, membawa kita merenungi Indonesia dengan ‘cara visual’. Ia menyuguhkan sebuah presentasi tentang sebuah Indonesia dari sudut lain. Layar computer adalah tempatnya merenung, bersedih, haru, berkelakar, dan dengan cara ini pula ia mencintai – yang akhirnya, lewat buku ini, ia mengajak kita ke halaman-halaman renungan.

Bisakah tampilan ‘visual keindonesiaan’ yang dipresentasikannya mewakili gelisah dan kecamuk perasaan warga bangsa? Bertepatan dengan 100 tahun ide Kebangkitan Indonesia, bertepatan dengan tercerai-berainya ide-ide mulia bertanah air satu dan untuk bersama menuju kebangunan jiwa, bertepatan dengan hilangnya makna dan terkaitan masyarakat Indonesia dengan symbol-simbol kebangsaan kita, sekumpulan ekspresi yang dihimpunnya sebagai buku ini terasa relevan.

Lihat saja ‘Indonesia yang terjemur-tergantung’, For Lease 100 Years. Pulau-pulau besar di Indonesia seperti jemuran pakaian di kawasan urban. Katulistiwa menjadi tali, dan Indonesia berkibar tergantung. Katulistiwa bukan lintasan matahari yang berkilau, tapi arakan mendung yang pucat. Demikian juga On Regular Maintenance, lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia, berupa Garuda Pancasila, sedang dipreteli. Perisai tergeletak. Lima symbol pada perisai sedang digantung (dijemur ataukah diobral?). Apa maksud Ayip dengan kepulauan dan simbol-simbol negera yang tergantung ini? Kata tergantung dalam bahasa Indonesia bisa bermakna depend on, bisa juga bermakna hanging, dua situasi yang tidak berpunya kekuatan untuk memilih, cenderung pada kekuatan dari luar untuk menentukannya. Rentan basah diguyur badai, rentan tersapu angin, rentang koyak porak poranda.

Ayip menyuguhkan kembali heroism bamboo runcing, yang mulai terlupakan dan tergantikan heroism Robo Cop atau Superman. Bambu runcing mewakili situasi pejuang kemerdekaan Indonesia yang minim persenjataan, sehingga sebagian besar laskar sering terpaksa bersenjata bambu yang diruncingkan (atau sering disebut pasukan bambu runcing). Bambu runcing, untuk setidaknya 4 dekade, menjadi imaji paling heroic yang tertanam di kepala masyarakat Indonesia. Buku-buku pelajaran sekolah, dari SD sampai SMA, tentang sejarah kemerdekaan tak lepas dari drawing atau sket bambu runcing: Seorang pejuang yang gagah berani memegang bambu runcing menerjang tak gentar ke medan perang. Ada Merah Putih terkait di bambu itu. Film-film yang berkisah tentang kemerdekaan Indonesia seperti Janur Kuning, Serangan Fajar, sampai yang terkini, Naga Bonar, masih menyuguhkan panji-panji kepahlawanan yang dicitrakan dengan bambu runcing. Bambu runjing adalah tombak alami masyarakat Nusantara, yang konon, paling membuat bergidik bangsa Belanda. Termaktud di dalamnya juga sebuah keyakinan, sekebal apapun seseorang akan punah ilmunya diujung bambu. Dalam benak Ayip ada juga bambu runcing. Ia mencita-citakan bambu ini tergantikan oleh pencil. Di ujung runcing bambu, ia memberi caption ini: Fighting for Freedom, berlatar gelap. Di sebelahnya, sebuah pensil runcing dengan kemiringan yang sama, ketajaman yang sama, berlatar terang, bercaption: Freedom of Fighting.

Runcing bambu (alat pembunuh) menjadi runcing pencil (alat pencerah) adalah sebuah presentasi ide yang berhasil menyuguhkan sebuah cita-cita dan arah progresivitas kebangsaan yang ideal. Ada ‘formula kebangsaan’ yang hendak disuguhkan dalam beberapa halaman-halaman (terpenting) buku ini: dari pekik ‘merdeka atau mati’ menuju ‘intelektualitas’ serta ‘kebebasan berekspresi; dan sebuah asa ‘habis gelap terbitlah terang’.

Ayip mengidamkan arah perjalanan bangsa ini dari bambu berdarah (kekerasan), yang identik dengan slogan ‘merdeka atau mati’, ke wilayah pensil penanda ‘kebebasan berekspresi’ dan pendidikan. Sementara, pencil juga adalah penanda ‘pendidikan’. Kitapun diajak terkenang pada surat-surat Kartini yang ditulis dengan ‘pencil’.

Kartini, sebagai seorang perempuan Jawa yang terjepit sangkar feodalisme, ia memimpikan kesetaraan antar peremuan dan laki-laki dalam mendapat akses pendidikan, sangat terkenal dengan kumpulan ‘mimpi’ dan cita-citanya dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang. Suatu hari di tahun 1900 Kartini menulis: “Andai aku anak laki-laki, aku tak akan berpikir dua kali untuk segera menjadi seorang pelaut.” Pelaut adalah lambang kekebasan merengkuh samudera tanpa batas. Ia memimpikan sekolah untuk para perempuan. Semenjak era itu seorang perempuan telah bersenjata ‘pencil’, mengekpresikan pikiran dan idenya. Dia menulis surat untuk sahabatnya di negeri Belanda. Surat menyurat antara Jepara (Jawa) dan Belanda ini, menggambarkan bagaimana ‘relasi’ Barat-Timur. Memecah tembok antar penjajah dan terjajah, dan selanjutnya memecah tembok tebal laki-perempuan, cikal bakal renungan kesetaraan dan akses pendidikan untuk semua. Keyakinan bahwa dengan ‘pencil’ (yang berasosiasi dengan pikiran, ekpresi, kecerdasan, bukan otot atau jenis kelamin) sebagai jalan dan tujuan dari kemerdekaan telah ditampilkan Kartini. Ah, barangkali Kartini akan senang, seandainya sempat melihat abstraksi Ayip yang digambarkan dengan bendera Merah Putih diikat di ujung pencil, bukan bambu runcing sebagaimana gambaran perang kemerdekaan yang ada dalam film atau buku ajar sekaloh. Pencil lebih mencintrakan keteduhan dan kelembutan, dibanding bambu runcing yang mengesankan ‘phallus’, sangat laki-laki.

Dalam halaman lain, dengan Entering Bright Zone, Ayip kembali mengulang ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’. Garuda Pancasila meluncur dari layar hitam ke putih. Sebuah gambar hitam putih, yang membawa haru, bukan gemerlap. Pada ‘kontruksi’ lain, huruf I-N-D-O-N-E-S-I-A telah ‘di-reproduksi’ menjadi menjadi tangga naik. Sebuah gambaran yang merangkum, barangkali, seluruh harapan rakyat Indonesia akan bangsanya.

Ada beberapa karya dalam buku ini yang menyuguhkan rasa ‘karikatural’, tapi tetap di dalamnya ada kedalaman, ada keseriusan dalam ‘menimbang bangsa’. Tumpukan jengkel dan muram, kebimbangan, bercampur harapan, cukup terasa di sana sini. Layar computer, bagi Ayip, telah menjelma menjadi ‘layar pergulatan’, layar pertarungan harapan dan kesegalauan. Sangat jelas, Ayip bukan orang yang pesimis. Hampir dalam semua pergulatannya, ia tetap berusaha menyisipkan harapan. Harapan, kata inilah yang barangkali akan membuat bangsa ini tetap utuh.

Apa yang sedang diusahakan Ayip? Di tengah situasi simbol keindonesiaan yang merapuh, terkoyaknya harapan, dan kaburnya makna kata kepahlawanan, Ayip menggalinya dengan ‘reproduksi simbol’ keindonesiaan dari ‘apa yang ada’. Ayip, sadar atau tidak sadar, sedang membangkitkan mumi, simbol-simbol yang lama kehilangan bunyi. Walaupun kadang ada kemangkelan, pedih dan haru, HARAPAN & CINTA di balik semua karyanya penting untuk kita simak. Dan, sekalipun (terlalu) sering kita kecewa dengan (pemimpin) bangsa ini, Ayip seakan mengajak kita mempertahankan harapan, ia memberi contoh bagaimana ‘jengkel dengan cara artistik’, bukan membakar ban di jalanan.

Sugi Lanus adalah peneliti budaya yang bekerja secara independen.


ACKNOWLEDGEMENTS

Buku ini adalah keajaiban. Memutuskan menjadikan kumpulan karya ke dalam sebuah buku adalah pekerjaan sukar dibayangi rasa “bersalah” mempublikasikan karya sendiri di tengah pekerjaan kebiasaan mempublikasikan hasil karya orang lain. Tapi atas dorongan para karib demi “membagi sudut pandang” sebagai oknum yang mengakrabi visual dan desain -katanya begitu- buku ini penting diadakan.

Dan tidak diragukan lagi bahwa keberadaannya merupakan anugerah Yang Maha Kuasa dengan didorong oleh semangat sang istri dan ananda tercinta Aty + Khaka, keluarga Matamera Communications juga campur tangan yang hebat dari Sugi Lanus, M. Bundhowi, Somadita, Toio, Warih, Riki Damparan, Rido Najemi, Agus Wartajazz + Jalamaya, cyberandal.net dan sahabat Hanny Kardinata dan situs DGI.

Buku ini saya dedikasikan untuk para desainer di Indonesia dan ADGI sebagai bagian dari perjuangan profesi kita bersama dan tentunya bagi orang tua saya yang telah menjadikan saya sebagai bangsa Indonesia sedari lahir juga saudara senasib bangsa Indonesia.

Tak terlupakan mereka yang mendedikasikan waktu dan semangatnya dengan kritik dan saran yang membangun juga dorongan moril termasuk materil: Yoke Darmawan – D&A Associates, Ratna Murti – Arkadena, Jeff & Chris – BEDO, Dan para sahabat inspiratif saya: Kang Irvan Noe’man, Pak Guntur Santosa, Yoka Sara, Ketut Siandana, Popo Danes, Gatot Surarjo, Putu Adi, Frans Nadjira, Made Budhiana, Suardi, serta banyak lagi yang barangkali saya tak mengingatnya saat ini.


PUBLISHER

MatameraBook adalah penerbit indie yang menerbitkan karya-karya terkait dengan seni dan budaya dan utamanya berbasis di Bali. Dirintis 1999 untuk menggairahkan penerbitan yang berbasis komunitas serta mendorong publisitas karya-karya berkualitas. Saat ini tengah mempersiapkan 2 buku arsitektur dan satu buku mengenai ekowisata di Bali.

Buku buku yang pernah diterbitkan antara lain:

1. A Bonsai’s Morning – Antologi puisi, 1996
2. Springs of Tears, Springs of Fire – Kumpulan puisi Frans Nadjira dalam dua bahasa. Diedit dan diterjemahkan oleh Tom Hunter Jr
3. Mangu Putra; Nature, Culture, Tension, Arif Bagus Prasetyo & Jezz Gallery.
4. Popo Danes – Arsitektur Sinkretik, 2001
5. Bali Dalam Dua Dunia, bekerjasama dengan museum Kulturen Der Basel, diedit oleh Urs Ramseyer dan Panji Tisna,
6. Bercakap-cakap Di bawah Guguran Daun-daun – Kumpulan cerita pendek Frans Nadjira
7. Stephan Spicher – Eternal Line, Trilogi karya pelukis Stephan Spicher Switzerland, 2005
8. Curriculum Vitae – Kumpulan puisi Frans Nadjira dalam Bahasa Inggris & Indonesia, 2007
9. Ekowisata Desa: Memiliki Kembali Bali, bersama Wisnu Press, 2008


BOOK ORDER

Cara memesan buku I See Indonesia bisa dilihat pada: I See Indonesia.


Ref: Ayip/Matemera CommunicationsI See Indonesia

Quoted

The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life

Surianto Rustan