Historiografis Desain Grafis

“Perjalanan desain grafis Indonesia adalah perjalanan anak bangsanya; bisa mencengangkan, mengagumkan, dan terkadang mengharukan. Mempelajari sejarah desain grafis sama dengan membaca peradaban.” — Hanny Kardinata

 

Akhirnya terbit pula buku yang membaca dunianya sendiri. Desain grafis. Sebuah buku yang mendeskripsikan desain grafis Indonesia secara rapi berdasarkan garis waktu. Desain grafis menjadi begitu seksi dalam tampilan buku ini. Desain grafis Indonesia bukan saja sekadar identitas, melainkan telah memiliki posisinya sebagai suatu entitas dalam pusaran desain grafis dunia. Buku yang tebal dengan tampilan yang begitu rapi ini mendapatkan apresiasi positif dari desainer grafis di Indonesia. Mereka ikut berpartisipasi dalam membuat artwork di halaman separator bab. Jadilah buku yang menarik dibaca dalam pembabakan sejarah desain grafis di Indonesia setiap lembarnya.

Menarik untuk menyimak halaman sisipan yang ditulis oleh Antariksa. Menurutnya, sejarah mencatat bahwa desain grafis di Indonesia ikut andil dalam perjuangan bangsa ini meraih kemerdekaan di tahun 1945. Setidaknya dalam perjalanan ke arah kemerdekaan itu, negara penjajah (Belanda dan Jepang) menjadikan desain grafis sebagai salah satu ujung tombak dalam melegitimasi penjajahan mereka atas Indonesia. Belanda bahkan mengenalkan dunia desain grafis dalam wujud penerbitan dan percetakan sebagai corong propaganda mereka. Tak heran jika pada tahun-tahun tersebut dunia desain grafis beserta percetakan dan media massa di Indonesia sudah sangat berkembang. Koran dan majalah sudah lazim di akhir abad ke-19. Antariksa, peneliti dari Kunci Cultural Studies Center, menyatakan bahwa Jawa dan Sumatera telah menerima teknologi cetak karena perusahaan percetakan menjamur di kota-kota Jawa dan Sumatera.

Namun demikian, yang penting pula dicatat adalah istilah “desain grafis” sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri belum dikenal di Indonesia. Justru, praktik desain grafis telah melekat dalam praktik pembuatan koran, majalah, dan iklan. Istilah yang telah dikenal saat itu adalah “ahli reklame”, “ahli gambar”, atau “pembuat reklame”. Nah, saat Jepang datang untuk menjajah Indonesia, visi mereka terhadap media berbeda dengan yang dilakukan oleh negara kolonial dari Eropa dan Amerika Serikat. Antariksa mencatat bahwa negara kolonial seperti Eropa dan Amerika Serikat memandang media sebagai alat propaganda untuk mengelabui massa, sedangkan Jepang memandang media sebagai sebuah ajakan untuk terlibat mewujudkan cita-cita bersama sebuah bangsa. Paparan Antariksa mengenai bagaimana Jepang turut andil dalam perkembangan desain grafis di Indonesia menjadikan buku ini kian kaya, terutama seni poster, di samping juga penerbitan majalah dan koran.

 

Mengharukan yang Miris

Dalam catatan di pengantar buku ini, Hanny Kardinata, senior dalam dunia desain grafis di Indonesia mencatatkan larik seperti di bagian paling awal tulisan ini. Ada yang menarik di sana, yaitu kata “mengharukan”. Bagi saya, suasana seperti itu menggambarkan pengalaman Hanny Kardinata yang sarat historis dalam melihat perkembangan desain grafis di Indonesia. Mencengangkan dan mengagumkan dalam perkembangan desain grafis di Indonesia yang makin mendunia cukup membuktikan bahwa profesi ini bukanlah profesi yang main-main.

Namun, dalam pandangan saya yang akademis, ada yang miris. Masih terkait dengan “mengharukan”, ada yang menarik untuk dikaji terutama dalam hubungan antara industri desain grafis dengan akademis. “Mengharukan” di sini dapat dikonotasikan sesuatu yang menyedihkan. Bagaimana tidak? Saya membayangkan bagaimana usaha membuka ruang dari Hanny Kardinata agar karya desainer grafis Indonesia bisa mendapatkan posisinya di desain grafis dunia ternyata tidak bisa berjalan mulus. Salah satunya adalah usaha Hanny dalam memasukkan karya desainer grafis dari kampus-kampus di Indonesia dalam :output (hlm. 212). Hanny yang diminta menjadi salah satu editor dalam buku tahunan mahasiswa-mahasiswa desain terpilih dari seluruh dunia itu hanya bisa melihat karya desainer kampus di Indonesia hanya dapat bertahan hingga terbitan keempat. Pada terbitan kelima dan seterusnya, kiriman karya dari mahasiswa desain di Indonesia tersendat dan begini pernyataan Hanny Kardinata dalam buku ini: “Belakangan, ketika kebetulan saya melihat pratinjau :output edisi ke-13 (2010), saya menjumpai peta desain grafis dunia yang tidak lagi mencantumkan negara Indonesia di dalamnya.” Begitu miris. Bagi saya, ini “mengharukan” yang sebenarnya.

Apakah tidak ada mahasiswa desain grafis Indonesia yang keren? Apakah tidak ada mahasiswa desain grafis yang layak masuk dalam peta dunia? Ke mana karya-karya tugas akhir mereka yang kerap dipamerkan di luar kampus itu? Pasti ada karya mahasiswa desain grafis Indonesia yang keren. Hanya saja, dalam konteks waktu, bisa jadi sinergi antara pelaku desain grafis dengan akademis yang berhubungan langsung dengan mahasiswa tidak berjalan harmonis. Begitu berjarak. Tidak mungkin juga bagi Hanny Kardinata untuk terus-menerus menagih karya-karya mahasiswa ke dosen-dosen DKV seluruh Indonesia. Pertanyaan kemudian adalah ke mana dosen-dosennya saat itu? Ini yang saya sebut saat itu bisa jadi jarak begitu lebar antara desain grafis Indonesia sebagai entitas (kebutuhan) dengan kesepahaman dunia akademis yang mungkin masih berkutat dalam dimensi “menara gading”.

 

Desainer Grafis yang Bergotong-Royong

Kini, “mengharukan” dalam konteks yang berbeda adalah adanya usaha untuk bersinergi antara pelaku desain dengan akademis. Nah, beberapa usaha tersebut bisa dilihat dalam garis waktu yang dideskripsikan dengan menarik. Dalam hal ini bagaimana kiprah kampus-kampus desain dalam menghasilkan lulusan yang diproyeksikan akan turut serta dalam pusaran dunia.

Meski demikian ada yang terlewatkan dalam buku ini mengenai usaha praktisi (terutama dari Jakarta) dalam menanamkan virus kreativitas ke kampus-kampus. Sebut saja salah satu misalnya, Creative Circle Indonesia (CCI) di tahun 1998 yang merupakan kumpulan para Creative Director dari berbagai agensi periklanan di Jakarta yang menyediakan waktu dan tenaganya secara pro-bono mau terjun langsung ke dunia akademis ikut mengasah kemampuan mahasiswa. Beberapa waktu kemudian, dosen pun juga menjadi target mereka.

Saya masih ingat (meskipun mungkin juga ingatan saya ada kelirunya), bagaimana Jeanny Hardono, Gandhi Suryoto, Djito Kasilo, dan beberapa nama yang lain secara swadaya menumbuhkan daya kreativitas ke kampus-kampus. Begitu pula saya masih ingat ada poster tantangan ke mahasiswa terkait kegiatan yang mereka adakan yang bunyinya kurang lebih seperti ini: “Kalau Berani Menantang Soeharto, Beranikah Melawan Tantangan Ini?”. Poster ini terasa begitu menyengat pula dengan warna latar yang merah. Saya kira, keterlewatan peristiwa ini pasti akan terjadi karena memang Hanny Kardinata tidak berpretensi menuliskan sejarah secara komprehensif.

Buku ini masihlah jilid pertama. Seperti biasanya yang membuat ramai di bedah-bedah buku adalah keterlibatan sejarah mereka secara personal maupun kelompok. Seperti misalnya ada anggapan bahwa poros barat dan tengah begitu dominan dalam penelusuran sejarah desain grafis dalam buku ini. Mungkin hal ini tidak bisa dihindari karena perkembangan desain grafis ini tak bisa lepas dari poros Jakarta, Bandung, dan Jogja. Sejak di Indonesia timur (Surabaya, Denpasar, Malang, dan Makassar) di tahun 1998 juga memunculkan program studi Desain Komunikasi Visual, maka dengan perkembangan teknologi dan aktifnya mahasiswa desain di segala penjuru Indonesia, perlu ada pendokumentasian dan pengarsipan lanjutan agar buku ini benar-benar menjadi entitas perihal desain grafis Indonesia. Itulah jilid berikutnya. Meski demikian, usaha Hanny Kardinata dan kawan-kawan dari DGI patut diapresiasi setinggi-tingginya sebagai upaya mengumpulkan remah-remah yang terserak. Masih banyak remahan lain yang bersiap untuk dirangkai terutama bagi penelitian-penelitian lanjutan terkait sejarah desain grafis Indonesia. Salut! … Tak henti-hentinya saya merinding membuka halaman demi halamannya untuk dibaca.

 

Judul : Desain Grafis Indonesia dalam Pusaran Desain Grafis Dunia
Penulis : Hanny Kardinata
Tebal : 280 halaman + xxvii
Penerbit: DGI Press
Tahun : 2016

 


 

dgidpdgd-review-obedbima

Penulis adalah Dosen Desain Komunikasi Visual UK Petra Surabaya. Paparan ini disampaikan dalam bedah buku di Bharatika Creative Design Festival, Balai Pemuda Surabaya, 15 Maret 2016.

 

Quoted

If your creativity is not your passion, there won’t be passion in your creativity.
Be passionate… and never sell yourself cheap

Lans Brahmantyo