[Sambungan dari Yang Ditabur, yang Dituai (2). Bagian ketiga atau terakhir dari tiga bagian]
“Seseorang bisa hidup sehat tanpa membunuh binatang untuk makanannya; dengan begitu, jika ia memakan daging, sesungguhnya ia telah berpartisipasi dalam mengambil kehidupan hewan hanya demi tuntutan lidahnya. Dan tindakan sedemikian ini tidaklah bermoral.” —Leo Tolstoy (1828–1910)
Jadilah vegan, bertindak hijau, dan berbuat baik
Pada 26 April 2011, guru spiritual Ching Hai memenuhi undangan wawancara dari James Bean, produser acara Radio Kebangkitan Spiritual, mengenai bukunya From Crisis to Peace (Dari Krisis menjadi Damai). Acara mingguan ini disiarkan melalui jaringan radio HealthyLife.net yang memiliki jutaan pendengar di lebih dari 100 negara, termasuk lebih dari 1.200 kota di Amerika. Intisari dari perbicangannya mencoba memahami hubungan antara pola makan, kesehatan, dan perubahan iklim yang menjadi tema buku yang terbit pada 2010 itu.
Menjawab pertanyaan mengenai bagaimana umat manusia bisa membawa planet Bumi kembali ke keadaan semula [penulis: sebelum terjadinya perubahan iklim], Ching Hai menganjurkan sebuah solusi sederhana:
“Be loving. Be veg. Be green. (Jadilah pengasih. Jadilah vegan. Bertindaklah hijau.)”
“Seperti yang saya katakan, kita memiliki suara, suara batin yang memberitahu kita agar berbaik hati kepada semua makhluk. Bahkan tidak perlu bermeditasi untuk merasakan kesakitan dari pihak lain dan hewan-hewan. Mereka memiliki darah, dan darah mereka mengalir seperti halnya darah kita—merah. Dan mereka menjerit, mereka sangat menderita, seperti halnya kita jika kita terluka dalam cara yang sama.
“Jadi, manusia pada dasarnya berwelas asih. Saya tahu itu dan saya masih yakin akan hal itu. Untuk membunuh apa pun, siapa pun, bahkan hewan-hewan—langsung atau tak langsung—bukanlah sifat kita. Maka, Hukum Vegan perlu diterapkan karena itu adalah pengingat yang penuh kasih bagi semua warga dunia, agar damai di dalam dan di luar. Live and let live.”
“Jika kita tidak membunuh hewan, maka kita tidak akan membunuh manusia, dan damai akan tercapai secara alami.”
Mengurangi konsumsi daging adalah kuncinya
“Sejak kecil saya telah mengharamkan makan daging, dan akan tiba saatnya ketika semua orang seperti saya memandang pembunuhan terhadap hewan sama seperti terhadap manusia.” —Leonardo da Vinci (1452–1519)
Sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Oxford, dan diterbitkan di jurnal Climatic Change, menunjukkan bahwa para pemakan daging bertanggung jawab atas terbentuknya emisi gas rumah kaca hampir dua kali lipat lebih banyak dari vegetarian, dan sekitar dua setengah kali lebih banyak dari vegan. Studi ini menggambarkan bahwa emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh para pemakan daging 50–54 % lebih banyak dibandingkan vegetarian dan antara 99–102% lebih banyak dibanding vegan. Disimpulkan bahwa produksi makanan hewani secara signifikan menyebabkan terhimpunnya emisi gas rumah kaca yang lebih besar daripada produksi makanan nabati.[6]
Para peneliti yang tergabung dalam kelompok studi Universitas Loma Linda (LLU) di Kalifornia juga menemukan bahwa pengikut vegan meninggalkan jejak karbon yang paling kecil, 41,7% lebih kecil dibanding volume gas rumah kaca yang dihasilkan oleh para pemakan daging.[7]
Ketika para ilmuwan dari Universitas Teknologi Chalmers di Swedia mengalkulasi cara untuk memerangi perubahan iklim, mereka menemukan bahwa memotong emisi gas rumah kaca dari transportasi dan penggunaan energi saja tidak cukup untuk mengekang perubahan iklim. Dr Fredrik Hedenus, ilmuwan utama studi tersebut, menyatakan bahwa ‘mengurangi konsumsi daging dan susu adalah kunci untuk membawa polusi turun ke tingkat yang aman.’[8]
Demikian pula, Ilmi Granoff dari Institut Pembangunan Luar Negeri di Inggris Raya telah mendesak para pejabat pemerintah untuk melupakan batubara dan mobil, karena ‘cara tercepat untuk mengatasi perubahan iklim adalah dengan secara dramatis mengurangi konsumsi daging.’[9]
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)menyatakan bahwa peternakan adalah ‘one of the top two or three most significant contributors to the most serious environmental problems, at every scale from local to global’, dan mendesak diinisiasinya gerakan global menuju pola makan tanpa daging dan produk susu: “Dampak peternakan diperkirakan meningkat sangat besar karena pertumbuhan populasi telah meningkatkan konsumsi produk hewani. Penurunan dampak yang cukup besar hanya mungkin dilakukan dengan perubahan pola makan dunia yang mendasar yaitu meninggalkan produk hewani.”[10]
Rumah Chatham, sebuah lembaga think tank internasional, menyerukan pengenaan pajak karbon atas daging guna membantu memerangi perubahan iklim. Dan sebuah studi di Universitas Chicago menyimpulkan bahwa untuk mengurangi jejak karbon lebih efektif adalah dengan cara menjadi vegan daripada dengan beralih dari mobil konvensional ke mobil hibrida.[11]
Persoalan hidup dan mati
Dan Ching Hai telah menjadi salah seorang yang terdepan dalam menyerukan pola makan vegan. Ching Hai menyampaikan aspirasinya ini berulang kali melalui sejumlah media, konferensi, atau pun wawancara di berbagai negara. Yang disertai dengan sejumlah perhitungan, seperti:
“Jika Anda membandingkannya dengan pola makan vegan, pola makan daging menggunakan lahan hingga 17 kali lebih luas, air 14 kali lebih banyak dan energi 10 kali lebih besar. […] Kita bisa menghemat air bersih hingga 70%, menyelamatkan sekitar 70% kawasan hutan hujan Amazon dari pembabatan untuk lahan merumput hewan ternak. Dan hal itu akan membebaskan 3,5 juta hektar lahan per tahun. Menghemat 760 juta ton biji-bijian setiap tahun. Ini berarti setengah dari suplai biji-bijian dunia. […] Menghabiskan bahan bakar fosil 2/3 kali lebih sedikit daripada yang digunakan untuk produksi daging, mengurangi pencemaran dari kotoran hewan yang tidak dikelola, menjaga air tetap bersih, mengurangi emisi 4,5 ton per rumah tangga AS per tahun. Dan ini akan menghentikan 80% pemanasan global.[12]
Maka: “Jika semua orang langsung berhenti makan daging, dalam waktu delapan minggu, cuaca akan berubah menjadi ramah. Semua yang sudah rusak akan pulih kembali dalam waktu delapan minggu. Jika semua orang di Bumi ini berhenti makan daging dan berubah menjadi berhati welas asih, maka hasilnya akan terlihat dengan seketika.”[13]
Dan: “Jika makan daging tidak dilarang atau tidak dibatasi, maka seluruh planet akan lenyap. Ini adalah persoalan hidup dan mati bagi setiap orang; ini bukan pilihan pribadi. Dengan makan daging, kita menelan seluruh planet ini, melahap 90% persediaan makanan dan membiarkan orang lain kelaparan. Itu sama sekali bukan pilihan yang tepat.”[14]
Proses pembusukan bermuara di dalam tubuh
“Seekor sapi atau domba mati yang terbaring di padang rumput disebut bangkai, sama persis dengan yang tergantung di kedai-kedai daging dan dijajakan sebagai makanan.” —John Harvey Kellogg (1852–1943)
Spiritualis lainnya, Deepak Chopra (l. 1947), penganut pergerakan New Age yang juga seorang dokter, vegetarian, dan penulis mengatakan: Janganlah meracuni tubuhmu! Baik melalui makanan, minuman, maupun emosi negatif.
Menurut Chopra, daging adalah perusak terbesar tubuh manusia. Kandungan racun dalam 1 kg daging panggang setara dengan 600 batang rokok. Saat dipanggang, daging menimbulkan racun yg disebut Benjopyrene (karsinogen yang sangat kuat) dan Methylcholonthrene, penyebab tumor ganas dan kanker darah.
Dalam daging terdapat Nitrogen, racun bangkai, kolesterol, uric, acid, urea, bakteri menular salmoneila, racun kimia, racun DDT, racun antibiotika, dan sel yang rusak. Makan daging hewani bisa mengakibatkan pengerasan pembuluh darah, osteoporosis, batu ginjal, batu empedu, penyakit jantung, kencing manis/diabetes, tekanan darah tinggi, pengerasan hati, kanker, radang pangkreas, radang persendian (arthritis), wasir, sklerosa ganda, pelebaran pembuluh balik (vorices), diverticulosis, radang usus, kegemukan/obesitas, dll.
Setelah hewan dibunuh, segera terbentuk zat pembusuk yang disebut Ptomaines. Proses pembusukan telah dimulai sejak dari rumah jagal sampai dijual, disimpan, disiapkan, disajikan, hingga dimakan. Dapat dipahami, seberapa jauh proses pembusukan itu telah berlangsung. Terbentuk berapa banyak ‘zat racun yang dapat menghancurkan organ’ dalam tubuh kita. Panjang usus manusia sekitar 6 kali tinggi badannya, atau kurang lebih 9 meter.
Daging telah mengalami proses pembusukan terakhir ketika dimakan, dan pembusukan masih berlangsung lama dalam usus sehingga tercipta banyak racun yang memperberat beban kerja organ hati. Hal ini mengakibatkan pengerasan organ hati, dan terjadilah kanker hati, konstipasi (susah buang air besar), wasir, atau kanker usus.
Ketika hewan akan disembelih, susunan biokimia dalam tubuhnya mengalami perubahan yang amat besar oleh karena rasa takut, rasa sakit, emosi tinggi, kepanikan, kesedihan, kebencian, dendam, dll. Sehingga terjadi produksi racun berlimpah yang mengalir keseluruh tubuhnya, menyebar dan melekat di seluruh sel daging.
Menurut Institut Nutrisi di Amerika, daging dan darah binatang tersebut ‘penuh dengan racun yang mematikan’. Ketika masih hidup, hewan perlu mengeluarkan zat sisa beracun dari seluruh sel tubuhnya berupa andrenolin, urin, asam loktat, urea, dan uric acid/asam urat (5 ons daging sapi mengandung 14 gram uric acid). Tetapi begitu disembelih, semua zat racun itu terserap oleh tubuhnya sendiri. Jika kita makan daging, berarti kita telah memasukkan semua racunnya ke dalam tubuh kita.[15]
Love Us, Not Eat Us
“Jangankan memakan hewan, membunuh semut pun pantang kami lakukan” —Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu
Kebajikan dan kebijakan dalam gagasan modern Be Loving. Be Veg. Be Green. rupanya bahkan sudah dijalankan cukup lama oleh sebagian warga masyarakat Indonesia.
Di pesisir pantai utara Kabupaten Indramayu, di jalan raya dari arah Jakarta ke Cirebon, terdapat sebuah jalan kecil menuju ke lokasi permukiman masyarakat adat Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu[iv]. Orang luar menyebutnya Dayak Losarang, atau Dayak Indramayu saja, merujuk pada domisili mereka di Kampung Segandu, Desa Krimun, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu. Walau menyandang kata ‘Dayak’, mereka tidak ada hubungannya dengan suku Dayak Kalimantan [pengertiannya bukan dalam arti suku bangsa (etnik)], mereka semua beretnis Jawa.
Di kampung itu bertumbuh sebuah komunitas kecil, terbilang ratusan orang, yang menganut ajaran dan gaya hidup ‘menyatu dengan alam’. Mereka menjunjung tinggi nilai-nilai alamiah, dan seluruh aspek kehidupannya berlangsung atas dasar penghormatan kepada Alam Semesta. Kaum prianya tidak mengenakan baju, sebagai bentuk pembebasan raga dari atribut keduniawian. Warna hitam-putih pada celana pendek yang dikenakannya menjadi penanda atas keberadaan siang dan malam. Hitam-putih juga merupakan pembelajaran untuk hidup seimbang karena dengan seimbang kehidupan akan berjalan terus selaras dengan alam.
Filosofi mereka yang disebut ‘sejarah alam ngaji rasa’ diturunkan oleh tetua adat mereka, spiritualis Ki Ta’mad, atau Paheran Takmad Diningrat Gusti Alam (l. 1940), yang mendirikan komunitas ini pada 1974. Inti ajarannya mencari kebenaran melalui penyatuan diri dengan alam, pemulihan lingkungan hidup, pengabdian kepada keluarga, serta berlaku lakonana barang kang lima [jujur, sabar, benar, nerima (menerima dengan lapang dada dan hati terbuka apa yang datang dari Tuhan)].
Dalam kelompok sosial ini kaum perempuan memiliki martabat yang mulia, karena dari rahim perempuanlah lahir kehidupan baru. Sosok Tuhan atau energi kehidupan dipersonifikasikan dalam wujud wanita yang dinamakan Nyi Dewi Ratu. Begitu pula pandangan mereka terhadap anak-anak, yang lugu dan dianggap selalu benar. Oleh karena itu, pria Dayak Losarang memperlakukan isteri dan anak mereka dengan penuh kasih. Kaum pria tidak hanya mencari nafkah, tapi juga mengurusi rumah tangga, seperti membersihkan rumah dan memasak.
[Perhatikan tradisi yang juga belum terlalu lama ini dimulai di Desa Piplantri di Rajasthan, India, pada Tarian Alam Semesta (3)]
Makanan mereka sepenuhnya berasal dari alam, tidak dicampur dengan bahan-bahan buatan manusia, terutama yang mengandung zat kimia. Dan untuk menghormati sesama makhluk hidup mereka tidak mengonsumsi daging. Mereka semua pengikut pola makan vegan, dan hanya makan sayur mayur hasil kebun sendiri.
Suku Dayak Losarang tidak memiliki kepercayaan sebagaimana yang diakui oleh pemerintah Indonesia. Kata ‘Hindu Budha’ pada penamaaan sukunya tidak mengacu pada agama Hindu atau Buddha. Kata ‘Hindu’ dipakai karena komunitas ini meneladani kehidupan kelima tokoh Pandawa: Yudistira, Arjuna, Nakula dan Sadewa, serta Bima; dan tokoh Semar, yang dihormati sebagai mahaguru yang sangat bijaksana. Sementara kata ‘Budha’ berasal dari ajaran ‘aji rasa’ (tepo seliro) atau tenggang rasa, dan kesahajaan yang menjadi inti ajaran agama Budha.
https://youtu.be/EzxRuOBKCyQ
———
[iv] Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu tidak ada kaitannya sama sekali dengan Suku Dayak yang ada di Kalimantan. Penjelasannya demikian:
Kata ‘Suku’ artinya kaki, yang mengandung makna bahwa tiap orang berdiri dan berjalan di atas kakinya masing-masing untuk mencapai tujuan sesuai dengan kepercayaan dan keyakinannya. Jadi kata ‘Suku’ pada komunitas ini bukan dalam konteks terminologi suku bangsa (etnik) dalam pengertian antropologi, melainkan penyebutan istilah yang diambil dari makna kata-kata dalam bahasa daerah (jawa).
Kata ‘Dayak’ berasal dari kata ‘ayak’ atau ‘ngayak’ yang artinya memilih atau menyaring. Makna kata ‘Dayak’ di sini adalah menyaring, memilah, dan memilih mana yang benar dan mana yang salah.
Kata ‘Hindu’ artinya kandungan atau rahim. Filosofinya adalah bahwa manusia dilahirkan melalui kandungan sang ibu (perempuan), mengingatkan pada besarnya peran ibu atau perempuan dalam mempersiapkan kelahiran dan memulai kehidupan.
Sedangkan kata ‘Budha’, asal dari kata ‘wuda’, yang artinya telanjang. Maknanya adalah bahwa setiap manusia dilahirkan dalam keadaan tidak memakai apa-apa, yang merupakan hakikat hidup manusia yang seharusnya penuh dengan kejujuran dan menyatu dengan alam.
Kata ‘Bumi Segandu’ Bumi mengandung arti wujud, sedangkan ‘Segandu’ berarti sekujur tubuh. Gabungan kedua kata ini mengandung makna sebagai kekuatan hidup.
Ada pun kata ‘Indramayu’ berasal dari kata ‘in’ yang artinya ‘inti’; ‘darma’ yang artinya orang tua, dan ‘ayu’ yang berarti perempuan. Maknanya adalah bahwa ibu (perempuan) merupakan sumber kehidupan, karena semua manusia dilahirkan dari rahimnya. Penghormatan kepada kaum perempuan, tercermin dalam ajaran dan kehidupan sehari-hari masyarakat Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu.
Sumber: Tosupedia dan makalah Character Building pada Manusia (lihat: Referensi)
———
[6] People for the Ethical Treatment of Animals (PETA), http://www.peta.org.
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] Ibid
[11] Ibid
[12] Hai, Maha Guru Ching. Dari Krisis menjadi Damai, Bab 1: Solusi Vegan untuk Menyelamatkan Dunia, 2010
[13] Ibid, Permohonan Pribadi Maha Guru Ching Hai kepada Para Pemimpin Dunia.
[14] Ibid, Bab 1: Solusi Vegan untuk Menyelamatkan Dunia.
[15] Klub Vegetarian Indonesia, Facebook.
———
Referensi:
Character Building pada Manusia (Analisis terhadap Budaya Suku Dayak Losarang Indramayu), Tarsono
Mengenal Suku Dayak Hindu Budha Bumi Segandu Indramayu., Toto Sudiyanto. Tosupedia, http://www.tosupedia.com
***
Tulisan-tulisan lainnya di sini.
The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life