Global Nomaden (Bag. 1/4)

Apakah mimpi terbesarku?
Kenapa hari ini aku masih berada disini?
Apa yang paling menakutkan dalam hidup?
Untuk siapa sebenarnya aku melakukan ini semua?
Mengapa aku bertemu dengannya saat ini?
Mampukah aku membaca ‘petunjuk ilahi’?

Irwan Ahmett dan Tita Salina memutuskan cuti panjang dari pekerjaannya sebagai desainer grafis untuk menemukan jawaban dari rangkaian pertanyaan tersebut. Setelah 11 tahun bekerja keras setiap hari; mengejar deadline dan melunasi tagihan bank, akhirnya mereka memilih untuk menentukan perjalanannya sendiri. Selama satu tahun, Duo ini akan melakukan kunjungan ke berbagai negara untuk bereksplorasi, melakukan interaksi dengan masyarakat lokal dan berkolaborasi dengan beragam komunitas bahkan mencoba untuk merespon sebuah wilayah yang spesifik. Menjadi pengembara di dunia global tentu membutuhkan banyak usaha dan keberuntungan.

Bagaimana strategi dan negosiasi agar dapat bertahan di negara asing yang tidak mereka kenal? Bentuk pertukaran nilai dan kepentingan apa dapat ditawarkan? Apakah project-project mereka akan berhasil diwujudkan? Hal apa yang paling mereka rindukan ketika jarak memisahkan mereka dengan tanah airnya?

Ikuti terus kisahnya! DGI akan menjadi wadah bagi mereka untuk berbagi.

 


MINGGU KEDUA, MARET 2011 (DITULIS DARI DEN HAAG)

Saran membaca:
Tulisan di bawah ini akan lebih nyaman dibaca sembari mendengarkan musik dari link ini.

Sudah sebulan ini kerapkali tubuh mendadak terbangun dari tidur seolah mendengar bunyi detak jantung sendiri. Mencoba membaca buku, namun berlembar halaman dilewati tak satupun yang mengendap di kepala. Secangkir kopi semakin memperparah segalanya. Penat rasanya tubuh ini, namun hasrat untuk kembali menyalakan komputer dan tenggelam dalam lembaran halaman virtual tanpa batas menjadi jalan keluar yang buruk; news feed Facebook: status orang yang berubah menjadi bijak lengkap dengan foto wajah tertawa dalam berbagai gaya dan penampilan terbaiknya seolah mentertawakan mukaku yang mengkilat karena berminyak; Google: menjadi teman baik yang paling diandalkan karena bisa menanyakan apa saja dan ia akan meresponnya sangat cepat dengan jutaan pilihan; Arsenal: kesulitan mengejar jarak dengan MU; kemudian diakhiri dengan mengintip sex site. Rasa sakit di punggung telah mengalahkan segalanya, dan tidur saat ini menjadi ‘barang mahal’ yang sangat dibutuhkan segera setelah terdengar suara parau speaker masjid tanda subuh menjelang.

Empat jam berikutnya panas Jakarta mulai merambat naik dengan rasa lapar yang ditahan aku berjuang menembus kemacetan demi sebuah meeting yang berlangsung seharian. Bulatan berwarna merah dilayar ponsel indikasi dari sekumpulan telpon masuk yang kuabaikan sama warnanya seperti syaraf-syaraf di mata ini yang mulai memerah. Kupacu motorku dengan kecepatan penuh kembali ke studio untuk menyelesaikan rancangan yang tertunda. Namun, diperjalanan kembali jantung berdegup kencang dan menderu lebih cepat dari motorku. Kali ini, penyebabnya adalah sebuah pertanyaan yang tiba-tiba terlintas di benakku:

“10 tahun yang lalu keinginan terbesarku adalah menjadi desainer grafis, namun kenapa sekarang aku ingin berhenti?”

Tiba di mejaku yang berantakan, pandangan mata semakin nanar. Sulit membedakan warna magenta dan merah, rasa kantuk semakin menggila. Pikiranku mencoba menangkap hal-hal yang membuatku bahagia untuk membantuku cepat memejamkan mata. Setelah berhasil menghilangkan efek konten porno di otak, akhirnya kutemukan juga.

Muncul sebuah pengalaman 30 puluh tahun lalu. Saat itu, isi kepala hanya memikirkan satu hal, rasa ingin tahu! Langit pagi mulai menampakkan merahnya, sesosok siluet samar terlihat pada waktu ia membuka tirai jendela menyilaukan mataku di saat masih mengantuk. Kemudian, ia menarik lepas selimut yang sedang erat kupeluk, terlihatlah koleksi tato bergambar huruf-huruf memenuhi sekujur lenganku hadiah dari permen karet Yosan Gum. Aku sudah terbangun, namun masih ada satu hal lagi masih aku tunggu saat ia mengusapkan tangan kasarnya, terasa sangat halus menyentuh punggungku. “Kita bertualang lagi hari ini!” Kalimat singkat mampu menyihir diriku untuk segera terbangun bergegas menyongsong hari paling membahagiakan yang akan kualami. Dibantunya, aku mengenakan jaket yang ditempeli gambar strika es Jolly. Merinding seluruh permukaan kulitku pada saat ia membasuhkan embun pada kedua kakiku yang didapat dengan menyapukan tangannya pada pucuk rumput segar yang basah.

“air embun pagi ini akan membantu kedua kakimu kuat berlari dikemudian hari” ujarnya.

Petualangan terbesar dalam hidupku untuk pertama kalinya dimulai. Tangan lemahku memeluk erat pundaknya, dalam posisi digendong aku mulai mengalami hal baru dalam hidupku; termangu melihat anggunnya lokomotif mesin uap yang mengangkut bule-bule berkulit pucat, mereka melemparkan permen dari balik gerbong kereta bagaikan alien yang mampir ke kota kecilku. Permen itu menjadi incaran teman-teman sekolahku untuk mencoba rasa ajaib dari luar angkasa.

Mencekam sekali rasanya saat aku melintas jembatan bambu yang bergoyang-goyang dan lapuk, menangkap tubuh belut yang licin menggelikan, mengelus bulu kambing yang kasar dan bau, mengucurkan air ke daun talas, membuat bola-bola dari tanah liat, melemparkan kepingan batu dan memantulkannya di atas permukaan kolam, meluncurkan pesawat kertas ke udara. Aku telah kecanduan dengan pengalaman fantastis ini dan masih terus mengulangnya selama 6 tahun kemudian bersama teman-temanku, ataupun seorang diri dengan membayangkan gundukan tanah di sekelilingku adalah pegunungan bersalju dan gelombang air di kolam adalah gulungan ombak raksasa.

Sayup-sayup antara sadar dan tidak, mata ini semakin memberat. Siluet itu kembali tampak mendekat, kali ini ia menyelimutiku dengan hangat, mengelus punggungku dan menyuruhku untuk segera tidur.

tangan-penyembuh

Sentuhan adalah bahasa tubuh paling universal bagi setiap makhluk hidup, usapan tangan menjadi perantara bentuk ekspresi ungkapan kasih. Ayahku selalu menggunakan tangannya untuk mentransformasikan rasa sayang kepada anaknya

 

MINGGU KETIGA, MARET 2011

Kondisi yang buruk di minggu lalu tak mungkin kubiarkan berlarut-larut, aku perlu penyembuh untuk meredam ‘kegilaanku’. Setelah bernegosiasi dengan jadwal klien yang selalu tidak peduli dengan apa yang terjadi dengan diriku, akhirnya kuputuskan untuk pulang kampung sebelum menempuh perjalanan panjang ini.

Ratusan kali aku menempuh perjalanan Jakarta menuju tanah kelahiranku, namun kali ini sungguh berbeda karena banyak agenda yang harus kulakukan. Setibanya di rumah, aku disambut oleh tangan yang dulu kuat menggendongku namun kini tampak lemah dan keriput, namun hangatnya masih terasa sama dalam genggaman. Ingin rasanya berteriak meminta naik ke atas punggungnya dan berlari mencari embun pagi.

Jiwaku benar-benar membutuhkan ketenangan dan dukungan untuk memulai pengembaraan ini. Aku harus menelusuri jaringan DNA, kromosom dan spirit yang mengalir dalam tubuhku! Kuputuskan untuk berkunjung ke pemakaman leluhur. Suatu saat aku akan mati dan dikuburkan seperti mereka. Apa yang harus kulakukan supaya hidupku tidak menjadi sia-sia? Aku percaya sebenarnya jiwa mereka tetap ada entah dimana di alam semesta ini dan mendengar dengan baik suaraku karena partikel mereka kini mengaliri dalam sel-sel tubuhku. Aku meminta Tuhan menjaganya dengan baik dan aku memohon mereka untuk mengirimkan energinya agar aku mampu mewujudkan mimpi terbesarku. Sinyal itu aku kirimkan, dalam hitungan detik aku mendapat balasan lebih cepat dari mesin pencari Google! Ketenangan merambat, ketakutanku menghilang, aku merasa menjadi bagian dari kosmis semesta menyatu bersama mereka, hari ini aku berhasil menjadi Son Go Ku dengan mengumpulkan bola semangat dari jiwa-jiwa yang berbeda dengan dimensiku.

Pagi itu mentari malas merangkak terhadang awan, semalas diriku untuk meninggalkan orang-orang yang kucintai. Aku menggenggam tangan-tangan yang membesarkanku untuk terakhir kalinya, terasa agak sedikit basah karena menyeka butiran air yang mengucur deras dari kedua sudut matanya, sungguh aku akan sangat merindukan sentuhan ini.

kuburan-leluhur

Kuburan hanyalah artefak dan simbolis semata untuk menyimpan dan mengenang. Kekuatan sesungguhnya berada pada saat kita memahami hidup orang yang dikuburkan di sana. Akupun bertanya akan dikenang sebagai ‘siapakah’ pada saat nama sudah terpasang di nisan?

Quoted

“Imajinasi yang liar lebih kuat dari lirik yang sok mau jelas.”

Slamet A. Sjukur