Resensi Buku: SEMIOTIKA KOMUNIKASI VISUAL

sampul-semiotika-komvis1

SEMIOTIKA KOMUNIKASI VISUAL
Sumbo Tinarbuko
Yogyakarta: Jalasutra 2008
118 halaman

 


 

Buku ini, selain untuk isteri dan kedua anaknya terkasih – Dhanie, Angger dan Rayi, dipersembahkan pula kepada Yasraf Amir Piliang – “guru bangsa” dan “teman sejati” yang membangunkan sang pengarang dari tidurnya yang panjang demi mengemban tugas sosial untuk memelihara, mencatat dan mengelola tanda serta makna yang terkandung dalam desain komunikasi visual. Pak Yasraf, sang Guru Posmoderen dan Semiotika dalam desain dan kebudayaan yang sangat produktif ini memberikan kata pengantar – yang selalu menarik. (Sumbo Tinarbuko)

Menurut Yasraf:

“Sebagai sebuah upaya interpretasi, Sumbo di sini sedang menawarkan sebuah ‘kebenaran’ tentang semiotika komunikasi visual, di samping ‘kebenaran-kebenaran lain’ (the other of truth) yang ditawarkan oleh para penulis lain, dengan argumen, nalar dan sistematika yang dikembangkannya masing-masing. Dalam hal ini apa yang ditawarkan Sumbo adalah sebuah ‘kebenaran relatif di hadapan kebenaran-kebenaran lainnya, bukan kebenaran tunggal” (hlm IX).

Polysemi atau banyak makna, memang adalah salah satu esensi semiotika sebagai ilmu untuk menafsir tanda. Apabila penafsiran tanda dipersempit menjadi sebuah penafsiran tunggal yang otoriter, maka itu adalah sebuah pertanda akan akhir dari tanda dan ilmu tanda. Sebaliknya yang muncul hanyalah propaganda dan kekerasan simbolik – yang pernah kita rasakan selama tiga dasawarsa lebih dalam represi rezim Orde Baru.

Buku Semiotika Komunikasi Visual (SKV) terdiri dari lima bab (termasuk pendahuluan dan penutup) – sehingga cukup ringkas dan tidak bertele-tele untuk dibaca. Bab pertama pendahuluan, bab kedua membahas teori Semiotika, bab ketiga teori Desain Komunikasi Visual, bab keempat berupa analisis tanda dan makna karya Desain Komunikasi Visual (DKV), dan penutup pada bab kelima.

Pada bab Pendahuluan pengarang secara komprehensif menjelaskan beberapa definisi tentang DKV yang diungkapkan oleh beberapa akademisi desainer, seperti misalnya: Widagdo, AD Pirous, Umar Hadi, T. Sutanto, dan lain sebagainya. DKV merupakan perpanjangan tangan dari Desain grafis plus (plus desain iklan dan desain multimedia). DKV menurut Pirous, merupakan bahasa yang bertugas membawa pesan dari satu pihak kepada pihak lain. Sebagai bahasa, efektivitas penyampaian pesan menjadi pemikiran utama sehingga seorang desainer harus tahu betul seluk beluk pesan yang ingin disampaikan. DKV akan sangat berkesan bila pesan yang disampaikan bersifat unik dan mudah dibedakan dari pesan di sekitarnya.

Bab dua membahas tentang Semiotika – ilmu tentang tanda dan pemahaman berbagai istilah yang digunakan dalam Semiotika. Karena DKV pada dasarnya adalah sebuah bahasa (visual) maka penggunaan Semiotika menjadi penting untuk memahami secara kritis sebuah desain. Dalam buku ini Sumbo menggunakan teori Peirce untuk membahas ikon, indeks, dan simbol, Barthes – untuk memahami kode-kode , dan Saussure untuk melihat makna denotatif dan konotatif. Selain juga Sumbo menggunakan cara analisis semiotik yang digunakan oleh Judith Williamson dalam membahas iklan. Semiotika sendiri sebagai ilmu tentang tanda, pada dasarnya tidaklah mudah untuk dipahami. Begitu banyak istilah dan pengertian yang digunakan oleh berbagai ahli Semiotik, sehingga pembaca harus melambatkan laju perjalanannya dalam membaca bab dua ini.

Pada bab tiga, bab yang paling penting, dibahas berbagai iklan layanan masyarakat (ILM), desain grafis untuk t-shirt dari perusahaan DAGADU, rambu lalulintas pariwisata Jogya, serta logo event 50 tahun Semen Gresik.

Pemilihan obyek obyek desain yang berjumlah belasan ini tampaknya sengaja dipilih untuk menjelaskan melalui contoh bagaimana menganalisis tanda dengan metode Semiotik. Keragaman media desain yang dipilih juga menunjukkan bahwa semiotik mampu digunakan untuk menganalisis berbagai jenis media dalam desain grafis atau sekarang disebut DKV.

Manfaat mempelajari Semiotik sesungguhnya tidak saja sebagai pisau bedah dalam kritik desain, namun juga membantu desainer grafis agar lebih peka dalam memahami konteks sosial budaya dalam setiap proses perancangan grafis. Semiotik, atau ilmu tanda ini sendiri sebenarnya bukan berasal dari ranah desain atau seni rupa tetapi berasal dari ilmu humanioral, khususnya sastra dan filsafat – dengan dua tokoh utamanya Ferdinand du Saussure dan Charles S. Peirce. Dalam dunia penelitian akademik, Semiotik seringkali diragukan keilmiahannya mengingat ilmu ini memusatkan diri pada urusan tafsir-menafsir. Menafsirkan suatu tanda seringkali dicurigai melulu urusan subyektif dari si penafsir – sehingga tidak pernah punya tolok ukur yang eksak. Namun sebaliknya, menurut para pengguna Semiotik, keunggulan ilmu tanda ini justeru karena mampu menafsir atau membongkar selubung ideologi dan “virus akal-budi” yang disembunyikan dalam pesan-pesan visual secara tersamar tanpa dapat dilacak oleh ilmu-ilmu sains yang eksak dan kuantitatif. Misalnya saja, bagaimana membongkar adanya “virus” diskriminasi jender dalam pesan yang disampaikan melalui iklan-iklan di media massa.

Sumbo, sang kandidat doktor UGM, menulis cukup komprehensif dengan wawasan yang cukup lengkap, serta mengemasnya secara sederhana sehingga penting untuk dibaca oleh mereka yang ingin terus memperdalam “ilmu bedah” desain grafis atau desain komunikasi visual. Memang ada beberapa catatan – misalnya tampilan desain-desain yang diteliti tidak prima akibat teknik cetaknya – namun secara umum buku ini mampu memuaskan dahaga kurangnya buku-buku desain grafis berbahasa Indonesia. Sudah selayaknya bila program studi DKV dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia mengundang Sumbo dan Yasraf A. Piliang untuk membedah buku karya Sumbo ini, serta membahas masalah semiotika dan perannya dalam dunia desain. Semoga setelah meraih gelar doktornya, dunia desain grafis akan disuguhi Sumbo Tinarbuko dengan buku-bukunya yang lain – demi terbentuknya profesi dan bidang keilmuan desain grafis yang lebih kuat.

 


Versi singkat dari resensi buku ini pernah dimuat di majalah Artmagz

Quoted

Makin banyak manfaat, makin sedikit dampak, makin baiklah desain itu

Arief Adityawan S.