Tipografi dalam Desain Grafis

ebbk1554big2

Penulis: Danton Sihombing
Ukuran: 16,5 x 24 cm
Tebal: 190 halaman
Terbit: Januari 2001
ISBN: 979-655-956-0; 21101956
Soft Cover

Pembahasan komunikasi visual lewat huruf dan aspek-aspek tipografi yang mendasar disajikan lewat sejarah perkembangan desain dan gaya huruf, teknik dan terminologi dalam tipografi hingga pedoman dasar penerapan tipografi dalam rancangan grafis. Di tengah langkanya penerbitan buku desain grafis di Indonesia, buku ini merupakan referensi yang baik bagi para peminat, siswa ataupun praktisi desain grafis di Indonesia. Buku pertama tentang tipografi yang diterbitkan di Indonesia ini akan memberikan pemahaman dasar terhadap masalah desain grafis dan tipografi. – Irvan A. Noe’man, President Director BD+A Design

Sumber: Gramedia Pustaka Utama

 


 

DANTON SIHOMBING

Situs Indographic.com menyebutnya “master tipografi Indonesia.” Salah seorang rekan sejawatnya pun mengomentari, ia salah seorang dari hanya sedikit di Indonesia yang benar-benar memahami tipografi secara cukup mendalam. Barangkali julukan itu karena buku yang ditulisnya dan terbit awal tahun 2001, Tipografi Dalam Desain Grafis, yang merupakan satu dari segelintir saja buku tentang tipografi berbahasa Indonesia yang pernah ada.

Selepas lulus dari program master di Savannah College of Art and Design, Georgia, AS, tahun 1997 lalu ia mendirikan sebuah firma desain bernama Inti Karya Komunika, atau Inkara pendeknya. Meski sejak lama menggemari tipografi, dan sejauh ini telah merancang empat buah font, mau tak mau perusahaannya bergerak di bidang desain umum, karena rasanya tak mungkin hidup dari mendesain font saja di Indonesia. “Mungkin suatu saat bisa, jika demand industri sudah cukup tinggi dan hak cipta dilindungi dengan baik,” angannya.

 
Buku

Meskipun begitu, obsesinya akan tipografi tetap tersimpan. Dan salah satu hasilnya tertuang dalam buku yang diajukan ke Gramedia dan berhasil diterbitkan oleh penerbit lokal terbesar itu. Buku ini termasuk unik karena selain topiknya, kertas dan cetakannya pun luks. Full color dan full art paper dari depan sampai belakang. Maka dari itu, harganya tak tanggung-tanggung, hampir 100 ribu rupiah per eksemplar! (Oplah cetakan pertama adalah 3000.) Termasuk mahal untuk ukuran buku lokal. Tapi setidaknya tetap jauh lebih murah daripada buku impor. “Memang sebuah buku desain harus representatif penampilannya,” jelas Danton pada pihak Gramedia. Untungnya Gramedia setuju.

“Saya rasa sudah saatnya dunia pendidikan desain grafis di Indonesia memiliki buku-buku yang dapat dijadikan referensi belajar. Buku-buku impor, selain mahal, juga kebanyakan yang ada di sini lebih cenderung mengarah ke picture book ketimbang buku konsep.”

Buku tipografi Danton adalah bukunya yang pertama, namun ia harap bukan yang terakhir. Mungkin saja suatu saat ia akan mengeluarkan buku lain mengenai desain grafis. Toh dunia buku tak lepas jauh juga dari tulisan dan tipografi. Buku pertamanya ini misalnya, dilayout sendiri olehnya. Untuk teks, Danton memilih Berling. Sementara tiga jenis face Formata dipakai untuk headline.

Buku ini bisa disebut masterpiece Danton yang pertama. Meski terbit tahun lalu, tapi sebetulnya naskah telah disiapkan mulai dari 1996. Tapi karena kesibukan kerjanya di Inkara dan IKJ, penulisan on dan off. Kendala pun banyak sekali dijumpai, produksi maupun nonteknis. Untunglah ada pihak-pihak yang membantu, seperti yang menyediakan film secara gratis.

“Alhamdullilah baik,” syukur Danton ketika ditanya mwmag soal respon masyarakat terhadap bukunya. “Tapi bagi saya, sampai ke tangan orang yang membutuhkan saja sudah menggembirakan.”

 
Tipografi dan Desain

Danton yang saat ini lebih suka disebut sebagai “perancang grafis Indonesia” mengatakan, tipografer dan perancang tipe di Indonesia belum muncul eksistensinya sebagai sebuah profesi. Tokoh tipografi di Indonesia pun dia belum pernah dengar ada. Tapi, “Indonesia sebetulnya punya aksara yang bagus-bagus, seperti aksara Jawa, Bugis, Batak, dll.” Barangkali suatu hari nanti bisa jadi inspirasi untuk tipe modern? Sementara untuk tokoh tipografi luar negeri, Danton memfavoritkan Adrian Frutiger dan Matthew Carter (keduanya perancang tipe).

Dalam mendesain, Danton berprinsip “desain grafis bukan karya intuitif.” Artinya, harus mengikuti pakem-pakem yang ada dan bukan sepenuhnya suka-suka sendiri. Misalnya, dalam pertimbangan memilih huruf, harus memperhatikan aspek legibilitas (kejelasan), selain dari kebutuhan akan karakter desain itu sendiri. Untuk Web pun—bahkan semua media tak terkecuali—mendesain dengan huruf harus senantiasa memperhatikan sisi efisiensi dan efektifitas. Meskipun tiap media memberi tantangan yang berbeda, menurutnya dua sisi itulah yang menjadi kunci untuk mendekati masalah dan kemudian memecahkannya.

Danton melihat kondisi tingkat apresiasi dan kesadaran para desainer/pelayout akan tipografi sekarang sudah cukup baik, mengingat referensi dan kompetisi sekarang semakin meningkat. “Sebetulnya yang penting itu membaca dan berlatih, itu saja,” kata Danton memberi tip soal cara meningkatkan apresiasi dan kemahiran tipografi.

 
Penutup

Pria yang satu ini memang tidak begitu banyak memberikan seminar maupun aktif di milis-milis. “Aktivitas di Web/Internet terlalu hiruk-pikuk,” katanya. Kesibukannya sebagai pengajar desain grafis di almamaternya, Institut Kesenian Jakarta, serta sebagai design director di Inkara barangkali sudah menyita sebagian besar waktunya. Tapi memang lebih baik, “sederhana dalam sikap, kaya dalam karya,” seperti pepatah yang digaungkan iklan sebuah minuman ringan. Buktinya tahun 1997 praktisi desain grafis veteran sejak 1990 ini mendapat Outstanding Achievement in Graphic Design Award. Salah satu karya fontnya pun pernah diterbitkan oleh Linotype-Hell AG, Jerman. (slm)

 
Arsip: mwmag

 

Quoted

When you do what you like, you won’t get sick of it too long, if ever.

Jerry Aurum