Apa sih antropologi?
Terdengar seperti suatu cabang ilmu yang mempelajari tulang belulang dinosaurus? Bukan, itu paleontologi. Antropologi mempelajari suatu hal yang akrab dengan kita, tepatnya sesama manusia.
Sebenarnya saya sudah mengenal antropologi sejak 15 tahun yang lalu. Ketika bersekolah di bangku SMA saya memilih jurusan A4 yang berkonsentrasi pada budaya (meskipun banyak yang menganggap jurusan ini adalah jurusan bahasa karena mempelajari sastra). Saat diminta memilih jurusan ekonomi atau budaya, pilihan kedua terlihat lebih menarik, karena mata pelajaran ekonomi amat membosankan bagi saya. Apalagi terngiang-ngiang para guru sekolah lain, teman dan orang tua yang menganggap jurusan A4 adalah jurusan “buangan” dan dipenuhi pemalas dan anak bodoh. Bagi saya lebih baik dicap bodoh daripada mati bosan saat belajar di kelas selama 2 tahun ke depan. Bahasa Perancis adalah iming-iming yang paling mengundang dari jurusan budaya ini. Setelah membeli buku-buku pelajaran, baru saya mengetahui mata pelajaran apa saja yang akan saya hadapi. Salah dua di antaranya adalah sosiologi dan antropologi (diajarkan dalam 1 mata pelajaran) dan Sejarah Kebudayaan Indonesia.
Jujur saja, buku pegangan Sosiologi-Antropologi (SosAntrop) untuk Sekolah Menengah Atas karangan Prof. Selo Soemardjan (alm) pertamanya tidak menarik. Seperti buku-buku pelajaran lainnya, saya anggap buku yang bersampul nelayan yang sedang mengayuh perahu bercadik bakal membosankan. Apalagi dengan foto-foto hitam putih di atas kertas koran yang lebih menyerupai kertas buram. Apalagi buku Sejarah Kebudayaan Indonesia, bersampul foto stalagtit untuk jilid pertama, candi dan masjid untuk jilid-jilid selanjutnya. Dari sampul sama sekali tidak mengundang.
Untungnya guru SosAntrop kami adalah seorang ibu yang tergolong asyik dan lebih dihormati karena beliau adalah alumni. Dari cara mengajar, dia tidak menerapkan hal tidak berbeda dari guru lain: membaca buku, menggaris bawahi hal penting dan mencatat beberapa tambahan. Saat dia bercerita, nah itu yang menarik, dia bisa menghubungkan bahasan dengan kehidupan para murid. Kebetulan asal suku para siswi di kelas saya cukup beragam. Nyaris setiap pulau di Indonesia memiliki perwakilan, dari Sumatra sampai Papua. Jadi ketika dia bercerita tentang tatanan sosial masyarakat Batak, dia melakukannya sambil berdiskusi dengan siswi yang berasal dari suku Batak. Membicarakan Kalimantan, dia akan langsung bertanya, ”Siapa yang orang Dayak?”. Pelajaran jadi menyenangkan dan membuat kami penasaran tentang budaya teman sekelas yang lain. Sejak itu saya berhobi memperhatikan berbagai kebudayaan beragam suku dan bangsa.
Jadi apakah sebenarnya antropologi itu?
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia; antropologi adalah ilmu tentang manusia, tentang asal usul, adat istiadat, bentuk fisik dan kepercayaan. Ilmu ini memiliki cabang: Antropologi Budaya (menitikberatkan masalah kebudayaan manusia) dan Antropologi Sosial (menganalisis aneka sifat masyarakat dan kebudayaan manusia secara sinkronis). Singkatnya: mempelajari manusia (sesuai dengan kata Antrophos dari Bahasa Yunani yang berarti manusia).
Kurang menarik apalagi? Lha wong ngomongin orang, hal yang menarik sekali! Saya (dan banyak orang lain tentu saja) selalu cenderung ingin tahu tentang orang lain.
Apalagi setelah saya mempelajarinya di sekolah menengah dengan tambahan “Manusia dan Kebudayaan” oleh Prof. Koentjaraningrat sebagai buku tambahan, memang ilmu ini terutama membicarakan manusia, dan kami terutama membahas kebudayaannya. Beruntunglah saya!
Kebudayaan yang berkembang di Indonesia sejak zaman sejarah dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, Islam dan Eropa (Koentjaraningrat, 1971:21). Penyataan Prof. Koentjaraningrat itu adalah inti dari pelajaran Sejarah Kebudayaan Indonesia yang saya pelajari di SMA. Selain kebudayaan Eropa, kebudayaan Hindu dan Islam masuk lewat damai. Hal ini menyebabkan kedua budaya tersebut dapat berasimilasi secara maksimal dengan kehidupan masyarakat Indonesia. Bahkan untuk Agama Islam yang sudah memiliki peraturan tertulis, proses asimilasi dapat terjadi. Ketika kerajaan-kerajaan di Indonesia mulai berdagang dengan Bangsa Parsi dan Gujarat (1), mereka mulai mengenal agama ini. Hanya di Indonesia di mana Tahun Baru Islam dimeriahkan dengan sesaji, samadi menjadi salah satu praktik religi dan pengajian mengawali perayaan adat dan penyebaran Syariah Islam lewat wayang.
Agama Hindu memiliki peninggalan yang berbeda, kebetulan dibahas lebih mendalam dalam Sejarah Kebudayaan Indonesia dan Sejarah Kesenian Timur. Hal ini disebabkan oleh mulainya orang Indonesia menentukan identitas diri (dalam bentuk Kerajaan Sriwijaya) (2). Sebelum Agama Hindu masuk, masyarakat yang tinggal di Kepulauan Indonesia belum mengenal aksara (Zaman Prehistori (3). Mereka mulai mencatat dan memperjelas tatanan masyarakat setelah para pedagang dari India Selatan memperkenalkan huruf Sansekerta. Jejak pengaruh kebudayaan Hindu bisa dilihat dari peninggalan candi-candi dan prasasti di sepanjang Pulau Jawa dan Kalimantan Timur, kebiasaan membakar dupa, dan peninggalan yang paling hidup: masyarakat Bali.
Eksotisme budaya Indonesia untuk semua
Saya tidak perlu bercerita tentang eksotika Bali lagi. Yang jelas sudah banyak orang yang terpesona akan kehidupan masyarakat Bali. Sudah banyak yang terinspirasi dan mengeksploitasi nyaris segala aspek kehidupan di Pulau Dewata. Tradisi yang bukan hanya mendarah daging, tapi sudah menjadi sinar matahari dan oksigen bagi masyarakatnya. Karena tanpanya perekonomian akan runtuh.
Kebetulan saya sempat tinggal 2 bulan di sana ketika menggarap Tugas Akhir tahun 2002. Teknik tenun ikat Endek menjadi makanan sehari-hari. Masa itu saya mulai menyelami kehidupan pengrajin Endek yang santai. Industri rumah tangga yang menyelup benang hanya jika pesanan datang. Untungnya pesanan selalu datang, sehingga mereka mampu untuk membeli motor untuk setiap anggota keluarga (yang ternyata adalah suatu hal yang wajar untuk keluarga di Bali karena sarana angkutan umum dianggap kurang memadai). Semua orang Bali yang saya temui benar-benar sesuai seperti brosur di agen perjalanan. Ramah, selalu tersenyum dan akan tersenyum lebih lebar jika pembayaran dalam dolar atau yen.
Saat saya berkunjung pasca bom, senyum mereka sedikit luntur. Orang-orang yang saya kenal (maupun tidak) mengeluh akan sedikitnya turis yang datang. Untung tradisi tetap berjalan, sehingga saat dunia melupakan kejadian terror tersebut, perekonomian mulai membaik.
Saat tinggal di sana, saya mulai mengenal corak kehidupan yang lain. Menyenangkan untuk dipelajari dan teringat sampai lama setelah itu. Saya percaya cara kita melihat sesuatu akan terpengaruh oleh pengetahuan yang kita miliki. Saat saya melihat iklan sebuah lini perawatan tubuh ini terlihat suatu hal yang amat familiar: muka yang amat “Bali”. Dengan ikat kepala dan tanda berkat di dahi. Ternyata itu adalah produk perawatan tubuh Indonesian Treasures. Hal ini cukup mengejutkan, karena majalah yang saya buka adalah majalah Oprah edisi Oktober 2007 yang hanya dijual di Afrika Selatan.
Perusahaan Indonesian Treasures dibangun oleh seorang pengusaha Afrika Selatan, Jonathan Stone. Ia terpukau oleh kekayaan produk perawatan tradisional Bali dan berniat membawa sedikit “keajaiban Asia ke Afrika Selatan” (4).
Bukan, saya tidak berniat untuk memprovokasi dan menyanyikan refrain lagu lama, ”Mereka saja bisa mengapa kita tidak”. Kebetulan saja contoh-contoh yang saya ceritakan dilaksanakan oleh orang bukan Indonesia. Banyak juga kok orang Indonesia yang terinspirasi budaya lokal. Misalnya tren Batik Lawasan yang membakar semangat industri batik, komik “Lagak Jakarta” oleh Mas Benny dan Mas Mice, lini kosmetik Mustika Ratu yang tak bosan memperkenalkan warna tradisional, wisata kuliner yang mempopulerkan jajanan tradisional, dan tak terhitung lagi yang lain.
Saya hanya kagum bahwa Pak Stone dapat memiliki ide untuk memasarkan perawatan tradisional Bali beribu-ribu kilo dari asalnya. Dia memajang citra Bali dengan indahnya. Tersirat konsumen akan merasa disembuhkan dan aman menikmati produk perawatan dan spa dari Indonesian Treasures. Mungkin saat eureka Pak Stone ketika ia menikmati salah satu spa di Bali. Saat dibuai pijatan melenakan, semilir angin dan wangi bau minyak pijat, muncullah ide untuk mengemas pengalaman indahnya dan menjualnya di Cape Town.
Satu lagi contoh tentang pengenalan kebudayaan Bali yang inspiratif adalah buku laris manis Elizabeth Gilbert berjudul “Eat, Pray, Love”. Buku ini berupa memoar penulisnya ketika pergi ke Italia untuk menikmati hidup (makan sepuasnya), belajar meditasi di India dan melakukan keduanya di Bali (plus menemukan cinta). Saya penasaran untuk membacanya karena resensi seorang teman. Menurutnya, Ibu Gilbert benar-benar mengenal kehidupan orang Bali, segi memukau dan menyebalkannya. Menurutnya, segi menyebalkan yang diceritakan memang benar, tetapi dapat menyiratkan publikasi yang buruk tentang orang Bali. Setelah saya membacanya, ya memang benar.
Elizabeth Gilbert bercerita tentang seorang penyembuh, janda cerai Bali beranak 3 yang amat memerlukan uang untuk membeli rumah. Simpati penulis ini semakin dalam karena ia mengetahui pandangan buruk masyarakat Bali terhadap wanita yang bercerai. Terketuklah hati Ibu Gilbert dan mulai menyebarkan surat elektronik ke kawan-kawannya untuk mengumpulkan dana. Setelah uang sudah terkumpul dan diberikan ke janda tersebut, mulailah keribetan dimulai. Ternyata memilih rumah memakan waktu lebih dari sebulan ada saja alasan yang dicetuskan. Sehingga penulis makin mengerti maksud “secepatnya” bukan berarti waktu yang bisa ditentukan.
Terlepas dari segi memukau atau mengecewakan, kedua orang di atas benar-benar mengenal kehidupan dan masyarakat Bali. Kemudian “studi antropologi kecil” yang mereka dapat mampu menginspirasi.
Berguna sekali, karena kita sebagai desainer grafis, illustrator, art director, sutradara, atau pekerja seni lainnya, mendesain untuk manusia. Jika mengenal secara akrab suatu kebudayaan dengan mendalam, akan memberi dampak multiguna.
Pertama, tentu saja, akan memberi inspirasi. Sering sebagai desainer kita tertarik sesuatu yang eksotis, yang berbeda jauh dari lingkungan/tempat asal kita. Sesuatu yang berbau non-Indonesia akan terlihat lebih keren dan inspiratif. Hal ini disebabkan ideologi yang mengetengahkan bahwa kebudayaan barat lebih “hebat” disebut sebagai salah satu ancaman hegemoni desainer Barat (5).
Sekarang budaya Indonesia justru menjadi daya tarik yang eksotik bagi masyarakat dunia. Dalam dunia yang makin mengecil (dilipat kalau menurut Pak Yasraf Amir Piliang) hegemoni Budaya Eropa dan Amerika mematok standar kekerenan.
Kedua, mengenal manusia berarti mengenal budaya khalayak sasaran kita. Mendesain untuk orang Indonesia, tentu saja harus memahami adat, kebiasaan, budaya, tata krama, prinsip, aturan, pendeknya kenal luar dalam semua aspek.
Alasan ketiga memang klise, tetapi adalah lagu favorit saya: pelestarian budaya. Seperti diungkapkan Pak Agus Sachari, tumbuhnya kesadaran akan peningkatan kualitas estetik tradisi melalui pendekatan modern itu penting (5).
Sebenarnya tanpa sadar kita telah melakukan studi antropologi. Semakin kenal dengan budaya dan masyarakat Indonesia bakal semakin cinta deh. Jadi, mari mengakrabi budaya dan manusia Indonesia supaya lebih terinspirasi.
1) Saat Kerajaan Sriwijaya mulai mundur, para pedagang Parsi dan Gujarat mulai berdagang dengan kerajaan-kerajaan di Semenanjung Malaya dan Jawa Timur.
2) Sriwijaya sering disebut karena menguasai perdagangan maritim di perairan Indonesia pada abad 7- 12M. Selain itu Sriwijaya adalah kerajaan yang sudah memiliki struktur kenegaraan dan sudah menerapkan konsepsi negara kota.
3) Zaman prehistori Indonesia menurut Prof. Koentjaraningrat: sejak Manusia Indonesia menempati Dataran Sunda (saat Asia Tenggara masih belum terpisah lautan) sampai kira-kira abad ke-4M, ketika prasasti berhuruf Pallawa mulai ditulis.
4) Seperti yang diungkapkan Jonathan Stone dalam http://www. indonesiantreasures.com. Niat baiknya adalah untuk menyokong industri rumahan dan perdagangan lokal di Bali.
5) Diungkapkan sebagai bagian dari Pemantapan Jati Diri bangsa Indonesia oleh Agus Sachari.
Bibliografi
GILBERT, Elizabeth, (2006), Eat pray love, Bloomsbury Press, London.
KOENTJARANINGRAT, Prof.,(1971), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, cet.22 2007.
PILIANG, Yasraf Amir, (2002), Dunia yang Dilipat, , Penerbit Jalasutra, Yogyakarta.
SACHARI, Agus, (2007), Budaya Visual Indonesia, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Oprah Magazine, October 2007, Hearst Magazines International, Cape Town.
http://www.indonesiantreasures.com diakses 19 April 2008 pukul 21.35.
Sumber: Share #07, newsletter yang dibagikan dalam beberapa acara FDGI&Friends, bertujuan untuk menghidupkan budaya ‘desainer yang menulis’, juga merupakan medium komunikasi antar anggota FDGI.
“Seorang desainer harus memiliki keberpihakan pada konteks membangun manusia Indonesia. Peka, tanggap, berwawasan, komunikatif adalah modal menjadikan desainnya sebagai alat perubahan”