Kawin Mawin Kita: Bandeng, Siraman, dan Doa

Terik matahari di Kampokng Raba, Kecamatan Menjalin, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat siang itu sangat menyengat. Tapi Bangkulu memilih berjalan kaki ke pangkalan (rumah) keluarga Otoh yang terletak di Kampokng Konyo. Jaraknya kurang lebih dua kilometer.

SONY DSC

Kepala Bangkulu dilingkari bangkung (ikat kepala). Bersama dengannya, ada suami-istri Baruk dan Dayakng Tarigas yang turut serta. Hari itu ia datang ke pangkalatn Otoh sebagai patone’. Dalam masyarakat Dayak Kanayatn, patone’ adalah orang yang dipercaya oleh pihak keluarga laki-laki atau perempuan untuk meminang. Seorang patone’ haruslah orang yang sudah menikah, mengerti tata cara perkawinan, dan mengetahui garis keturunan orang yang hendak dinikahkan. Soal itu, Bangkulu-lah orangnya. Ia datang ke keluarga Otoh sebagai patone’ atas permintaan Baruk dan Dayakng yang ingin meminang putri keluarga Otoh untuk putranya.

Orang Kanayatn hanyalah salah satu sub-suku di antara ratusan suku lainnya di Indonesia. Kalimantan Barat adalah tempat bermukim Orang Kanayatn, khususnya di Landak, Pontianak, dan Kuburaya. Selain Dayak Kanayatn, di Borneo ada ratusan sub-suku Dayak lainnya: Punan, Iban, Kenyah, Kayan, Taman, Kelabit, Kutais, Bidayuh, Bakumpai, Ngajus, Baritos, dan banyak lagi. Mereka adalah kita.

Ada fenomena di media kita yang baru-baru ini saya sadari: meliyankan yang kita, dan mengkitakan yang liyan. Mereka yang (sebenarnya) liyan (the others), mendadak diperlakukan sebagai bagian dari kita. Melihat bagaimana televisi menampilkan pemusik jazz, penari hip-hop, dan gaya hidup Barat, serasa tiada jarak antara yang menonton dan yang ditonton. Pun tak ada kegagapan dan kecanggungan. Seakan-akan, mereka memang kita.

Namun, ini semua terbalik ketika media menampilkan mereka yang (sebenarnya) kita. Orang Nias dengan pakaiannya, Masyarakat Osing dengan Gandrungnya, Masyarakat To Kaili dengan Laluvenya, misalnya, seperti mengalami situasi teralienasi dari pandangan kolektif yang berkembang di masyarakat Indonesia kebanyakan. Bersama kita canggung dan gagap membaca mereka. Ada perasaan asing dan aneh melingkupi. Dan media malah membuat keberjarakan ini semakin menjadi untuk kemudian dijual, didagangkan.

Sekali lagi: meliyankan yang kita, dan mengkitakan yang liyan. Si asing kemudian diterima sebagai suatu kenyataan hidup sehari-hari. Sedangkan si “kita” dilirik sebagai sesuatu yang kebetulan ada.

Tulisan ini tidak berangkat dari pandangan yang anti-barat, Justru sebaliknya, belajar banyak dari barat yang turut memberikan ruang aksentuasi bagi nilai lokal yang ada. Karena itu, mari bicara sedikit mengenai perkawinan yang ada di Nusantara. Kita bicara kawin mawin kita.

Perkawinan atau pernikahan adalah fase kehidupan seorang manusia yang dianggap penting menurut pandangan bangsa-bangsa di timur. Bagi kebanyakan masyarakat di Nusantara, perkawinan bukan saja bicara mengenai pasangan yang bersangkutan, tapi juga turut melibatkan orangtua, saudara, dan kerabat. Maka seringkali kita dengar, sebenarnya yang menikah adalah keluarga dengan keluarga (Trianto dan Tutik, 2008:10-11).

Hal itu menunjukkan bahwa perkawinan memiliki implikasi sosio-kultural bagi masyarakat yang mengalaminya. Perkawinan kemudian dihayati sebagai peristiwa bersatunya banyak hal; manusia dan alam, yang profan dan yang sakral, yang hidup dan yang sudah mati.

Selain Dayak Kanayatn, Orang Tengger di sekitar Gunung Bromo, Jawa Timur dan Orang Betawi di Jabodetabek juga punya cerita mengenai adat perkawinan mereka. Masing-masing tidak saja memiliki ciri dan cara tersendiri yang berbeda satu sama lain karena pandangan yang dianut, namun sekaligus memiliki kemiripan dalam beberapa hal. Dan sudah selayaknya kemasing-masingan itu kita lihat dari kacamata budaya mereka, bukan melalui kacamata budaya di luarnya. Tidak perlu kita mengukur kadar nilai keadaban suatu masyarakat, seperti yang selama ini diperankan lembaga keagamaan, negara, maupun media massa umumnya.

Dalam ilustrasi di awal tulisan, kita lihat bagaimana Bangkulu sebagai patone’ punya peran penting dalam terjadinya sebuah peristiwa perkawinan Orang Kanayatn. Tanpa seorang patone’, tak ada perkawinan terjadi. Pada adat perkawinan Orang Tengger dan Betawi, ada juga orang yang bertugas seperti patone’: meminang.

Budaya ketiganya mempertontonkan kearifan mengenai relasi antarsesama. Perlunya perantara tersebut, memperlihatkan adanya kesantunan komunal. Maka mengherankan ketika timbul banyak cerita–lebih tepatnya mitos, mitos yang diciptakan–mengenai masyarakat adat yang katanya kerap mengambil jalan pintas dengan menggunakan kekuatan magis untuk membuat lawan jenis jatuh cinta. Ya, ini cerita seorang teman yang termakan mitos demikian ketika ia berkunjung ke komunitas Urang Kanekes di Lebak sana.

Di beberapa daerah di Betawi–seperti yang tertulis di Upacara Daur Hidup Adat Betawi karya Yahya Andi Saputra–jika ada sepasang ikan bandeng digantungkan di depan rumah seorang gadis, itu artinya sedang ada pemuda yang menaksir atau siap meminang. Ini menjadi pertanda yang membuat orang tua gadis akan memingit dan membatasi pergaulan gadis tersebut. Sang gadis akan diberi pendidikan mengenai akidah, sopan santun, dan memasak. Orang tua si gadis baru lega ketika proses ini sudah dilalui.

Buat pemuda Betawi, ngedelengin adalah tahap yang penting dalam mencari pasangan hidup. Ngintip dan mak comblang adalah dua cara ngedelengin. Ngintip adalah proses ngedelengin yang dilakukan sendiri oleh si pemuda, dan perbuatan menggantung ikan bandeng adalah salah satu caranya. Sedang mak comblang adalah cara lain dalam proses ngedelengin yang membutuhkan bantuan orang lain.

Mak comblang yang dimaksud adalah orang–biasanya perempuan berumur– yang dianggap pinter, baik ngomong maupun menilai, demi mendapatkan seorang gadis bagi seorang pemuda. Seorang mak comblang biasanya ditugaskan pihak orang tua lelaki untuk mencari gadis yang sesuai atau menyelidiki gadis bidikan sang pemuda.

Seperti patone’, mak comblang punya peran teramat penting. Namun seorang mak comblang bukan saja penting atas terjadinya sebuah perkawinan, tapi juga berperan penting mengenai siapa yang akan kawin dan bagaimana sebuah perkawinan terjadi. Ini dikarenakan mak comblang punya peran untuk menilai sang gadis, cocok tidaknya, yang kemudian dilaporkannya ke pihak orangtua lelaki.

Maka tak heran kalau mak comblang ini laiknya profesi. Ia harus memiliki kemampuan dan kelihaian, juga punya akses luas dan data mengenai keluarga mana saja yang memiliki anak gadis. Kalau seorang mak comblang mampir ke rumah, orangtua gadis biasanya sudah tahu dan berusaha mematut-matutkan keadaan dan menceritakan kelebihan si anak agar mendapat poin bagus. Namun suka atau tidak dengan si gadis, sebelum pulang mak comblang wajib memberi uang sembe kepadanya yang dimasukkan ke dalam angpau (amplop merah tradisi orang Tionghoa).

Mak comblang berbeda dengan patone’. Patone’ pada Orang Kanayatn bisa datang dari pihak mana saja, laki-laki maupun perempuan. Kalau patone’ datang dari pihak perempuan, maka bila jadi menikah nanti, pihak lelaki harus tinggal di rumah keluarga perempuan. Begitu pun sebaliknya.

Penugasan patone’ ini hanyalah tahap awal untuk sekadar memberitahu adanya tawaran menikah dari pihak seberang. Buat Orang Tengger, tahap awal macam ini dinamakan Nakoake. Secara prinsip keduanya sama. Hanya kalau buat Orang Tengger jawabannya didapat pada saat kunjungan pertama itu, sedang buat Orang Kanayatn, patone’ harus datang kali kedua untuk mendapat jawaban.

A.B. Dacing T dalam Adat Istiadat Perkawinan Dayak Kanayatn menggambarkan bagaimana kunjungan kali kedua Patone’ yang disambut oleh pihak keluarga yang dipinang tersebut dengan berpantun: Babingke bakah bubu/Katangakng baur pate/Kamile-mile diri batamu/Sidi jarakng diri batele//Bide dah baampar katangah sami/Gulita dah batukutn ma’an/Buke’nya kami bai’ disarohi karamigi/Ahe ga’ kabar kamaru’ nian? (Menyatakan kegembiraan atas kedatangan tamunya dan menanyakan kabar berita atas kedatangan tamunya)

Balas patone’: Baketo matok nasi’ kapingatn/Barinang tumuh kasaka maraga/Dah repo diri’ repetn badudukatn/Mao’ bacurita muka’ kata// Batang padi akar bingke/Batang ansabi ka babah manggule/Atakng kami atakng Patone’s/Minta’ bagi nasi’ ka pene (Menjelaskan maksud kedatangannya sebagai Patone’, dan bertujuan meminang anak dara si tuan rumah).

Setelah itu kedua pihak bertutur tentang silsilah keluarga masing-masing. Proses akan berlanjut apabila kedua calon mempelai tidak berasal dari satu nenek, atau setidaknya sudah lewat 4 generasi apabila berasal dari garis keturunan yang sama. Peristiwa terjadinya perkawinan dari satu nenek pada generasi keempat ini disebut merahu titi.

Lalu pada pertemuan ketiga, lamaran akan dikukuhkan  lewat upacara adat yang disebut jalan bakomo’, yang ditandai dengan pemotongan 3 ekor ayam sebagai tanda kedua belah pihak telah mengikat kata. Pada kesempatan ini pula kedua keluarga akan menentukan waktu untuk mengadakan perkawinan.

Dalam budaya Wong Tengger, fase memutuskan keberlanjutan suatu pinangan disebutpitung. Seorang sulingsih (dukun) melakukan perhitungan berdasarkan nama kedua calon dan neptu-nya (hari kelahiran). Kalau cocok, maka proses peminangan berlanjut, dan diteruskan dengan pencarian hari baik untuk anteng-antengi (melamar).

Sirih lamaran, pisang raja, roti tawar, sirop, dan hadiah (bahan kebaya, selop, kain, kosmetik)adalah barang bawaan wajib yang ada pada prosesi lamaran Orang Betawi. Barang bawaan ini dibawa dari pihak keluarga lelaki. Semuanya menyimbolkan kegembiraan akan peristiwa yang berlangsung, serta penghormatan terhadap keluarga perempuan.

Seminggu setelah ini diadakanlah acara bawe tanda putus (tundangan), yang membicarakan mas kawin, biaya resepsi, kekudang (makanan atau barang yang disukai),pelangke (kalau ada saudara sekandung yang lebih tua yang belum nikah), waktu pernikahan, dan perangkat pakaian upacara perkawinan.

Orang Betawi kerap menggunakan metafor-metafor seperti mate bandeng (perhiasan emas bermata berlian) dan mate kembung (perhiasan emas bermata intan) untuk membicarakan mas kawin atau mahar yang diminta,. Kemampuan membuat metafor atau kalimat-kalimat bersayap ini menjadi penting adanya sebagai bagian dari kesopanan.

Beda tempat, beda bawaan. Dalam anteng-antengi (lamaran) Wong Tengger, bawaannya adalah seperangkat pakaian, alat rias, dan cincin yang kesemuanya itu disebut peningset. Prosesi ini kemudian dibalas pihak perempuan dengan mbalekake gunem, sebagai tanggapan dalam membalas lamaran. Tak ketinggalan, sebelum pengukuhan perkawinan, tahapannya didahului dengan prosesi siraman (memandikan pengantin perempuan), selamatan (doa dengan sesaji kepada leluhur), dan midodareni (acara pamitan pengantin perempuan kepada teman sebaya–untuk pengantin lelaki disebut tirakatan).

Hampir serupa dengan tahapan-tahapan di atas, Orang Betawi juga mempunyai acara piare calon none pengaten, yang dimaksudkan untuk mengontrol kegiatan, kesehatan, dan kecantikan pengantin perempuan menjelang akad nikah. Selama dipiare, ia harus memakai baju terbalik sebagai lambang tolak bala, mengatur pola makan, luluran, dilarang bercermin, berzikir, dan membaca salawat. Lalu diakhiri dengan mandi kembang dan malem pacar.

Saat acara malem pacar ini, ia dicukur bulu-bulu halusnya di sekitar kening, pelipis, tengkuk, dan leher. Ia juga wajib memakai pakaian none Betawi untuk terakhir kalinya, karena esoknya sudah menjadi nyonya. Dan pada malam yang sama, si laki menyiapkan semua kebutuhan saserahan yang dinamakan malem nyerondeng atau malem mangkat. Di rumahnya, tua muda, laki perempuan, berjibaku dalam malam untuk memebuat pesalin, menghias nampan kue, menghias peti sie, membuat dan menghias miniatur masjid, dan sebagainya.

Pada malam sehari sebelum pernikahan, semua sibuk, semua berkumpul. Begitulah tradisi suasana perkawinan yang ada. Ada kerja tim yang tergambar, jauh sebelum para motivator berisik di layar kaca atau seminar. Ada kesalehan yang diperlihatkan, tanpa perlu menyertakan pentungan dan pedang. Ada semangat menolong yang tulus, tanpa perlu membawa wartawan untuk meliput. Pun ada kecerdasan sosial, sebelum televisi merebut segalanya.

Kearifan-kearifan itu masih hidup dan terus terjadi di tengah-tengah masyarakat pemilik dan pendukungnya. Kekayaan dan kemewahan itu tentu tidak bisa dialami dengan hanya membaca tulisan ini, terlebih yang karena keterbatasan waktu, hanya disusun berdasarkan studi pustaka dan bertanya. Kawin-mawin-kita ini, karena kompleks dan rumitnya masalah, adalah sebuah topik yang tidak bisa selesai dan lengkap terangkum hanya dalam satu artikel. Ia harus berhenti sebelum sama-sama kita dipuaskan dengan cerita-cerita lainnya.

Tibalah mereka pada tahap panganten turutn barasi. Bangkulu, sebagai picara(patone’) memimpin rombongan keluarga Baruk dengan berdiri paling depan dalam arak-arakan. Langir binyak, beras banyu, beras sasah, ayam hidup, ayam rebus, beras palawakng, beras pulut, cucur, lamakng, sirih sekapur, dan nasi setungkus dijadikan bawaan tangan. Wajah mereka senang, sekaligus kerepotan.

Mulut Bangkulu komat-kamit. Rupanya ia sedang babamang (berdoa). Tangannya tidak diam. Ia menghamburkan beras kuning, ke sana dan ke sini, ke udara dan ke tanah. Si penganten laki akhirnya keluar dari pangkalatn dan menuruni tangga  dengan dipimpin oleh Bangkulu. Lalu, perlahan rombongan bergerak menuju pangkalatn Otoh di Kampokng Konyo, di mana pengantin perempuan dan rombongan sudah menunggu.

Biasanya rombongan akan badokokng (berhenti sejenak) ketika mendengar bunyi rasi yang kurang baik: suara elang, kijang, dahan yang patah, atau ular yang melintas. Kalau begitu keadaannya, picara akan kembali menghamburkan beras kuning dan kemudianbabamang. Tapi kali ini tiada rasi satu pun dijumpai. Alam memberikan pertanda, pikir mereka. Dan mereka mengharapkan diberikan jalan yang baik oleh alam.

Rombongan yang besar, hari yang meriah, perasaan yang cerah. Dari jauh, arak-arakan ini terlihat amat panjang menyerupai seekor ular raksasa. Kemudian mereka susuri jalanan kampokng, terus dan terus, sampai ekor rombongan tidak terlihat lagi.

Sumber: Saung Kata

 

Quoted

“Cheating the system is very gratifying”

Nigel Sielegar