Kembali ke Satu Seni Rupa

logo-jadex-923

Sebenarnya, seni rupa adalah seni yang melibatkan proses pembuatan yang memberikan kepuasan, gugahan estetis melalui cerapan indera rupa. Meliputi, ungkapan ekspresi (seni murni), dan, gubahan rupa barang fungsional (desain dan kria).

Namun seni rupa Indonesia, sebuah wajah terpecah. Semua cabangnya seni murni, desain dan kria — berkembang secara sektoral, menyangkal ada satu prinsip estetika mendasari semuanya. Namun citra ini telah menancap lanjut, membagi-bagi, dan mengklasifikasi kadar nilainya.

Pameran Besar Seni Rupa Kontemporer, Desain dan Kria ini terpaksa menggunakan citra rancu, seolah-olah seni rupa kontemporer, desain dan kria, adalah tiga bidang terpisah. Namun hanya dengan cara ini, informasi pameran bisa dikomunikasikan.

Tapi di balik judul rancu itu, kurasi pameran menyamakan semua cabang seni rupa (seni lukis, seni patung, seni grafis, seni serat, seni keramik, instalasi, desain interior, desain grafis, desain produk, desain tekstil, desain busana, desain aksesori, kria kayu, kria keramik, dan kria bambu) tanpa menempatkannya pada sebuah hirarki nilai. Kendati setiap cabang mempunyai tujuan yang mengikat kadar nilai yang dibawanya, semuanya sama indah.

Dari himpunan itu bisa terlihat kualitas rupa yang beragam sebenarnya mengacu ke satu pencerapan indera rupa. Satu dengan lainnya sebenarnya bisa bersentuhan: rancangan tekstil dengan seni serat, seni grafis dengan desain grafis, desain produk dengan kria, seni patung dengan desain aksesori, seni lukis dengan rancangan busana, instalasi dengan window display.

Sejauh ini, pengkajian kemungkinan persentuhan itu — khususnya melalui sebuah pameran — belum dilakukan. Pameran-pameran yang diselenggarakan umumnya berkaitan dengan keutamaan masing-masing cabang seni rupa yang lalu lebih menunjukkan perbedaan. Pameran desain, mengutamakan aspek fungsi dan kaitannya dengan berbagai bidang usaha. Pameran lukisan, patung atau grafis, bila tak menekankan tujuan menjual, terlalu sibuk dengan apresiasi.

Perkembangan seni rupa yang pesat pada empat dekade terakhir adalah hasil persentuhan secara terpisah dengan berbagai cabang seni rupa di dunia internasional. Perkembangan ini larut ke dalam arus modernisasi tanpa menyadari landasan perkembangan seni rupa di dunia internasional — yang tidak terlihat pada persentuhan praktis — sebenarnya tidak mutlak. Pemisahan yang tajam antara seni murni dan desain, cuma didasari sebuah persepsi yang tidak harus berlaku universal.

Pemisahan itu, di Indonesia menutup sejumlah kemungkinan. Membingungkan desainer ketika berupaya mengembangkan kemungkinan-kemungkinan kria karena kungkungan citra yang tak sepenuhnya disadari. Menimbulkan citra yang terpiuh tentang nilai seni lukis dan harga lukisan — karena pengutamaan ekspresi seni murni. Pemisahan yang tajam ini akan membuat desain kelak diolah para teknolog, dan seni murni akan dikuasai filosof. Lalu di mana alur para perupa?

Citra terkotak-kotak itu tanpa pengkajian akan semakin meninggalkan istilah senirupa. Menjauhi awal perkembangan seni rupa yang tidak tajam membedakan desain dan seni murni. Adalah kenyataan perintis desain di Indonesia umumnya perupa seni murni. Hingga kini pendidikan seni rupa pun masih menyatukan kedua sektor itu.

Tapi, apakah istilah senirupa mempunyai dasar estetik dalam mensejajarkan cabang-cabangnya? Haruskah perkembangan seni rupa Indonesia kembali ke dasar persepsi seni rupa ini di tengah konstelasi dunia yang semakin mendominasi kehidupan modern kita?

MODERNISASI SENI RUPA DI MASA KINI

Modernisasi adalah sebuah upaya menyesuaikan kebiasaan dengan konstelasi dunia. Konstelasi abad modern pada awalnya didominasi pemikiran Eropa Barat dan Amerika. Namun dalam era globalisasi, formasi konstelasi dunia ditentukan pola perkembangan negara-negara maju. Kedua tahap itu pada kenyataannya mengakibatkan sebuah penyeragaman dunia.

Koentjaraningrat, pada tahun 1970’an melontarkan pendapat: modernisasi di Indonesia hendaknya diikuti proses adaptasi yang kritis. Budayawan itu mengukuhkan pandangannya dengan: modernisasi tidak harus merupakan penyesuaian yang mengacu pada penyeragaman.

Namun arus pembangunan yang terjadi akibat politik ekonomi terbuka lebih banyak memperlihatkan penyerapan informasi dan penyesuaian diri secara besar-besaran dengan konstelasi dunia. Bukan adaptasi. Pola ini terjadi pula di bidang seni rupa.

Masuknya investasi multinasional, mengikuti mobilitas modal dalam era globalisasi, mengakibatkan banyak kegiatan seni rupa yang berkaitan dengan dunia usaha mengalami internasionalisasi. Pasang surutnya perkembangan ini bukan sambungan perkembangan di masa lalu, tapi pertumbuhan baru yang masuk dari dunia internasional melalui jalur bisnis. Ahli seni rupa Almarhum Sanento Yuliman menandai awal pertumbuhan baru ini sebagai boom desain.

Pertumbuhan hotel-hotel metropolitan menampilkan rancangan ruang dalam (desain interior) yang dibuat berdasarkan standar jaringan hotel internasional. Desainer Indonesia harus melakukan penyesuaian diri dengan standar-standar internasional itu. Termasuk mengolah ciri-ciri lokal secara artifisal.

Namun desain metropolitan itu mampu merangsang pertumbuhan desain interior Indonesia di sektor lain. Rancangan ruang dalam di lingkungan rumah tinggal yang mendapat kesempatan tumbuh dengan menjamurnya real estate mampu berkembang dengan ciri-ciri setempat — gaya tropis rumah kayu, misalnya.

Belakangan apresiasi desain arsitektur interior meluas di kalangan masyarakat. Terlihat pada kerapnya foto-foto interior disajikan di majalah-majelah hiburan. Tumbuh dari sini kebutuhan mendapatkan kenyamanan.

Keterbukaan ekonomi menumbuhkan pula desain grafis. Mula-mula mengantisipasi kebutuhan periklanan. Biro-biro iklan internasional membangun cabangnya di Indonesia yang daiam waktu singkat menjadi usaha raksasa di Indonesia, seirama dengan meningkatnya investasi perusahasn multinasional.

Pengkhususan di bidang periklanan membuat biro-biro iklan hanya menjalankan policy dan melepas sektor produksinya. Dari keadaan ini bermunculan production house dan studio yang mengkhususkan diri pada rancangan grafis dan fotografi.

Perkembangan desain grafis bangkit. Perancang-perancang grafis mempunjai peluang mengembangkan konsepsi desainnya di luar bidang periklanan. Desain grafis tidak lagi identik dengan “reklame” dan periklanan. Rancangan ini mengembangkan lingkupnya ke berbagai sektor — desain yang berkaitan dengan corporate identity, rancangan grafis dalam kampanye sosial, dan desain grafis pada perencanaan-perencanaan sistem.

 Desain kemasan “Careshield” karya Tjahjono Abdi pada JADEX ‘92


Desain kemasan “Careshield” karya Tjahjono Abdi pada JADEX ‘92

Desain Identity “News Cafe” karya Gauri Nasution pada JADEX ‘92 (a)

Desain Identity “News Cafe” karya Gauri Nasution pada JADEX ‘92 (a)

Desain Identity “News Cafe” karya Gauri Nasution pada JADEX ‘92 (b)

Desain Identity “News Cafe” karya Gauri Nasution pada JADEX ‘92 (b)

Desain Interior “News Cafe” karya Gauri Nasution pada JADEX ‘92

Desain Interior “News Cafe” karya Gauri Nasution pada JADEX ‘92

Namun tidak semua cabang desain mempunyai perkembangan selancar desain grafis. Terdapat cabang-cabang desain yang mengalami stagnasi karena perkembangannya terisi perkembangan dari luar. Keadaan ini dialami sebagian besar cabang desain di sektor industri. Di sini perancang Indonesia nyaris tidak bicara.

Industri manufaktur yang tumbuh pesat di Indonesia kebanyakan industri yang membuat produk under licence. Paket produksi yang sudah disertai desain ini, menutup peluang desainer Indonesia. Desain import ini seringkali lebih murah karena pernah dipasarkan di negara maju dan produksinya di Indonesia merupakan produksi lingkaran kedua. Selama desain semacam ini masih laku di pasar, desainer produk Indonesia akan selalu kehilangan kesempatan.

Namun tidak semua industri melumpuhkan perancang Indonesia. Di lingkungan industri pakaian jadi, desainer-desainer Indonesia mampu merenggut citra utama. Nama-nama besar perancang busana internasional tak mampu menggeser nama mereka di pasar lokal. Selain bisa mempertahankan nama, para desainer busana Indonesia mampu merebut pasar desain. Di lingkungan industri pakaian jadi rancangan mereka tidak terdesak.

Dalam posisi semacam itu para desainer busana mampu membangun perkembangan dan menetapkan standar-standar desain. Bangkit mekanisme menentukan desainer tingkat master (perancang busana madya), sementara mekanisme mencari rancangan kreatif yang dianggap mampu membuat perkembangan baru, juga hidup.

Pertemuan dengan keindahan pada benda fungsional — busana, ruang dalam, benda sehari-hari — merambat ke apresiasi seni lukis. Awalnya untuk melayani kebutuhan hiasan dinding pada rancangan ruang dalam.

Melayani kebutuhan lukisan, pada dekade terakhir bermunculan galeri yang menjajakan lukisan-lukisan dekoratif. Ini meningkatkan kegiatan pameran yang kemudian semakin mengembangkan pasar lukisan. Sanento Yuliman menyebut pertumbuhan minat pada seni lukis itu sebagai boom lukisan, akibat langsung boom desain.

Namun, penyebab meningkatnya perdagangan lukisan secara mengejutkan, tidak tunggal. Gejala ini dipengaruhi pula trend perdagangan lukisan yang terjadi — lagi-lagi — di dunia internasional.

Sejak tahun 1970’an pembelian karya seni di dunia internasional meningkat. Salah satu penyebab penting, pindahnya balai lelang paling terkenal Sotheby, dari Inggris ke Amerika. Bila Sotheby Inggris berusaha menjaga tradisi nama baik, Sotheby Amerika, menekankan pemburuan keuntungan dengan segala cara. Maka terjadi perubahan besar dalam percaturan lelang barang seni.

Pada 1980’an Sotheby Amerika mencatat lonjakan harga yang fantastis. Lukisan modernis, Vincent Van Gogh meloncat dari di bawah US $ 1O juta, menjadi US $ 52 juta, dan US $ 74 juta. Ini menegaskan trend memburu barang seni di pasar internasional — kegiatan yang selain bergengsi, merupakan investasi yang sangat menjanjikan.

Membeli barang seni yang sedang trendy itu melanda pula pengusaha Indonesia. Namun tidak dengan terjun ke pasar dunia, melainkan dengan “menabrak” lukisan-lukisan seniman Indonesia. Pasar yang ada di Indonesia, pasar lukisan tua — rata-rata bertarih 1940’an 1950’an — yang bisa disejajarkan dengan barang antik. Maka pada awalnya, lukisan jenis ini yang diburu. Nilai investasinya dijamin dengan konsep perdagangan barang antik.

Harga naik, karena semakin besarnya demand pada lukisan-lukisan tua itu, sementara supply di pasar, terbatas. Keadaan ini menimbulkan dua akibat; Pertama, meningkatnya harga lukisan tua hingga mencapai harga ratusan juta. Kedua, munculnya kecenderungan “menabrak” lukisan-lukisan baru. Kedua trend yang terjadi berbarengan memicu boom lukisan.

Namun penyesuaian artifisal dengan dunia internasional itu, tak mampu menumbuhkan akarnya. Tidak terjadi mekanisme pasar yang seharusnya di balik harga-harga lukisan karena tidak tedapat lembaga-lembaga penilaian yang memungkinkan terjadinya mekanisme itu. Maka harga lukisan mengalami fluktuasi yang membingungkan.

FRIKSI PADA SENI RUPA MODERN DUNIA

Tanpa pemahaman mendasar, modernisasi seni rupa cuma mempunyai dua kemungkinan: penyesuaian diri secara total, atau tidak samasekali. Adaptasi, yang diikuti penafsiran kreatif adalah perkara musykil, karena dasar-dasar seni rupa modern tidak nyata dan tidak lepas dari berbagai kontradiksi.

Abad modern, menurut ahli sejarah seni rupa Barat, H.W. Janson, diawali Revolusi Prancis, Revolusi Industri yang berawal di Inggris, dan, perkembangan demokrasi di Amerika Serikat. Ketiga kejadian besar ini sangat mempengaruhi terbentuknnya seni rupa modern dunia di awal abad ke 19.

Salah satu ciri pembentukan seni rupa modern itu adalah friksi desain dan seni murni. Spirit industri dan demokrasi membangkitkan arus menentang prinsip-prinsip keindahan seni murni yang dianggap membawa spirit lama. Muncul pandangan baru yang berorientasi pada fungsi dan kepentingan masyarakat.

Di tahun 1841 arsitek Inggris Welby Pugin untuk pertama kali menggugat keindahan itu. Ia menulis, “Keindahan tidak diperlukan lagi untuk kenyamanan, perilaku dan moral.” Pada 1908, desainer Austria Adolf Loos memuja mesin lewat eseinya yang terkenal, Ornament and Crime — “Produk mesin indah selama tidak ditambah hiasan.”

William Morris, pengrajin dan sosialis Inggris, melihat modernisme, sebagai bangkitnya kaum pekerja dan buruh. Bagi Morris keindahan seni murni masih hidup selama berkaitan dengan produk kerajinan yang memberikan kebahagisan pada pembuat dan pemakai produk. Pada 1861 ia menulis, “Seni bukan hanya untuk masyarakat, tapi juga dibuat oleh masyarakat.”

Puncak penentangan seni murni dan desain terjadi pada forum perdebatan Deutcher Werkbund di Cologne pada 1914. Ketua perkumpulan desainer, arsitekdan seniman itu, Muthesius, memperkenalkan standarisasi desain. Ia ditentang tokoh lain, Van de Velde yang berusaha mempertahankan anggota Werkbund yang seniman. “Standarisasi akan membatasi gerak ekspresi individual para seniman,” katanya. Tapi forum mendukung Muthesius. Prinsip standarisasi desain sejak itu diperjuangkan Deutcher Werkbund. Inilah embrio prinsip international style yang kemudian mendominasi perkembangan desain dan arsitektur modern.

Warna pertentangan seni murni dan desain itu kendati secara eksplisit mengacu pada kemunculan era industri, implisit berakar pada tradisi seni rupa Barat. Dalam tata acuan (frame of reference) seni rupa ini, kadar nilai keduanya memang dibeda-bedakan.

Seni rupa Barat yang mendasari seni rupa modern dunia, berawal pada tradisi Renaissance Italia Abad ke 16. Seni di sini diperkenalkan sebagai artes liberales yang mengacu pada konsepsi Yunani mousike techne. Pengertian keduanya, “pekerjean orang-orang bebas,” yang didasarkan pada premis Plato: mereka yang tidak berurusan dengan kegiatan praktis, bertugas melayani kebutuhan berpikir dan pencarian esensi kesenangan-kesenangan sensual. Dari sini lahir tata acuan High Art. Catat: Tata acuan ini masih membayangi persepsi dominan seni rupa modern dunia, sampai kini.

Seni rupa dalam tata acuan itu mula-mula dikenal sebagai La belle arti del disegno (seni desain yang indah) dan di masa kini mapan dengan istilah fine arts. Seni rupa fungsional dimasukkan ke techne (mendasari kata teknik dan teknologi) yang tergolong pekerjaan biasa. Kegiatan ini dikenal pula dengan sejumlah istilah: mechanical arts, applied arts, decorative arts,

Di awal seni rupa modern kelompok mechanical arts itulah yang bangkit bersama revolusi industri menentang High Art. Catat: tidak sebagai, fenomena techne atau kerja, atau teknologi, tapi sebagai seni rupa, fungsional yang mendesak prinsip-prinsip “keindahan” mousike techne.

Ketika seni rupa modern dunia mengalami internasionalisasi, friksi seni rupa Barat itu — yang sebenarnya mendasar untuk dipahami kebudayaan non-barat — tidak muncul ke permukaan. Bahkan menjadi tidak relevan karena munculnya argumentasi “spirit industri” tadi.

Kondisi penyulitnya, tafsir yang dibangun dari premis Plato — yang tidak didasarkan pada kebenaran obyektif — tidak berlaku universal. Ini hanya salah satu persepsi yang tidak mempunyai kebenaran mutlak. Tidak semua kebudayaan mengidentifikasi kondisi mental berkesenian melalui pemikiran.

Maka tanpa pemahaman mendasar, upaya penyesuaian diri dengan seni rupa modern dunia cuma: meniru. Seni rupa ini sulit disiasati kebudayaan lain karena dasar persepsinya — yang sebenarnya bisa disangkal — tersembunyi untuk diperdebatkan. Dikukuhkan dan dilegitimasikan sebagai ciri abad modern dalam konstelasi dunia.

PERBENTURAN

Tidak aneh bila seni rupa modern dunia (design dan fine arts) mempunyai perkembangan monolinier, dengan tetap memperlihatkan tata acuan High Art — pengutamaan ekspresi seni dan penempatan desain pada posisi inferior. Keduanya lalu terpisah jauh, yang satu semakin meninggalkan fungsi, yang lain semakin meninggalkan keindahan.

Dan, hanya perkembangan seni rupa di Eropa dan Amerika Serikat yang mengisi perkembangan seni rupa modern dunia itu. Dalam konstelasi dunia di masa lalu negara-negara itu dikenal sebagai negara Barat, di masa kini sebagai negara maju.

Di negara berkembang sulitnya adaptasi mengakibatkan seni rupa modern yang lahir — khususnya seni murni — memunculkan perkembangan yang sama sekali lain. Perkembangan ini ternyata tidak mendapat pengakuan. Mengapa?

Di tahun 1973, Mikel Dufrenne seorang ahli estetika Universitas Paris, Nanterre, Prancis mencoba menjawab pertanyaan itu. Dufrenne mulai dari pertanyaan: mengapa selalu terjadi konfrontasi Barat-Timur di negara-negara berkembang? Dari studi mengumpulkan pemikiran di Asia, Afrika dan Amerika Latin, Dufrenne menemukan konfrontasi itu sebenarnya berakar pada nasionalisme. Upaya menoleh ke kesenian tradisional adalah ungkapan membela kebudayaan lokal yang terdesak di masa kolonial. Semua kecenderungan ini — nasionalisme dan tradisionalisme — pada akhirnya mengacu pada pencarian identitas nasional.

Upaya mencari identitas nasional itu langsung bertentangan dengan standar internasionalisme. Dalam seni rupa modern, identitas nasional dan warna lokal, dianggap tidak lagi relevan untuk dimasalahkan. Ciri kenegaraan ini disangkal eksplisit pada 1950’an. Ahli estetik Amerika terkemuka, Harold Rosenberg mencatat persepsi ini, “Warna lokal, secara emosional, visual mau pun budaya, dianggap hilang dari karya-karya seni rupa modern. Istilah seni rupa asing tidak lagi relevan dalam seni rupa modern. Seniman modern, bahkan dari negara paling terkebelakang di Afrika atau Amerika Latin, dianggap telah menyatu dalam sistem dunia.

PERGESERAN FORMASI KONSTELASI DUNIA

Tapi internasionalisme, ternyata bukan kebenaran yang tak bisa digoyahkan. Pada era perkembangan 1970an, terjadi arus balik yang menentang paham ini. Lahir era Post Modern yang mengeritik perkembangan internasionalisme. Harold Rosenberg menilai paham ini mengakibatkan pemiskinan ekspresi yang semakin tidak mencerminkan kehidupan yang kaya aspek.

Ahli estetika Jerman Heinrich Klotz mengeritik internasionalisme di bidang arsitektur yang disebutnya terlampau fungsional dan ekonomis. Arsitektur ekonomis ini, kata Klotz, mengakibatkan terbentuknya atmosfir bangunan yang depresif dan tidak manusiawi. Klotz kemudian membidani lahirnya post modernisme dengan, “Spirit post modernisme adalah keinginan menciptakan simbol-simbol seperti pada arsitektur tradisional.”

Sementara itu seni rupa modern dengan perkembangan monolinier berakhir pada aliran abstrak ekspresionisme — dikecam sebagai puncak perkembangan seni rupa yang isoterik. Lahir era seni rupa kontemporer, yang disebut ahli estetika Amerika, Douglas Davis, sebagai kembalinya upaya mencari nilai-nilai budaya kemasyarakatan — seni kembali ke konteks masyarakat. Udo Kulterman ahli estetika Jerman menandai era ini dengan lahirnya penentangan pada kerasionalan modernisme yang dingin. Ekspresi seni rupa, menurut Kulterman, kembali ke simbolisme, bahkan yang instingtif.

Era seni rupa kontemporer ditandai pula dengan kebangkitan kembali kria dengan citra baru. Kria kontemporer tidak hanya menampilkan keterampilan dan desain tapi menampakkan pula ekspresi individual senimannya. Maka seni kria masa kini adalah gabungan dari keterampilan, pemikiran desain dan ekspresi seni. Ahli kria Amerika Paul J. Smith, menggariskan estetika kerajinan kontemporer dengan, “Tradisi mengolah keindahan yang telah ditinggalkan oleh perkembangan seni rupa modern, menerus di dunia kria.”

MENUJU ERA BARU

Seni rupa Indonesia, hari ini, menghadapi titik simpang. Di satu sisi meneruskan proses adaptasi yang belum selesai pada modernisasi yang masih terus berlangsung, di sisi lain menghadapi perubahan yang terjadi di dunia internasional, yang mungkin melahirkan patokan-patokan baru pada konstelasi dunia. Perubahan mendasar: meninggalkan spirit industri dan spesialisme dalam seni murni.

Barangkali memang akan terjadi perubahan besar di dunia internasional. Semakin banyak pandangan yang menyangsikan manfaat penyeragaman karena ikatan akibat globalisasi lebih banyak menimbulkan dampak negatif, bahkan ancaman, daripada kerjasama.

Pada era 1980’an, lahir aliran pemikiran pluralisme yang nampaknya akan berpengaruh di masa mendatang. Faham ini bertentangan secara diametral dengan universalisme. Seorang pluralis Inggris, Andrew Benjamin, menuIis, “The distinction between universality and pluralism is not a simple either or.”

Pluralisme yang kembali mengakui batas-batas nasionalisme, bukan paham yang mundur ke belakang. Tapi justru paham “post internasionalisme.” Percaya pada modernisasi bukan penyeragaman yang serba tunggal, melainkan plural.

Dalam pandangan ini, seni rupa modern di negara berkembang tak disangkal berasal dari penyesuaian diri dengan konstelasi dunia. Namun perkembangannya tidak harus sama dengan perkembangan di negara maju. Maka perkembangan seni rupa modern di negara berkembang, mempunyai konteks internasional dan konteks nasional sekaligus.

Kembali ke satu seni rupa adalah upaya mencari konteks nasional dengan mengkaji bahasa. Dalam Bahasa Indonesia, istilah seni rupa disusun untuk menerjemahkan fine arts dan maknanya disesuaikan dengan pengertian seni rupa modern. Namun di balik penyusunan istilah ini sebenarnya ada konsepsi yang mencerminkan adaptasi. Konsepsi ini ditiadakan demi penyesuaian.

Konsepsi seni rupa yang terbuang itu adalah definisi seni yang tercantum dalam Kamus Jawa Tinggi, Baoesastra Jawa (kamus ini disusun oleh WJS Poerwadarminta, penyusun Kamus Umum Bahasa Indonesia). Tercatat sebagai kagunan. Istilah ini disebutkan berasal dari akar kata guna yang dasar pengertiannya adalah: faedah. kelebihan, kepandaian, kemampuan mencipta yang berkaitan dengan watak.

Kagunan didefinisikan sebagai Kapinteran. Jejasan ingkang adipeni. Wudaring pambudi, nganakake keendahan — gagambaran, kidung, ngukir-ukir (Kepandaian. Hasil pekerjaan yang berfaedah. Ungkapan budi pekerti melalui keindahan pada gambar, gubahan dan ukiran.)

Konsepsi itu kemungkinan besar berangkat dari premis Plato, karena dalam kebudayaan tradisional Indonesia sangat jarang ditemukan pendefinisian seni. Namun keistimewaan kagunan adalah: definisi ini mempertahankan persepsi lokal.

Dalam tata acuan kagunan, budi pekerti (pemikiran) rasa keindahan dan watak (ekspresi) adalah gubahan yang tidak mengenal hirakhi pengungkapan. Bisa tampil pada berbagai produk, fungsional mau pun non-fungsional. Kadar nilainya yang tampil pada gambaran dan hiasan terletak pada perenungan, pekerti dan kepandaian penciptanya. Bukan pada peniscayaan jenis idiomnya.

Dengan memasukkan pengertian kagunan, istilah seni rupa bukan lagi sekadar penerjemahan. Istilah ini menjadi mempunyai makna, konsepsi dan landasan estetik. Dari pengertiannya bisa disusun sebuah terminologi — seperti terlihat pada Mukadimah pada katalog ini — yang berakar pada satu dasar estetik seni rupa.

Pameran Besar Seni Rupa, Desain dan Kria, adalah awal dari upaya melihat satu seni rupa dengan aneka kemungkinan dan nilai. Pesertanya adalah para perupa terbaik, yang telah menunjukkan perkembangan individual yang lanjut. Perupa muda yang disertakan menunjukkan kreatifitas yang menjanjikan perkembangan. Dari karya-karya mereka mungkin bisa dikaji persamaan-persamaan yang mengacu ke hanya satu seni rupa.

BIBLIOGRAFI

Koentjaraningrat. Kebudayean, Mentalitet dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta, 1974.
Poerwadarminta. (et.al.) Baoesastra Jawa, J B. Wolters Uitgeveres Mastschapij, Batavia, 1939.
Munro, Thomas. The Arts and Their Interrelations, Liberal Arts Press, New York, 1951.
Janson, H.W. The History of Art, (edisi kedua), Thames and Hudson, New York, 1977.
Rosenberg, Harold. The Anxious Object, Colier Books, New York, 1973.
Dufrenne, Mikel. Avant-Garde and Tradition In Asia, Africa and Latin America, The Unesco Courier, Maret 1973.
Pevsner, Nikolaus. The Sources of Modern Architecture and Design, Thames and Hudson, London, 1986.
Papadakis, C. Andreas. (ed) Art in The Age of Pluralism, Academy Group, Holland, 1988.
Margetts, Martina. (ed) International Crafts, Thames and Hudson, London, 1990.

Pembukaan JADEX ‘92 oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Supardjo Rustam (alm.). Wagiono, anggota Dewan Kurator JADEX ‘92, mendampingi Supardjo Rustam di Ruang Desain Grafis.

Pembukaan JADEX ‘92 oleh Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat Supardjo Rustam (alm.). Wagiono, anggota Dewan Kurator JADEX ‘92, mendampingi Supardjo Rustam di Ruang Desain Grafis.

Sumber: Buku katalog pameran JADEX ’92, hal. 18-31. JADEX ’92 diselenggarakan di Jakarta Design Center, 25-30 September 1992.


MUKADIMAH

Seni rupa ialah seni yang melibatkan:
a. Proses pembuatan. Baik dengan rancangan atau tidak, baik dengan teknik sederhana maupun teknik canggih.
b. Bahan fisik. Baik tunggal (sejenis) maupun jamak (berbagai jenis), baik alam (mentah) maupun olahan(
c. Merupakan hasil yang berujud barang fisik, baik amung (unik) maupun ganda (multiple).

Hasil seni rupa memiliki kemampuan untuk menggugah pengalaman estetik yang memberikan kepuasan.

Pengalaman estetik ialah pengalaman yang tergugah ketika perhatian diarahkan kepada cerapan indera (sense of perception) rupa. Dengan kata lain, suatu pengalaman “estetik” terjadi selama pengalaman itu dituntun atau dikendalikan oleh cerapan indera melihat (kata Yunani, aisthesis berarti pencerapan indera).

Pengalaman estetik tidak identik dengan penginderaan, jika dengan istilah ini dimaksudkan semata-mata perangsangan indera oleh stimuli dari luar. Dalam pengalaman estetiktergugah pula berbagai proses psikofisis seperti khayalan, ingatan, emosi, penalaran, konasi (berhubungan dengan kehendak atau kecenderungan, dan penolakan) dan kinesis (berhubungan dengan gerak, baik gerak tubuh atau anggota tubuh yang kelihatan, maupun gerak fisiologis yang tak kelihatan dari luar).

Sebuah hasil seni rupa dikatakan menggugah pengalaman estetik yang memuaskan apabila dalam pencerapan hasil itu
a. Merupakan ungkapan dan perasaan dan gagasan (konsep, pikiran atau khayalan) dengan cara pengungkapan yang kena.
b. Menampilkan berbagai unsur cerapan yang membentuk keselarasan dan kebulatan yang padu.
c. Merupakan bentuk yang sesuai dengan fungsi-fungsi.

Seni rupa suatu bangsa atau suatu masyarakat, apabila,
Seni rupa itu merupakan gejala sosial, dan merupakan bagian kebudayaan bangsa dan masyarakat.
Seni rupa itu tersebar pada sejumlah anggota masyarakat, atau sedang disebarkan melalui proses belajar.
Seni rupa itu memenuhi kebutuhan akan seni rupa yang terjadi melalui saluran-saluran sosial, atau, pola-pola laku tertentu.

Definisi seni rupa kendati memungkinkan penggunaan satu label, seharusnya tetap harus dapat menampung perbedaan. Dasar keyakinannya adalah:

Pluralisme estetik yang memandang bahwa, seluruh seni rupa itu satu, karena itu dapat diberi suatu label, yaitu “seni rupa” Tapi seni rupa ini berbeda-beda atau bermacam-macam dalam perwujudannya.

Perbedaan dalam seni rupa bukan hanya perbedaan “sesaudara” atau “serumpun” atau antarvariant. Terdapat perbedaan yang lebih mendasar, yaitu perbedaan acuan, yang menyangkut perbedaan tata nilai, konfigurasi nilai, tata gagasan, (pikiran, kepercayaan, khayalan) dan tata perupaan (dasar-dasar atau asas-asas perupaan).

Perbedaan mendasar itu bertalian dengan perbedaan konteks sosiaL budaya, yaitu perbedaan dalam praktek sosial dimana seni rupa itu dibuat, ditafsir (diberi arti), ditaksir (diberi nilai) dan digunakan.

Pluralisme estetik bukan semata-mata pengakuan akan kekayaan aneka ragam seni rupa di Indonesia, tapi juga mendasari keinginan melestarikan proses dalam sejarah kebudayaan Indonesia.

Sejarah kebudayaan Indonesia kaya dengan kontak kebudayaan atau akulturasi antara kebudayaan yang berbeda yang melahirkan karya-karya seni baru yang menyerap dan memandukan unsur seni dari kebudayaan yang berbeda.

Dalam kaitan melestarikan proses itu dengan upaya aktif diperlukan konsep rekayasa estetik, respon yang wajar, sadar, dan kritis terhadap keanekaragaman kebudayaan dan seni. Ia adalah upaya menggiatkan kontak dan dialog untuk merangsang daya cipta kearah lahirnya karya-karya baru, memanfaatkan aneka ragam seni.

Bahwa upaya pengembangan yang ditujukan kepada perkembangan seni rupa Indonesia, adalah upaya mengembangkan semua bidang kegiatan seni rupa, yang bersinggungan dan berkaitan dengan berbagai kegiatan lain dalam masyarakat. Meliputi:

a. Pengembangan penciptean dan pembuatan, termasuk pengembangan perbendaharaan pengetahuan, pandangan, gagasan dan penilaian.
b. Penyebaran, penyimpanan dan peningkatan apresiasi hasil seni rupa.
c. Mengupayakan setiap kegiatan menjangkau lingkup nasional dan secara bersama menjangkau lingkup internasional.

Sumber: Buku katalog pameran JADEX ’92, hal. 4-5. JADEX ’92 diselenggarakan di Jakarta Design Center, 25-30 September 1992.

Quoted

The fate of a designer is not determined by the public system, but by the way he sees his own life

Surianto Rustan